Setiap kota punya sisi gelap dan di sana mereka—mafia—berpesta.
Bram, polisi muda yang cerdas, anak seorang pecandu yang mati dibunuh pengedar. Miaa, perempuan misterius yang tidak pernah memiliki ayah. Johan, laki-laki yang lahir di kalangan mafia dan punya banyak piutang nyawa. Indira, perempuan berhati bersih, orang yang salah di tempat yang salah.
Keempatnya tenggelam dalam kegelapan metropolis, di tengah-tengah konflik antargeng pengedar narkotika Jakarta. Tapi, mereka tidak hitam, bukan pula putih sepenuhnya. Mereka manusia biasa yang punya ambisi, memendam niat buruk, melakukan kesalahan, serta merasakan benci dan cinta.
young woman with lots of interests, ambitions and dreams, which shattered into pieces, each surfaced as different face and waiting for itself to become whole once more time. her world came to architecture, illustration, photography, literature, business, and japan. used to known as miss worm in cyber world. shattering her pieces at kemudian.com and deviantart.com
Di awal buku ini, dibilang kalau penulis sudah melakukan riset yang saya pikir cukup mendalam sehingga berani menulis buku bertema seperti ini. Namun setelah membacanya.. saya kecewa. Sepertinya penulis hanya melakukan riset mendalam terhadap bisnis narkotikanya saja, sedangkan untuk pihak kepolisian yang juga menjadi sentral dalam cerita ini terkesan hanya riset selintas saja.. sehingga banyak kesalahan yang cukup fatal yang dilakukan oleh penulis.
1. Keheranan pertama saya adalah ketika Moris mempersilahkan Bram untuk memanggil namanya di kantor. Pangkat Moris adalah AKBP sedangkan Bram adalah Inspektur (entah inspektur 1 atau 2), terdapat rentang pangkat yg jauh dengan Moris. Takmungkin seorang Inspektur berani manggil seorang AKBP hanya namanya saja di Kantor.
2. Penulis menyebutkan kalau Sekretaris kesatuan memberitahu Bram ada telepon untuknya. Dear WIndry.. tidak ada jabatan Sekretaris dalam sat reserse narkotika. Orang yang memegang jalur telepon biasa mereka sebut operator.
3. Ketika Burhan memanggil Erik dengan sebutan "Bintara Erik". Ini sangat janggal sekali. Dear Windry.. apakah dirimu tidak mengetahui tingkatan pangkat dalam bintara sehingga memutuskan untuk mengambil jalan pintas dengan menyebut Erik yg bintara dengan sebutan "Bintara Erik"? Saya beri tahu ya tingkatan pangkat dalam bintara itu : - Bripda atau Brigadir dua - Briptu atau Brigadir satu - Brigadir - Bripka atau Brigadir Ketua - Aipda atau Ajun Inspektur Dua - Aiptu atau AJun Inspektur satu
Jika kamu ingin mengesankan kalau pangkat Erik di bawah Burhan dan Bram, kamu seharusnya memanggil Erik dengan sebutan Brigadir Erik, bukan Bintara Erik. Panggilan Bintara Erik sangat sangat tidak umum dilakukan.
4. Erik memanggil Burhan dengan sebutan Pak? Dear Windry, sekali-kali mainlah ke kantor kepolisian. Seorang anak buah tidak pernah memanggil atasan langsungnya dengan sebutan "Pak" tapi "Ndan"
5. Hal. 79. Ketika Mia ditangkap oleh Bram. Bram bertanya pada Mia. "Apa pangkatmu dulu? Bintara?" Lalu Mia menjawab.. "Ajun Inspektur". Ini juga fail banget Windry. Ajun Inspektur adalah bagian dari kepangkatan Bintara. lalu apa yang kamu maksud dengan Bintara disitu?
6. Mia berpangkat terakhir Ajun Inspektur? Berapa umur Mia Win? Dicerita tersebut memang tidak disebutkan berapa pastinya umur Mia. Tapi tahukah kamu kalau seseorang berpangkat Ajun Inspektur, dia sudah cukup berumur. Anggaplah Mia jadi polisi pertama kali umur 18 tahun.. maka ketika dia menjadi Ajun Inspektur dua 0 tahun, umurnya sudah 18 + 16 = 34 tahun. jadi apakah Mia berumur 34 tahun? karena terkesan umur Mia tidak jauh bahkan lebih muda dari Bram. Dan dalam cerita tersebut Mia juga tidak diceritakan mendapatkan kenaikan pangkat istimewa sehingga mencapai pangkat Ajun Inspektur lebih cepat.
7. halaman 77 dan 139. Di halaman 77 disebutkan kalau Burhan memberhentikan Mia. Dengan kaget Mia akhirnya mengundurkan diri. Wuooow... tekanan sebesar apa yang menyebabkan Mia dapat mengundurkan diri semudah itu? Dan Burhan tidak bisa memberhentikan orang fyi aja. Miaa harus melakukan kesalahan yang tidak bisa dimaafkan terlebih dahulu. Misal terlibat tindak pidana. Kemudian pun harus ada pemeriksaan dari provost. Jadi aneh sekali...
Lalu di halaman 139 disebutkan kalau Miaa diberhentikan karena ada hubungan darah dengan seorang mafia. Hahahha ini lucu banget. Dulu zaman orde baru yang gak boleh jadi PNS/TNI/POLRI adalah yg memiliki hubungan darah dengan PKI bukan mafia. Apalagi zaman sekarang win.. Mia tidak pernah melakukan kejahatan, saat mendaftar pun seorang polisi harus membuat SKCK tapi orang tuanya tidak, itu artinya yang dinilai adalah kepribadian Miaa saja bukan orang tuanya.
8. halaman 215. Ada yang bertanya pada Bram, "Kau Inspektur Sat Reserse narkotika?" Okay win, kuberitahu ya.. dialog tersebut tidak tepat.. karena Inspektur adalah pangkat bukan jabatan. Seharusnya kau cukup bilang "Kau Inspektur Bram dari Sat Reserse Narkotika?" atau kalau mau menyebut jabatan.. "Kau Inspektur Bram, kanit sat reserse narkotika?"
bagus. suka. sebel karena nggak berhasil nebak ending dan pelakunya :'(
saya bisa ''masuk'' dengan baik soal kasus narkoba ini. Soalnya saya tinggal di lingkungan yang termasuk markas kecil beberapa mafia dan ada sekitar 2 sahabat kecil saya yang meninggal karena mereka menjadi cepu dan 4 tetangga saya yang masih mendekam di sel sampai sekarang (sejak saya kelas 2 SMP) karena mereka menjadi bandar.
Sampai sekarang saya masih belum bisa membedakan dengan baik penulis gagasmedia yang depannya W semua btw. kalau diminta menyebutkan karya mereka pasti bingung. tapi karya mbak Windry ini masih sedikit yang saya baca, jadi saya belum bisa menebak gaya penulisannya. Tapi saya cukup bisa menikmati, eksekusinya (menurut saya) cukup rapi dan berhasil memancing keingintahuan pembaca.
Selesai membaca buku ini jadi ingin membaca buku berjenis yang serupa heuheu
Oh My Goooood. Masyaallah. Gila, keren parah aaaaaa... Mbak Windry ini novel crime fictionnya apa lagi, yak? Aaaa kenapa ku telat tahu novel ini, sih??? Aaaaaaa...
*mungkin baru bisa review full setelah efek ekstasenya ini ngilang huhuhuhuhuu...
Instantly ngefans dah.
Cuma ada pertanyaanku yg belum kejawab. Bram kan akhirnya disuruh Burhan (atasannya) untuk mengalihkan kasus yang dia tangani, tapi kok pas mau menyerbu sarangnya Blur dia bisa bawa 9 polisi lain dalam pasukannya? Ini bukannya penyalahgunaan wewenang? Masa rekan-rekannya ga tahu kalau Bram udah nggak seharusnya nanganin kasus ini? Atau itu karena dukungan personal aja? Tapi ga dilihatkan juga. Aku ga tahu ini hole atau enggak, lebih karena aku awam dengan prosedur cara polisi lokal beraksi.
Nggak butuh waktu lama buat nyelesaiin novel ini karna emang buat kita nggak bisa berhenti baca. Kayaknya ini novel crime pertama yang saya baca dari penulis lokal dan novel ini juga karya pertama penulis yang saya baca. Ide cerita dan alurnya menarik, saya suka.
Terus deskripsi ceritanya cukup detail, oh saya juga suka banget sama gaya penceritaan kak Windry disini karna bahasanya santai buat topik yang lumayan berat, mungkin yang kurang dari novel ini cuma chemistry antar tokohnya kurang dan romance-nya nggak begitu kerasa, mungkin karna fokusnya lebih ke mistery, crime sama action kali ya.
Narkotika, mafia, konspirasi, dan dendam, itulah tema sentral dalam novel Metropolis karya Windry Ramadhina, penulis muda yang novel perdananya “Orange” masuk dalam longlist Khatulistiwa Literray Award 2008 untuk kategori Penulis Muda Berbakat. Berbeda dengan novel Orange yang bergenre metropop, Metropolis merupakan novel thriller detektif yang menarik untuk disimak karena genre ini masih termasuk jarang digarap oleh penulis-penulis kita.
Dalam Metropolis dikisahkan bagaimana Augusta Bram, salah seorang anggota Satuan Reserse Narkotika Polda Metro Jaya mengungkap sebuah pembunuhan berantai yang menimpa para pemimpin sindikat mafia narkotika Indonesia. Selain karena tugas, Bram juga terobsesi untuk mengangai kasus ini karena ia menyimpan dendam pribadi karena keluarganya pernah berusan dengan masalah ini. Ayahnya yang pecandu narkoba tewas dibunuh oleh para pengedar narkoba karena tak sanggup membayar hutang-hutangnya.
Kisah dalam novel ini diawali dengan adegan pemakaman Leo Saada, salah seorang pemimpin mafia dari sindikat 12 yang menguasai bisnis narkotika terbesar dan merupakan momok bagi polisi-polisi Sat Reserese Narkotika karena selama lima tahun ini polisi tak memiliki cukup bukti untuk menyeret seluruh anggota sindikat 12 ke terali besi. Polisi berasumsi bahwa kematian Leo Saada karena kecelakaan mobil, bukanlah murni kecelakaan karena tim forensik berhasil menemukan beberapa peluru di lokasi kejadian.
