Salman, seorang remaja di Sedanau, Natuna, berkeinginan menjadi dokter untuk mengubah hidupnya agar lebih baik. Satu-satunya cara adalah dengan lolos beasiswa PEMDA Natuna dan menjalani pendidikan kedokteran yang panjang dan berat. Ia pun harus merantau ke luar pulau, meninggalkan keluarga, dan juga tambatan hatinya, Hamidah. Dalam menjalani kehidupan sebagai mahasiswa kedokteran itu tak mudah ia lewati bahkan membuatnya jatuh ke jurang depresi yang dalam karena menghadapi berbagai peristiwa besar yang membuat hidupnya berada di titik nadir. Mampukah ia mewujudkan cita-citanya dan menghapus kemarau di Sedanau? Sanggupkah ia bangkit dari keterpurukan yang bertubi-tubi mendera?
13 tahun lalu, menjelang kelulusan SMA, saya hanya bisa menyaksikan teman-teman saya berbicara mengenai jurusan kuliah impian mereka. Ada pun bahasan tentang di mana mereka akan melanjutkan kuliah, rasa excitement merantau ke luar kota, hingga layout kampus idaman mereka sudah menjadi topik sehari-hari.
Salman—tokoh di novel ini—mengingatkanku pada masa itu. Ia punya cita-cita luar biasa mulia, yaitu menjadi seorang dokter di Sedanau, salah satu kota asalnya yang terletak di Kepulauan Riau, Indonesia. Ayahnya adalah seorang nelayan berpenghasilan pas-pasan yang mesti menghidupi Salman, ibu, dan kedua adiknya. Tentu, jika dilihat dari perekonomian keluarga, Salman berharap terlalu tinggi.
Not gonna lie, saya pikir masaku sudah tamat ketika menyelesaikan SMA. Pada waktu itu, saya tidak berekspektasi apa-apa, kuliah hanyalah impian semu. Sejak SMP, saya sudah menerima beasiswa penyalur dana sosial pendidikan (pedasop) karena masuk golongan anak tidak mampu. Pun setiap kali dipanggil lewat toa sekolah untuk keperluan administrasi dan lain-lain, saya malu sekali karena diperdengarkan pada seluruh siswa satu sekolah. Rasa minder ini berkembang hingga tak punya keberanian sedikit pun untuk membayangkan rasanya melanjutkan kuliah.
Salman di masa mudanya belajar keras walaupun tidak mendapat sokongan kuat; sesederhana karena mimpinya susah digapai, dianggap tidak realistis. Selain belajar, pada siang hari ia mesti mengambil upah dari Pak Long Darwis—kerabat keluarganya yang mempunyai kedai ikan—untuk tambah-tambah biaya hidup. Lengkap sudah, bau amis sudah menjadi bagian dari hidupnya dan miskin adalah nama tengahnya.
Suatu hari, saya mendapatkan informasi ada beasiswa yang membiayai 100% biaya kuliah, dengan syarat harus mendapatkan nilai UN bagus dan mendapatkan ranking yang bersaing di sekolahku. Saya menyampaikan hal tersebut kepada orang tua, tentu saja tidak mendapat reaksi berarti karena masih ada biaya hidup yang akan menjadi beban mereka selama empat tahun kalaupun berhasil tembus.
Begitu pun dengan Salman. Darahnya berdesir kencang setelah mengetahui ada seleksi beasiswa Pemda Natuna. Pada tahap pertama, akan dipilih 6 kandidat peringkat teratas sebelum melanjutkan seleksi lebih dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura, Pontianak. Namun, ia tidak mendapatkan antusiasme yang sama dari orang tuanya. Bukan, ia bukan tak di-support untuk kuliah tapi memang kondisinya sangat memprihatinkan. Apalagi, saingannya pintar-pintar yang kebanyakan berasal dari sekolah ternama.
Abrar, salah seorang anak yang tampaknya suka iri, selalu merendahkan Salman. Bapaknya sendiri bahkan melabrak Bapak Salman dan mengatakan mereka hanya bermimpi untuk bisa lanjut kuliah kedokteran. Meskipun hal tersebut tak banyak berpengaruh, tapi hidup Salman terpojokkan oleh orang-orang di sekitarnya. Pandangan sinis berjamaah tidak mengenakkan.
Hamidah, yang menjadi tumpuan hati Salman, adalah adik kelas beda satu tingkat yang supportif. Mereka adalah sejoli yang sudah berikrar untuk setia satu sama lain sampai Salman jadi seorang dokter dan melamarnya nanti. Walaupun, kondisinya memang berat karena orang tua Hamidah tidak mengamininya. Mereka terpaut kesenjangan sosial yang besar.
Kegigihan Salman membuahkan hasil, ia berhasil melaju ke jurusan pendidikan yang ia targetkan walaupun selama perjalanannya ia berdarah-darah. Ia memulai hidup baru, memupuk harapan diri dan orang tuanya, bersungguh-sungguh menapak sedikit demi sedikit jalan menuju puncak yang dibayang-bayangkan.
Sedikit mengenang, bagaimana jalan Tuhan membantu kita memang tak dapat ditebak. Kampus yang saya tuju, membebaskan biaya pendaftaran untuk siswa/i yang mendapatkan peringkat pertama di sekolahnya. Kerja keras membuahkan hasil, uang dari yayasan beasiswa yang seharusnya dipakai untuk mendaftarkan bisa saya gunakan untuk membeli laptop pertamaku pada masa itu. Haru bahagia menyelimutiku, dan cerita Salman membuatku bersyukur, lagi dan lagi.
Bukan berarti beban Salman hilang setelah mendapatkan keinginannya. Hari demi hari ia bergelut dengan rasa khawatir karena mesti mencukupkan kebutuhan dari kiriman orang tua yang tak seberapa. Apalagi orang tuanya udah sakit-sakitan, kiriman juga sering terlambat. Ia mesti bekerja sampingan untuk mendapatkan tambahan uang. Padahal, ia mesti memperhatikan nilai akademiknya guna mempertahankan amanat yang telah diberikan padanya.
Waktu demi waktu berjalan, semakin banyak rintangan yang menguji ketahanan jiwanya. Berbagai significant loss tidak membuatnya langsung jadi lebih kuat, melainkan meruntuhkannya sedikit demi sedikit. Salah satu kelemahan Salman yakni tidak mau berbagi meskipun “gelasnya udah penuh”. Menahannya sendiri adalah cara terbaik supaya tidak merepotkan orang lain.
Hidup—sebagian besar—memang tidak pernah mudah. Gelap dan terang selalu datang silih berganti. Seperti kisah Salman, saya yakin bisa relate dengan banyak orang. Harapanku, semoga buku ini bisa sampai pada banyak orang lagi.
Seorang dokter obgyn, mendapati seorang pasien perempuan berusia 30 tahun sedang hamil tua dan akan segera melahirkan. Kondisinya tidak baik-baik saja. Dia mengalami PEB (Preeklamsia Berat). Suatu kondisi di mana ibu hamil mengalami hipertensi yang tinggi dan terdapat protein di urine-nya. Ini sangat membahayakan bagi ibu dan bayinya. Dan ternyata perempuan yang sedang hamil tua itu—sedang berada dalam hidup dan mati serta tanpa didampingi oleh suaminya—adalah mantan kekasih sang dokter di masa lalu.
Itulah adegan pembuka di novel ini. Hooked yang membuatku untuk terus membaca di lembar-lembar selanjutnya.
Jika kamu menganggap bahwa buku ini adalah buku romansa dengan latar belakang medis. Maka, ini lebih dari itu. Atau jika kamu menganggap bahwa buku ini adalah buku tentang bencana ekologis dan isu iklim lingkungan, maka simpanlah ekspektasi itu. Sebab, buku ini adalah tentang perjalanan seorang anak dari keluarga nelayan yang tinggal di daerah pesisir bernama Sedanau yang bercita-cita untuk menjadi dokter. Dokter pertama di desanya.
Cita-cita. Salman hanyalah anak seorang nelayan. Anak biasa-biasa saja. Ia tinggal di Sedanau—yang dijuluki sebagai kota terapung bertempat di Kecamatan Bunguran Barat, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Jadi, Sedanau ini memang “nyata” ada di Indonesia. Untuk ke rumah sakit terdekat, Salman dan para warga Sedanau lainnya harus ke RSUD Ranai atau RSUD Natuna dengan menggunakan perjalanan laut selama 1 jam dan perjalanan darat dengan ojek selama 1 jam. Jarak yang cukup jauh dan riskan apalagi untuk hal gawat darurat.
Salman anak yang pandai. Nilai-nilainya selalu bagus di sekolah. Namun, melihat bapaknya yang sering batuk dan sakit, sementara fasilitas kesehatan jauh dari rumahnya, membuat Salman ingin menjadi dokter. Tapi, biaya kuliah kedokteran sangat tidak murah. Hampir dipastikan jika biaya sendiri, Salman tak akan bisa kuliah kedokteran—bahkan untuk kuliah jurusan apa pun. Dia pun bertekad untuk lulus beasiswa pemda agar bisa berkuliah di FK Untan (Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat) agar biaya kuliahnya dapat dibiayai. Sementara untuk biaya hidup, orang tua Salman menyanggupi, namun Salman tidak enak hati karena biaya hidup pasti tidak murah karena harus merantau.
Perjalanan Salman untuk menjadi dokter sangat tidak mudah. Sempat gagal di seleksi beasiswa, kehilangan suryanya yang pertama, mengikuti ritme perkuliahan kedokteran yang sangat padat dan ketat, dan mencari pekerjaan sampingan demi meringankan beban orang tuanya dalam membiayai hidupnya.
Ada masa Salman menyerah dan ingin berhenti, namun ia tahu bahwa cita-citanya mulia. Ia tahu bahwa cita-cita ini butuh perjuangan. Ditemani orang-orang yang disayanginya dan teman-teman seperjuangannya, Salman bangkit lagi mengejar cita-citanya. Lewat buku ini, kita diajak “menemani” Salman meraih cita-cita. Jatuh 7 kali, bangkit 8 kali. Bagi kalian yang sedang berjuang meraih cita-cita, membaca buku ini serasa sedang dibersamai, sedang dipeluk.
Isu Kesehatan Mental. Perjuangan Salman untuk menjadi dokter begitu darderdor, brangbrengbrong, gedebag gedebug, sampai aku sebagai pembaca ikut merasakan pedih, sakit, sedih, terluka, dan marah dengan apa yang terjadi pada Salman. Surya keduanya tenggelam. Bahkan surya ketiganya pun pergi tanpa bilang. Hal itu terjadi bertubi-tubi. Orang-orang yang paling ia cintai pergi dari hidupnya. Fondasi hidup Salman retak dan berantakan. Ia tidak lagi bisa menerima dan menahannya. Salman pun jatuh sejatuh-jatuhnya, terluka seterlukanya.
Hal yang menjadi perhatianku di buku ini adalah bahwa penulis tidak membuat karakter—apalagi karakter laki-laki—yang kuat dan berhati besi baja. Justru karakter Salman itu begitu manusiawi. Sebagai laki-laki, Salman tidak takut kehilangan rasa maskulinitasnya. Jika ia sedih, maka ia sedih. Jika ia menangis, maka ia menangis. Laki-laki tidak bercerita? Kata siapa, laki-laki bisa bercerita, bisa bersedih, dan menangis.
Awalnya Salman tidak langsung menerima itu semua. Dia denial dan marah bahkan sempat kabur—lari dari kenyataan. Ini yang aku katakan kenapa aku suka karakter Salman. Karena dia bukan karakter suci yang too good to be true. Ada flaw-nya. Dan disanalah pengembangan karakternya muncul. Salman yang mengalami PTSD (Post Traumatic Syndrome Disorder) akibat kehilangan yang bertubi-tubi, pada akhirnya mencari pertolongan profesional. Bagi kalian yang memiliki struggle yang sama seperti Salman, jangan menyerah, carilah pertolongan, kamu akan segera pulih.
Isu Kesehatan. Sebagai seseorang yang concern di bidang kesehatan, aku menangkap peristiwa-peristiwa dan potret-potret gambaran kesehatan di Sedanau, yaitu diantaranya:
1.TBC (Tuberculosis) TBC ini adalah penyakit menular yang menyerang saluran pernapasan yang disebabkan oleh bakteri. Bisa sembuh. Tetapi, perlu penanganan khusus dan masa minum obatnya sangat panjang dan tidak boleh bolong atau lupa. Makanya TBC ini perlu adanya PMO (Pengawas Minum Obat). Melihat ayahnya Salman terjangkit TBC bahkan sampai TB-MDR (Multidrug-Resistant TB). Yaitu TB yang bakterinya sudah kebal/tidak mempan terhadap obatnya. Hal ini disebabkan salah satunya karena ketidakpatuhan minum obat.
