Bagaimana jika kebahagiaan ternyata tidak ada hubungannya dengan ‘merasa bahagia’? Bagaimana kita bisa menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri? Apa hubungan antara keputusan, karakter, dan bahagia sejati?
Memperkenalkan Arete, filosofi Yunani kuno yang berusia lebih dari 2.000 tahun tetapi relevan sepanjang waktu. Kebijaksanaan, keberanian, keugaharian, dan keadilan–ini semua adalah Arete atau Keutamaan yang bisa memandu kehidupan kita sehari-hari, layaknya sebuah kompas kehidupan. Henry Manampiring (penulis mega bestseller buku The Alpha Girl’s Guide dan Filosofi Teras) menjelaskannya dengan gayanya yang khas: mudah dicerna, penuh contoh praktis, dan dibumbui humor.
The Compass dilengkapi ilustrasi bergaya retro karya seniman Ajon dari Bantul, Jawa Tengah, memberikan sentuhan visual yang segar. Disertai juga dengan wawancara inspiratif dengan Sabda PS (CEO dan co-founder Zenius), Vikra Ijas (co-founder Kitabisa), Saykoji (rapper), Mang Adi (aktivis literasi), dan lain-lain.
Temukan arah dan pilihan hidup yang lebih baik dengan The Compass.
Mari kita berikan tepuk tangan yang meriah untuk Om Henry Manampiring, karena mampu memberikan perspektif baru bagi saya dengan filsafatnya. Oh.. yang tentu saja bahasa filsafat yang dibawakan oleh buku ini dapat dipahami oleh anak sekolah menengah pertama.
Bagaimana isinya?
Dengan keterbatasan ilmu saya saat ini, buku ini memberikan perspektif baru tentang kebahagiaan yang selama ini saya yakini. Kebahagiaan adalah sebuah perasaan menyenangkan, euforia diri dan kegembiraan ketika mendapatkan sesuatu ataupun mengalami sesuatu. Ternyata bukan itu. Kalaulah sebuah kebahagiaan digambarkan sebagai perasaan maka hal itu tidak selamanya, karena di kehidupan ini tidak ada kegembiraan yang terus menerus dan perasaan ini mudah sekali dipermainkan oleh keadaan.
Lalu sebenarnya-benarnya bahagia itu seperti apa?
Dalam buku ini dijelaskan bahwa bahagia itu ialah menjadi manusia "terbaik" (excellent)——Walaupun dalam buku disebut "bagus" yang kalau saya jelaskan di sini akan panjang, saya sebut saja terbaik untuk gambaran. Menjadi manusia terbaik di sini dianalogikan seperti berikut;
Untuk menggambarkan pisau terbaik, maka apa yang ada di benak kita? Tentu pisau yang tajam, pisau yang mempunyai daya potong terbaik. Bukan pisau yang memiliki banyak ornamen atau hiasan. Kalaupun ada pisau berlapis emas dengan gagang bertabur berlian tapi tumpul, maka ia tidak bisa dikategorikan sebagai pisau terbaik, karena ia tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai pisau. Nah begitu pula dengan manusia, bagaimana manusia yang terbaik, manusia yang unggul, yaitu manusia yang mampu hidup secara rasional, selaras dengan alam.
Bagaimana menjadi manusia yang terbaik atau unggul?
Di buku ini dijelaskan ada empat pilar utama untuk mencapainya, yaitu;
Hidup yang bijak (kebijaksanaan praktis)
Keberanian
Keugaharian (Sederhana, tepat takaran tidak berlebihan dan tidak kekurangan)
Keadilan
Empat pilar utama ini kalau kita perhatikan seperti sesuatu yang biasa saja, sesuatu yang "aah kalau itu doang, saya mah juga tau". Tapi di buku ini dijelaskan lagi secara mendalam bagaimana para filsuf memandang empat keutamaan ini bisa menjadikan seorang manusia, berkualitas. (Nah loh!)
