Dengan gaya dan preferensi yang berbeda dua penulis dalam kumpulan cerita pendek ini memakai setting Jepang sebagai bangun cerita mereka. Cerita-cerita dengan keterasingan dan individualitas khas fiksi Jepang. Buku yang Anda pegang ini memuat 10 cerita pendek hasil pergulatan dua penulisnya menggeluti khazanah Jepang, baik dalam sastra maupun budaya popnya, ataupun karakteristik masyarakatnya.
awal baca buku ini, lancar banget. karena narasi dan pemilihan kata serta tema yang diangkat sama penulisnya masih masuk kesukaanku. jadi aku suka banget sama cerpen-cerpen yang ditulis sama penulis pertama. tapi, waktu sampai di bagian kedua, aku agak hilang arah. narasi dan pemilihan katanya terlalu berat buatku. ngambang. atau mungkin aku aja yang belum bisa adaptasi dari bagian 1 ke bagian 2 yang bedanya jauh banget.
Kalau aku tidak membaca nama penulis buku ini, tentulah aku akan berpikir bahwa ini buku terjemahan Jepang. Tidak hanya setting tempatnya yang membuatku berpikir seperti itu, tetapi juga gaya bercerita dan tema yang diangkat buku ini mengingatkanku akan buku-buku terjemahan Jepang (dan Korea) yang sudah kubaca.
Ada beberapa hal yang membuat buku ini menarik. Buku ini berisi sepuluh cerpen yang masing-masing penulisnya menyumbang lima judul. Meskipun tulisan keduanya sama-sama sangat kental nuansa Jepang-nya, cerita keduanya bisa dibedakan lewat gaya bercerita. Penulis pertama gemar menyelipkan diksi unik. Sementara itu, beberapa judul penulis kedua mengajak pembaca untuk terlibat dalam wawancara di dalam cerita. Ya, ada cerita di dalam cerita.
Judul buku ini sendiri adalah salah satu daya pikat yang menarik. Kukira judul ini adalah satu kesatuan yang diambil Dari salah satu cerpen. Frasa "Bunuh Diri Para Robot" ini berhasil menimbulkan tanda tanya. Kok bisa? Ah, penulis berhasil membuat judul buku yang menarik.
Laiknya karya Jepang yang baru-baru ini kunikmati, buku ini mengangkat soal feminisme, humanisme, dan hal lain dengan ganjil. Beberapa cerpen membuatku berpikir lebih keras untuk menemukan makna yang tersembunyi. Beberapa cerpennya malah meninggalkan rasa tidak nyaman. Sayangnya, ketidaknyamanan ini muncul lantaran penulis menceritakan realita kehidupan saat ini. Miris, ngeri. Namun, kurasa di sinilah sisi menariknya buku ini. Bagaimana, penasaran?
Peringatan: kekerasan pada hewan, pembunuhan, prostitusi.
Tagami Mariko & Bunuh Diri Para Robot • Bagus Dwi Hananto & Ardy Kresna Crenata • Rua Aksara • 2020 • 134 hlm. • iPusnas
--
rembang petang: menjelang sore
ditabiri tabir (n.): tirai penyekat (pendinding) atau penutup dinding
berselapik laksa selapik (num.): satu lapik
lapik (n.): alas (seperti tikar atau kain); ganjal (pada bagian bawah)
parafernalia:
udar (adj.): Terurai (lepas) dari ikatannya, simpulnya, dan sebagainya
--
Zaman sekarang ini semua serba tak bisa dipercaya; bahkan cinta sekalipun. Hlm. 40
Terkadang beberapa hal saling bersangkut-paut dengan hal lain, meski sangkutan itu sangat ganjil. Beberapa hal mengingatkan kita pada hal lain yang jauh dan hal itu tidak bisa digusah begitu saja. Hlm. 46
Hadiah jari kelingking itu adalah pesan untukmu: jangan terlalu percaya pada seseorang. Mereka selalu punya rahasia. Hlm. 61
Kita bertahan hidup bukan untuk siapa-siapa melainkan diri kita sendiri. Hlm. 84
... kami mencoba membuat orang-orang mau menerima penderitaan-penderitaannya; mereka tidak lagi menolaknya atau mengingkarinya, melainkan menerima bahwa penderitaan itu ada, nyata, dan mereka bagaimanapun akan menjalani sisa hidup bersamanya–penderitaan bersemayam di dalam diri mereka atau memproyeksikan diri di dekat mereka. Setiap orang menderita atau setiap orang akan menderita. Hlm. 94
Judul yang sangat unik membuat saya tertarik untuk membacanya dalam satu klik. Sepuluh cerita pendek didalamnya seakan membawa pembaca pada suasana khas fiksi Jepang modern yang sunyi, misterius, namun sarat sindiran sosial dalam nuansa yang futuristik.
Semua latar yang ditampilkan amat sangat kental dengan budaya Jepang, baik klasik maupun pop-culture, sehingga banyak pembaca merasa seolah membaca karya terjemahan dari Jepang atau Korea.