Dari peristiwa yang dialami ayah Salman—hingga suryanya Salman tenggelam—sungguh memilukan. TB ini bisa diatasi, namun menjadi sulit untuk di eliminasi di Indonesia. Faktornya beragam. Kemiskinan dan pemerataan fasilitas kesehatan yang kurang merata bisa menjadi penyebab. Ditambah MDR-TB. Multifaktor. Potret seperti ayahnya Salman ini tidaklah fiksi. Mereka ada yang nyata. Banyak yang masih berusaha berjuang sembuh dari TB.
2.Kanker Serviks Kanker Serviks (leher rahim) adalah pembunuh wanita nomor dua di Indonesia, setelah Kanker Payudara. Dan hal ini yang dialami oleh ibunya Salman. Duh, Salman, hidupmu begitu berat 😭 Seharusnya surya kedua Salman tidak perlu tenggelam, bisa melihat Salman mengenakan jas dokter. Tetapi, sayang seribu sayang. Inilah potret kejadian kanker serviks di Indonesia. Kebanyakan terdeteksi ketika sudah stadium lanjut. Apalagi pengobatan kanker itu sangat mahal dan butuh ketahanan tubuh yang kuat saat kemoterapi. Maka dari itu, perlu adanya pencegahan dan deteksi dini untuk kanker serviks. Agar tak ada lagi yang seperti ibunda Salman, agar hidup lebih panjang, bisa melihat anaknya sukses.
3.Akses ke Fasilitas Kesehatan (faskes) Sedanau ini terletak di pulau. Bentuknya gugus-gugus kepulauan. Ingin ke RSUD perlu naik kapal atau perahu dulu. Dan belum tentu semua dokter—apalagi spesialis—ada semua di rumah sakit itu. Tak ayal harus dirujuk ke rumah sakit dengan tipe yang lebih tinggi untuk kasus-kasus sulit. RSUD Natuna—RS yang paling dekat dengan Sedanau berada—itu di tipe C, artinya hanya 7 dokter spesialis ( 4 utama, 3 penunjang) dan mungkin ditambah dokter spesialis lainnya, jika RS-nya merekrut. Ini merupakan potret kesehatan di Indonesia. Kemarau di Sedanau ini menangkap fenomena bahwa sakit itu perlu ekstra untuk pergi ke faskes. Meski bukan termasuk wilayah 3T (Tertinggal, Tedepan, Terluar), tetapi Sedanau merupakan wilayah pulau yang akses dan pemerataan nakesnya perlu diperhatikan. Makanya banyak yang berharap Salman menjadi dokter pertama di Sedanau.
Lokal dan Landmarks. Membaca buku ini serasa diajak jalan-jalan di Sedanau. Namun, tidak hanya itu, ada landmark-landmark= lainnya yang bisa dikunjungi sebagai napak tilas perjalanan hidup Salman. 1. Pantai Setanau Ini cantik banget. Pantainya jernih. Airnya biru. Wah, masuk bucket list nih kalau mampir ke Sedanau. Di sini Salman dan *uhuk* Midah pacaran, ciaaa. Tapi, mereka bareng teman-temannya yang lain kok :3 2. Tugu Khatuliswa Salman berkuliah di Untan. Kota Pontianak dikenal sebagai kota yang dilalui garis khatulistiwa. Aku baru tahu tentang fakta menarik di Tugu Khatulistiwa bahwa ada peristiwa setiap tanggal 23 September yang bernama Kulminasi Matahari. Saat itu matahari berada tepat di atas garis khatulistiwa, membuat bayangan benda tegak. Jadi, kalau kita berdiri di sana, maka kita tidak memiliki bayangan. Wow. Selain itu, katanya ada mitos, huhu. Kalau foto sama pasangan terus yang satu berada di sisi selatan, yang satu berada di sisi utara tugu tersebut, nanti nggak bakal jadi. Yah, pantes ya mereka karam, eh. 3. Jembatan Siti Nurbaya Momen melewati jembatan ini pas sekali dengan apa yang terjadi kepada Midah. Dia diajak nikah begitu saja oleh Abrar—orang yang selalu iri dengki pada Salman, asli deh setiap dia muncul, aku bawaannya senewen. Midah tidak bisa menolak karena dia sudah dijodohkan dari kecil oleh ayahnya dengan Abrar. Orang yang dianggap lebih pantas, lebih berada, daripada Salman. Dipaksa pinangan perjodohan dari orang yang tidak disukai, tepat saat melintasi jembatan ini. Tak hanya landmark(s)-nya yang bagus dan ikonik, di buku ini banyak menggunakan bahasa dan dialek Melayu. Kalau kalian pernah membaca novel Laskar Pelangi, vibe-nya itu mirip dengan buku ini.
Momen yang berkesan. Sebanyak 300 halaman lebih di buku ini, membersamai langkah Salman dari mulai dia anak SMA biasa, kuliah kedokteran, #kaburajadulu pulang kampung, balik kuliah, wisuda sarjana kedokteran, co-ass, bahkan sampai tetiba menjadi dr. Salman Adipura, Sp.OG (WOW!), ada beberapa momen “berkesan” dan berkesan untukku:
1. Crab Mentality warga Sedanau. Harusnya warga Sedanau itu bangga ada seorang putera daerah yang ingin menjadi dokter. Ini malah dikatain mimpinya ketinggian, nggak mungkin anak nelayan jadi dokter, dan ujaran kebencian lainnya. Iri dengki kalau lihat orang maju tuh. Sama kayak Abrar dan bapaknya (gemes banget sama mereka berdua). Jadi, pas ada scene bapak Abrar datang ke rumah Salman, minta dia untuk menjadi dokter di sini karena anaknya si Abrar nggak mau jadi dokter di Sedanau, dih … kata gue nggak tahu malu banget (maaf terbawa perasaan). Dan dengan “indahnya” Salman menjawab,
"Sedanau sudah terlanjur kemarau. Dan bukan saye yang bise menjadi awan untuk menurunkan hujannya." (p.280)
Inilah makna sebenarnya dari Kemarau di Sedanau. Bukan tentang ekologis atau isu iklim lingkungan. Sedanau kemarau karena orang-orang disananya yang tak mendukung seseorang yang ingin sukses. Mereka senang dengan kotak mereka yang itu-itu saja. Jadi nelayan, jadi pedagang, jadi ketika ada yang bermimpi tinggi, mereka patahkan semangat itu. “Hujan” pun tak jadi turun untuk membuat segar di sana.
2. Ketika Salman kehilangan surya ketiganya. Berbeda dengan dua surya yang tidak akan pernah kembali. Tenang di surga. Surya yang ini tinggal satu-satunya harapan Salman agar hidupnya tetap waras, tiba-tiba memberi undangan pernikahan tanpa tedeng aling-aling.
Ada satu adegan di novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck saat Zainuddin marah pada Hayati, nah di sini pun ada adegan yang sama. Sama-sama menyakitkan. Sama-sama luapan dari seorang pria yang marah dan terluka dikhianati yang paling dikasihi.
“Abang sekarang tak bisa membedakan mana padi mana ilalang, Midah. Kau telah menyebabkan Abang terluka. Abang kira saat kau membawa sirih, bertemu pinang, berteman kapur suci, tapi yang kau bawa malah getah damar dan kaca beling berbisa. Kau memang keterlaluan, Midah.”
“Abang kira kau bulan, Sayang. Yang dapat digengggam. Rupanya kau bintang nan jauh, yang tak mungkin kusentuh.”
💔💔💔💔💔💔💔💔 salman, sini yuk sama aku aja, yuk 🙁
Catatan. Buku ini masih banyak menimbulkan pertanyaan, mulai dari: 1. Apa yang hendak dikatakan oleh Midah selepas ia melahirkan kepada Salman? 2. Alasan Midah hilang tanpa bilang—selain karena dijodohkan—itu apa sebenarnya? Salman butuh proper closure. 3. Mengapa Salman memilih menjadi obgyn. Dengan apa yang terjadi pada hidupnya, aku kira Salman memilih menjadi dokter paru atau bedah onkologi? 4. Salman baru menjadi dokter pada tahun 2015. Tetapi, mengapa tahun 2019, sudah menjadi dokterobgyn? Karena kuliah spesialis obgyn itu 4-6 tahun. Belum lagi setelah menjadi dokter harus melalui masa internship satu tahun, baru bisa kuliah spesialis (beberapa program spesialis bahkan mengharuskan punya pengalaman kerja beberapa tahun dulu untuk bisa lanjut sekolah spesialis)? Nah, dari catatan di atas ini, tapi aku mendapat info A1 dari penulisnya (melalui X, hehe). Makasih, dok, sudah spill tipis-tipis [katanya mau ada season selanjutnya, jadi pertanyaan di atas mungkin akan terjawab di sana]. Wow, nggak sabar.
Rekomendasi. Akhir kata, buku ini sungguh inspiratif. Banyak insight dan gagasan yang menarik dan segar. Buku tentang perjuangan, harapan, dan kesembuhan. Buku ini cocok bagi kamu yang menyukai: 1. Genre slice of life dengan bumbu romansa dan perjuangan meraih mimpi dan cita-cita. 2. Cerita dengan lokalitas daerah yang sangat kental. Sedanau, Pontianak, dan Padang bisa menambah wishlist tempat liburan untuk kamu. 3. Tema kedokteran. Penulisnya pun dokter, jadi buku ini banyak istilah-istilah medis (meskipun nggak semua tahu artinya), tapi ambience dokter yang mengobati pasiennya dapet banget. Berasa lagi nonton Gray Anatomy atau Romantic Doctor.
“Apakah kamu percaya buah dari perjuangan? Bagaimana rasanya harus tenggelama dalam kisah kehilangan berkali-kali?”
Menyelesaikan buku Kemarau di Sedanau dengan perasaan haru, sedih sekaligus bangga dengan apa yang sudah berhasil dilalui Salman selama ini. Apakah kamu percaya buah dari perjuangan? Cobalah baca kisah perjalanan Salman sampai tuntas dan rasakan apa saja yang sudah dilaluinya sepanjang meraih impian tersebut. Tokoh Salman berasal dari daerah terpencil sehingga untuk bisa menjadi dokter tantangan yang didapatkannya lebih besar bukan hanya dari sisi akses namun sumber daya dan masalah keluarga juga menjadi sumber kerisauan hatinya. Dari buku ini kita bisa berkaca bahwa isu kesulitan pendidikan di daerah terpencil Indonesia memang masih banyak terjadi dan hanya orang-orang kuatlah yang mampu mendapatkannya. Di samping sisi kepiluan tersebut pembaca juga seolah diajak masuk melihat keindahan Sedanau dari deskripsi penulis yang rinci dan detail.
Dari Salman aku percaya bahwa setiap kali mengalami kehilangan dan ujian pasti ada kejutan besar yang menunggu seolah apa yang sudah pergi digantikan dengan yang baru dan tentu saja lebih baik dari sebelumnya. Sama halnya dengan kita semua, Salman adalah manusia biasa yang tak luput dari kekecewaan dan putus asa sehingga sempat keluar dari arah seharusnya. Dia tak hanya berperang dengan kondisi yang menimpa namun juga dengan dirinya sendiri. Apakah Salman justru kalah dengan dirinya sendiri dibandingkan saat perang melawan keadaannya dulu? Kemarau di Sedanau menampilkan kisah pilu orang yang memiliki keterbatasan biaya selain harus berjuang mendapatkan uang lebih banyak untuk keluarga ternyata banyak cacian, hinaan dan anggapan miring orang-orang terhadapnya. Bukankah semua orang seharusnya memiliki kesempatan yang sama tak memandang banyaknya harta?
Buku ini mengajak kita merenung tentang semua nikmat dan kemudahan yang kita dapatkan selama ini entah kita biarkan habis dan sia-siakan begitu saja tanpa hasil. Akupun juga berpikir atas semua kegagalan yang datang padaku akhir-akhir ini sepertinya belum ada apa-apanya dan kesulitan yang aku alami juga tak sebanding dengan Salman, rasanya seperti malu melihat diri yang mudah menyerah ini. Dari semua hal itu mari kita berusaha lebih keras dan tak gampang menyerah menghadapi masalah dan fokus meraih impian.