Jadikan empat keutamaan itu karakter seorang manusia, karena karakter itu adalah takdir. Untuk membaca takdir seseorang lihatlah bagaimana karakternya. (Hal 15)
Dengan karakter, seseorang memiliki pendirian yang kokoh, karakter sesorang itu bisa dikatakan dermawan jika ia mampu menjadi dermawan baik di hadapan orang banyak, maupun tidak ada satu pasang matapun melihatnya, bahkan jika tidak ada seorang pun memuji kedermawanannya, ia akan tetap dermawan. Itulah karakter. (Contoh)
Jadi bahagia yang sebenarnya, ialah menjadi diri dengan versi terbaik diri kita. Dengan panduan kompas, empat mata angin, Kebijaksanaan, Keberanian, keugaharian, dan keadilan. Keempat hal ini tidak bisa berdiri sendiri, seperti halnya kompas jika kita hanya memahami satu mata angin saja tentu susah sekali memutuskan jalan yang kita tuju.
Buku ini saya rekomendasikan untuk kalian yang mungkin mudah bingung memutuskan sesuatu, mengambil kebijakan, bagaimana bersikap terhadap sesuatu yang menimbulkan kebingungan dan pertanyaan dalam hati, dan tentu saja saya rekomendasikan untuk kalian yang ingin menjadi versi terbaik dari diri kalian.
Dalam hidup ini, setiap orang memiliki hutan belantaranya sendiri oleh karena itu mereka memerlukan kompas untuk mencapai tujuannya masing-masing.
Seperti pada hal nya di buku ini, penekanan pada pengertian ‘karakter’ cukup kuat dan juga penjabaran di keutamaan arete sangat mudah dipahami karna menggunakan contoh ringan yg bisa ditemukan di keseharian para pembaca.
Buku ini cukup menjawab pertanyaanku (yg mana sudah bertahun2 lalu mencari referensi apa itu ‘karakter’ dan bagaimana melakukan self improvement dari hal kecil) dan ringan untuk dibaca oleh pemula yang mau memasuki genre filsafat.
Alasanku baca The Compass bermula karena dengerin podcast-nya Om Henry Manampiring dan Mbak Patty di Podluck Podcast. Topiknya lumayan menarik: “Sebenarnya hidup bahagia itu gimana sih?”
Sebagai orang yang kerap merasa ‘kurang bahagia’ aku jadi kena trigger, dan akhirnya merasa penasaran gimana topik yang abstrak itu dijabarkan melalui Filosofi Arete yang dibahas buku The Compass.
Selama ini, kebahagiaan selalu dikaitkan dengan ‘perasaan’ dan aspek eksternal semacam duit, karir, pacar, prestasi, dan … (lanjutin sendiri list-nya, wahai manusia yang tidak pernah puas). Intinya, hal ini membuat kebahagiaan sifatnya cenderung fluktuatif, dan bahkan sering kali membuat kita bingung menjawab pertanyaan: “Apakah kamu bahagia?” sebab kita cenderung hanya fokus pada aspek materiil yang sifatnya di luar kontrol.
Sering kan kita denger orang ngomong, “Belum bahagia. Soalnya belum kaya.” Sounds like jokes, tapi kadang itulah yang ada di pikiran kita. Bahagia = hidup dengan mencapai seluruh aspek materiil.
Nah, Filosofi Arete jutstru memberikan sudut pandang baru tentang kebahagiaan yang disebut Eudaimonia. Artinya “kehidupan yang bagus/subur/berkembang”. Inti utama dari kebahagiaan adalah kualitas hidup yang berkaitan dengan bagaimana kita membentuk karakter melalui 4 sikap yakni, kebijaksanaan praktis, keberanian, keugaharian, dan keadilan (yang seterusnya bakal dibahas secara rinci satu persatu di buku ini) .
Karakter baik akan menghasilkan pilihan dan cara membuat keputusan yang baik, begitulah prinsip Filosofi Arete. Hasilnya? Hidup layak yang bisa kita sebut sebagai ‘bahagia’ versi Eudaimonia.
Mirip dengan Filosofi Teras, yang menjadi fokus pada Filosofi Arete adalah bagaimana kita mengontrol aspek internal. Rasionalitas menjadi kunci untuk mengatur persepsi kita, yang kemudian akan berpengaruh pada perasaan dan bagaimana kita bereaksi.
Overall, The Compass memang tidak revolusioner kayak Filosofi Teras yang acap kali dinobatkan jadi “life-changing book”. Aku malah merasa bahwa buku ini hanya berusaha mempertegas aspek-aspek yang sebenarnya sudah kita ketahui, tapi sering kali kita ‘lupakan’ karena cepatnya arus kehidupan berputar.