Bagi saya salah satu daya tarik utama buku ini terletak pada judul yang provokatif. Frasa “Bunuh Diri Para Robot” dimana ini memancing rasa penasaran, seakan memberi isyarat bahwa cerita-cerita di dalamnya tidak sekadar hiburan, melainkan undangan untuk merenung.
Secara keseluruhan tema yang diusung buku ini memang cukup berat: feminisme, humanisme, hingga kritik terhadap realitas urban. Beberapa kisah bahkan memunculkan ketidaknyamanan melalui penggambaran kekerasan, prostitusi, hingga kematian.
Perbedaan gaya kepenulisan antara Mas Bagus dan Mas Ardy juga cukup terasa signifikan dimana narasi yang ditulis oleh Mas Bagus Dwi Hananto relatif ringan dan lancar, sementara Mas Ardy Kresna Crenata cenderung menghadirkan gaya yang lebih mentah, eksperimental, bahkan ada yang dalam bentuk wawancara.
Namun pada intinya, perbedaan gaya kepenulisan ini tetap pada benang merah yang sama yaitu membahas beberapa unsur akan keterasingan, eksistensialisme, dan kegelisahan manusia modern.
Di buku ini ada 2 bagian dari penulis yang berbeda. Untuk tulisan dari penulis pertama bacanya enjoy, kata-katanya gampang di mengerti (narasinya dan pemilihan katanya). Suka cerpen dari penulis pertama, walaupun agak ke trigger dikit, tapi it's oke. Untuk baca di bagian kedua, dari penulis yang berbeda nggak tau kenapa agak susah di pahami karena kata-katanya susah di mengerti. Tapi gapapa disitu letak kita mikir "oh ternyata gini yaa kalau kita baca 1 buku dengan 2 penulis yang berbeda." Kita jadi tau isi pikiran dari 2 penulis itu wkwkwk Penulisnya juga memberikan open ending untuk cerpen-cerpennya, jadi kita bakal disuruh mikir keras. yang masih kepikiran sampai sekarang adalah cerpen dengan judul "Mayat Tanpa Bola Mata" itu bener-bener sampai di ending nggak ketebak "kok bisa kayak gitu??? Jadi siapa pelakunya??""🙂🙂🙂
3,5 ⭐️⭐️⭐️ Menemukan kumcer ini di aplikasi Ipusnas dan menjadi salah satu kumcer paling unik yang pernah aku baca. Mengambil latar tempat di Jepang, terdiri dari 11 cerpen yang ditulis oleh 2 penulis yang berbeda. Bagian pertama terdiri dari cerpen dengan nuansa yang sendu, misterius dan mencekam. Kemudian bagian kedua cerpen terasa sangat kental dengan tema science fiction yang futuristik dan sarat akan sindiran sosial. Doppelgänger dan Mayat Tanpa Bola Mata adalah cerpen yang paling aku suka.
Ada 2 bagian karena ditulis oleh 2 orang berbeda. Enjoy membaca di bagian pertama, tapi kesulitan di bagian 2. Selain PoV-nya yg unik dan tdk biasa (sbg narator), penulis juga memberikan open ending pada cerpen2nya, juga ada makna filosofis yg tdk bisa saya tangkap maksudnya. Nuansa Jepang dan gaya berceritanya benar-benar berhasil dihadirkan, sy seolah sedang membaca buku terjemahan Jepang. Khususnya di gaya berceritanya, khas J-lit sekali klo buat saya.
Sebenarnya mau ngasih 2 bintang, tapi karena nuansa Jepangnya sangat terasa, jadi sy kasih 3 bintang.
antithesis dari apa yang disebut orang-orang sebagai novel inspiratif. Bukan untuk menginspirasi orang-orang namun justru untuk menyadarkan mereka bahwa realitas ini sejatinya memang tak pernah berpihak kepada mereka.
Menawarkan cerpen baru dengan gaya bahasa yang indah. Bagian pertama plotnya sangat gelap, bagian kedua sedikit hangat tapi banyak juga yang bikin mengernyitkan dahi.
Waktu aku baca judul cover bukunya, aku pikir buku ini pasti buku terjemahan. Tapi ternyata buku ini ditulis oleh penulis Indonesia, yang paling gongnya, Bagus Dwi Hananto dan Ardy Kresna Crenata jago banget bikin cerita ini seolah-olah kita membaca buku karya penulis asli Jepang.
Bagus Dwi Hananto membawakan kumpulan cerpen dengan tema keterasingan, kesepian, dan pengkhianatan. Sementara, Ardy Kresna Crenata membawakan cerpen ini seperti kita membaca sebuah koran maupun majalah, bahkan Ardy Kresna Crenata di awal mula cerpennya (mungkin) mencurahkan kekhawatirannya dengan keberadaan robot yang lambat laun menggantikan posisi manusia. Dan menjelaskan lelah dan penatnya menjadi masyarakat urban yang diharuskan bergerak cepat.