Tentang Perjuangan Mencapai Impian dan Lika-Likunya Kamarau di Sedanau membawa kisah tentang perjuangan mencapai impian tokoh bernama Salman. Banyak hal yang dia tak punya mulai dari sumber daya, akses sampai kondisi keluarga membuatnya ingin mundur dari kesempatan di depan mata. Salman harus banyak mengalami luka, cacian, hinaan dan kesulitan untuk bisa mencapai tujuannya. Buku ini berhasil membawa pembaca masuk ke dalam sisi emosional dan kelelahan yang dialami Salman semasa perjuangannya.
Ujian Berat Hidup dan Kehilangan Berkali-kali Salman mengalami ujian berat dalam hidup berawal dari kematian sang ayah, disusul dengan kematian sang ibu dan kekasih yang harus menikah dengan orang lain. Salman banyak mengalami kehilangan dalam sekejap membuatnya lengah dan lupa fokus utamanya dalam berjuang. Sama halnya dengan manusia biasa Salman juga hendak menyerah dan melupakan semuanya karena berpikir tak ada lagi untungnya mengingat semua orang terkasih meninggalkannya.
Fase Penyesuaian dan Penerimaan atas Segala Ketetapan Tuhan Sampai tibalah di titik Salman mulai masuk ke fase penyesuaian diri terhadap apa-apa yang sudah rumpang dalam dirinya. Dibandingkan menambalnya dengan orang-orang baru dia mencoba masuk ke fase penerimaan diri atas ketetapan Tuhan yang telah diterimanya. Perlahan dia mengerti sebaik-baiknya rencana yang dibuat akan lebih indah rencana dari sang pencipta. Meski terseok-seok akhirnya Salman kembali ke jalur yang seharusnya, menyelesaikan semua sisa perjuangan yang tinggal beberapa langkah lagi tersebut. Salman berhak bahagia dan membuka lembaran baru dari buku lama yang masih membekas.
Point Menarik dan Unggul dari Buku: • Kemarau di Sedanau menghadirkan kisah juang yang manusiawi memperlihatkan sisi kemampuan batas kesabaran manusia dalam menjalani ujian. Bagaimana seseorang harus mengalami kehilangan dan kekecewaan berulang kali namun tetap sabar dan kembali ke jalan yang benar. Buku ini menjelaskan naik turunnya iman dan kesabaran tokoh Salman dalam menjalani ujian kehidupannya. • Buku ini membawa alur yang cepat dan sat set dalam menonjolkan setiap peristiwa penting di dalamnya. Semuanya sangat runtut dan terasa nyata seolah kita bisa mendengarkan langsung setiap ungkapan hati dari masing-masing tokoh yang ada di dalamnya. • Aku suka bagaimana sentuhan pembelajaran terasa sangat nyata di dalam cerita mulai dari tanya jawab, topik yang dibawa, penambahan istilah medis lengkap dengan penjelasannya sampai bagaimana penulis menjabarkan praktek langsung Salman, dokter dan pasien nyata di dalam ruangan perawatan. • Buku ini banyak mengandung kutipan dari diksi dan ungkapan cantik lekat dengan nasihat kehidupan yang bisa kita highlight untuk reminder setiap saat terlebih ketika kadar iman sedang menurun.
Tokoh, Alur dan Pengembangan Karakter Buku ini sebenarnya membawa cukup banyak tokoh menarik di dalamnya. Adapun tokoh-tokoh yang cukup menonjol adalah Salman, Hamidah, Abrar, orang tua Salman dan teman-teman Salman semasa kuliah. Aku suka bagaimana penulis membuat karakter tokoh Salman yang cukup manusiawi bukan hanya sisi keteguhan yang ditonjolkan melainkan juga naik turunnya iman seseorang yang wajar namun bagusnya Salman bisa menemukan dirinya yang sempat hilang. Pengembangan karakter Salman dalam buku ini cukup kompleks, dia tak hanya harus berperang dengan keadaan melainkan dirinya sendiri. Kemudian Hamidah mulai memahami apa yang salah, Abrar terbuka sifat aslinya dan kepedulian teman-teman Salman yang semakin memancar menuju akhir cerita terlebih dari sisi Raisa.
Penekanan Konflik dan Eksekusi Konsep Cerita Konflik utama yang dibawa dalam cerita Kemarau di Sedanau adalah mengenai perjuangan hidup dan perjalanan pilu tokoh bernama Salman yang mengejar cita-citanya sebagai dokter. Untuk mencapai cita-cita tersebut jelas tidak mudah, Salman tak punya segala yang dibutuhkan mulai dari akses, sumber biaya dan juga kondisi keluarga yang tidak memungkinkan. Di balik semua kesulitan itu Salman berhasil melaluinya meski terseok-seok di tengah jalan. Ada bumbu-bumbu cinta dan patah hati yang berhasil merenggut semangat Salman namun semuanya berhasil teratasi dengan baik. Aku suka bagaimana penulis mampu mengeksekusi cerita secara mendalam bukan hanya penuh kesedihan namun juga berhasil membalikkan kondisi tokoh secara rasional. Porsi antara perjuangan dan apa yang didapatkan tokoh sangat seimbang.
Penyelesaian Cerita dan Ekspektasi Pembaca Kemarau di Sedanau berhasil menyelesaikan setiap konflik dan bagian yang masih mengganjal menjadi cerita utuh sampai tuntas meskipun menyisakan sedikit tanda tanya untuk pembaca di bagian akhirnya. Jujur saja cerita ini lebih dari ekspektasi dalam kepalaku mengingat sentuhan emosionalnya sangat mendalam. Aku seperti merasakan sakit, pilu, kekecewaan dan juga kerapuhan dari diri Salman yang begitu teguh. Bagaimana kehidupan hamba Allah yang hilang arah sampai akhirnya menemukan arahnya untuk kembali pulang. Bukan hanya sekedar motivasi untuk bangkit maupun kisah inspiratif menggebu melainkan juga sebagai tamparan untukku yang selama ini masih banyak mengeluh.
Seberapa Jauh Buku Ini Mencapai Tujuannya? Kemarau di Sedanau berhasil mencapai tujuannya sebesar 95% dari 100% mulai dari konsep utama, konflik yang dibawa serta detail penting sebagai penguat latar tempat maupun suasana cerita. Dari setiap deskripsi keindahan tempat, kesulitan tokoh dan juga bahasa yang digunakan membawa pembaca seolah benar-benar masuk ke dalamnya. Aku suka bagaimana penulis memasukkan setiap komponen krusial sebagai pembangun cerita yang lebih dramatis. Jadi, kesan dari Natuna itu sendiri bukan hanya sekedar tempelan namun melekat sepanjang cerita begitu juga dengan sudut pandang pemikiran orang-orang di dalamnya.
Apa yang Kurang dari Cerita? Kemarau di Sedanau memberikan prolog pembuka cerita yang page turner mengantarkan pembaca menuju kilas balik cerita penuh kepedihan. Menurutku semua hal yang dimasukkan sudah sepadan sesuai porsi seharusnya. Hanya saja aku masih merasa ada yang menjanggal di bagian akhir cerita mengenai kelanjutan Raisa dan Salman. Apakah mereka akhirnya bersama atau Salman masih harus berjuang lagi untuk perang batin dengan dirinya sendiri? Meskipun samar namun bagian ini tidak begitu krusial mengingat penulis berhasil menyelesaikan semua rumpang dari konflik yang sejak awal digiring melalui alur yang ciamik.
Pelajaran yang Diberikan dan Sasaran Pembaca Dari semua kesulitan, rintangan dan cobaan yang diberikan untuk kita semata-mata agar kita lebih terlatih dan tahan banting menghadapi kerasnya kehidupan. Lihatlah ketika kita menganggap semua ujian sebagai hukuman, justru Tuhan menjadikannya sebagai ladang latihan untuk menjadi sosok lebih baik dari sebelumnya. Ibarat kata besi semakin ditempa semakin bagus dan mahal harganya begitulah manusia yang berhasil melewati ujian hidupnya seperti Salman. Apa yang belum dialami Salman? Kesulitan sumber daya, informasi, kehilangan orang tua, kehilangan diri sendiri dan juga orang yang dicintai semua sudah berhasil dilaluinya. Salman sama seperti kita semua yang selalu luput dan tak jarang mengeluh bahkan protes terhadap ketetapan sang pencipta. Padahal Allah SWT maha mengetahui sementara kita sama sekali tak tahu apa-apa. Rencana yang menurut kita sudah sempurna sengaja digagalkan karena sebaik-baiknya ketetapan hanyalah dari Tuhan semesta alam. Buku ini mengajarkan kita menjadi sosok tegar, tak gampang menyerah dan selalu berbaik sangka terhadap segala keputusannya.
Kemarau di Sedanau cocok dibaca untukmu yang mencari buku motivasi ringan namun penuh nasihat hidup. Perjalanan lika-liku Salman tidaklah mudah namun lihatlah apa yang dituainya setelah semua badai itu. Buku ini juga bisa menjadi reminder untuk kita yang mungkin sedang dilanda ujian berat dan jauh dari sang pencipta agar lebih ikhlas dan sabar dalam menjalani semua kehendaknya atau bahkan merelakan rencana-rencana maupun ketetapan yang ternyata tidak ditakdirkan untuk kita.
Kalau suka buku-bukunya Pak Cik Andrea Hirata, pasti juga suka buku ini. Vibes dan bahasa yg digunakan sangat melayu, kisahnya menginspirasi, mengharu biru, dan hangat.
Sebetulnya gak ekspetasi kalau cerita ini ternyata based on true story. Cerita-cerita yang mungkin dialami oleh penulis sendiri bahkan dari orang-orang sekitarnya.
Sedih, karna ceritanya kisah nyata. Membayangkan ada di posisi mereka itu, pasti sedih banget. 🥹🥹
Aku jadi ingat satu hal deh. Pokoknya pernah baca di suatu tempat, kalau ikan tinggal di akuarium, maka ukuran tubuhnya gak bakal lebih besar dari akuarium itu. Tapi, kalau ikan tinggal di lautan luas, maka bisa aja ikannya tumbuh lebih besar dari apa yang kita duga. Atau kamu tau kisah sebuah perjalanan ikan salmon? Setau aku, ikan salmon melakukan perjalanan yang sangat luar biasa. Mereka lahir di air tawar, bermigrasi ke laut, tapi kemudian mereka harus berenang melawan arus deras buat balik lagi ke tempat mereka dilahirkan untuk bertelur.
Nah, entah kenapa? Aku membayangkan perjalanan ikan-ikan itu seperti Salman di buku ini atau mungkin kali ada ya sosok Salman di luar sana yang merasakan posisi itu juga. 🥲🥹
🌻✨🌊🌿
Buku ini menceritakan seorang anak bernama Salman yang berasal dari keluarga nelayan dan tinggal di daerah terpencil--Sedanau, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Dia punya cita yang gede banget seperti anak-anak kota besar yang pengen jadi dokter.
Tapi ya di satu sisi, dia sadar bahwa dirinya punya keterbatasan biaya masuk kuliah kedokteran. Maka, satu-satunya harapan, dia kejar lah di beasiswa pemda gitu. Anaknya cerdas kok. Nah, cuma ya begitu lah. Apa yang dia kejar, apa yang dia rencanain, ternyata gak sesuai dengan apa yang dia harapin. Belum lagi, makin hari orang-orang itu makin meremehkan mimpinya jadi dokter.
Kek seolah orang-orang itu kalau bisa omong, "gak akan mungkin kamu jadi dokter. Dokter itu biayanya mahal. Apalagi kamu anak desa mau bersaing sama anak kota? Pintar aja gak cukup. Apa-apa itu uang yang berbicara. Lihat aku. Aku tanpa beasiswa pun, apa pun yang terjadi, bakal jadi dokter. Sadar diri aja deh." Astaga... Nyesek gak sih? 😭😭
Gimana ya kayak kadang hidup ini ada kok orang-orang yang punya potensi yang begitu besar dalam dirinya. Tapi, kadang keadaan ekonominya itu gak mendukung. Aku ngerasain banget kayak apa ya kalau ada orang bilang gak semua kebahagiaan bisa dibeli dari uang. Tapi, ternyata kayak mau jadi orang yang berpendidikan aja, kita butuh uang. Ya enggak sih? Sedih yaa... 🥹🥹
Haduhhh kalau omongi soal cita-cita ini emang topik yang agak sensitif. 🥹 Karna aku yakin kita semua pasti punya impian, tapi ya kadang ada yang mimpinya dipaksa kubur hidup-hidup dan ada juga yang masih percaya bahwa pasti ada keajaiban buat meraih mimpi itu. Pasti. Pasti ada. Gak tau takdir macam apa yang udah tertuliskan 50.000 tahun yang lalu itu, tapi ya udah pokoknya mau berusaha aja. Kalau pun gak sesuai dengan apa yang diusahain, barangkali memang tuhan memberikan jalan terbaik lainnya.