Polisi juga menduga ada motif persaingan antar geng dalam kematian Leo Saada karena dalam satu tahun kebelakang sebelum peristiwa ini ada 6 orang pemimpin geng yang tergabung dalam sindikat 12 tewas dalam berbagai cara. Untuk itu Bram dan asistennya Eric, berusaha untuk membongkar dan menangkap siapa pelaku pembunuhan berantai itu.
Ternyata tak hanya Bram yang tertarik dalam kasus ini, Miaa, seorang wanita mantan polisi secara diam-diam mengamati kasus ini. Berkat kejelian Bram, keberadaan Miaa disetiap lokasi peristiwa pembunuhan pimpin sindikat 12 diketahui. Awalnya Bram menaruh curiga kalau Miia terlibat dalam kasus ini, namun akhirnya terkuak apa motifasi Miaa yang sesungguhnya.
Tak mudah mengungkap siapa pelaku dan apa motif dibalik peristiwa pembunuhan berantai ini. Ketika Bram harus memutar otak untuk memecahkan teka-teki kasus ini dengan sedikit bukti yang dia miliki, pembunuhan demi pembunuhan itu terus terjadi. Walau semua pemimpin geng telah meningkatkan kewaspadaannya dan Bram telah memperingatkan mereka, namun pembunuhan terus terjadi. Bram harus bergerak cepat menangkap pelakunya sebelum semua pemimpin sindikat 12 tewas.
Walau novel ini merupakan novel thriller detektif, namun pada pertengahan paruh pertama novel ini siapa pelaku dan apa motif pembunuhan berantai terhadap pemimpin sindikat 12 telah terang benderang diungkapkan oleh penulisnya. Tampaknya penulis sengaja membeberkan motif dan jati diri si pelaku, alih-alih menyimpan rapat siapa pelaku dan motif pembunuhan berantai dengan sasaran para pemimpin sindikat, penulis tampaknya lebih memilih menyajikan teka-teki dan berbagai kejutan dengan munculnya tokoh –tokoh yang memiliki keterkaitan dengan kasus ini. Dengan demikian walau pembaca sudah mengetahui apa motif dan siapa pelakunya, keasyikan pembaca untuk menuntaskan novel ini tak akan terganggu karena meraka tak akan bisa menduga akan kejutan-kejutan yang diberikan penulis hingga lembar-lembar terakhir novel ini.
Walau secara umum novel ini menarik untuk dibaca, namun ada beberapa hal yang tampaknya perlu diekplorasi lagi agar semakin menarik, antara lain kurangnya pendalaman karakter tokoh-tokohnya. Contohnya untuk tokoh utamanya Bram. Masa lalu Bram yang kelam bersama ayahnya hanya dibahas secara singkat saja sehingga tak tereksplorasi dengan baik, padahal jika digali lebih dalam lagi maka novel ini akan semakin menarik. Bukankah di bawah judul novel ini tercantum kalimat “ Demi ayahku yang sudah mati…”. Namun mungkin soal kedalaman karakter dalam novel ini adalah pilihan penulis yang lebih mengutamakan plot cerita dan unsur teka-teki dibanding mengupas habis karakter2-karakter tokoh-tokohnya secara lebih mendalam, dan hal ini sah-sah saja.
Dalam hal mengungkap hubungan antara atasan dan bawahan dalam struktur kepolisian saya rasa, penulis telah terjebak dalam pandangan umum yang diciptakan oleh film-film detektif dimana atasan tak mendukung bawahannya sehingga terjadi clash dan diminta mundur dari kasus yang ditanganinya, dll. Tentunya tak harus seperti itu, ada banyak hal yang mungkin bisa digali untuk soal hubungan antara atasan dan bawahan, jadi untuk membuat sebuah kisah lebih tentu tak selalu harus mengikuti ‘pakem’ film-film detektif pada umumnya.
Kemudian dalam hal seluk beluk dunia mafia narkotika Indonesia, saya rasa kalau saja penulis lebih berani mengupasnya tentu akan lebih menarik. Dalam novel ini intrik-intrik dan cara kerja sindikat 12 hanya terungkap secara garis besar dan apa yang diungkap oleh penulisnya tampak sudah menjadi rahasia umum yang diketahui oleh banyak orang . Selain itu dampak sosial terhadap perilaku para mafia narkotika dalam novel ini juga tak terungkap dengan jelas. Andai saja penulis lebih berani mengungkap sisi-sisi gelap dunia mafia tanah air yang belum banyak diketahui orang dan menyertakan dampak-dampak sosial yang mungkin dirasakan akibat perilaku mereka tentunya novel ini akan jadi novel yang menggegerkan, monumental. Tentunya untuk mengungkap itu semua perlu riset yang lebih dalam lagi dan keberanian untuk mempublikasikannya.
Namun terlepas dari semua hal di atas, apa yang disajikan oleh penulis dalam Metropolis tetaplah menarik dan menghibur. Walau karakter-karakter tokohnya tak diulas secara mendalam namun tetaplah menarik karena penulis tak menghadirkan tokoh-tokoh yang sempurna termasuk tokoh protagonis dalam novel ini. Semua serba abu-abu, ada unsur baik ada pula unsur jahatnya, demikian pula untuk tokoh-tokoh jahat dalam novel ini sehingga semua tokoh terlihat sangat manusiawi.
Selain itu novel ini juga menghadirkan narasinya yang enak dibaca, plot yang cepat, deskripsi yang filmis, dan kejutan-kejutan di sepanjang novel yang akan memacu rasa kepenasaran pembacanya untuk terus membaca novel ini hingga tuntas. Tema persaingan bisnis ilegal narkotika, konspirasi, kisah cinta, dan balas dendam antar geng tentu akan mengingatkan kita pada novel Godfather – Mario Puzo. Jadi mungkin bisa dikatakan inilah Godfather rasa lokal walau rasanya tak pada tempatnya membandingkan Metropolis dengan Godfather.
Walau ending novel ini bisa dikatakan tuntas dan tak menggantung, namun masih ada celah yang bisa dijadikan bahan untuk membuat sekuel dari novel ini. Jika memang itu pilihan penulisnya untuk melanjutkan cerita ini, dan Windry terus konsisten untuk menulis dalam genre ini, bukan tak mungkin ia akan jadi penulis handal dalam genre thriller detektif yang hingga kini masih sedikit digarap oleh penulis-penulis kita.
Di sekitar lokasi pemakaman berjaga sejumlah polisi. Mobil-mobil mereka berbaris di pinggir tanah luas yang dipagari kamboja kuning dan tersaput rumput hijau yang terpangkas rapi. Bram yang memimpin polisi-polisi tersebut. Ia berdiri bersandar pada mobil dinasnya. Matanya memperhatikan kumpulan orang berpakaian serbahitam yang sedang berdoa di tengah pemakaman. Di antara kumpulan itu ia mengenali Ferry, anak tunggal Leo. Ferry berdiri paling dekat dengan peti mati ayahnya dan laki-laki muda berdarah Sulawesi itu tampak sangat terpukul (hlm 1).
Apa yang terbayang olehmu ketika membaca deskripsi di atas? Apakah sama dengan yang kubayangkan: adegan pembuka di sebuah film mafia? Pemakaman. Orang-orang berpakaian hitam. Polisi yang berjaga-jaga.
Novel kedua karya Windry Ramadhina ini memang mengusung tema mafia bergenre detektif. Mafia narkotika di Jakarta tepatnya dengan tokoh utama seorang inspektur polisi muda bernama Bram Agusta. Windry berhasil menciptakan tokohnya ini sebagai sosok polisi sekaligus detektif yang cerdas dan “bandel”. Bukan mustahil, jika Windry bersedia, ia bisa saja membuat sebuah kisah serial detektif–seperti Agatha Christie dengan Poirot-nya atau Sir Arthur Conan Doyle dengan Sherlock Holmes-nya–dengan Bram sebagai jagoannya. Peluang itu sangat terbuka bagi penulis Orange ini.
Lewat Metropolis ini, Windry sukses menampilkan sebuah kisah campuran detektif dan aksi, genre yang jarang disentuh oleh penulis kita. Windry sangat berbakat menulis kisah serupa ini. Metropolis bisa menjadi awal yang baik bagi Windry untuk menobatkan diri sebagai penulis kisah detektif menyusul seniornya, S Mara Gd. Malah, menurutku, Windry menyimpan kekuatan yang lebih dibanding pendahulunya itu yang sangat dibayang-bayangi Agatha Christie dengan duet Kosasih dan Gozali yang meniru Poirot dan Hastings.
Sebagai sebuah cerita detektif berbalut action ala Godfather ini, Windry mampu menjaga alur dan memainkan temponya dengan baik sehingga pembaca betah bertahan hingga halaman terakhir. Ketegangan dan unsur-unsur misterinya ia olah dengan cermat dalam tuturan yang lancar dan cerdas. Tokoh-tokohnya hidup dengan karakter yang melekat konsisten. Ia juga sanggup menghadirkan sejumlah data dan fakta seputar kejahatan narkotika yang–mungkin–diperolehnya dari sumber-sumber di kepolisian Jakarta. Ini menjadi kelebihan tersendiri. Keistimewaan lainnya adalah faktor humor yang kerap dilupakan oleh para penulis kita. Padahal humor, jika dikemas dan ditempatkan dengan cerdik, bisa menjadi bumbu penyedap yang menyegarkan. Seperti dalam buku Windry ini. Alhasil, Metropolis adalah buku detektif yang asyik dikunyah. Gurih. Kriuuuuk…..
Terus terang, ketika pertama kali Windry menyebutkan judul Metropolis, yang pertama melintas di benakku adalah sebuah novel metropop (chicklit). Maka, saat buku tersebut kuterima, gambaran tentang novel chicklit langsung sirna seketika mendapati kovernya yang bergambar cuplikan sepotong halaman koran dengan noda darah menggenang di atasnya. Desain kover yang sangat jauh dari gambaran sebuah novel chicklit yang lazimnya colourful dan ceria.
Sejatinya, bukanlah sesuatu yang terlalu mengejutkan mendapatkan fakta Windry telah menulis novel ini dengan memikat. Pada karya sebelumnya, ia telah membuktikan kemampuannya menulis melalui karya debutannya: Orange (aku belum baca buku ini) yang sempat masuk lima besar ajang KLA (Khatulistiwa Literary Award) tahun lalu untuk kategori Penulis Muda Berbakat. Di final, ia dikalahkan oleh rekannya, Wa Ode Wulan Ratna dengan bukunya Cari Aku di Canti.
Sekali lagi, selamat buat Windry. Benar deh, kalau kamu berniat menjadi penulis cerita detektif, kamu sudah memulainya dengan baik melalui Metropolis ini.***
Gue baca buku ini mulai jam 6 sore dan selesai jam 2.30 pagi. Gue ngantuk, tapi nggak bisa berhenti baca. Buku ini memikat sejak halaman pertama.