Ini bukan buku tutor kebahagiaan. Filosofi Arete gak akan secara gamblag dan instan ngasih tips supaya kamu “lebih bahagia”. Tapi kalau kamu memang berniat “mengurangi kesengsaraan” yang sering kali terjadi karena kekalutan pola pikir sendiri, bolehlah dicoba (oke canda. BOLEH BANGET MALAH)
Habis baca ini, sekarang aku jadi punya jawaban bagus kalau ditanyain, “Apakah kamu bahagia?”
Nanti aku bakal jawab begini, “Hmm, belum sih. Tapi setidaknya aku sedang berusaha menjalani hidupku sebaik-baiknya sebagai manusia. Hidupku gak ‘bahagia’, tapi aku merasa hidupku ‘layak’ buat dijalani.”
Habis tuh biar keren, bakal aku sambung pakai perkataannya filsuf Seneca, “Terkadang hidup saja sudah merupakan bentuk keberaniaan.”
Seperti buku filsafat om piring yang pertama (filosofi teras) buku ini juga berisi teori tentang bagaimana menjalani kehidupan yang bahagia menurut filosofi arete. Menurutku isi buku ini lebih berat dibandingkan buku filosofi teras, meskipun disetiap teori udah dikasih contoh mempraktekkannya di dunia nyata.
Seperti Filosofi Teras, Henry Manampiring menuliskan buku ini dengan sangat jelas dengan disertai contoh yang banyak, jenaka dan menarik. Satu yg saya "terganggu", Henry Manampiring menggunakan kata "keugaharian" seolah ini adalah kata yg sangat umum dimengerti semua orang.l!
Buku ini memberikan aku insight baru tentang Kebahagiaan, namun dalam pengertian yang lebih baik dari sekedar "bahagia"
Dalam filososfi Arete (Keutamaan), tujuan akhir dari segala hal yang kita lakukan adalah Eudaimonia (diterjemahkan sebagai hidup yang bagus/bermutu.) Sederhananya, Eudaimonia adalah kualitas keseluruhan hidup dan bukan perasaan di momen tertentu saja.
Garis besar buku ini membahas tentang Empat Keutamaan Pokok: 1. Kebijaksanaan Praktis 2. Keberanian 3. Keugaharian 4. Keadilan
Banyak poin-poin bagus dalam buku ini (yang menurutku cenderung terlalu banyak untuk dibahas dalam satu buku) yang bisa kita terapkan di kehidupan sehari-hari.
Buku yang cocok dibaca untuk menemani perjalanan kita mencari versi terbaik diri.
Buku yang bagus banget untuk membantu kita merenungkan 'how to live a good life' dengan konsep filosofi yunani yang dikenal dengan filosofi arete. Pembahasannya dekat dengan kehidupan praktis sehari-hari, jadi masih enak dinikmati. Sayangnya di beberapa bagian ada yang terasa repetitif atau berulang. Tapi secara keseluruhan, buku ini baguss.
memperkenalkan tentang konsep filosofi Arete dengan pembahasan yang mudah dipahami dan diberikan beberapa contoh best practice untuk kehidupan sehari-hari.
ada 4 pokok keutamaan dalam Arete: - kebijaksanaan praktis - keberanian - keugaharian - keadilan
mungkin tidak se-powerfull filosofi Teras, tapi keduanya bisa memiliki keterkaitan dalam membentuk dan mengembangkan karakter yang lebih baik, jika diterapkan dengan benar.
Buku ini tidak semenarik buku filosofi teras yang saya baca. Banyak contoh cerita yang terkesan diulang-ulang sehingga membosankan untuk dibaca. Walaupun itu adalah contoh sehari-hari yang kita hadapi. Tapi bagi saya yang banyak belajar akan stoikisme dan spiritual, prinsip hidup yang disebut di buku ini bukanlah hal yang baru. Jadi, bagi saya, buku ini tidak banyak menghadirkan hal baru bagi saya. Meskipun demikian, bagi pemula, buku ini layak untuk dibaca.
Banyak poin-poin bagus di buku ini. Tapi karena kebanyakan, intisarinya jadi agak susah saya tangkap. Secara keseluruhan, The Compass adalah sebagai penunjuk jalan hidup. Penunjuk ini lebih ke behaviour kita sebagai manusia. 2 kata kunci yang sering disebut-sebut di sini: arete dan eudaimonia.