Tapi, apa ya?
Kapan ya? 🥹
🌻✨🌊🌿
Buku ini gak cuma menceritakan kehidupan Salman masih SMA, tapi juga proses dia dalam menempuh pendidikan kedokteran sampai lulus gitu. Cuma ya begitu lah. Aku yakin satu hal, bahwa ada waktu dimana ketika kita sedang melakukan perjalanan buat menaikkan derajat keluarga, menaikkan value diri, maka makin hari perjalanan itu makin sepi.
Ada yang hilang. Ada yang pergi. Seolah-olah memang apa yang kita pengen dapati itu, gak bisa didapatkan secara cuma-cuma. Gak ada yang seratus persen gratis di dunia ini. Apa yang kita dapati, pasti ada pengorbanan disana. Ya, enggak sih?
Nah, apa aja struggle yang dialami oleh Salman?
Mari baca aja bukunya!
🌻✨🌊🌿
Okay, sebenarnya di awal-awal aku cukup gak nyaman baca susunan kalimat di buku ini. Aku rasa memang perlu diperbaiki lagi beberapa kalimatnya supaya enak dibaca. Karna di awal-awal, aku gak paham ini ceritanya mau dibawa kemana? Aku rasa ada beberapa kalimat yang ambigu. Jadi agak pusing ikuti ceritanya di awal-awal. Feeling aku mengatakan sepertinya memang penulis cukup struggle banget dalam memulai ceritanya. Agak kesusahan. Wajar. Memang buat memulai sesuatu hal itu agak susah. Jadi di pembaca pun ikut ngerasain itu. Gapapa. Diperbaiki lagi aja.
Tapi, pas udah di tengah-tengah sampai ke akhir ceritanya, baru deh aku merasakan enjoy bacanya. Baru ngeh ini kisahnya mau dibawa kemana.
Terus aku juga menyarankan, alangkah lebih baiknya, apabila kesusahan dalam memasukkan penjelasan istilah-istilah asing dalam bahasa medis, mungkin alternatifnya boleh pakai keterangan catatan kaki aja. Jadi, tulisannya nanti bisa disederhanakan dan lebih luwes buat dibaca.
Kemudian, buat penokohan, sebetulnya memang karakter Salman ini sempat ada deskripsi gambaran sosoknya. Cuma aku pengen banget gimana caranya penulis menghidupkan karakter Salman ini ada hal yang unik buat dibayangkan sampai akhir karakternya. Singkatnya, diperkuat lagi kedalaman karakternya. Terus, begitupun pada sosok Hamidah Husein.
Tapi memang buku ini katanya, bakal ada season 2-nya. Mungkin disitu kita bakal lebih jelas lagi kali ya buat tau cerita mereka. Karna memang bukunya open ending juga. Tapi nyesek. 🥹
🌻✨🌊🌿
Yang aku suka banget dari buku ini, ya ceritanya itu mengangkat tema lokalitas gitu. Ada sensasi baru buatku, dalam membaca dialog-dialog yang dipakai dari buku ini yang menggunakan bahasa melayu. Terus juga bagaimana penulis mengemas perihal realita keadaan masyarakat yang berkaitan dengan kesehatannya. Btw, buku ini ditulis oleh seorang dokter. Jadi, memang cerita yang diangkat itu terasa relate.
Kayak misal, masyarakat penderita TBC yang gak patuh secara rutin minum obat, padahal setau aku obat itu gratis loh diberikan oleh puskesmas, tapi kenapa masih ada masyarakat yang gak patuh minum obat, atau bagaimana akses yang jauh untuk ke rumah sakit, atau kejadian-kejadian penyelamatan yang mengharukan di ruang operasi. Itu aku suka banget. Uniknya, juga buku ini memberikan gambaran apa yang dirasakan oleh seorang penderita PTSD.
Btw, buku ini juga ada sisi romance-nya ya. Sesuatu yang cukup menarik perhatian aku juga antara hubungan Salman dan Hamidah yang LDR-an. Cuma cerita mereka berdua, di buku ini kerasa menggantung. Jadi, mungkin memang perlu banget nunggu season 2-nya lagi. Biar semuanya jelas. 🥹🥹
Pokoknya, aku banyak belajar dari buku ini. Salah satunya, ya apa yang jadi takdirku gak akan pernah melewati aku, begitupun sebaliknya. So, life must go on.
Seperti ikan salmon yang terus berenang maju apa pun yang terjadi sampai kita benar-benar ada di tujuan akhir kita.
Novel inspiratif yang ditulis berdasarkan kisah nyata dari penulis sen-diri. Dimana cerita terlihat nyata dengan bumbu-bumbu cerita tak terlalu dibuat-buat. Menjadikan buku ini menarik.
Apalagi gaya penulisannya yang tak terlalu dipenuhi narasi. Tapi, berhasil menggambarkan suasana dan keadaan dengan baik. Karakter yang berkembang pesat. Aku pikir penulis tak akan kesulitan dalam mendeskripsikan tokoh utama. Perkembangan karakternya juga merun-cing di ujung, yang mana memberikan perubahan yang bisa diterima. Gigih, sabar, dan akhirnya berbuah cita-cita.
Jika suka dengan sastra klasik maka buku ini hampir punya rasa yang sama. Bukan karena banyak menggunakan bahasa melayu, tapi pendekatan yang dilakukan. Mulai dari alur dan perjalanan cerita.
Tak hanya soal cita-cita tapi juga cinta. Nasib tokoh yang bergelombang juga jadi konflik yang menyentuh. Bahkan irama pelan dan merayap di setiap sudut bab, mampu membuat pembaca bertahan. Karakter yang meminta simpati juga tak menjadikan buku ini terlalu mengemis un-tuk membuat pembaca terharu biru. Justru semuanya berjalan secara natural. Cerita yang dengan mudah membuat pembaca melepaskan angan dan ikut mendayung ke seberang bersama harapan. Kon-fliknya memang terkesan klise, tapi fokus utama memang pada perjalanan tokoh utama yang tak mudah. Tampak mustahil, tapi tak ada yang tak mungkin.
Dialog tokohnya berbobot, bukan hanya sekedar percakapan tanpa isi. Hampir tak memiliki cela untuk membaca merasa lelah. Buku ini juga membuatku untuk membuka peta. Sebab, aku penasaran dengan latar tempat yang digambarkan. Sebuah tempat yang jauh dari jangkauan. Bahkan belum pernah aku membaca buku dengan latar tempat yang termasuk kepulauan Riau ini. Terpencil dengan akses daerah yang masih terbatas. Untuknya lagi, penulis bisa mengendalikan itu, narasi yang empuk sehingga pembaca tak akan merasa pusing dan dengan segera bisa mengunjungi tempat yang menarik ini. Konflik memang tak terlalu greget, cen-derung datar. Tapi hal itu bisa ditolelir, sebab jika dibuat terlalu berbelit-belit, justru akan merusak bangunan cerita. Aku pikir ini sudah paling benar. Tokoh utama dibuat jatuh bangun dan akhirnya menda-patkan apa yang diusahakan.
Alur terlalu lambat membakar. Di awal-awal pengenalan karakter berjalan pelan, dipertengahan sedikit terjal, tapi tetap pelan berjalan, di bagian akhir pun begitu. Konsisten, Tapi aku berharap ada kejutan yang akan membuat pembaca merasa tercengang.
Banyak kosakata bahasa melayu yang tak semua dipahami pembaca dan tidak ada catatan kaki. Aku berharap, ada penjelasan yang memudahkan pembaca. Aku pikir!
Sampul depan cantik dengan nuansa jingga serta judul yang menggunakan musim mungkin akan sedikit menipu. Namun, setelah menyelam sampai dalam, aku pikir ini tepat. Kemarau adalah gam-baran kehidupan Salman (tokoh utama) yang penuh cobaan dan rintangan. Penuh liku, nasibnya yang malang menyentuh hati pembaca.
Dan perjuangannya untuk terlepas dari hal itu, sungguh hebat. Aku pikir buku ini benar dalam menyajikan tra-gedi yang menyenang-kan. Apalagi eksekusi-nya yang mulus me-ninggalkan kesan yang mendalam.
Bahkan, apa yang dirasakan oleh Salman ini mendapatkan perhatian khusus. Mulai dari kesehatan mental, sebab apa yang dilakukannya tampak tak mungkin. Belum lagi soal asmara yang juga menggangu pikirannya. Bumbu yang makin membuat sedap racikan dalam buku ini. Ada bagian yang tentunya akan membuat pembaca tak segan meneteskan airmata. Ikut merasakan getir sdan perihnya. Ikut marah akan lingkungan sekitar yang tak ubahnya medan pertempuran.
Namun perjuangan yang tak kenal lelah dan pantang menye-rah ini pastinya akan berbuah. Untuk menja-di dokter itu tak mudah, apalagi untuk Salman si anak nelayan.
Keluarga yang tak bisa memberikan dukungan secara material bukan berati tak bisa memberikan semangat dan dukung-an. Nyatanya peran keluarga dan orang terdekatlah yang membuat Salman kuat.
Buku ini juga banyak membahas bagai-mana Salman hingga menjadi dokter seperti impiannya. Istilah kedokteran dan kalimat-kalimat bijak dari tokoh-tokoh terkenal pun diselipkan. Namun, sekali lagi, aku merasakan sesuatu yang kurang, dengan tidak adanya catatan kaki yang akan menjelakan istilah kedokteran yang tak umum ini. Meski aku mendapatkan ilmu baru, harus mengecek google secara mandiri harus dilakukan agar lebih paham dan mengerti.
Terlepas dari itu, pembaca akan merasakan musim berganti dalam kepala, tidak hanya kemarau, sungguh sebuah buku yang menenangkan.
Satu hal...
Buku setebal 300-an halaman ini tak akan sulit untuk dihabiskan. Sudut pandang orang ketiga yang digunakan benar membuat pembaca bertahan dan lebih mengenal setiap karakter dan adegan yang dijabarkan. Nuansa yang indah dan menangkan juga menyeruak dari balik halaman. Pembaca bisa membayangkan betapa bagusnya Sedanau dan sekitarnya.
Kehidupan dipesisir pantai dengan hiruk pikuknya. Apalagi, aku juga anak pesisir, jadi hal ini sangat terasa dekat.
Melalui Salman pembaca akan mengerti akan sebuah penerimaan, tanggungjawab dan berjuang sampai akhir. Kesabaran yang disertai keikhlasan tak akan meng-hianati hasil usaha. Pun begitu, tak semua apa yang diinginkan bisa tergapai.
Antara cita dan cinta memang akan lebih baik jika berjalan beri-ringan. Namun, jika hal itu tak sejalan maka akan ada pilihan yang terbaik. Jika kegagalan akan cinta, maka akan ada kesuksesan di cita.
Novel yang juga menyelipkan nilai-nilai agama ini, tak hanya menginspirasi tapi juga memberikan gambaran akan buah dari kesabaran dan doa yang tak putus.
Satu hal, yang aku dapatkan setelah menyusuri cerita dengan sedikit luka dan airmata ini adalah, percaya pada diri, tekat yang kuat, maka apa yang diinginkan akan punya jalan terbaik yang akan terbentang dihadapan. Bahagia akan menyambut bagi orang-orang yang tak menyerah pada kehidupan.