Perlu nggak sih gue tulis sinopsis buku ini? Kayaknya enggak. Kalau penasaran, tinggal buka review sebelumnya :D Karena gue malas ngetik, langsung ke komentar-komentar aja yaa.
Gue membaca review sebelum ini yang mengritik soal kurangnya riset penulis tentang dunia kepolisian. Well, gue nggak ngerti juga sih soal dunia kepolisian. Jadi kalau gue bilang gue terganggu dengan kesalahan-kesalahan (fatal) penulis mengenai dunia kepolisian, gue bohong. Gue asik-asik aja melihat kinerja Inspektur Agusta Bram dan asistennya. Selama ini gue anti polisi. Tapi kalau semua polisi kayak Inspektur Bram, gue bersedia berganti ideologi deh. Intinya, kesalahan fatal penulis di bagian ini nggak memperngaruhi gue. Ya itu tadi, gue nggak terganggu karena gue nggak tau. Sama kayak persoalan narkotika dan pengedarannya yang (menurut gue) disampaikan dengan begitu detil oleh penulis, gue juga nggak tau apakah itu benar-benar valid atau juga memiliki kesalahan fatal juga. Dan berhubung gue nggak tau, ya udah, gue memutuskan untuk mempercayai Windry Ramadhina. Terbukti kan? pendapat orang tentang buku sangat subyektif dan dipengaruhi banyak hal. Mengecek kevalidan data dan informasi yang sifatnya teknis dari buku ini, biarlah jadi tugas orang-orang yang ahli di bidangnya. Dan gue? Tugas gue cuma menyinyiri atau berkeluh kesah atau jingkrak-jingkrak merespon cerita buku ini.
Karakter. Gue suka nyaris semua karakter utama dalam novel ini. Sampai saat ini gue masih galau memutuskan siapa yang lebih oke, apakah Inspektur Bram ataukah Johan Al. Tapi gue nggak terlalu suka dengan karakter Miaa. Apa ya...dia memang cerdas, tapi menyebalkan. Plinplan nggak jelas. sekaligus bego juga. Masa dia mau kerjasama dengan kepala polisi yang memberhentikannya hanya karena alasan yang nggak banget? Ya pokoknya gitu deh. Tapi mungkin gue agak sensi sama Miaa gara-gara dia disukai Johan sih. Abaikan.
Baca buku ini bikin gue ingat sinetron kece jaman dulu yang dibintangi Dian Sastro dan Fauzi Baadila, Dunia Tanpa Koma. Sama-sama mengulik persoalan Narkoba. Bedanya kalau DTK soal wartawan, kalau ini soal Polisi. Tapi tokohnya sama-sama bernama Bram. Jadi selama baca buku ini, gue stuck ngebayangin Inspektur Bram sebagai Fauzi Baadila wara-wiri nyari bukti kasus Narkoba. Makanya gue bingung, mana yang lebih gue suka, Bram atau Johan. Tapi dua-dua adalah manusia abu-abu dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Dan novel ini, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, menjadi bacaan yang sungguh oke punya dan bikin gue kurang tidur.
Metropolis: Sebuah Dendam dan Ambisi yang Diakibatkan Karena Kematian Seorang Ayah
Impression!! Sudah memakan beberapa hari sejak aku memulai membaca novel Metropolis karangan Windry Ramadhina. Namun baru subuh tadi aku mampu menamatkanya dalam satu malam. Ya, sebagian besar bab kuhabiskan baru tadi malam dan itu menimbulkan rasa sesal mengapa tidak sedari dulu aku membaca novel ini. Padahal novel ini sudah berdiam lama di rak buku, tak tersentuh, kecuali saat aku melakukan bersih-bersih rak.
Aku terkejut mbak Windry bisa menulis novel thriller ini. Sangat. Pasalnya aku mengenal Mbak Windry lewat tulisannya yang bertemakan young adult jenis romance, dengan berbagai judul, misal: Memory, Montase, London, Last Forever, Orange, Interlude, Walking After You, dan Angel in The rain. Untuk Glaze aku belum sempat membaca, bukunya juga masih nangkring dengan rapi di rak, dapat hadiah dari salah satu teman. Thanks!
Kembali lagi, Metropolis ini menyuguhkan alur cerita yang berbeda dari keseluruhan cerita yang pernah mbak Windry tulis. Aku menemukan banyak ambisi pada setiap tokohnya, ketegangan di setiap babnya, dan rasa penasaran yang mampu bikin orang ketagihan.
Gila!
Metropolis ini bercerita tentang kisah seorang Inspektur Unit Satu Sat Reserse Narkotika yang bermarkas di Polda Metro Jaya, namanya Agusta Bram. Dia punya karakter yang menonjol dalam novel ini, menonjol juga di satuannya karena sikapnya yang ambisius dan tidak mau kalah. Dia memiliki seorang asisten, polwan berpangkat Bintara, Erik namanya. Dia perempuan yang memiliki nama laki-laki, perlu diingat. Mungkin orang tuanya lupa menulis huruf ‘a’ setelah huruf ‘k’, mungkin. Mereka berdua awalnya bekerja di bawah naungan Kasat Reserse Narkotika bernama Moris Greand yang berpangkat Ajun Komisaris. Dia lelaki yang mudah untuk diajak kompromi dan punya sejarah yang menyenangkan bagi Bram. Namun, setelah Moris pensiun hal itu membuat Bram punya mimpi buruk. Yakni, Burhan D. Saputra ditugaskan sebagai Kasat Reserse Narkotika yang baru. Mereka memang tidak memiliki riwayat hubungan yang baik, dan nantinya Burhan adalah salah seorang yang memang patut dicurigai dari sejak awal kemunculannya. Pendapatku, karena sikapnya yang bossy itu, aku selalu menaruh curiga padanya.
Berlanjut, cerita di awali dengan munculnya sebuah kasus pembunuhan berantai yang melibatkan para pemimpin sindikat 12, sebuah nama dari gembong narkotika yang berbasis di Jakarta dan sangat susah untuk meringkus mereka. Satu persatu para pemimpin sindikat 12 yang berjumlah 12 itu mati dengan berbagai penyebab. Dari overdosis, kecelakaan, sampai digorok leher sampai mati. Dari sana Bram dan Erik mencari bukti dari jejak-jejak tertinggal yang mereka harapkan mampu membawa mereka ke pelaku pembunuhan. Dan, Bram menemukan ia tidak sendiri. Miaa, yang merupakan mantan polisi juga memiliki tujuan yang sama, mengejar pelaku pembunuhan tersebut. Namun tampaknya Bram dan Miaa tidak pernah menjadi satu pihak. Lalu, muncul seseorang yang baru, dia tak tercium dan sangat hati-hati dalam pergerakanya. Memiliki ambisi yang sama besar dengan Bram dan Miaa. Tersebut adalah Johan, dia seorang pasien penyakit langka, Chronic Myelogenous Leukimia. Sebuah keadaan dimana sel darah putih memilki usia yang jauh lebih lama daripada sel darah merah, sehingga komposisi darah dalam tubuh tidak seimbang dan setelah beberapa lama, kondisi tersebut akan menyebabkan kematian. Dan meminum obat STI571 merupakan pengobatan yang cukup mahal dan hanya orang-orang berduit yang memilih pengobatan dilematik tersebut (hal: 181).
Saat Johan muncul, diikuti dengan kemunculan seorang perempuan cantik yang mengerti bahwa kopi harus diminum tanpa gula, Indira. Latar belakangnya memang dijelaskan sedemikian rupa, namun dia akhir cerita kita akan tahu siapa Indira sesungguhnya. Dan dia bukanlah orang yang salah di tempat yang salah. Indira seorang ketua yayasan bagi para penderita penyakit yang senasib dengan Johan. Ia mencari donatur, berbasa-basi singkat, menawarkan kerja sama sembari minum kopi atau makan makanan restoran, dan dari hasil itu semua ia memiliki donasi yang cukup untuk para pasien yang membutuhkan bantuannya.
Hubungan antar tokoh yang terjalin di antara mereka sangat dekat sekali, karena sebuah kasus yang akhirnya menarik mereka di titik yang sama. Dendam, ambisi, dan juga hasrat untuk hidup tenang menjadi penyebab besarnya gelombang yang terjadi selama alur cerita ini berjalan. Dalam sebuah novel thriller sekalipun, bumbu manis beraroma romansa cinta sedikit saja pasti dihadirkan, bukan jenis kisah cinta yang patut diperjuangan, namun melibatkan sedikit emosi tersbut dalam rencana-rencana yang sudah tersusun rapi tersebut, memang layak untuk dicoba. Dan selama membaca novel ini, jujur aku tidak terlalu berharap akan terjadi sesuatu di antara mereka. Misal, Bram, aku tidak berkeyakinan dia akan tertarik dengan lawan jenisnya selama kasus yang ia pegang. Dan aku sependapat dengan Erik. Yah, Bram sendiri ymemang tidak terlibat urusan emosi dengan Erik, tetapi dengan Indira. Aku kira ia akan lebih tertarik pada Miaa, tapi salah, ia suka perempuan yang mengerti cara membuat kopi yang sempurna. Erik suka kopi manis, omong-omong dan Bram tampaknya tidak menganggap Erik sebagai perempuan. Kasihan Erik. Tapi, Johan dan Miaa. Mereka sedikit melibatkan perasaan mereka. Hingga di ujung sisa nafas terakhirnya pun, mata mereka saling berbicara dan menyiratkan akan sebuah penyesalan dan perasaan yang diam-diam mulai menjangkit. Tapi, jelas ini bukan cerita yang akan mendetailkan kisah asmara mereka. Itu hanya bumbu-bumbu manis yang disuguhkan oleh mbak Windry agar tidak terlalu pahit, haha.
Di akhir kisah aku baru menyadari tagline dari novel ini adalah “Demi ayahku yang sudah mati” masing-masing tokoh memang memiliki sejarah hidup di masa lalu yang tidak bisa dikatakan mudah untuk diceritakan saat minum teh di sore hari. Pemicu dari masing-masing tokoh adalah kematian ayah mereka. Apa yang membuat Bram begitu ambisius menangkap para aktor dalam dunia narkotika, apa yang menyebabkan Johan memilih mempertaruhkan nyawanya, apa yang membuat Miaa hidup sebagai orang yang menyedihkan dan gelar mantan polisi yang ia sandang, dan apa yang menyebabkan Indira berusaha diam-diam saja dan memcoba yang terbaik merawat Johan. Semua dapat dijelaskan di akhir kisah, amarah, dendam, benci, cinta, dan perasaan puas.