Intinya, sebagai manusia kita harus bisa menjadi versi terbaik diri sendiri untuk mendapatkan rasa bahagia sejati. Di awal, Om Piring kasih disclaimer kalau dia nggak akan kasih kiat-kiat khusus untuk pembaca bisa jadi manusia arete yang eudaimonia karena semua tergantung pribadi masing-masing. Tapi yang saya rasakan justru apa yang dijabarkan di buku ini agak nggak relevan dengan judulnya.
The Compass ini juga related dengan ilmu stoikisme yang Om Piring jabarkan di bukunya Filosofi Teras. Agar kita bahagia, jangan dengarkan apa kata orang gitu deh.
Anyway, walaupun agak bosan pas baca, bukunya bagus dan menginspirasi. Part yang paling saya suka adalah sesi sharingnya. Ada beberapa cerita yang dituangkan oleh beberapa narasumber yang diwawancara Om Piring di dalam buku The Compass ini. Semua ceritanya 'ngena' banget. Terutama yang part mahasiswa kedokteran yang menang melawan bullying yang merajalela di kampusnya. Bikin saya berpikir, kalau memang merasa ketidakadilan di suatu lingkungan, ya memang seharusnya dilawan. Kalau nggak gitu, rantainya nggak akan putus.
Selain itu ada juga cerita dari Founder Busa Pustaka, Mang Adi. Beliau berkomitmen untuk meningkatkan literasi anak-anak Indonesia, terutama di Lampung, yang nggak dapat akses buku dan pendidikan yang layak. Hebat banget! Beliau bisa jadi relawan seperti itu dari nol. Nggak kebayang perjuangannya terutama dalam bidang perekonomian.
I recommend this book untuk orang-orang yang lagi 'agak' kehilangan arah hidup. Lumayan buat jadi tuntunan.
Hanya ingin berterima kasih sama penulisnya karena dengan adanya buku ini saya jadi berkeinginan untuk menjadi manusia yang lebih bagus (tentunya butuh latihan setiap hari ya, bukan modal omong doang). Bagus dan bermutu seperti yang menjadi fokus utama dalam buku ini: ke(bijaksana)an, ke(berani)an, ke(ugahari)an, dan ke(adil)an, yang mana keempatnya saling terkait dan melengkapi satu sama lain untuk menjadi penunjuk (The Compass) demi mencapai eudaimonia atau ke(bahagia)an sejati, yang bukan sekadar haha hihi lalu hilang lagi. Namun bukan berarti kalau sedang sedih itu tidak bahagia (he gimana, gimana?) karena ya bahagia itu meliputi seluruh aspek dalam diri, kehidupan, dan penghidupan kita sebagai manusia, yang juga memiliki berbagai macam emosi yang perlu disalurkan atau diekspresikan dengan baik dan seimbang. Agar jangan sampai kita dikuasai oleh nafsu emosi tersebut.
Berterima kasih juga dengan penulisnya karena setelah baca buku ini saya jadi tertarik baca tulisan introspektif Marcus Aurelius--seorang kaisar hebat pada jamannya yang juga filsuf sejati--yang Meditasi. Seorang manusia mawas diri yang tidak hanya ahli dalam berkata-kata namun juga dalam perbuatannya, yang diarahkan oleh hati dan pikirannya yang (selalu berpesan pada dirinya sendiri untuk) selaras dengan alam. Jadi ingat satu istilah yang belakangan ini setia mengisi kepala saya: synchronicity.
Tentunya, Pak Henry Manampiring dan Pak Marcus Aurelius ini bakal saya jadikan panutan ke depannya. Bukan berarti saya menjadi fangirl ya. Karena seperti juga yang hendak disampaikan isi buku ini, yang perlu dikagumi dan patut ditiru adalah kualitas diri seseorang, bukan orangnya.
The Compass karya @hmanampiring adalah buku yang pertama saya tamatkan di tahun ini. Diselesaikan selama 20 hari dan diikutsertakan dalam gerakan #22haribacabuku.
Rasanya effort sekali untuk menyelesaikan buku bermuatan filsafat yang satu ini. Bukan karena bahasanya yang sukar dimengerti. Sama sekali bukan. Penulisnya justru bercerita begitu mengalir, kaya humor dan kuasa menjelaskan istilah-istilah asing dengan analogi sehari-hari yang sederhana.