𝓚𝓮𝓶𝓪𝓻𝓪𝓾 𝓭𝓲 𝓢𝓮𝓭𝓪𝓷𝓪𝓾 • 𝓐𝓼𝓻𝓸𝓻𝓾𝓭𝓭𝓲𝓷 𝓩𝓸𝓮𝓬𝓱𝓷𝓲 • 𝓑𝓱𝓾𝓪𝓷𝓪 𝓘𝓵𝓶𝓾 𝓟𝓸𝓹𝓾𝓵𝓮𝓻 (𝓑𝓘𝓟) • 2023 • 317 𝓱𝓪𝓵 • 𝓕𝓲𝓴𝓼𝓲 𝓡𝓮𝓶𝓪𝓳𝓪-𝓡𝓸𝓶𝓪𝓷𝓼𝓪, 𝓻𝓮𝓵𝓲𝓰𝓲, 𝓪𝓷𝓰𝓼𝓽, 𝓶𝓮𝓷𝓽𝓪𝓵 𝓱𝓮𝓪𝓵𝓽𝓱 • ⚠️ 𝓣𝓦: 𝓟𝓣𝓢𝓓, 𝓐𝓷𝓱𝓮𝓷𝓸𝓭𝓲𝓪, 𝓘𝓷𝓼𝓮𝓬𝓾𝓻𝓮, 𝓚𝓮𝓱𝓲𝓵𝓪𝓷𝓰𝓪𝓷, 𝓚𝓸𝓷𝓯𝓵𝓲𝓴 𝓚𝓮𝓵𝓾𝓪𝓻𝓰𝓪, 𝓣𝓸𝔁𝓲𝓬 𝓟𝓪𝓻𝓮𝓷𝓽𝓲𝓷𝓰 • 4,6/5🌟 • 𝓫𝓪𝓬𝓪 𝓭𝓲 𝓲𝓟𝓾𝓼𝓷𝓪𝓼 . "ᴋᴀʟᴀᴜ ʙᴜᴋᴀɴ ᴋᴀᴜ ꜱᴇɴᴅɪʀɪ ʏᴀɴɢ ᴍᴇᴍᴜʟᴀɪ, ʟᴀʟᴜ ꜱɪᴀᴘᴀ ʏᴀɴɢ ʙɪꜱᴀ ʙᴀɴɢᴋɪᴛ ꜱᴇʟᴀɪɴ ᴅɪʀɪ ᴋɪᴛᴀ ꜱᴇɴᴅɪʀɪ." . ✨ ᴮᵘᵏᵘ ʸᵃⁿᵍ ᵈⁱᵇᵃᶜᵃ ᵇᵉʳˢᵃᵐᵃ ⁽ᵇᵘᵈᵈʸʳᵉᵃᵈ⁾ ᵈᵉⁿᵍᵃⁿ ᴷᵃᵏ @ᵃʰᵐᵃᵈᶠᵃⁱᶻᵃˡᶠᵃᵏʳⁱ, ᵐᵉˢᵏⁱ ʸᵃⁿᵍ ᵐᵉⁿʸᵉˡᵉˢᵃⁱᵏᵃⁿ ᵗᵉʳˡᵉᵇⁱʰ ᵈᵃʰᵘˡᵘ ᴷᵃᵏ ᴬʰᵐᵃᵈ. . 🌤️Kemarau di Sedanau merupakan novel yang menceritakan kisah hidup Salman Adiputra yang ditempa pelbagai masalah yang cukup kompleks, hingga dia mengalami depresi di tengah-tengah perjuangannya mencapai impian menjadi dokter. . 🌤️Di lingkungan keluarga, Salman dididik keras oleh Ayahnya, Tarmizi. Keterbatasan finansial keluarga membuat banyak orang memandang sebelah mata cita-cita Salman. Seolah orang-orang sepertinya, tak layak mendapatkan kesempatan tersebut, meski pintar. Kepergian Tarmizi karena TBC menimbulkan luka di hati Salman. . 🌤️Beban sebagai anak pertama yang mengambil alih nahkoda keluarga, makin memberatkannya, karena jarak cukup jauh (UNTAN, Pontianak) memisahkannya dan keluarga yang sebenarnya membutuhkan peran Salman. Kondisi detail sakit yang diderita Ibunya terkesan ditutupi karena tidak ingin Salman mengkhawatirkannya. Penyakit parah yang sudah merenggut Nuraini, "menyiksa" Salman. Seandainya separah itu, tentu Salman mengorbankan cita-cita demi kesembuhan Ibu tercinta, namun terlambat. Malang tak dapat ditolak. . 🌤️Permasalahan lain yang mengguncang jiwanya adalah LDR antara Salman dan Hamidah yang semula manis dan harmonis, berujung pengkhianatan Midah. Terlebih sejak awal, hubungan mereka ditentang Ayah Midah, dengan alasan, putri satu-satunya tersebut sudah dijodohkan dengan seseorang laki-laki yang lebih pantas dari Salman. . 🌤️Bak kapal yang terombang-ambing di lautan, Salman goyah sebab ujian yang terus menerus datang bertubi-tubi, terutama kesedihan setelah kehilangan orang-orang yang disayanginya. Sikap Salman berubah bertahap. Keceriaan tak lagi nampak, kesulitan konsentrasi, menyendiri, meracau, nilai-nilai kuliahnya turun drastis, dan banyak sekali gejala yang mengakibatkan Salman akhirnya menyetujui usul dokter pembimbingnya untuk mengunjungi psikiater. . 🌤️Beruntung, Salman memiliki support system yang kuat, Pak Darwis, teman-teman satu jurusan dan dosen yang peduli dengan pendidikan sekaligus keadaannya rela membantu membalikkan kehidupan jungkir balik Salman. Mungkinkah Salman sembuh dan menggapai cita-citanya sebagai dokter? Lalu, bagaimana cara Salman menghadapi kenyataan yang tak sesuai dengan harapannya? . 📌Interpretasi judul buku, Kemarau di Sedanau mendefinisikan "ketertinggalan" Sedanau, salah satunya membutuhkan seorang dokter yang mampu mengabadikan diri. Sedanau merupakan suatu kecamatan di Kepulauan Riau, dan beberapa tempat di novel pertama penulis bisa pembaca telusuri tepat letaknya. Selain itu, penokohan kuat, sehingga sebagai pembaca bisa menggambarkan karakter tiap tokohnya dan memunculkan twist-twist saling berkaitan. Menggunakan POV 3 serba tahu, pembaca mampu memahami tekanan batin dan emosional yang dirasakan tokoh utama, Salman. Dengan alur maju, mudah menemukan slow burn di bagian awal, tapi menurutku penulis ingin pembaca mengerti apa yang melatarbelakangi trust issue di dalam diri Salman. Sepanjang cerita, disuguhkan majas dan peribahasa atau pepatah yang menambah indah gaya bahasa penulis. Di akhir, terdapat puisi yang menyentuh hati. . 📌Mengangkat dunia kedokteran, isu mental health, budaya masyarakat yang sesuai realita, dan menyinggung konflik keluarga, serta disisipkan bahasa daerah yang digunakan di daerah Sedanau-Pontianak. Sayangnya, novel ini belum tersedia foot note untuk terjemahan bahasa daerah, dan arti istilah-istilah kedokteran yang orang awam sepertiku belum mengetahui. Walaupun beberapa istilah kedokteran dijelaskan di narasi. Selain itu, ditemukan beberapa kesalahan penulisan serta terdapat plot hole. Meski di prolog dipancing rasa penasaranku yang kurasa akan menemukan jawabannya di bagian akhir novel, namun nyatanya tidak ada kaitannya dengan ending, atau mungkin ada buku kedua, ya? 🤔 . 📌Overall, Kemarau di Sedanau sangat rekomen untuk dibaca, insightfull. Belajar dari Salman, kita perlu aware dengan diri sendiri. Apapun yang menimpa kita (patah hati, kehilangan, insecure, dll), bisa meninggalkan luka dan trauma. Maka berusahalah untuk tidak membohongi diri sendiri (jujur) bahwa dinamika hidup tersebut berpengaruh terhadap kondisi mental. Karena semakin menunjukkan "baik-baik saja" padahal sebenarnya rapuh, akan menjadi bom waktu yang siap meledak ketika sudah menumpuk-numpuk tekanan hidup. Pahami diri sendiri (keinginan, harapan, dan bagaimana cara diri menerima setiap kenyataan yang berpotensi terjadi). Lalu, jika butuh pertolongan, segera meminta bantuan psikiater untuk menangani lebih lanjut. Dan ketika memposisikan diri sebagai Caregiver, jika ada orang di sekitar kita merasa hopeless, lebih peka dengan gejala-gejala depresi yang muncul pada dirinya kapanpun tanpa disadarinya, bahkan sampai tindakan menyakiti diri sendiri, berilah dukungan dan membujuknya agar mau bertemu psikiater.
📌By the way, selain baca di iPusnas, bisa dibaca di Gramdig, dan buku fisik di marketplace: BIP Official Shop (https://id.shp.ee/nNDCmnf).
This entire review has been hidden because of spoilers.
Kegigihan, ketulusan, kepiluan, kerinduan, kesabaran, keikhlasan, dan keyakinan. Vibrasi itu yang pertama kali aku tangkap saat membaca judul dan memperhatikan sampul novel ini.
Setelah membaca blurb-nya, aku mulai mengerti alasan adanya perasaan itu. Kisah-kisah perihal perjuangan selalu berhasil menarik perhatianku lebih cepat daripada yang lain.
જ⁀➴ Disebabkan oleh keterbatasan ekonomi, Salman harus berusaha lebih keras—dibanding teman-temannya yang berkecukupan—untuk mendapatkan beasiswa demi cita-citanya kuliah di fakultas kedokteran.
Beriringan dengan itu, Salman harus menghadapi cemoohan dari orang-orang yang meragukan keberhasilannya karena dianggap hanya anak kampung dan tidak mampu. Ia pun harus menerima kenyataan pahit—kehilangan orang terdekatnya—sebelum membuktikan keberhasilan itu.
Meski sempat ragu, Salman terus maju. Mengejar yang ia impikan, menjadi dokter agar bisa memberikan pelayanan kesehatan bagi yang membutuhkan. Sayangnya, perjalanan itu tidak semulus yang ia harapkan. Ada kehilangan lagi, ada keraguan lagi, dan ada kegagalan lagi yang harus ia hadapi.
⭒⭒⭒ Dalam novel ini kisah Salman diceritakan dari masa ia remaja hingga dewasa. Mulai dari kerja keras membantu orang tuanya berdagang ikan di dermaga, perjuangannya untuk lolos seleksi beasiswa, hingga bertahan di perantauan demi cita-cita.
Tidak hanya mengisahkan tentang perjuangannya sebagai mahasiswa kedokteran, novel ini juga dibumbui dengan romansa antara Salman dan Hamidah—cinta pertamanya yang terpaksa ia tinggalkan di kampung halaman demi meraih cita-cita di perantauan.
Pembahasan mengenai pentingnya menjaga kesehatan mental bagi tenaga medis juga diangkat di sini. Membuka pandangan bahwa orang yang bekerja menyembuhkan juga membutuhkan penyembuhan.
⭒⭒⭒ Sebagai orang yang pernah mengenyam pendidikan dengan berjarak jauh dari orang tua, bagiku membaca novel ini seolah-olah berhadapan pada diriku sendiri dalam versi yang berbeda. Sedikit banyak aku merasa terhubung dengan tokoh Salman dan ikut terbawa dalam berbagai emosi yang disuguhkan penulis lewat cerita ini.
Aku selalu suka buku-buku dengan muatan dialog bahasa daerah setempat yang menjadi latar ceritanya. Beruntung sekali aku menemukan novel ini. Bahasa Melayu Riau mengisi hampir setiap dialog di dalamnya.
Setiap kali membaca narasinya, aku selalu bisa membayangkan keindahan Natuna yang diselimuti pasir pantai, air laut, sinar matahari, perahu-perahu nelayan, dan jejeran pohon kelapa.
Dengan latar cerita yang berpindah-pindah dari Sedanau, Ranai, Pontianak, hingga Jakarta, novel ini mendeskripsikan tempat-tempat itu dengan cukup terperinci. Seolah-olah aku hadir di sana tanpa ke mana-mana.
Karena ditulis oleh seorang dokter, sisi cerita medisnya sangat terasa dalam novel ini. Banyak istilah dan penjelasan tentang dunia kedokteran yang diuraikan melalui adegan-adegan penanganan medisnya. Ini sangat berguna untuk menambah pengetahuan pembaca.
Demikian juga dengan dunia perkuliahannya, diceritakan cukup detail, mulai saat Salman mengikuti kegiatan pengenalan kampus hingga hari-hari yang ia jalani belajar di sana. Jelas bukan hanya tempelan plot.
Komplet dalam satu novel dengan tema medical story ini.