Aku suka hasil riset mbak Windry dalam novel ini meski dibeberapa review dikatakan bahwa riset mbak Windry kurang menyeluruh. Pergerakan para narkotika itu masuk ke Indonesia dan keluar Indonesia. Basis mereka yang ada di luar negeri. Cara kerja kepolisian satuan narkotika saat melakukan olah TKP. Cara kerja tim foreksik, tim Cyber Crime, dan masih banyak lagi. Satu lagi yang membuatku ikut berpikir bersama Bram dan Erik, yakni pola pembunuhan. Bagaimana pelaku memilih dan menentukan siapa yang akan mati hari ini dan selanjutnya. Di dalam novel diberikan gambaran seputar pola-pola pembunuhan yang digambar oleh Bram dan Miaa. Terutama pola yang digambar oleh Miaa, cukup membuatku berdiam cukup lama memandangi gambar tersebut. Sempat menyimpulkan itu adalah sebuah deret aritmatika, atau angka kelipatan dan kemungkinan dari hasil penjumlahan tanggal pembunuhan. Tidak bisa dipercaya.
Mungkin reviewku ini sedikit banyak mengandung spoiler dari cerita, tapi aku santai sajalah. Karena sedang bersemangat ingin membagikan kisah Bram, Miaa, Johan, dan Indira. Sekali lagi aku cukup puas dengan hasil kerja mbak Windry. Meski novel ini rilis di tahun 2009 dan aku baru membacanya di pertengahan thaun 2017, tidak membuatku berpikir bahwa novel ini sudah lewat dari masanya.
Mike beserta istrinya, Darla, terjerat narkoba. Bertahun-tahun, mereka mengkonsumsi heroin. Harta benda habis terjual yang membawa mereka akhirnya tinggal di rumah penampungan para tuna wisma. Namun, hal tersebut tidak menghentikan mereka untuk tetap mengkonsumsi heroin. Berbagai cara dilakukan untuk memperoleh uang. Tentu saja, demi mendapatkan jatah heroin. Parahnya, dua anak remaja mereka, Matt dan Mike Jr. juga ikut terjerat. Keduanya mengaku meniru kelakuan orangtua mereka yang secara terang-terangan mengkonsumsi heroin di depan mereka. Tentu, Mike dan Darla tidak bisa melarang. Sesama pemakai akan terasa aneh bila saling menasihati, bukan? (Salah satu episode “Oprah Winfrey Show”)
Cengkeraman narkotika memang sangat kuat untuk dilepaskan. Ketagihan akan nikmat semu mungkin menjadi alasan. Dan mungkin pula itu yang menyebabkan bisnis barang terlarang ini demikian berkembang dan menjanjikan kekayaan tujuh turunan bagi pebisnisnya. Maklum, pelanggan akan selalu ada, mati satu tumbuh seribu.
Sebagian orang mungkin mengira kalau bisnis ini hanya sekedar bisnis kelas teri yang hanya beredar di pinggir-pinggir jalan. Kelihatannya memang seperti itu, tapi kenyataannya ada sebuah sistem besar yang bekerja untuk mendukung bisnis ini. Mulai dari pemasokan, pendistribusian, dan tentunya pencucian uang. Banyak yang tergiur untuk berbisnis yang menyebabkan terjadinya persaingan pasar dalam merengkuh pelanggan sebanyak mungkin. Dalam persaingan tentu ada yang kalah, ada yang menang. Apalagi bila persaingan sudah menjurus ke pertikaian, tak jarang menelan korban jiwa. Tidak jarang pula memunculkan konspirasi di lingkungan para pebisnis dan bahkan dengan para penegak hukum.
Indonesia sendiri sudah mulai merambah menjadi bagian jaringan internasional peredaran narkotika. Kita pasti sering mendengar berita terkait warga asing ataupun warna negara Indonesia yang ditangkap karena menyelundupkan narkotika. Bosan ditangkap petugas sebagai penyelundup, pabrik pun didirikan di Indonesia. Tidak berskala kecil, tapi besar. Baru-baru ini, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Widodo AS, menyatakan kalau Indonesia saat ini telah menjadi pusat produksi ekstasi berskala internasional. Hal ini terkait dengan semakin seringnya polisi menemukan banyak pabrik ekstasi berskala besar sejak tahun 2006. Dulu memang hanya menjadi tempat transit dan daerah pemasaran, tetapi sekarang berkembang menjadi tempat produksi.
Salah satu contoh pabrik ekstasi yang sudah digerebek adalah pabrik ekstasi berskala internasional di Jalan Camar, Pasir Gunung Selatan, Cimanggis - Depok. Pabrik ini diketahui sebagai pusat produksi bahan-bahan sabu-sabu dan ekstasi yang dipasarkan di Indonesia dan luar negeri. Jaringan yang bernama clandestine lab tersebut pun berhubungan dengan kelompok pengedar narkoba internasional. Para tersangka yang sudah ditangkap merupakan sindikat dari berbagai kalangan dan profesi Tidak hanya pria, wanita pun ikut serta. Ada yang berprofesi sebagai dokter gigi, karyawan, wiraswasta, dan bahkan ibu rumah tangga. Ini menandakan kalau target pelanggan mereka adalah semua lapisan masyarakat. Windry Ramadhina, melalui bukunya yang kedua “Metropolis” mencoba memberikan gambaran sederhana kepada pembaca seperti apa sistem yang bekerja dalam bisnis narkotika ini. Bagaimana para pelaku bisnis ini berbagi wilayah kekuasaan, bagaimana mereka bisa saling berkerja sama mungkin sesering mereka saling bertikai dan saling membunuh. Tak ketinggalan bagaimana seorang polisi yang seharusnya bekerja sebagai penegak hukum, ikut terlibat dengan bisnis ini. Bagian ini mengingatkan saya dengan kasus yang menimpa Jaksa Esther Tanak dan Dara Veranita. yang disangka menjual barang bukti perkara psikotropika (Kompas, 14 April 2009). Benar bukan, kalau bisnis ini juga menggiurkan bagi aparat penegak hukum.
Sebenarnya, isu yang mendasari kisah dalam buku ini adalah pembalasan dendam keluarga. Bagi yang sering nonton film India, Anda pasti paham jalan cerita yang berlatarbelakang pembalasan dendam. Tapi jangan terlalu girang dulu, karena Anda tidak akan menemukan nyanyian dan tari-tarian di lapangan luas dengan sejumlah pohon dan tiang. Isu pembalasan dendam ini dikemas dengan sangat menarik oleh penulis. Banyaknya tokoh dalam buku ini juga tidak membingungkan, setidaknya buat saya. Tokoh-tokoh yang memang berperan kuat dalam mendukung cerita, dimunculkan dengan mulus sesuai dengan porsi dan peranan masing-masing dalam cerita. Masing-masing tokoh juga memiliki karakter yang kuat sehingga benar-benar mendukung cerita dan tidak mudah hilang dari ingatan pembaca.
Dendam tidak selalu berakhir dengan skor 1-1 atau 2-1. Tidak harus selalu ada yang menang dan kalah. Ternyata bisa juga sama-sama kalah. Sebuah nilai tersendiri yang bisa diambil dari cerita ini. Namun, saya masih sulit membayangkan seorang Bram, anggota polisi Indonesia, bisa berseteru dan membantah Burhan, atasannya, secara terang-terangan. Biasanya adegan seperti ini sering saya lihat di adegan-adegan film Hollywood. Tapi bagaimanapun juga, hal tersebut tidak terlalu mengganggu saya dalam menikmati jalan cerita secara keseluruhan.
Sejumlah informasi yang saya dapat baik lewat wawancara singkat maupun dari acara peluncuran buku ini (16 Mei 2009, World Book Day di Museum Bank Mandiri), penulis memang benar-benar turun ke lapangan untuk melakukan riset, bukan rekaan imajinasi semata. Jadi tidak heran kalau detil-detil lokasi yang dimasukkan membuat buku ini semakin lengkap dan menarik. Misalnya bekas pabrik coklat di Penjaringan, juga ke tempat para pengedar biasanya bersosialisasi, dan bahkan sampai “touring” ke Kampung Ambon, yang merupakan salah satu tempat peredaran narkotika yang kata Windry tidak seangker yang diberitakan.
Akhirnya, saya pun harus mengungkapkan kalau saya tidak terlalu suka dengan sampulnya, terlalu buram untuk sebuah buku bagus, sebuah buku yang memang layak dibaca.
Saya sangat menanti-nanti untuk membaca buku ini. Kesan pertama yang dirasakan:
- Beberapa adegan sangat menegangkan. - Karakternya memorable dan cukup complicated, tidak klise. - Struktur dan alurnya rapi, khas Windry. - Idenya segar, juga tergali dengan baik. - Riset yang mendalam, kelihatan saat membaca bukunya :) - Saya cukup suka endingnya.
Beberapa yang kurang saya sukai:
- Beberapa plot hole yang saya rasakan ketika membaca. Mungkin saya yang kurang mengerti serba-serbi dan aksi yang ada di dalamnya, tapi saya merasa ada sedikit ganjalan yang cukup mengganggu. - Bahasa dan dialog yang digunakan Windry sangat bagus, tapi saya rasa sedikit impersonal. Mungkin juga karena narasinya dalam orang ketiga, dan fokus lebih kepada aksi, scene dan dialog. Saya jadi serasa menyaksikan setiap adegan dari luar, bukannya berada di sana untuk ikut merasakannya. - Hubungan antara beberapa karakter seperti Bram dan Indira, Johan dan Miaa, terasa cepat sehingga saya tidak merasakan banyak chemistry yang kuat di antara mereka. Saya rasa, mungkin dibutuhkan beberapa adegan tambahan yang dapat memperkuatnya. - Banyak ucapan yang diulang, misalnya 'kloning Andy Lau' dan 'pria kulit kuning' yang terasa repetitif untuk membedakan sebuah karakter dari yang lain.
Keseluruhan, saya masih merasa ada beberapa hal yang kurang mantap. But knowing Windry, I know she's worked very hard :) dan saya dapat melihatnya dalam karya ini. Salut!
Mari kita mulai membahas ulasan Metropolis. Yang pertama kali membuatku memutuskan membeli buku ini adalah karena aku mengidolakan penulisnya. Mungkin sekitar lima tahun yang lalu, seingatku bersamaan dengan Orange, aku membeli via daring dari Jakarta sana. Membacanya? Bersyukurlah Orange lekas kubaca ketika buku itu datang, sedangkan Metropolis, sayangnya baru bulan lalu buku ini selesai kubaca. Terlambat sekali, maafkan aku. #prolog.