Buku ini saya tamatkan dengan susah payah sebab dibaca di sela rutinitas kerja disertai perenungan mendalam di setiap babnya. Pada prolog atau bab awal saja saya sudah diajak kontemplasi ihwal tujuan hidup. Apa yang dicari? Apa sih akhir dari kehidupan setiap manusia di dunia ini? Mau ke mana, dsb.
Ternyata, tujuan akhir manusia versi The Compass adalah mencapai kebahagiaan atau dalam istilah Yunani disebut Eudaimonia. Bagaimana cara manusia mendapatkan kebahagiaannya? Ialah menjadi versi terbaik dirinya, punya karakter Keutamaan atau menjadi manusia unggul (Arete).
Meskipun khatam membaca bukunya, bukan berarti saya lepas begitu saja mempelajari maupun memahami nilai The Compass. Tugas saya selanjutnya -sebagai pembaca- adalah menerapkan nilai-nilai baik dari buku ini dalam keseharian. Sebab praktik dari The Compass adalah seumur hidup.
Untukmu yang sedang dalam masa pencarian.. Untukmu yang sedang berjuang menjadi versi terbaik.. Untukmu yang sedang mencari makna kebahagiaan..
The Compass menjelaskan jika tujuan utama manusia hidup adalah bahagia. Tapi bahagia yang bagaimana? Tentunya definisi bahagia menurut masing-masing orang akan berbeda.
Benarkah kekayaan, kekuasaan, kecerdasan, dan kesuksesan menjamin kebahagian seseorang? Bukankah kebahagiaan yang semacam itu biasanya berada di masa depan? Realistisnya kita harus berusaha dulu kan, untuk mencapai hal-hal besar itu? Lantas, bagaimana cara kita bahagia dan menikmati kebahagiaan di masa sekarang?
Dengan bahasa yang lugas, menghibur, dan dilengkapi dengan wawancara bersama beberapa tokoh inspiratif Indonesia, penulis menghadirkan bacaan yang cocok untuk saya bermeditasi mengawali tahun.
The Compass tidak hanya memberikan jawaban atas pertanyaan, "bagaimana sih nencapai eudaimonia (kebahagiaan) dengan mengamalkan 4 keutamaan Arete yang disajikan dalam buku ini?" namun juga memberikan banyak pertanyaan mendalam untuk refleksi diri, salah satunya, "sudahkah kamu menemukan sumber kebahagiaanmu selama ini?"
Setelah aku rampungkan, buku ini sukses menampar dan membuatku mendefinisikan konsep baru atas kebahagiaan melalui 4 poin keutamaan dalam Arete. Ternyata kebahagian lebih dari kekayaan, kekuasaan, kecerdasan, dan kesuksesan Kebahagiaan yang dimaksud adalah kualitas hidup. "Bagaimana kualitas hidupmu?". Jreng.
Bagaimana jika kebahagiaan ternyata tidak ada hubungannya dengan ‘merasa bahagia’? Bagaimana kita bisa menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri? Apa hubungan antara keputusan, karakter, dan bahagia sejati?
Lewat buku ini kita akan belajar tentang Arete atau Keutamaan, yaitu Kebijaksanaan, Keberanian, Keugaharian, dan Keadilan. Bagaimana keempatnya sangat diperlukan dalam menjalani kehidupan bahkan sangat mempengaruhi kehidupan kita saat ini dan kemudian hari.
Disuguhkan dengan bahasa-bahasa sederhana dan santai, juga kisah-kisah dari beberapa narasumber yang inspiratif di setiap bab, tentunya akan membuat pembaca lebih mudah memahami bagaimana pengaplikasian Arete layaknya sebuah kompas yang bisa memandu kita dalam kehidupan sehari-hari.
“Setiap pilihan dalam hidup adalah kesempatan membuat karakter kita lebih baik lagi. Dan kita memerlukan bantuan dalam pertimbangan. kita memerlukan orientasi dan arah yang benar. Kita memerlukan “kompas” dalam hidup ini.” -hal.16
Ada 4 pilar keutamaan dalam The Compass, yaitu kebijaksanaan praktis, keberanian, keugaharian (kesederhanaan) dan keadilan yang dibahas lebih mendalam agar bisa mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan disini berbeda dengan yang biasa kita pahami. Bahagia (eudaimonia) yang dimaksud adalah kualitas hidup, dan bukan perasaan di saat-saat tertentu.