Aku salut dengan orang tua Salman yang tetap mengutamakan pendidikan anaknya walaupun keluarga mereka serba kekurangan. Begitu juga dengan kegigihan Salman untuk meraih cita-citanya menjadi dokter.
Walaupun menjadi dokter adalah impiannya untuk bisa menyembuhkan banyak orang, nyatanya beban dan kesedihan yang menumpuk dalam diri Salman tidak mampu ia pikul lebih lama. Berbagai emosi yang ia timbun akhirnya meledak lalu menimbulkan kemarahan hingga sempat membuatnya terpuruk dan mengalami gangguan mental. Ini merupakan titik balik yang membuat Salman merasa telah terjadi kemarau di Sedanau, kampung halaman yang ingin ia majukan pelayanan kesehatannya.
Tidak bisa dimungkiri, kisah asmara antara Salman dan Hamidah di sini adalah salah satu daya tarik bagiku yang suka membaca genre romance. Perjalanan kisah cinta mereka yang penuh halangan menjadi bumbu penambah cita rasa dalam novel ini.
Sayangnya, kisah mereka diakhiri dengan masih menyisakan pertanyaan bagiku. Bagaimana keputusan yang akan Salman ambil perihal kisah cintanya? Apa yang sebenarnya terjadi pada Hamidah?
Semoga ada cerita lanjutan yang menjawab rasa penasaranku.
Kalau kamu suka cerita-cerita dengan tema pendidikan, pengembangan, dan penemuan jati diri—yang juga kental akan budaya dan memuat bahasa daerah setempat—seperti trilogi 5 Menara ataupun Laskar Pelangi, novel Kemarau di Sedanau ini sangat cocok untuk jadi bacaan berikutnya. 👍🏻✨
Author: @Asrorudin Zoechni Jumlah halaman: 312 Penerbit: @Bhuanasastra
“Harus, Salman. Kan dulu kau pernah bilang. Kalau kau tak bisa menahan sakitnya belajar, maka kau harus bisa menahan pahitnya kebodohan. Itu memotivasi aku dulu untuk terus belajar walau dalam kondisi sulit seperti ini.” (Dialog Gilang kepada Salman saat Salman terpuruk)
***
Pertama kali tahu buku Bang Asro yang berjudul "Kemarau di Sedanau" ini terbit, saya sudah tergerak untuk membeli. Bukan karena kenal dengan beliau dan merasa sesama penulis dari Kalbar, ada alasannya.
Pertama, karena Bang Asro mengangkat tema kedokteran, yang mana saya ketahui beliau juga dokter, walau berbeda dengan Salman yang dokter kandungan dan beliau dokter mata. Kenapa itu jadi alasan? Ya, karena cerita tentang dunia dokternya bukan hanya tempelan, tetapi benar-benar menjadi latar belakang yang kuat karena Bang Asro menjalani keseharian sebagai mahasiswa kedokteran dan juha keseharian seorang dokter. Point ini membuat apa yang kita baca tak hanya jadi sekadar bacaan, tetapi menambah pengetahuan juga.
Kedua, tokohnya membawa lokalitas budaya Melayu, relate dengan saya yang lahir dan besar di tanah Melayu, Ketapang, Kalimantan Barat. Sehingga dari dialognya, interaksi tokoh dengan sekitarnya, terpampang jelas di kepala. Saat membaca dialog berbahasa Melayu, saya jadi refleks nyeletuk menggunakan bahasa melayu juga, dan sesekali tersenyum karena bahasa Melayu yang digunakan.
Ketiga, saya suka novel-novel Andrea Hirata, karena masih membawa Melayu juga. Jangan pikir saya terlalu mengagungkan budaya sendiri, sebab sebenarnya saya hitungannya orang Sunda, dari darah bapak saya yang lahir di Jawa Barat. Saya hanya suka cerita berlatar Melayu, karena sudah terlanjur teracuni oleh cerita-cerita Andrea Hirata. Novel Kemarau di Sedanau ini, sekilas nuansanya mirip cerita-cerita Andrea Hirata, bukan dalam artian buruk, malah bagus, sebab ada ciri khas sendiri yang berbeda dari tulisan Bang Asro.
Itu alasan saya menginginkan buku Kemarau di Sedanau, alhamdulilahnya kesampaian dan sesuai dengan ekspektasi saya.
Cerita di buka dengan prolog yang tak tergesa-gesa, slow burn istilahnya, tentang tokoh utama kita Salman yang berhasil membantu proses lahiran di kapal yang hampir merapat, lalu sebagai dokter menemani pasien hingga ke rumah sakit. Saat di rumah sakit ada scene halus yang mengarahkan kita ke tokoh utama lainnya, Hamidah, yang dalam keadaan BEP, atau gampangnya preklamsia (untuk yang ini saya paham sekali keadaan pasien yang mengalaminya, sebab istri saya mengalaminya saat mengandung anak ke 3). Dan setelah mengikuti alur selanjutnya di bagian prolog ini, kita akhirnya tahu ada sesuatu antara Salman dan Hamidah.
Kemarau di Sedanau bukan sekadar cerita, kisah Salman yang lahir dari keluarga nelayan serba keterbatasan di daerah Sedanau, tetapi memiliki impian yang tak masuk akal bagi masyarakat di sekitar tempat tinggalnya ini, menjadi kisah yang inspiratif bagi mereka-mereka yang memiliki keterbatasan tetapi mempunyai mimpi yang besar seperti Salman.
Berbagai cobaan datang menerpa silih berganti, mulai dari lingkungan sekitar yang menghina dan mencemooh mimpinya, hingga ayah dan ibunya yang meninggal dunia sebelum dia dapat membuktikan bisa mencapai cita-citanya, hal yang menyakitkan, karena saya pernah merasakan, kakak kedua saya meninggal sebelum saya wisuda, padahal dengan senyuman dia pernah berjanji akan datang saat saya wisuda nanti.
Seolah cobaan itu tak cukup, Hamidah, orang yang dia cintai direbut oleh sahabatnya sendiri dengan cara menyakitkan. Namun, kita ketahui dari awal cerita, Salman masih saja memiliki rasa mendalam untuk Hamidah, yang membuatnya masih sendiri hingga mereka bertemu kembali.
Kemarau di Sedanau bukan sekadar cerita, tetapi bisa menjadi inspirasi bagi mereka-mereka yang ingin mengejar impiannya, meski penuh keterbatasan.
Terima kasih, Bang Asro untuk menuliskan cerita yang luar biasa ini.
Kemarau di Sedanau | Asroruddin Zoechni | Bhuana Sastra Populer | 320 hlm | Cetakan Pertama, 2023 | Versi Digital, 2023 | Gramedia Digital.
========================
Tidak baik menyalahkan Allah dalam hidup kita. Semua sudah digariskan dari atas sana, dan pasti ada hikmahnya. Allah tidak akan menimpakan suatu kesulitan kecuali kita bisa menghadapinya. Semakin kita diuji dengan musibah, semakin Allah sayang sama kita. Kita perlu menghadapinya dengan sabar dan tawakal.
========================
Kemarau di sini tidak hanya berarti tentang sebuah musim yang menimpa suatu daerah. Namun juga tentang Salman, pemuda asli Sedanau yang mempunyai cita-cita tinggi untuk menjadi dokter. Terlahir dari pasangan suami istri yang hanya bekerja sebagai nelayan, penjual kue dan makanan khas Sedanau, menempatkan keluarga ini berada dalam garis kemiskinan. Sehingga cita-cita Salman terasa mustahil untuk digapai. Bukan tanpa alasan kenapa Salman ingin jadi dokter, Sedanau yang terletak di pulau kecil Natuna, di mana tenaga kesehatan yang minim menjadi landasan utama Salman. Ditambah ketika ayahnya meninggal dikarenakan penyakit TBC. Menambahkan tekatnya untuk menjadi dokter.
Namun sayang perjalanannya itu tidak mulus, Salman harus berjuang untuk meraih slot beasiswa agar bisa berkuliah secara gratis. Tidak itu juga beasiswa yang hanya menanggung biaya akademik, biaya kehidupan di kota semasa kuliah menjadi ketakutan sendiri bagi Salman. Dukungan orang-orang terdekatlah yang menambah kekuatan Salman untuk meraih cita-citanya, termasuk Hamidah, kekasih hatinya.
Salman berangkat kuliah ke Kalimantan tentu meninggalkan banyak beban pikiran di kepalanya. Iya harus meninggalkan Emak yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan, kedua adiknya yang masih bersekolah, juga harus menjalani hubungan jarak jauh dengan Hamidah. Namun semua itu ia pendam dalam kepala.
Salman yang tinggal sedikit lagi untuk mencapai cita-citanya, hampir hancur ketika ia menerima secarik undangan bertuliskan nama Hamidah. Saat itu Salman kehilangan jati dirinya. Merutuki keadaan. Cacian-cacian di masa lalu memenuhi pikirannya. Kau itu miskin Salman tidak usah bercita-cita jadi Dokter. Hamidah hanya akan jadi milikku Salman. Sadar diri salman. Bisikan-bisikan itu terdengar jelas di telinga Salman, bahkan sesekali ia melihat bayangan-bayangan orang yang pernah mencela dia. Mental Salman yang keganggu membuat ia gagal di beberapa mata kuliah. Lantas bagaimana nasib Salman selanjutnya? Apakah dia akan sembuh.
Ketika aku membaca prolog, aku sama sekali tidak akan memikirkan ceritanya akan seperti ini. Di luar ekspetasi. Tapi sangat menguras emosional. Di awal-awal bahkan sampai ke halaman 100 bagiku pribadi sedikit membosankan. Hingga di halaman 120 ke atas, barulah aku bisa menikmati cerita ini.
Kelebihan buku Aku suka pemaparan yang disampaikan penulis. Mulai dari cara penulis meng-explore keindahan Sedanau, dan membawa pembaca ke dalam Dunia Kedokteran. Juga tentang ikatan persahabatan di sini aku acungin jempol.
Kekurangan Buku Ini Aku menemukan satu plot hole yang sedikit fatal. Dalam novel diceritakan sedang menjalani ibadan puasa. Namun kenapa ada makan siang? Juga masih menemukan beberapa typo. Semoga ini hanya di versi elektroniknya, dan di versi cetak tidak ada typo.
Harapanku untuk novel ini. Aku berharap novel ini akan ada sekuelnya. Entah dalam bentuk Spin off atau lanjutan dari cerita ini. Masih banyak cerita yang bisa dikembangkan. Terutama tentang Karakter Hamidah, Raisa, juga Gilang.
Bagi teman-teman yang mencari bacaan tentang mental health issue, buku ini aku rekomendasiin bangat. Juga bagi pejuang cita-cita.
Siapa yang ngira buku ini tentang kemarau di suatu daerah? iya, itu aku😭🙏.Karena ternyata kemarau yang dimaksud hanya berlaku untuk Salman saja🙂🙏.
Buku ini berkisah tentang perjuangan Salman yang berasal dari Sedanau, di pulau Natuna. Salman punya cita-cita ingin menjadi dokter, tapiiii, kondisi ekonomi keluarga dia jauh dari kata mampu untuk menyekolahkan dia di kedokteran, dann satu satunya harapan dia adalah beasiswa dari PEMDA. Namun, saat dia berjuang merain impiannya, ujian datang silih berganti, bertubi-tubi sampai membuat dia merasa segalanya habis, seperti kemarau.
Ngikutin perjuangan Salman tuh berasa banget perihnya sampai kesini, sesaknya juga sangat nyata. Lelah, terseok seok, kurang tidur, pinjam uang teman, itu tuh real banget untuk dunia orang orang yang berjuang dari mines. Salman ini tuh juga lumayan taat agama bisa dibilang. Tapi menurutku karakternya kurang bold. ada Abrar juga yang bikin aku kesel setengah mati, tapi kayak bisa paham kenapa si Abrar bisa begitu karakternya.
Tentu saja juga ada hamidah, sang pujaan hati Salman, mereka sama-sama suka sejak di bangku sekolah. Hamidah digambarkan sebagai seorang perempuan yang lembut tapi pintar, hanya saja kisah mereka tuh agak pahit.
Narasinya sendiri lumayan mendayu dayu, seperti khasnya orang melayu, aku sendiri tidak terlalu suka, mungkin karna pengaruh daerah asalku yang bahasanya tegas sekali😭🙏.