Oke, langsung saja, aku akan menceritakan perasaanku selama membaca Metropolis secara keseluruhan. Jadi mohon maaf jika terkesan kurang lengkap. Wkwkwk.
Metropolis mengingatkan dengan drama kriminal yang sempat kutoton tahun 2017 lalu, dengan tema besar tentu saja kriminalitas. Bedanya, masalah yang diangkat pertama kali dalam buku ini adalah sindikat pengedar narkotika terbesar di wilayah Jakarta, dengan mengaitkannya dengan bos-bos mafia besar, yang berujung pada pembunuhan berantai. Untung saja, aku masih oke dengan deskripsi pembunuhannya sebab aku agak menghindari bacaan seram terkait pembunuhan atau horor lainnya.
Diperkenalkan dengan Agusta Bram pertama kali, membuatku menaruh ekspektasi tinggi terhadap inspektur itu. Berlanjut ke Mia, seorang mantan polisi; Johan, dan Indira, seorang perempuan baik di tempat yang salah. Singkatnya, empat tokoh inilah benang merah dari keseluruhan cerita.
Cerita berlanjut dengan banyak hal menegangkan, dan tentu seperti melihat adegan di sebuah film, membaca Metropolis juga menghadirkan suasana itu, suasana mencengangkan dan sibuk menebak-nebak jalan cerita, membuatku banyak membuat hipotesis sendiri. Dan beberapa aku terkecoh, walau pada akhir cerita, ternyata ada beberapa hipotesis yang terbukti benar! Hahaha, seolah mendapat jackpot. Yang pasti, jantung lumayan dibuat berderbar ketika baca novel ini.
Lanjut, mengenai para tokoh dan hubungan di antara mereka, walau ekspektasiku tinggi pada Bram, toh di antiklimaks, menurutku dia banyak kehilangan momen untuk menjadi gaco, atau juru kunci, jadi ekspektasiku langsung menurun drastis terhadapnya. Yang paling kusukai dari Agusta Bram adalah kemampuannya menganalisis, dan membuat asistennya Erik jadi tokoh yang teramat kusukai karena satu-satunya yang berkembang dengan baik dalam cerita ini adalah dirinya.
Kemudian, mengenai Miaa dan Johan, aku hampir salah kaprah dengan posisi Miaa di novel ini, kukira yang memiliki ikatan emosi dengan Bram adalah wanita ini, ternyata setelah kemunculan Johan, yah, aku salah duga. Tetapi ikatan mereka terlalu singkat, sehingga aku tak benar-benar menemukan chemistry di antara keduanya.
Dan mengenai Indira, sebenarnya di antara tiga perempuan di novel ini, Indira tak terlalu membuatku terkesan. Aku lebih menyukai Erik daripada dia. Ya, tapi perlu ada perempuan cantik dan feminin dalam cerita-cerita 'miskin' romansa semacam ini.
Jadi, ada satu tokoh lagi, yang dari awal kemunculannya di cerita, aku sudah menduga bahwa dia akan berperan besar, dan memang benar, dari seluruh rangkain misteri pembunuhan berantai, tokoh inilah yang pada akhirnya membuktikan salah satu hipotesis yang kubuat di dalam kepala. Tapi aku tak mau mengatakannya, wkwk. Silakan baca sendiri saja.
And the last, seperti biasa, aku akan menuliskan kutipan-kutipan menarik dari novel ini.
"Forensik cuma bisa menjawab bagaimana". (halaman 235)
"Sebagian bukti datang terlambat, Moris, sebagian lainnya tidak muncul sama sekali" (halaman 345)
dan, "Siapa itu Indira?" "Perempuan cantik," ucap Bram, "yang mengerti bahwa kopi harus diminum tanpa gula."
Dan begitulah, Metropolis kuakhiri dengan perasaan geregetan. Empat bintang cukup mewakili perasaan tersebut. Dan kututup ulasan dengan 90% curhat ini dengan hamdalah. Berikutnya, aku butuh cerita romansa ala Mbak Windry aja. XD
4 🌟 untuk novel ini. Ini bukan kali pertama aku baca karya Windry Ramadhina. Beberapa kali aku pernah membaca karya Windry, dan semuanya ber-genre romance. Aku sedikit terkejut saat menemukan novel Windry yang ini. Novel ini berbeda dengan beberapa novel Windry yang pernah kubaca. Kali ini Windry menampilkan novel dengan genre thriller.
Ini kereeen siih.. Windry berani menampilkan sesuatu yang berbeda dari biasanya. Dan menurutku, dia telah berhasil memberi efek tegang sekaligus penasaran ke pada para pembacanya.
Aku acungi jempol untuk penulis. Walau tidak bisa dikatakan sempurna.. Tapi sebagai penulis yang dikenal dengan novel-novelnya yang bergnere romance, Windry cukup mumpuni menggarap novel dengan genre thriller. Bener-bener kereen laah...
So, buat kalian yang suka novel berbau thriller. Kalian nggak boleh melewatkan novel ini..😉
Sebelum membuat review ini, tentu saja gw udah dihadapkan dengan salah satu review yg mengkritik habis ketidakakuratan tentang pangkat dan segala hal kepolisian di buku ini. Yah, menurut gw emang sulit menghadirkan tulisan yg 100% akurat. Pasti ada aja yg kacau. Kalo menurut gw sih mending ga usah pake karakter utamanya polisi sih. Atau pake settingnya jangan di Indonesia, tapi di negara fiktif yg ga bisa diperdebatkan keakuratannya, hehe.
Anyway, gw akan berusaha mengabaikan review tadi, karena terlepas dari ketidakakuratan di masalah kepolisian, buku ini punya cerita dan karakter2 yang kompleksitasnya cukup oke. Jangan terpaku dengan salah satu detail sehingga gagal menikmati hal yg lebih utama. Plot dan karakter.
Plotnya berkisah tentang dunia gangster pengedar narkoba. Diceritakan, peredaran narkoba di Jakarta dikuasai oleh Sindikat 12, yg terbagi menjadi 12 geng yang masing2 memiliki daerah kekuasaannya sendiri. Dan saat ini situasi mereka sedang genting, karena satu persatu pimpinan mereka terbunuh. Seseorang berusaha menghancurkan Sindikat 12.
Kita pun berkenalan dengan tokoh-tokoh utama di cerita ini. Inspektur Agusta Bram yg menangani masalah narkotik dan sudah sekian lama menangani persoalan Sindikat 12. Dia bukan jenis polisi yg taat dengan aturan, tapi bukan lantas polisi korup. Dia membuat deal dengan pimpinan geng, demi mengejar target buruan yang lebih besar. Atau entahlah. Berikutnya Miaa (gw ga ngerti kenapa mesti ditulis a-nya dua, kalo pas diucapin juga kan yg kedengeran cuma satu). Bekas polisi yg punya latar belakang sebagai anak kandung salah satu pimpinan geng yg terbunuh. Dia juga ikut menyelidiki kematian para pimpinan geng, dan kemudian terlibat dengan aktor utamanya. Berikutnya Johan, yg juga berasal dari dunia mafia. Ayahnya adalah bekas bos mafia penguasa Jakarta, yg kemudian disingkirkan oleh orang-orang yang kemudian mendirikan Sindikat 12. Johan-lah orang yang berada di balik pembunuhan pimpinan Sindikat 12, sebagai balas dendam atas kematian ayahnya. (Wah, jadi Johan ini semacam Daenerys Targaryen #OOT) Kemudian ada Sindikat 12, para pimpinannya, termasuk pemimpin utama mereka yg misterius, yg memiliki nama samaran Blur.
Karakter-karakter pendukungnya juga cukup banyak. Erik, asisten Bram. Burhan, atasan Bram yg menyebalkan. Moris, atasan Bram yg udah pensiun. Ferry Saada, anak pimpinan geng yg menggantikan ayahnya. Shox, Bung Kelinci, dll yg jadi pimpinan Sindikat 12. Blur. Aretha, wanita yang membantu Johan dan terlibat dalam pencucian uang Sindikat 12. Indira, gadis yang juga peduli dan merawat Johan, dan nantinya juga ditaksir oleh Bram. Ibunya Miaa yg dirawat di rumah sakit jiwa. Dune, si pembunuh yang lihai menjalankan tugasnya. Ngg siapa lagi ya, udah kayaknya.
Melihat plot dan banyaknya karakter, gw jadi terbayang dengan The Raid 2, yg sebentar lagi bakal tayang di bioskop. Mungkin kalo dari segi action, jauh ya. Action di buku ini boleh dibilang minim, tapi kompleksitas plotnya mungkin serupa. Dan karakter2nya pada cool semua, tenang, dingin, tapi sering sok. Coba aja baca di bagian Bram, Johan, Aretha, Miaa, dan Indira.
Meski begitu, ga bisa dihindari, membaca buku ini serasa ada yg kurang. Tentang bahasa dan nama-nama yg digunakan (ada beberapa yg aneh, seperti Shox (?), Blur, Moris Greande, dll). Secara garis besar, memang aneh baca cerita kriminal tapi settingnya di Indonesia. Seandainya seting dan karakternya di luar, mungkin gw asik-asik aja. Selain itu, dari gaya penulisan juga seakan masih ada yg kurang. Di beberapa kesempatan, ada bagian2 yg menggunakan deskripsi mendayu2 yg ga perlu, seperti kondisi angin yg bertiup dan sejenisnya.
Terlepas dari segala kekurangannya, gw harus berikan acungan jempol untuk Mbak Windry yg berani nulis dengan genre ini. This is the kind of book that I want to read, (and hopefully write someday). Di antara kumpulan buku2 ala gagas yg temanya cinta atau drama, kemunculan genre kriminal macam ini perlu didukung dan diapresiasi. 4 bintang untuk buku ini. 3 untuk ceritanya, 1 untuk effortnya.
Lain-lain: tanda pergantian sub chapternya sering ga ada, dan tau-tau udah ganti pembahasan aja. lalu ada di awal yg pake font berbeda, yg sulit kebaca. ada juga bagian dimana terlihat memaksakan menggunakan variasi kata (biar ga sering diulang2 di satu paragraf), tapi jadinya aneh. beberapa detail yg gw ga yakin bener ato engga: - air bisa membunuh jika dimasukkan dalam pembuluh darah - pengadilan negeri tidak mengeluarkan surat perintah lagi (atau ini cuma argumennya Bram) - transaksi GBP (mata uang Inggris). bukannya yg lazim itu transaksi bursa saham ya? - penyebutan Joe Black sebagai istilah malaikat maut. Ini apakah karena berdasar hanya dari film Meet Joe Black? *yg maen Brad Pitt dan salah satu keluhan utama gw: Kenapa ga dikasih penjelasan nama Erik, asisten Bram yg cewek itu, asalnya darimana?
