Novel itu merupakan pemenang sayembara penulisan novel yang diselenggarakan UNESCO/Ikapi pada tahun 1968. Novel itu menceritakan kisah seorang wanita bisu-tuli bernama Saraswati yang berusaha untuk menjadi berarti dalam hidupnya. Sebagai orang cacat, ia mendapat berbagai halangan untuk mencapai nilai itu. Bukan saja keterbatasannya secara fisik, tetapi juga pandangan manusia normal yang cenderung meremehkan orang cacat.
Ali Akbar Navis was a journalist and potential writer. He was a full time writer for Sripo and writes so many stories.
His famous books was “Robohnya Surau Kami” which became a monumental work for Indonesian literature. His last work is "Simarandang" a social-culture journal which been published on April 2003.
’Sunyi adalah duniaku.Sunyi adalah nasibku. Sunyi dunia tanpa bunyi, tanpa suara. Segala-galanya sunyi. Bagiku dunia terkembang sama seperti bagimu, Saudaraku.
Engkau kenal suka. Aku pun kenal. Engkau tahu pahit dan manis, aku pun tahu. Engkau senang pada yang lembut, benci pada yang kasar, aku pun begitu. Engkau riang pada yang terang, sepi pada yang gelap, aku pun demikian. Tapi duniaku tidak semuanya sama dengan duniamu, Saudaraku. Duniaku adalah sunyi.
Engkau tidak akan tahu kenapa duniaku mesti sunyi, Saudaraku. Aku juga tidak tahu. Semua orang mengatakan, itulah suratan nasib. Kenapa hidup seperti ini dipilihkan nasib bagiku. Aku tidak tahu. Hanya Tuhanlah yang tahu. Maka terkembanglah duniaku sendiri yang tak dapat kau kenal, dunia tanpa bunyi dan suara. Karena aku tuli dan karenanya pula aku bisu.
Kalau aku bisa bercerita padamu sekarang, Saudaraku, adalah suatu keajaiban yang dijalin oleh nasib. Setelah kau selesai membaca kisah ini nanti, kau akan tahu betapa nasib itu telah menjalin semuanya dalam diriku. ‘
Sebuah kisah tentang perempuan..ia bisu juga tuli..Saraswati..awalnya ia hidup bahagia bersama kedua orangtua dan 4 saudara laki-lakinya, hingga sebuah kecelakaan maut yang merenggut mereka semua, Saraswati menjadi sebatang kara..ia kemudian dibawa dari rumahnya di Jakarta untuk di asuh oleh Angahnya di Padang Panjang, disana ia bertemu dengan 2 saudara laki-laki; Busra dan Bisri. Karena keterbatasan ekonomi yang dialami oleh Angahnya membuatnya harus menjadi gadis penggembala kambing, waktu berlalu..Saraswati tumbuh menjadi gadis remaja, dan Bisri melakukan ‘sesuatu’ yang membuat Saraswati menjadi jatuh cinta terhadapnya..sampai Bisri bergabung menjadi pasukan pemberontak.
Kisah perempuan yang dicaci, dihina dan diejek karena keterbatasan fisiknya dan dilecehkan untuk memancing Bisri keluar dari tempat persembunyiannya..pelecehan yang dilakukan oleh tentara pusat..pelariannya yang membuatnya harus hidup dalam penderitaan dan pengkhianatan yang dilakukan oleh Bisri dengan menikahi Tati sahabat Saraswati sendiri.
Akankah Saraswati bertemu dengan kebahagiaannya..?? setelah berbagai masalah dan derita yang mendera hidupnya selama ini.. Akankah Busra bisa menghapus dukanya..??
Salah satu novel karya Haji Ali Akbar Navis, tidak bernafaskan relegi..seperti dalam Robohnya Surau Kami yang secara berani dan gamblang memperlihatkan apa yang terjadi masa itu (pemberontakkan PRRI)...memperlihatkan rakyat sipil dan kaum perempuan lebih khususnya ditengah perang saudara.
Tidak ada stigma negatif yang diberikan pada para pemberontak disini, sebuah novel yang cukup berani..(terbit pertama kali 1970)..bahkan tidak ditemukan ’kata’ pemberontak atas apa yang dilakukan ‘kelompok Bisri’ pada pemerintahan pusat, yang ada adalah sebuah realita yang terjadi akibat sebuah peperangan..dimana penduduk sipil yang terperangkap ditengah-tengah peperangan harus juga menjadi korban atas apa yang sebenarnya tidak mereka lakukan.