Sempat tertipu dengan prolog yang ternyata kisahnya dimulai sebelum itu, dan sumpah penasaran banget sama kelanjutan kisah asmara mereka yang gantung parah😭.
Di buku ini tuh juga banyak istilah medis yang kurang aku mengerti, dan tidak ada catatan kaki yang dapat aku baca. Aktivitas Salman di rumah sakit juga kurang greget menurutku, mungkin karna dia juga manusia, dan fokusnya disini tuh adalah emosi salman, perjuangannya, dan semangatnya, bukan kehidupan rumah sakit.
Penjelasan medisnya baru tahu jika disebutkan dengan sederhana di dialog berikutnya. Ketika ada part di kelas, pertanyaan pertanyaan dari dosennya terlalu sederhana untuk kategori penggambaran karakter Salman yang cukup pintar.
Aku juga ingin komentar sedikit mengenai narasi dan alurnya, dimana kadang ada yang tidak sinkron, seperti pas Salman pulang di bulan ramadhan, tapi tiba tiba ibunya ngajak makan siang, padahal baru aja dialognya tuh mereka puasa. Terus, alurnya tuh kadang terlalu cepat, sedangkan disisi lain ada alur yang terlalu lambat. jadinya pas baca kurang greget karna lambat tidak pada partnya.
Namun aku suka bagian mereka mulai kuliah, karna tidak ada bullying di sana, juga profesor mereka tuh engga hanya mengajarkan ilmu kedokteran, tapi juga adab dan etika, bagaimana seharusnya memberikan pelayanan terhadap pasien. love it.
Nuansa kehidupan di tepi laut terasa real sekali, apalagi penggambaran keindahan lautnya, jadi pengen kesana😭.
"...Stetoskop dan pena, serta catatan medik saja tidak cukup untuk melayani pasien, Layanilah pasien dengan Altruisme dan hati yang tulus" (Profesor tjokro)
Masuk ke dunia Sedanau, aku awalnya pikir bakal dikasih cerita yang slow-burn banget, penuh deskripsi panjang soal kehidupan di pulau kecil, dan mungkin sedikit berat. Tapi ternyata, flow-nya enak banget! Narasinya ngalir dengan pas, nggak bertele-tele, tapi tetap bisa bikin kita ngerasain atmosfernya.
Salman? Oh dear, this boy is something else. Anak nelayan yang punya mimpi besar, tapi harus jungkir balik buat mewujudkannya. Karakterisasinya? Apik banget. Dia nggak sekadar anak baik-baik yang pintar, tapi juga manusia dengan segala kekhawatiran, amarah, dan momen-momen gamon yang relatable banget. Dia perfectionist, penuh tekad, tapi rapuh secara bersamaan. Kadang terlalu keras ke dirinya sendiri, terlalu banyak mikir, dan nyimpen banyak hal sendirian.
Dan yang bikin hati makin nyesek, perjalanan mental health-nya nggak mudah. Trauma masa lalu yang terus menghantui, kehilangan yang nggak bisa dia cegah, dan kenyataan yang nggak bisa dia lawan, semuanya numpuk jadi beban yang berat banget. PTSD yang dialaminya bukan sekadar tempelan, tapi benar-benar mempengaruhi cara dia melihat dunia dan mengambil keputusan. Ada momen-momen di mana dia kelihatan “baik-baik aja,” padahal dalam dirinya ada perang yang nggak semua orang bisa lihat.
Side characters-nya juga nggak kalah menarik! Dari keluarga Salman, teman-temannya, sampai senior-senior dan dosen-dosen di kampus kedokteran—mereka semua punya warna tersendiri yang bikin cerita ini nggak terasa sepi. Bahkan interaksi kecil-kecilnya aja bisa ninggalin kesan. (Aku nggak akan ngomongin siapa yang paling nyuri spotlight, but you know who you are 😌✨)
Konfliknya? Well, di awal aku pikir bakal lurus-lurus aja. Tapi ternyata, makin ke belakang makin emosional. Ada satu turning point yang sukses bikin aku diem beberapa saat sambil mikir, "Ya ampun, ini beneran terjadi?" Aku kira bakal dapet cerita coming-of-age yang ringan, ternyata malah dikasih tamparan realita yang sukses bikin hati cenat-cenut.😭
This is my first book from this author, and I gotta say, tulisannya nyaman banget dibaca. Apalagi ada campuran bahasa Melayu-nya yang bikin feel-nya makin autentik. Bukan sekadar selipan random, tapi bener-bener memperkuat suasana dan karakter-karakternya.
Pokoknya, siap-siap aja buat masuk ke rollercoaster emosi. Buku ini nggak cuma tentang mengejar mimpi, tapi juga tentang kehilangan, pengorbanan, mental health, dan bagaimana kita menghadapi realita yang nggak selalu sesuai ekspektasi. Absolutely worth the read!
Buku ini bercerita tentang Salman, seorang remaja sederhana dari Sedanau, Kabupaten Natuna yang sangat ingin menjadi dokter. Selain ingin merubah hidupnya, keinginan Salman untuk jadi dokter juga karena melihat betapa sulitnya akses kesehatan di tempat ia tinggal.
Namun, kondisi perekonomian keluarganya menjadi hambatan terbesar bagi Salman untuk meraih impiannya. Satu-satunya harapan Salman adalah melalui beasiswa Pemda Natuna yang tentu tidak mudah ia dapatkan. Tetapi berkat segala kegigihannya, ia pun lulus dan berhasil menjadi mahasiswa kedokteran, yang turut membawa permasalahan baru dalam kehidupannya.
Cerita yang berlatar di Sedanau ini menyuguhkan keindahan alam dengan kehidupan masyarakatnya yang sederhana. Tidak hanya di Sedanau, buku ini juga menampilkan beberapa tempat lain yang menjadi latar ketika Salman berjuang meraih impiannya. Menariknya lagi, beberapa dialog menggunakan bahasa Melayu.
Secara garis besar, buku ini menggambarkan perjalanan Salman untuk menjadi seorang dokter dengan segala permasalahan yang harus ia hadapi. Selain terkendala dengan biaya, Salman juga dihadapkan dengan berbagai masalah terkait keluarganya. Belum lagi, kisah asmaranya dengan Hamidah yang penuh hambatan juga menambah beban pikiran Salman.
Membaca kisah Salman dengan segala cobaan yang dia hadapi, bikin aku nyesek banget😭Awalnya sempet kaget, kok Salman bisa tetap kuat dan tegar banget. Tapi ternyata ibarat bom waktu, semua yang dia hadapi akhirnya bikin dia jatuh ke titik terendah dalam hidupnya😭
Perjuangan Salman untuk dapat bangkit setelah semua cobaan yang menimpanya juga tidak mudah. Namun berkat teman-teman seperjuangan serta keluarganya, dia akhirnya dapat bangkit dan kembali jadi pribadi yang penuh semangat baru.
Sayangnya, ada beberapa hal yang belum terjawab di buku ini yang bikin aku penasaran dan bertanya-tanya. Terutama bagaimana akhir kisah asmara Salman. Jujur gantung banget😭
Melalui kisah Salman, aku belajar banyak tentang kehidupan, belajar untuk bersungguh-sungguh meraih impian meski dianggap mustahil oleh orang lain, dan belajar untuk bersabar serta menerima segala takdir yang sudah digariskan oleh Allah SWT.
"Abang kira saat kau membawa sirih bertemu pinang berteman kapur yang suci, tapi yang kau bawa malah getah damar dan kaca beling berbisa"
Menjadi dokter adalah cita-cita yang barangkali menjadi begitu sulit diraih oleh Salman Adiputra,sehingga beasiswa PEMDA dapat memberinya kesempatan mewujudukan impian yang begitu sulit diraih. Namun, kesulitan demi kesulitan untuk sampai pada titik tersebut bukan hanya membuat Salman harus rela berjauhan dengan orang tua dan tambatan hati,tetapi menariknya sampai pada titik terendah dalam hidup... Apakah hidup yang seperti kemarau akan berganti?
🥼 Novel yang berhasil membuat saya menangis ketika membaca beberapa chapter terutama karena perjuangan dan suka duka yang dilalui Salman dalam proses mewujudkan impiannya. Rasanya ingin menghampiri dan pukpuk punggungnya si tokoh utama sebab apa yang dilaluinya mungkin pernah dirasakan oleh beberapa orang dan itu sudah pasti tidak mudah.
🥼 Awal membaca Kemarau Di Sedanau, terpantik pertanyaan akan romansa dalam perjalanan Salman dan bagaimana tokoh yang dimunculkan pada bagian pembuka kemudian terhubung dengan kisah pemuda ini. Alih-alih terjawab,yang saya rasakan pada saat baca bagian prolog adalah sesak membayangkan berada di posisi Salman dan mewek ketika tahu peranan sang tokoh perempuan yang muncul di prolog dalam hidup sang tokoh utama.
🥼 Bahasa Melayu yg cukup kental dalam beberapa dialog, serta dominasi narasi yg cukup panjang, bahasa formal namun membantu mendeskripsikan istilah medis,serta persoalan mental yang dijelaskan dengan menggunakan salah satu prosedur yg diterapkan oleh ahli membuat gambaran masalah psikologis didalamnya menjadi penting tidak sekadar penambahan untuk membuat cerita makin menarik.
🥼 Sampai pada bagian akhir, cerita Salman mampu memantik semangat saya untuk terus membaca dan termotivasi mewujudkan cita-cita. Selain itu, saya harap kisah Salman akan menemukan muara yg mungkin diharapkan oleh saya dan para pembaca Kemarau Di Sedanau...
Satu kata yg saya garisbawahi dari Kisah Di Sedanau: RESILIENSI
Ini pertama kalinya saya membaca buku dengan setting di Sedanau, Kepulauan Natuna. Penulis sukses membangun latar tempat dari gaya bicara, keseharian, dan budaya yang tertuang lewat deskripsi dan narasi. Namun, menurut saya ada beberapa adegan dan detail yang 'too much' sehingga berpengaruh pada pergerakan alur yang terkesan lambat serta kurva konflik yang renggang.
Membaca cerita Salman dan perjuangannya untuk meraih gelar dokter, sedikit banyak mengingatkan saya akan masa kuliah dulu. Cerita ini sangat cocok bagi teman-teman yang ingin mengetahui dan merasakan bagaimana, sih, kehidupan seorang mahasiswa kedokteran? Melalui kisah perjuangan Salman, kita bisa tahu bahwa cita-cita yang kelihatannya tidak mungkin bisa terwujud asalkan punya kemauan keras yang diiringi usaha dan doa. Tidak hanya itu, novel ini juga tidak lepas dari unsur romansa antara Salman dan Hamidah, dua insan yang saling mencintai. Para pembaca pun akan diajarkan secara halus bahwa hasil akhir tetap pasrahkan pada Allah dan percaya bahwa takdir-Nya selalu yang terbaik.
Meski sarat makna dan informasi menarik, saya merasa masih kurang bisa menangkap motif di balik pergerakan para tokohnya. Misalnya mengapa Abrar sangat terobsesi pada Hamidah. Barangkali karena penulis lebih fokus mengangkat sisi kehidupan Salman dan perjuangannya menjadi dokter, bagian percintaan di sini jadi belum tergali maksimal. Mungkin porsinya sekitar 60:40. Namun, tetap saja konflik asmaranya tidak bisa dikesampingkan karena berperan juga terhadap alur.
Terlepas dari hal tersebut, "Kemarau di Sedanau" adalah novel inspiratif yang patut dibaca, terutama bagi teman-teman yang menyukai jenis cerita 'slow burn'. Dari jalan-jalan virtual ke Sedanau di Kepulauan Natuna, sampai ruang mayat dan seluk-beluk rumah sakit tempat Salman menempuh pendidikan. Tentunya ada hikmah dan pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah sepanjang 322 halaman ini.
Jujur awalnya aku kira ini adalah novel tentang fenomena alam di Sedanau, ternyata bukan, makna novelnya lebih dalam dari itu🥹🥹
Bercerita tentang seorang pemuda bernama Salman, yang lahir dan besar di Sedanau, Sebuah pulau yang berada di Kabupaten Natuna. Seperti pulau terluar Indonesia lainnya, akses kesehatan di Sedanau juga masih sangat terbatas. Hal itulah yang membuat Salman bercita-cita menjadi seorang dokter.
Perjalanan Salman ternyata cukup berat, biaya kuliah kedokteran yang sangat mahal menjadi hambatan pertama Salman dalam mengejar cita-citanya sehingga Salman harus berjuang untuk mendapatkan beasiswa pendidikan.