Judul Buku : METROPOLIS: Demi ayahku yang sudah mati…
Pengarang : Windry Ramadhina
Penerbit : Grasindo, 2009
Jika dilihat dari judulnya saja yakni METROPOLIS dengan tanpa menggunakan sub judulnya yakni Demi ayahku yang sudah mati… saya mungkin akan menduga bahwa ini hanyalah novel sejenis chicklit biasa yang mengangkat tema cerita gaya hidup anak muda modern metropolitan yang kadang basi namun menggiurkan bagi kalangan masyarakat bawah. Namun ternyata tidak. Ada sub judul yang membuat calon pembaca menjadi penasaran ditambah performance buku (cover) yang cukup tak biasa yakni dengan design ala surat kabar yang ‘ternodai’ bercak darah merah kental yang menghitam. Dan lantas dengan dua petunjuk itu, para calon pembaca pun telah bisa menyimpulkan, bahwa ini bukan sekedar novel biasa.
METROPOLIS merupakan novel yang mengangkat isu kriminalitas (seperti yang dikatakan Sefryana Khairil dalam testimoni di back cover) yang terjadi di dunia kejahatan narkotika. Novel ini seolah-olah sedang mengungkapkan jaringan dari sindikat pengedar narkotika di Indonesia juga berbagai kasus pembunuhan yang ada di dalamnya. Dimulai dengan diceritakan terbunuhnya Leo Saada, pemimpin jaringan narkotika di wilayah 10, di awal bab pertama. Selanjutnya cerita terus merangkak dengan mengungkapkan kematian pemimpin jaringan narkotika di wilayah lain yakni Ambon Hepi. Kasus utama yang tengah diceritakan novel ini memang merupakan sebuah pembunuhan berantai yang terjadi pada 12 orang pemimpin jaringan narkotika yang ada di Jakarta. Setidaknya itulah ‘petunjuk’ pertama soal novel ini yang ada pada halaman 28 dan dimuat di back cover.
Bram, seorang polisi dari reserse narkotika mencoba mengusut kasus ini dibantu dengan asistennya, Erik. Dari upayanya mengusut kasus ini, pembaca menjadi paham bahwa kasus yang sedang ditangani Bram cukup rumit. Ada seseorang yang menjadi dalang dari upaya pembunuhan berantai ini. Dan dugaan inilah yang kemudian membawanya kepada kasus yang pernah terjadi sebelumnya, yakni pembakaran rumah seorang pengedar besar di Jakarta (Frans Al) sebelum ada 12 orang yang mengambil alih bisnis terlarang ini dan membaginya menjadi 12 wilayah jaringan. Alur terus mengalir maju dan mundur tanpa membuat bosan pembaca. Tokoh-tokoh seperti Miaa (polwan yang dipecat dari kesatuannya), Aretha (wanita yang dianggap rekan bisnis yang sempurna bagi para pengedar dan menjadi orang yang paling tahu segalanya), Johan Al (pria pesakitan yang dengan otak cerdasnya bisa menjadi dalang dari pembunuhan berantai ini), Indira (wanita cantik yang ternyata merupakan adik dari Johan) juga mengambil peran penting dari kasus yang dipaparkan novel ini. Tentunya tanpa mengabaikan kepentingan peran tokoh lain seperti Ferry Saada, Moris, Dunne dan juga para pemimpin dari sindikat 12 yang tersisa.
Dan akhirnya setelah melewati proses yang panjang seperti perang tak-tik, kematangan konsep, hingga memakan nyawa terbongkarlah siapa, apa dan bagaimana sebenarnya kasus itu terjadi. Namun tidak hanya itu, pada akhirnya novel ini pun memberikan kejutan bahwa ada keterlibatan dari pihak kepolisian dalam kasus ini. Terlebih lagi anggota kepolisian tersebut menjadi salah satu pion penting dari sindikat 12.
Novel ini luar biasa. Butuh riset yang matang untuk konsep cerita dalam novel ini, dan penulisnya sudah mengatakannya sekilas dalam kata pengantar yang saya anggap bahwa novel ini pun telah melalui proses riset dan diskusi yang cukup. Saya hanya butuh satu hari untuk membacanya, karena tidak ingin melewatkan sedetik pun untuk mengetahui kejutan atau petunjuk atau jejak yang akan dipaparkan novel ini. Meski kadang harus menahan napas dan ikut berpikir keras seolah-olah sedang ikut menangani kasus yang terjadi. Yang menarik ialah, penulisnya tidak berusaha atau ‘sok-sok-an’ misterius dalam menyembunyikan siapa yang menjadi dalang, otak, penghubung atau penyedia eksekutor dalam kasus ini. Penulisnya cukup terbuka kepada pembaca dalam memaparkan kasusnya hingga novel ini tuntas. Meski begitu, tidak mengurangi perasaan tegang atau keingintahuan pembaca untuk membaca novel ini hingga tuntas. Mungkin istilah lainnya ialah novel ini memiliki alur dan konsep cerita yang tidak mudah ditebak.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Kalau di televisi atau di berita-berita, biasanya yang diulas hanyalah berita mengenai politik, adu debat ini-itu yang nggak berkesudahan atau malah gosip-gosip yang sering bikin blunder dan kepala geleng-geleng gak karuan. Tapi bagaimana dengan narkoba? Bagaimana dengan para pengedar? yah... yang pengedar kelas kakap, bukan yang kelas abal-abal. *digeplak*
Baru pertama kali ini saia membaca thriller-misteri-pembunuhan-taktik atau apalah, pokoknya intinya thriller :)), seperti ini. Seru! Menegangkan dan membuat saya hanyut dalam cerita. Walau saya tidak tahu apa-apa tentang bagaimana cara polisi menyelidiki ataupun lain-lainnya (saya cuman asal manut sama pengarangnya aja deh :malu: ).
Banyak karakter ada di sini seperti Bram, Miaa, Erik, Ferry dan lain-lain. Karakter setiap tokoh terbangun dengan sangat baik dan kuat sehingga membuat saya tidak salah membedakan antara tokoh satu dengan tokoh lain walau... karakter-karakternya rada klise sih (mereka rata-rata tampan dan cantik), tapi saya tidak mempermasalahkannya. Selama saya menikmati ceritanya, saya anggap hal itu juga patut dinikmati :D.
Tokoh favorit saya di sini adalah Johan dan Miaa. Walau awalnya saya illfeel mati-matian sama Miaa, tapi pada akhirnya saya kalah dengan kerumitan hubungan mereka berdua. Mereka berdua memang nggak banyak berkata-kata, tetapi dibanding tokoh-tokoh yang lain, saya merasa hubungan mereka yang paling dalam.
Hubungan mereka itu ibarat seperti lagu one more night - maroon 5 : You and I go hard at each other like we're going to war. You and I go rough, we keep throwing things and slamming the door. You and I get so damn dysfunctional, we stopped keeping score. You and I get sick, yeah, I know that we can't do this no more.
But baby there you go again, there you go again, making me love you. Yeah, I stopped using my head, using my head, let it all go. Got you stuck on my body, on my body, like a tattoo. And now I'm feeling stupid, feeling stupid, crawling back to you.
Selain kedua tokoh tersebut, saya juga sedikit heran dengan tokoh bernama Aretha. Sebenarnya siapa dia? Saya tahu, dia adalah salah satu orang yang berpengaruh penting pada kegiatan bisnis para pedagang Narkotika. Tapi, kenapa dia sampai melibatkan dirinya pada rencana berbahaya seseorang? Ini aneh, bahkan terkesan janggal. Sampai akhir pun saya tak menemukan titik terang mengenai hubungan Aretha dengan orang tersebut hingga saya menyimpulkan sendiri, mungkin saja Aretha adalah - piiip - orang tersebut. Bagaimana cara dia khawatir, bagaimana cara dia bertindak-tanduk. Well, cukup memungkinkan walau penulis mengatakan sendiri kalau keduanya tidak ada hubungan darah.
Untuk Bram si polisi kesiangan. Aku cuman kasian sama dia. Sepertinya, tokoh utama di buku ini bukan dia. :))
Kemudian untuk pola pembunuhan dalam buku ini, jujur aja, aku gak paham! Tapi sekali lagi, aku sama sekali nggak mempermasalahkannya. Alur ceritanya enak. Gaya bahasanya pun juga sama saja. Alhasil, buku ini tamat saya baca setengah hari :D
Senang rasanya bisa menamatkan beberapa buku setelah beberapa hari ini terikat galau sama proposal-proposal yang belum selesai :3
Rate 5/5 untuk buku ini. Buku ini masuk salah satu buku favoritku setelah The road to the empirenya shinta yudisia ^_^
Cerita dalam buku ini diawali dengan suasana pemakaman Leo Saada, salah satu mafia penting di Jakarta. Kematiannya yang tidak wajar, yaitu terbakar di dalam mobilnya sendiri, meninggalkan tanda Tanya bagi banyak orang, terutama puteranya Ferry Saada. Kematian Leo menyusul kematian beberapa gembong mafia yang tergabung di dalam Sindikat 12. Sindikat 12 sendiri adalah lelompok mafia pemasok narkoba yang menjadi momok bagi polisi karena selalu bisa lolos dan tidak tersentuh hukum. Agusta Bram, adalah anggota polisi Sat Reserse Narkotika yang mengusut kasus Sindikat 12. Kasus ini semakin membesar ketika satu persatu pemimpin Sindikat 12 tewas terbunuh. Dibantu Erik, polwan asistennya, mereka mencoba membongkar misteri pembunuhan tersebut, walaupun sebenarnya kasus ini bukan lagi di bawah wewenang mereka. Kematian para pemimpin Sindikat 12 ini ternyata ada hubungannya dengan kejadian masa lampau, dimana sebelum Sindikat 12 ada, perdagangan narkoba di Jakarta dikuasai oleh satu orang, Frans Al. Kali ini putranya, Johan Al, yang dikira telah mati terbunuh bersama orangtuanya menuntut balas demi kematian ayahnya. Tapi tentu saja kasus ini bukan hal yang mudah, karena melibatkan oknum mantan polisi wanita yang belakangan ketahuan bahwa dia adalah putri dari Leo Saada. Demi ayahku yang sudah mati…. Tagline dari judul novel yang terpampang di sampul buku ini, memang menjadi benang merah dari kisah dalam novel ini. Masing-masing tokoh membawa dendam masa lalu, membalaskan kematian ayah mereka. Mengenai judulnya “Metropolis”, cukup mewakili tentang Jakarta yang metropolitan dengan segala persoalan di dalamnya. Walaupun di dalam buku ada juga pub yang bernama sama yang menjadi salah satu tempat penting dalam cerita ini. Tema kriminal dan misteri yang tidak biasa diangkat oleh penulis fiksi di Indonesia tersaji cukup baik dalam novel ini. Riset mendalam tentang mafia narkoba di Jakarta yang dilakukan oleh Windry menambah bumbu dalam cerita ini. Apalagi didalamnya disertakan beberapa gambar denah TKP yang membuat pembaca ikut memahami setiap kasus yang dihadapi oleh tokoh. Walaupun di pertengahan buku sudah ketahuan siapa pembunuh sebenarnya, tetapi kejutan masih tersaji hingga halaman terakhir. Alur ceritanya memang lambat, sehingga pembaca yang bukan penikmat misteri pasti akan berhenti membacanya di tengah-tengah buku. Saya sendiri pertama kali tertarik oleh covernya yang seperti surat kabar dengan bercak darah. Tadinya saya mengira ini adalah novel terjemahan sampai saya melihat nama penulisnya yang juga penulis buku Orange. Berbeda dengan kisaha Orange yang bittersweet, dalam buku ini kisah roman tidak banyak. Hanya sedikit saja,itupun semua menjadi kasih tak sampai :) Empat bintang untuk Metropolis.