Ini adalah salah satu buku favorit saya sejak masa SMP. Kilasan cerita antara Saraswati dengan Bisri dan Busra masih terkenang di memori saya karena kisah mereka yang manis, meski terdapat pengkhianatan. Namun setelah saya membaca ulang kembali, ternyata buku ini mengandung banyak hal yang lebih berarti untuk kehidupan. Bahkan romansa dalam buku ini sudah tak begitu berkesan bagi saya. Mungkin pengaruh usia dan pengalaman. Banyak buku yang lebih romantis dan sedih dari buku ini yang telah saya baca. Jadi kesimpulan saya kini, yakni buku ini tetaplah buku yang bagus. Sangat bagus malah. Meski sedikit frustasi dengan kehidupan yang dialami Saraswati, saya jadi sangat merasa beruntung. Ternyata indra yang lengkap sangat teramat berharga. Dan itu menjadikan saya lebih bersyukur lagi atas apa yang saya miliki. Buku ini sudah langka. Saya pun harus membeli lagi buku preloved karena buku yang saya miliki dulu telah hilang. Semoga saya ada penerbit yang akan menerbitkan ulang buku ini.
Buku ini sangat bagus dan emosional dalam penulisannya maupun proses kreatif yang diolah oleh A.A Navis. Aku sangat suka perjuangan tokoh aku (Saraswati mungkin) karena mencerminkan kepribadian yang berjuang untuk mendapatkan kesempatan kesetaraan dengan orang-orang normal.
Tokoh aku bergulat dengan dunia yang sunyi tapi tak mematahkan semangat untuk hidup dan pengakuan dari orang-orang sekitarnya. Buku ini aku rekomendasikan untuk dibaca karena feminim sekali, memperlihatkan semangat juang dari perempuan. Sedikitnya relate sama kehidupan masa kini bukan hanya untuk perempuan yang cacat tapi untuk perempuan yang normal.
Lahir dengan keadaan tuli dari lahir dan memastikan tidak bisa bicara saat usia remaja bagi semua orang adalah hal yang menakutkan, tetapi dalam buku ini A.A Navis membuktikan bahwa orang tuli dan bisu bisa menjadi orang yang bisa membangkitkan diri dan menjadi orang yang telaten di kehidupannya.
Buku ini wajib baca banget! Bagus sekali! Saya kagum dengan sudut pandangnya yang berbeda. Lalu di sini saya juga melihat akrabnya AA Navis dengan budaya Sumatera Barat, serta keadaan dimana kita pernah juga perang saudara, antar kubu.
Jujur selama ini baru baca karya AA Navis yang Robohnya Surau Kami, seperti umumnya orang-orang yang bersekolah SMP-SMA di Indonesia. Buku ini membukakan saya kepada karyanya yang lain. Saya meminjam buku ini dari perpustakaan tanteku karena kebetulan waktu ke sana tidak bawa buku. Bisa dibaca dalam sekali duduk, beberapa jam saja
Tentang Saraswati yang malang nasibnya. Ia bisu dan tuli, orangtua dan saudaranya meninggal karena kecelakaan lalu harus pindah bersama keluarga Angah, Busra dan Bisri. Tapi ia mampu belajar banyak.
Tidak mudah bagi Saraswati untuk akhinya bisa membaca huruf demi huruf, belajar berbicara huruf tersebut. Busra dan Bisri mengajarinya hingga perang datang membawa kesedihan lagi bagi Saraswati.
A.A Navis selalu punya cara untuk menyampaikan sebuah pelajaran hidup. Dalam novel Saraswati ini beliau juga telah sukses menyampaikan berbagai macam pelajaran hidup, terutama pelajaran hidup tentang harapan untuk hidup yang lebih baik, bahkan untuk orang yang cacat sekalipun.
Novel ini cukup unik karena menggunakan sudut pandang pertama sebagai orang bisu-tuli. Hampir tidak ada dialog sama sekali dalam novel ini. Ini novel sunyi tanpa suara yang hanya mendeskripsikan gerak dan ekspreksi wajah untuk menyampaikan suasana dalam cerita. Meskipun begitu, novel ini tentu tidak membosankan karena setiap paragrafnya pasti ada sesuatu gambaran yang menarik, bahkan disisipkan beberapa nilai-nilai hidup yang memberi kesadaran untuk pembacanya.
Dalam novel ini seperti berkata; "Kalau kamu banyak mengeluh dalam menjalani hidup, maka bersyukurlah. Karena masih ada orang-orang yang tidak mengeluh bukan karena tidak ada keluhan dalam hidup, melainkan tidak tau cara yang tepat untuk mengeluh. Dan akhirnya hanya bisa mengeluh karena dirinya tidak bisa mengeluh tentang hidupnya." Hahaha.
Overall, ini novel yang sangat bagus dan penuh makna. Ini adalah novel wajib bagi orang-orang yang terlalu banyak mengeluh mengenai kehidupannya karena disini dipaparkan sebuah penderitaan yang sangat berat. Namun disitulah suatu yang baik, karena novel ini menyadarkan bahwa selalu ada harapan untuk hidup lebih baik lagi meskipun untuk orang yang cacat sekalipun.