Dengan bahasa yang mengalir, Om Piring menyajikan filsafat menjadi lebih mudah dipahami. Ditambah dengan kisah-kisah dari beberapa tokoh inspiratif.
Sebuah buku self-improvement yang memiliki daya tarik tersendiri kepada pembaca setelah membacanya sampai tuntas. Beberapa poin yang dibahas mengenai kebahagiaan sejati dan bagaimana memperolehnya? Semua dijelaskan dengan sangat baik dan disampaikan dengan cara gaya kepenulisan yang serius tapi seru. Semua penjelasan disampaikan tidak berada seperti mendikte atau menggurui para pembacanya. Penulis menyampaikan semuanya itu dengan tulus, serta dilengkapi dengan berbagai contoh yang pernah terjadi dan dekat dengan kondisi saat sekarang Semua yang di jelaskan dalam buku ini juga relevan dan bagus utk jadi bacaan favorit untuk mengisi waktu luang tanpa harus bingung mencari alternatif lain. Recommended!!! Well done
The four main ideas of this book truly speaks volumes to, in my opinion, everyone. Not only will you learn about virtues, you will also learn about vices and how people are capable of applying these ideas (however small or big the scale may be). This book will advise you on what many philosophers of the past thought to be the main qualities of a human being, tell you why these qualities are crucial, and how people used these qualities to face challenges in their lives (including, but not limited to: Saykoji, the CEO of Zenius, and a person's journey in cofounding a startup).
buku The Compass mengajarkan tentang hidup yang ugahari/ hidup yang menjadi diri terbaik. The Compass sesuai judulnya mengajarkan tanpa menggurui kepada pembaca agar kita harus punya "kompas" dalam menjalani hidup agar masa depan punya arah dan tujuan yang dimanifestasikan dalam resolusi yang tersusun dan tertata serta hidup dengan prinsip sesuai filosofi arete yaitu prinsip keugaharian, prinsip keadilan
In The Compass, Henry explores the philosophy of arete, focusing on practical wisdom, bravery, awareness, and fairness. The concepts are solid and inspiring, but the storytelling feels overly drawn out, making the delivery less impactful. Still, it's worth a read for those who appreciate deep introspection.
Buku ini mengajarkan aku banyak hal untuk menjalani hidup yang lebih bijaksana. Ketika kita berhadapan pada situasi yang sulit kadang kita perlu "kompas" agar bisa mengambil keputusan yang tepat menunjang kehidupan lebih bahagia (keutamaan).
Gaya bahasanya mudah dipahami, dan memberi contoh-contoh sederhana yang terjadi disekitar kita. jadi gak bakalan bosen bacanya ✨️✨️.
Kelanjutan hidup stoik melalui filosofi arate. Pembahasannya masih menarik seperti buku Filosfi Teras. Teori-teori diikuti dengan contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari. Pencarian makna hidup agar bahagia sejati melalui empat pilar.
Buku ini cocok banget buat dibaca setelah "Filosofi Teras". Walaupun Arete adalah jenis filosofi yang berbeda dari Stoisisme, tapi banyak overlapping points. Om Piring berhasil banget buat mengemas kajian filosofi sehingga gampang diserap, pun banyak mengilustrasikan kejadian-kejadian sehari-hari sebagai contoh-contohnya.
Dari buku ini, bahkan aku belajar kata baru, yaitu "ugahari," kata yang hampir gak pernah aku dengar dan kalaupun pernah sangat jarang dipakai di keseharian kita.
Baca buku ini rasanya menyadarkan aku akan banyak hal. Tentang kebahagiaan semu yang selama ini ternyata memenuhi pandangan idealku tentang apa itu kebahagiaan. Buku ini bisa menjadi panduan perjalanan panjang kita menuju kehidupan sempurna versi kita sendiri.
Sesuai dengan judulnya, buku ini berikan 'sangu' kepada pembacanya untuk bertahan dan menentukan tujuan hidup yang selaras dengan nilai- nilai kebenaran. Buku kedua yang saya bawa ketika berpindah kota.
Buku yg cukup bagus utk dibaca youngsters umur 20-30an utk self improvement namun pemberian contohnya banyak yang terlalu maksa dan humornya terkesan agak berlebihan.