Sindikat 12, dua belas kelompok yang menguasai perdagangan narkotika di ibukota. Selama bertahun-tahun mereka berkuasa, tapi kini satu per satu ketuanya mati terbunuh.
Bram, seorang inspektur dari Sat Reserse Narkotika Polda Metro Jaya. Ayahnya, seorang pecandu narkoba, mati dibunuh oleh pengedar karena tidak mampu membayar utangnya.
Menyelidiki kematian para ketua Sindikat 12, Bram perlahan-lahan menelusuri masa lalu kelompok itu dan orang-orang di baliknya.
Review
Nemu buku ini di Kompas Gramedia Fair Surabaya. Sudah lama pengin baca novel ini. Untung berjodoh dengannya di KGF lalu ^^.
Gaya penceritaannya asik banget. Terasa seru dan ada banyak lapisan yang membuat saya penasaran dan susah melepas novel ini.
Karakter-karakternya juga menarik. Bram diceritakan sebagai seorang polisi yang mau kompromi untuk memperoleh tujuan lain. Bukan tujuan yang bersifat untuk kepentingan sendiri, tapi yang bisa membuatnya maju selangkah untuk mendapatkan hasil akhir dari kasus-kasusnya. Salah satu contohnya, dia mau memberikan bukti transaksi narkotika Ferry Saada, anak Leo Saada, salah seorang ketua Sindiat 12, demi mendapatkan bantuan Ferry untuk mengejar pelaku pembunuhan ketua Sindiat 12.
Karakter yang lain seperti Erik, bawahan Bram yang gaya penyelidikannya bertolak belakang dari Bram, serta Miaa, perempuan misterius yang juga mengejar pelaku pembunuhan Sindikat 12, juga menarik.
Salut untuk Windry Ramadhina yang sukses membangun atmosfir cerita yang seru dan membuat saya percaya kalau dia melakukan banyak riset untuk novel ini.
Walau begitu, masih ada beberapa kekurangan, seperti penggunaan pangkat kepolisian yang agak salah (seperti yang ditulis salah satu reviewer di Goodreads), serta kenapa Aretha, wanita yang membantu perputaran uang Sindikat 12, mau repot-repot membantu dalang pembunuhan itu.
Terlepas dari kekurangannya, saya tetap suka sama novel ini dan berharap Windry Ramadhina akan menulis novel bergenre serupa di masa depan.
Aaaaa... Windryyyy.. Kau tidak pernah mengecewakanku.. Haghaghag... Sempat terseok-seok untuk membangun ketertarikan pada novel ini sampai halaman 60an lah tapi selanjutnya cetar membahana badaaai #terSyahrini. Seperti yang kubilang sebelumnya, aku lebih suka cerita romance tentang galaunya seseorang yang bertemu mantan ketimbang galaunya polisi yang geram karena tidak berhasil menebak pola pembunuhan berantai. Tapi, Windry mengemasnya kemudian dengan sebuah sajian yang lezat dan yummy. Seperti disodorkan spagheti yang tak begitu kugemari tapi aku bisa menyantapnya dengan lahap dan ketagihan.
Saranku nih ya, buat para calon penulis yang pengin nulis novel bagus jangan baca deh karya2nya Windry. Bisa bikin melipir, minder dan terjengkang. Karena saking bagus dan rapinya karya-karyanya. Hahaha.... Becanda kaka.... Baca aja gih bisa buat belajar kan ya ;)
Nggak bermaksud membandingkan tapi yaaa tetap aja namanya ngebandingin ya. Aku jadi kepikiran dengan novel-novel sejenis Metropolis ini. Dan Metropolis ini alur dan plotnya rapiiii... Jadi tidak ada yang membuat aku merasa "Duh, kebetulan lagi, kebetulan lagi." Dengan kata lain unsur kebetulan nyaris nihil dalam cerita ini. Kemunculan dan ketiadaan tokoh-tokoh di dalamnya ada penjelasan latar belakangnya. Nggak serta merta muncul mendadak.
Belum lagi kejutan-kejutan yang bikin rasanya aku pengin teriak "Ih.... Nggak nyangka. Ternyata dia yang ini dan itu." So, buat kamu yang suka membaca dan suka terlibat dalam petualangan kayak gini, perhatikan hal-hal kecil yang kamu jumpai dalam cerita. Karena bisa jadi itu jadi petunjuk kuat untuk mengungkap misteri-misteri dalam cerita. Apa istilahnya? Plant Harvest?
Dan ending novel ini Sempurnaaa.... "Aku seorang Al, Miaa." Sempurna buat bikin sekuelnya dan aku menantinyaaa..... :)
Penulis buku ini benar-benar ngeselin yaa... Membaca setiap tulisannya seperti punya magnet. Gak bisa ditutup ni buku.
Kesel, karena belum bisa menulis sebagus ini. Meskipun cerpen2nya yang jadi favoritku saat di kemudian.com. Metropolis adalah novel windry yang pertama kubaca. Hehe... Aku tau novel2nya pasti bagus. Tapi aku ingin dengar dari seputaran dulu. Dan akhirnya, metropolis tiba untuk kubaca.
Sebenarnya genre ini bukan genre yang biasa kubaca. Apalagi cerita kriminal, dan jelimet dengan teka teki kasus. Tapi kekuatan tulisannya membuat imaginasiku bekerja dengan baik. Lembar yang membuatku tergerak membaca sampai kandas adalah ketika kehidupan bandar narkoba di ulas begitu logis. Bagiku membaca novel bukan untuk sekedar menikmati alur cinta-cintaan, kisah cinta cuma efek samping dari novel. pemanis doank. Sebuah novel yang kucari adalah novel yang punya ruh. Yang punya misi memberikan pengetahuan, kritik kehidupan sosial tanpa terlihat menggurui.
Eh..Metropolis tak sedalam itu sih...tapi membuatku paham, bagaimana bandar narkoba bekerja, dan bagaimana mereka terhubung dengan bisnis pencucian uang. Tulisan Windry yang kubaca, selalu kutemukan ide itu bercampur dengan adukan perasaan yang bikin kecanduan membacanya.
Cuma sedikit janggal dengan akses jendela yang mudah dimasuki si pembunuhnya. Aih...jerjak besi kan selalu ada dirumah2 Indonesia. Itu saja sih yang cukup menganggu. Metropolis cukup tebal ya...tapi menurutku bisa lebih tebal lagi. Banyak cerita yang ingin aku tau tentang tokoh-tokoh ceritanya. Juga adegan yang terlalu cepat antara mia dan johan. Oya..aku jadi teringat film andy lau, karena tersebut dalam cerita. Dan johan Al itu...mirip banget sama salah satu film yang bikin andy lau terkenal lah...hmm...lupa judulnya :D
**** Hadduuh...cerita ini bikin ku naksir berat dengan Johan Al.Dan ending kisah Johan Al...sekali lagi membuatku kesal. ugh...
Seneeeeng banget bisa nemu novel dalam negeri model begini. Sekarang ini novel-novel dalam negeri didominasi novel romance sih. Lama-lama jadi males....
Oke, mari kita review.
Menurutku, cerita di novel ini keren banget banget! Keliatan kalo Kak Windry bener-bener riset buat nulis ini. Tulisannya nggak asal.
Yah, kemarin sempet baca review lain sih yang komentar tentang kesalahan-kesalahan yang berhubungan dengan kepolisian. Berarti risetnya Kak Windry kurang ya? Mungkin gitu. Jadi masukan ya Kak biar risetnya diperdalam lagi :D Tapi, lepas dari kesalahan-kesalahan itu, menurutku novel ini bener-bener keren. Walau mungkin di cerita-cerita luar negeri udah banyak yang nulis model begini, aku seneng banget bisa baca novel begini dengan setting dalam negeri!
Terus, semalem sempet ngikutin bincang penulis di twitter tentang novel ini juga. Katanya, Kak Windry di sini emang fokus sama karakter-karakternya. Mau menunjukkan kalo nggak semuanya 'hitam-putih' tapi ada juga abu-abu. Dan menurutku, Kak Windry sukses banget menampilkan itu. Aku suka hampir semua karakternya. Suka banget cara Kak Windry menampilkan emosi karakter-karakternya, sikap dan kegalauan tiap-tiap karakter menghadapi masalah masing-masing.
Novel ini bukannya sempurna juga sih. Selain tentang jabatan kepolisian yang (katanya) banyak miss (aku nggak bisa komen karena nggak ngerti), ada . Tapi tetep aja, novel ini memuaskan buatku, jenis cerita yang sangat aku suka.
Jadi, walau ada kekurangan-kekurangan tadi, aku nggak bisa mengurangi satu bintang. Setengah bintang mungkin? Ah, tapi karena rasanya hampir nggak ada novel yang sempurna, 5 bintang untuk novel ini udah pas kok :)
Ini buku Windry paling akhir kubaca karena genre-nya memang lain dari buku yang kubaca sebelumnya. Sengaja kuhindari karena baca blurb-nya yang memberi kesan dark. Dan aku akhir-akhir ini memang sedang mencari yang ringan-ringan.