Buku ini seperti menjadi catatan harian atau diary dari seorang gadis tuli dan bisu bernama Saraswati. Kesepian yang dirasakannya karena tuli, sehingga tidak mengerti apa yang terjadi di sekitarnya. Dan kesepian karena bisu, sehingga tidak bisa mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya, apa yang dirasakannya. Buku ini juga menceritakan penderitaan-penderitaan yang dirasakannya. Keluarganya meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil. Lalu, dia harus tinggal di sebuah desa di Padang. Di sana, dia mengalami banyak hal. Mulai dari bekerja mengembala kambing, menjahit, belajar membaca dan menulis, diejek, dan dihina oleh orang lain. Dia juga belajar tentang rasa sayang, cinta, kecewa dan patah hati.
Apa jadinya kalo terlahir sudah tuli bisu pula! Itulah yang dirasakan Saraswati...terlahir tak bisa mendengar dan bicara ia juga buta huruf...tidak punya keahlian makanya selalu dicibir oleh orang-orang. Sedih, namun memotivasi. Meski awalnya rada-rada ilfill sama Saras,tapi lama kelamaan terhanyut juga ke dalam cerita. Apalagi pas patah hati itu... Oooh...aku ikut merasakan kesedihannya Saras. Terjebak cinta segitiga dengan dua orang pemuda kakak beradik. Hingga akhirnya........cinta yang tulus mencintainya adalah seseorang yang tak pernah dibayangkannya. Ceritanya bener-bener keren! Bahkan aku berulang kali membacanya...
Menceritakan perjalanan kehidupan seorang gadis yang sebatang kara karena ditinggal mati oleh kedua orang tua juga saudara-saudaranya. Gadis yang sejak lahir menjadi seorang yang tuli dan bisu. Dalam segala keterbatasannya Saraswati menghadapi setiap cobaan yang datang dengan tegar meski terkadang sempat berputus asa. Ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari kisah ini, diantaranya kesungguhan hati untuk merubah keadaan agar bisa menjadi manusia yang bermanfaat meski secara fisik kurang. Tentu, bagi kita yang sehat secara fisik tentu harus bisa berbuat lebih daripada mereka yang menyancang cacat.
Seakan-akan AA Navis tidak perlu usaha untuk bernarasi dengan insting kemudian memicu perasaan. Sebagaimana fenomena bisa diperoleh melalui indera, akal, dan hati. Menyelesaikan novel ini akan membawa perangkat tersebut pada tingkatan paling sensitif.
bercerita tentang Saraswati - si gadis yang hidup dalam kesunyian - tuna wicara. berawal dari kecelakaan lalu lintas yang menimpa keluarganya sehingga Saraswati harus ikut pamannya kembali ke Padang Panjang. di sana dia harus belajar tentang kesunyian, diejek, rasa benci, rasa sayang, rasa cinta, dan pertanyaan apa orang seperti dia tidak berhak untuk bisa jadi seperti orang lain?
dapat edisi perdana buku karangan A.A. Navis ini terbitan Pradnja Paramita Jakarta. Novel ini selesai ditulis Navis di Bukittinggi 31 Desember 1968, diberi kata pengantar dari penerbitx Desember 1969, diluncurkan ke pasaran awal tahun 1970
kadang saat dibaca ada rasa kurangnya bersyukur pada diri saras. tapi penuh perjuangan atas apa yang jadi kekurangan menjadi sebuah kelebihan tersendiri. setelah membacanya bisa lebih memahami orang yang mengalami kekurangan fisik
Dibalik kisahnya yg mengalir dengan sederhana tentang kegembiraan dan kemasygulan, berpengharapan dan kegamangan, serta berbagai kegetiran pengalaman demi pengalaman hidup yg terkembang dalam dunia sunyi si gadis bisu dan tuli, membuat saya merasa amat berdosa tak mensyukuri nikmat-Nya.
Kebayang gak seeh udah bisu tuli, dikhianati, harus berjuang untuk tetap hidup lantaran perang sodara sebangsa pula. Untunglah dari pahitnya perjalan hidupnya Saraswati akhirnya benar2 tau siapa yang sebenarnya mencintainya...Busra! Bisri mah iisshh brengsek
perasaan saraswati mewakili perasaan pembaca. campur aduk saya baca cerita sastra ini. posisi sudut pandang yang sebetulnya sulit dijabarkan, tapi Beliau mampu menyampaikannya dengan baik, sampai airmata saya meleleh. Bagi saya, karya sastra ini sangat tidak menjemukan. Cerita yan. luar biasa. :)
simple, konsepnya bagus, tapi sangat mendalam. sekaligus misterius dan susah ditebak sih, terutama kisah percintaannya. ceritanya mengalir banget, novel ni top deh
Bersyukur dan beruntung telah menyelesaikan novel klasik ini. Saraswati adalah gadis terkuat yang pernah kubaca dalam novel. Melalui karakter Saraswati, penulis banyak mengkritisi tingkah laku orang-orang normal, dalam memperlakukan orang-orang cacat secara kasar dan tidak manusiawi. Membaca novel ini juga benar-benar menelanjangi, mempertanyakan dan menantang manusia untuk tidak berkeluh kesah saja, namun agar tetap berdiri,bangkit dan berusaha terus untuk hidup. iya hidup.