Hanya saja, sebagai salah seorang penggemar Windry dan sudah punya semua bukunya, sulit melepaskan godaan untuk melewatkannya. Dan aku mulai membaca. Meski sudah dapat spoiler dari blurb tadi, aku tetap terkejut. Ini bukan seperti Windry yang kukenal di Memory, London, Interlude, Walking After You, Last Forever atau Montase sekalipun. It's a very different Windry. Yang menghubungkanku dengan Windry hanyalah bagian percakapan (meski sedikit miskin untuk buku ini) dan interaksi antar tokohnya. Dan untuk genre seperti ini, tidak banyak penulis lokal yang tertarik mengangkatnya. yang lekat di ingatanku karena banyak membaca bukunya adalah V. Lestari.
Aku suka buku Windry yang ini. Keluhanku hanya satu, coba jika tidak semua tokohnya dibuatkan part sendiri sehingga emosi kita yang baca tidak terputus-putus saat pindah part, atau seandainya saja fokusnya ke Johan dan Miaa serta menambahkan lebih banyak secene romantis (eh??? hehehe...). selain itu, 2 thumbs up karena berhasil membuatku patah hati meski sudah menduga endingnya akan seperti itu.
"Ketika kebahagiaan kita direnggut oleh orang lain, sakit hati akan membuat kita sulit percaya pada orang lain dan ketulusannya. Kita akan menghabiskan hidup untuk mencurigai orang. Hanya saja, akan datang waktunya ketika cinta membuatmu rela mengorbankan apapun untuk seseorang, meski kau tak sepenuhnya percaya padanya. Apapun, bahkan nyawa sekalipun"
Itu kalimatku sih. yang kusimpulkan saat menutup lembar terakhir. Semoga saja tidak terlalu salah..
Gue suka novel ini. Cara penulisannya rapi banget. Semuanya teratur dan detail. Mulai dari awal, ketika pemakaman Leo Saada, gue bisa ngebayangin gimana prosesinya. Gue jadi membayangkan film-film mafia, dengan mobil limousine hitam, para pelayat dengan baju hitam-hitamnya, yang perempuan lengkap dengan kacamata hitam, yang pria tetap cool. Lalu, masuk ketika tokoh-tokoh mulai muncul, gue ngebayangin sosok Ferry Saada bertampang seperti mafia-mafia Cina (tokoh langsung berubah dari wajah Latino ke wajah-wajah seperti Andy Lau – hehehe.. gue gak terlalu hafal nama-nama pemain film Cina, hanya sebatas Andy Lau). Lalu, tokoh Johan yang tampak rapuh, tapi berhati dingin. Tapi, entah kenapa, gue agak kesulitan membayangkan tokoh Bram – rasanya, semua yang gue inget, rada kurang macho untuk menggambarkan sosok Bram.
Perpindahan setiap bagian cerita juga rapi banget. Meskipun tempat dan tokohnya berbeda, tapi tetap berhubungan dengan bagian sebelumnya. Selain itu, Mbak Windry juga bikin blog khusus untuk novel ini. Di sana bisa diliat foto-foto ‘setengah wajah’ dari tokoh-tokoh di sini. Kaya’nya riset buat buku ini juga lumayan dalem. Istilah-istilah narkotika, kepolisian cukup detail. Gue menikmati banget baca buku ini. Gue ikutan tegang dan penasaran (beneran lho… Bukan karena gue dapet buku ini gratis, makanya gue suka…)
Buku pertama Windry yang saya baca. Saya kira Windry ini penulis cerita cinta-cintaan. Jadi walaupun blurb bukunya rada rada thriller detektif, tetep saya kira ada unsur romansanya. Ternyata....... emang ada. Tapi sedikit sekali. Dan jelas bukan itu isu utama yang diangkat di novel ini.
Ga ada ekspektasi sama bukunya, jadi saya cukup menikmati baca ini. Plotnya cepet, misteriusnya dapet, ceritanya ngalir, lumayan seru. Lumayan banyak ngasih kejutan juga. Tapi kok rasanya ceritanya muter muter musingin gitu yha? Padahal alurnya baik-baik aja rasanya, di ending semua misteri terkuak, semua rahasia terbuka juga. Tapi mbuh kok saya kurang masuk yha ke ceritanya. Mungkin karena kebanyakan aksi, dan tokohnya banyak, pake multiple POV pula, pendalaman karakternya jadi ga kuat. Ketika baca ini, saya berasa ga kenal siapa-siapa. Kayak liat cerita punya orang lain dari jauh, dan bukannya ikut masuk di cerita. Tokoh-tokohnya jadi kurang memorable buat saya, penggambarannya ga personal. Masa lalu Bram, masa lalu Miaa, kehidupan Erik, gimana si antagonis bisa jadi gitu padahal dia gini. Ah, tapi apa mungkin memang sebagian hal terlambat menjadi jelas dan sebagian hal tidak terjelaskan sama sekali? (((( NAON ))))
Atau mungkin karena tokohnya aja yang banyak jadi saya pusing? Apa karena saya bacanya di iJak jadi bawaannya pengen cepet beres? 360an halaman! Kleyengan juga mata Anabel.
Gw ngebayangin kisah the Godfather ketika membaca buku ini; hubungan antar geng mafia narkotika, persaingan mereka, perebutan wilayah, semua dipaparkan dengan baik oleh Windry. Risetnya pasti gila-gilaan mengingat plot dan jalan cerita yang jauh dari klise. Ceritanya mengalir dengan asik dan tiap muncul karakter baru, diceritain latar belakang si karakter jadi cepet nyambungnya. Alurnya cepat dan enak untuk diikuti.
Gw specially suka sama karakter Bram (hehe, who doesn't) gw ngebayangin dia inspektur polisi yang ganteng (nggak terlalu klimis, please), cool dan pintar, sesuai deh sama kriteria co idaman. Dan asiknya lagi, si Bram ini meskipun terlihat sempurna, dia sebenernya nggak sempurna-sempurna banget. Dia di cap sebagai polisi kotor. But it's okay, I still like him anyway :) Kira-kira bakal ada buku lagi tentang Bram gak ya? *ngarep*
Karakter lainnya di dalam novel ini juga kuat dan masing-masing menonjol dengan porsinya yang pas. Buku ini termasuk salah satu buku yang berhasil membuat gw begadang karena penasaran.
Berharap di masa yang akan datang mbak Windry akan kembali menghasilkan novel-novel seperti ini. Ini adalah novel karya penulis yang paling aku sukai setelah memori. Aku menyukai tokoh-tokohnya yang sinis dan konflik yang dibangun mulai dari awal sampai akhir. Banyak rahasia yang bertebaran, tokoh-tokoh yang misterius serta konflik percintaan yang -kalau boleh kukatakan 'cool'- itu.
Scene menjelang ending: saat Johan melakukan sesuatu untuk Miaa membuatku ikut merasa sesak dan tidak bisa membayangkan jika berada di posisi Miaa. Serta ending yang mengejutkan perihal kemungkinan masa depan Indira nantinya terasa sangat pas dan tidak berlebihan.
Aku mulai membenarkan pendapat seorang teman yang mengatakan bahwa unsur romance yang diselipkan pada novel-novel thriller, horror, fantasi, detektif atau apapun itu malah terasa lebih manis dibanding novel "pure" romance.
4,75 bintang untuk novel ini. 0,25 hilang karena suasana yang seharusnya bisa lebih mencekam dan fakta bahwa Indira mengetahui siapa Johan sebenarnya (padahal di awal digambarkan bahwa Indira memang menganggap Johan sebagai orang yang.... karena ia bahkan pernah tersipu malu dengan wajah memerah).
Waktu baca ini Siapa? Bagaimana? Kenapa? Selalu menjadi pertanyaan disetiap cerita. Jenius, teka teki pembunuh terakhir yg sebenarnya tidak terduga. Diawali dg pemakaman Leo Saada, salah satu gembong mafia yg terbunuh secara beruntun. Menjadi tugas Agusta Bram yg seorang instruktur polisi dibagian narkotika untuk memecahkan siapa dalang dibalik pembunuhan para pemimpin Sindikat 12 yg telah direncanakan oleh seseorang. Muncul Miaa, seorang mantan polisi yg juga ikut menyelidiki scr diam" kasus pembunuhan itu. Suka sekali, jarang penulis lokal memilih genre ini, penulisannya runtut, jelas dan tdk berbelit belit, teka tekinya pun tidak terduga. Sayang bumbu romannya sedikit sekali :D
Aku suka. Fix. Kalau biasanya mb Windry menghasilkan karya2 romantis yang syahdu, di novel ini mb Windry menghasilkan sebuah cerita criminal yang buatku pribadi, yang jarang membaca novel criminal macam Agatha Christie, sangat memuaskan . Aku nggak mendapatkan kerutan di dahi saat membacanya. Tidak ada yang membuatku kebingungan. Semua okey, dijelaskan dengan cukup jelas. Dan tiap lembarnya selalu membuatku semakin penasaran. Tidak butuh waktu lama untuk menamatkannya :) . Dan tetap, ada sedikit sisi romantis di novel ini. Walau sedikit, tapi tetap manis :). I love it. Semoga Kak Windry ada rencana bikin novel criminal sejenis ini.
pertama kalinya baca novel genre beginian :lol: saya suka dengan ide pembunuhan berantai pemimpin geng sindikat narkoba. seperti biasa, penulis menulis dengan rapiiii sekali. suasananya terasa gelap dan dingin, tetapi nggak terlalu menegangkan. baru mulai menegangkan di akhir, waktu ada baku tembak di gudang cokelat. teka-tekinya rapi, nggak bikin bingung, tapi agak membosankan di tengah karena banyak tokoh baru yang muncul. sanyangnya, romance-nya cuma dikitttt bgt dan ga seberapa kerasa. padahal berharap bgt sama romance nya windry.
Buku thriller yang bersih romansa! Cocok nih bagi kalian yang anti romens x))
Secara cerita, data, karakter, plot dan misterinya, semuanya diolah dengan bagus oleh kakak penulisnya. Tapi aku masih merasa ada yang kurang. Thrillernya ... cukup oke, bikin lumayan deg-degan, tapi agak kurang aksi. Berantemnya kurang. Klimaksnya gitu doang. Kejar-kejarannya tak sampai bikin tegang.
Yang terasa justru dramanya. Jadi mungkin bisa dibilang buku ini drama kriminal.