Setelah berhasil mendapatkan beasiswa pendidikan, ternyata hadir masalah baru yaitu bagaimana cara Salman mencukupi biaya hidupnya di rantauan. Aku sangat menyukai semangat Salman dan interaksi Salman dan teman-temannya yang saling berbagi suka dan duka. Dialog antar tokohnya juga sangat natural dan menggunakan campuran bahasa Indonesia dan Melayu.
Perjuangan Salman untuk meraih cita-citanya ternyata membutuhkan pengorbanan luar biasa, masalah terus datang silih berganti, mulai dari masalah ekonomi, keluarga, hingga kisah asmaranya dengan Hamidah.
Aku sangat menyukai bagaimana tokoh Salman diceritakan dengan sangat realistis di novel ini. Novel ini berhasil menggali sisi rapuh seorang pemuda yang biasanya jarang ditampakkan di kehidupan nyata. Aku juga sangat menyukai support sistem yang dimiliki Salman karena mereka benar-benar mampu menjadi penolong saat Salman membutuhkan bantuan, terutama saat kondisi mental Salman berada di titik terendah. Namun sayangnya, di bagian akhir bab ceritanya terasa sedikit terburu-buru, termasuk kisah Salman dan Raisa.
Overall, novel ini aku rekomendasikan untuk kamu yang sedang mencari bacaan tentang perjuangan dan mental health issue. Banyak pelajaran yang dapat diambil dari cerita ini.🫶🏼🫶🏼
Kemarau di Sedanau adalah novel yang berhasil menyentuh emosi dan membuatku merenung tentang arti perjuangan. Mengikuti perjalanan Salman dari Sedanau hingga ke dunia kedokteran adalah pengalaman yang nggak cuma menguras emosi, tapi juga memberikan banyak insight berharga.
Salman adalah anak nelayan dengan mimpi besar: menjadi dokter. Tapi jalan yang ia tempuh jauh dari kata mudah. Perjuangan, kehilangan, dan pengorbanan terus menghampirinya. Merantau dari kampung halaman, meninggalkan orang-orang terkasih—terutama Hamidah, seseorang yang sangat berarti baginya—Salman harus bertahan di dunia yang nggak selalu ramah.
Yang membuat novel ini begitu menarik adalah bagaimana karakter Salman dikembangkan. Ia nggak digambarkan sebagai sosok sempurna yang selalu berhasil. Ada masa-masa jatuh, terpuruk, dan bahkan meledak setelah terlalu lama memendam segalanya. Dinamika hubungannya dengan Hamidah juga bikin hati nyesek—right person, wrong time benar-benar terasa di sini.
Dari segi narasi, novel ini rapi dengan gaya bahasa yang unik karena memadukan unsur Melayu, yang semakin memperkuat nuansa khas latarnya. Ditambah latar waktu 2008 dan alur mundur yang membawa pembaca menyelami perjalanan panjang Salman, cerita ini semakin terasa hidup dan autentik.
Satu hal yang cukup mengganjal adalah ending-nya yang terasa agak terbuka dan menyisakan pertanyaan. Salman seolah masih berada di bayang-bayang masa lalunya, dan entah bagaimana kelanjutan kisahnya ke depan.
Tapi di balik semua itu, Kemarau di Sedanau menyampaikan pesan yang kuat: bahwa perjuangan selalu punya harga, dan kesabaran adalah mata uangnya. Tidak ada usaha yang sia-sia, dan meskipun perjalanan terasa berat, selalu ada harapan di ujung jalan.
“Kemarau di Sedanau” novel perjalanan tokoh utama mewujudkan impiannya yang lengkap dengan kesulitan yang harus dihadapi (secara geografi, ekonomi, akademi, sampai dari orang terkasih).
Novel ini mampu menggambarkan belum meratanya akses pendidikan di Indonesia, sekalipun terdapat program beasiswa pemerintah untuk menyokongnya. Demikian pula akses layanan kesehatan yang membuat banyak masyarakat terpaksa menempuh jarak jauh untuk mendapatkan perawatan medis.
Isu kesehatan mental menjadi perhatian novel ini. Penulis mengajak pembaca memahami bahwa nakes pun rentan mengalami gangguan psikologis. Oleh karenanya, perlu sistem pendukung sebagai pilar penting menjaga kesehatan mental dan emosional untuk melalui masa-masa sulit.
Nilai-nilai religiusitas tergambarkan dengan baik dalam bentuk doa hingga cara seseorang menghadapi tantangan hidup maupun membangun ketahanan mental. Ikhtiar dan tawakal berjalan seiringan dalam mencapai tujuan.
Penulis apik membawa pembaca berjalan-jalan menjelajahi beberapa tempat yang menjadi latar cerita. Makin lengkap dengan percakapan-percakapan antartokoh menggunakan dialek Melayu.
Sayangnya, hal tersebut tidak diimbangi dengan perkembangan plot cerita. Banyak adegan penting, tetapi selesai dalam satu-dua halaman, dan ada adegan biasa saja malah berlembar-lembar, membuat buku ini cenderung membosankan.
Penjelasan medis yang dinarasikan belum luwes karena tetap terasa ilmiah. Novel ini bisa kurang dari 300-an halaman. Banyak kalimat membingungkan dan tidak efektif yang bisa lebih disederhanakan.
*Hal yang tak kau bawa pergi saat meninggalkanku adalah Kenangan itu sendiri* --Mungkin ini yang lebih tepat menggambarkan situasi Salman.
Salman yang tinggal di tempat terpencil dan dengan segala keterbatasannya baik dari keluarga, lingkungan namun dia memiliki mimpi menjadi seorang dokter, mimpi yang dia bawa ke manapun hingga mengorbankan kisah cintanya sendiri , ia pun harus menerima semua cercaan, hinaan dari lingkungannya ( ga kebayangin juga gimana kondisi mental bapak ibunya Salman ,dimana bapak hanya nelayan lepas namun anaknya memiliki mimpi jauh diatas awan ) Namun dengan ketegasannya Salman tetap memilih untuk mewujudkan mimpinya -- tidak mudah bagi putra daerah untuk hal ini, kalian akan lihat di dalam buku ini bagaimana strugglenya perjuangannya
Siapa sangka Salman bertemu kembali dengan wanita yang pernah mengisi relung hatinya - Hamidah, memang sakit hatinya kaum laki dan perempuan tidak dapat disamakan, namun... dibalik itu semua baik laki maupun perempuan dapat hancur total saat mengalami di tinggal oleh orang yang di cintainya dan kalian juga akan tahu mengapa penulis mengangkat judul buku ini dengan "Kemarau di Sedanau"
Didalam buku ini juga disajikan kehidupan masa kuliah kedokteran yang Salman jalani (jadi keinget salah satu novel yang membahas soal kedokteran juga dan totalitas ngebahasnya), lalu bagaimana pertemanan konsisten dalam titik tertendah Salman yang melebihi keluarganya sendiri.
Poin of viewnya aku suka penulis mengambil kepulauan Natuna yang memang jarang diangkat dan kita perlu tahu bahwa masih banyak nama tempat yang patut diangkat dijadikan spot lokasi dalam cerita.
Membaca novel ini mengulang masa membaca novel penuh inspirasi macam Laskar Pelangi. Tentang perjuangan seseorang yang tinggal di desa jauh dari perkotaan. Salman ini tinggal di Natuna dan dari novel ini aku tahu banyak tentang keadaan masyarakat Natuna, lingkungannya seperti apa. Sampai bahasa kesehariannya, tapi aku awal bacanya malah pake logat betawi. Maafkan 😭🙏🏻
Kisah hidupnya Salman ini sedih banget ya. Diremehin orang-orang sekitar, kisah cintanya yang kandas, dikhianati teman, dan menjadi yatim piatu. Tapi memang kehilangan orangtua saat lagi perantauan itu menyakitkan. Aku tahu beberapa temanku saat di perantauan dan itu menjadi ujian terberat kita saat lagi menempuh studi, lalu dihadapi berita orangtua sakit bahkan meninggal.
Banyak banget insight kedokteran di sini. Berhubung yang menulis dokter beneran, jadi benar-benar mengedukasi. Bukan semacam entah apa penyakitnya, selalu diakhiri dengan statement, “Maaf kami sudah berusaha semaksimal mungkin.” 🫢
Baca novel ini jadi tahu bahwa menjadi dokter itu sulit banget. Meskipun aku tahu, tapi baru tahu sedetail ini dari novel ini. Kayaknya aku bakal tereleminasi di awal karena langsung pingsan lihat darah. Lemah banget diri ini 🫠
Selain itu, ada pengetahuan tentang kesehatan jiwa yang dialami Salman. Aku sangat suka orang-orang sekitarnya sangat suportif, ya karena sekitarnya dokter kali ya jadinya ga menganggap enteng yang namanya kesehatan jiwa. Jadi tahu langkah apa yang harus dilakukan.
Buku ini menceritakan perjalanan hidup Salman untuk meraih cita-citanya menjadi dokter dengan segala keterbatasan yang dihadapi. Dimulai dari Salman remaja SMA yang sering ikut olimpiade, Salman tes beasiswa (hampir nggak lulus), kehidupan kuliah kedokteran (dari ospek sampai mengalami depresi), masa-masa koas dan akhirnya lulus mendapat gelar dokter. Ada juga kisah percintaan antara Salman dan Hamidah yang berakhir pahit. Support system dari keluarga, teman-teman, bahkan dosen pembimbing Salman juga yang sangat membantu Salman bangkit dari keterpurukannya.
Narasi agak berbelit-belit, tidak tersusun dengan rapih jadi aku sebagai pembaca, ada beberapa konteks yang kurang paham dan harus dibaca perlahan baru bisa ngerti. Kalimatnya tuh kurang efektif, jadi rada rancu dan nggak nyaman bacanya. Timeline ceritanya menurutku juga aneh. Tiba-tiba pulang dari olimpiade beberapa hari lalu. Mestinya diceritain dulu di awal ada olimpiade gitu. Ibunya emang sakit, tapi tiba-tiba jadi kanker. Trus baru dijelasin kalo ibunya sakit kanker, udah kemo. Pas stase anak kan si Salman ngulang dan belum lulus, nggak diceritain lagi tuh kelanjutannya gimana, langsung ke stase forensik. Jadi detail-detail cerita yang harusnya dijelasin tapi nggak diceritain, dan sebaliknya ada cerita yang nggak perlu terlalu detail diceritain tapi panjang banget diceritain. Satu lagi, emang bisa ya pas April 2016 baru dapet SK CPNS, trus Oktober 2019 udah jadi obgyn? Mungkin lebih baik untuk waktu kejadian nggak perlu terlalu detail ditulis bulan tahunnya.
Berangkat dari keluarga seorang nelayan dengan kondisi ekonomi yang kurang, Salman memiliki tekad dan mimpi yang kuat untuk menjadi dokter. Meski banyak yang mencaci, dan meremehkan, dia tetap maju tak gentar.
Seperti pepatah, where there's a will, theres's away. Salman mendapatkan kesempatan beasiswa untuk menempuh sekolah kedokteran di universitas. Perjalanan untuk mewujudkan impiannya banyak sekali cobaan dan tantangan. Mulai dari cobaan ditinggal oleh Ayahnya. Berlanjut pada kisah percintaannya dengan Hamidah yang harus kandas di tengah jalan, serta kehilangan berikutnya yang beruntun. Patah hati, terluka, rapuh, sampai pada akhirnya Salman didiagnosa mengalami gangguan mental.
Novel ini tentang keluarga, cinta, dan persahabatan. Juga tentang seluk beluk dunia kedokteran yang dijelaskan dengan terperinci. Serta perjuangan Salman yang luar biasa menginspirasi.
Kisah Salman bergulir dengan lancar. Dialognya kental dengan bahasa Melayu. Sedanau menjadi latar utama cerita ini. Dan masih ada juga tempat lainnya yang diceritakan dengan detail. Kehadiran tokoh-tokoh tambahan turut mewarnai jalannya cerita Salman. Banyak nasihat di novel ini yang bisa kita ambil dan pelajari. Dan bisa kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Mental illness bisa terjadi kepada siapapun, tidak mengenal profesi. dan bisa kambuh. walaupun kesembuhan mental illness ini hanya bisa dilakukan oleh diri sendiri, tapi dukungan orang sekitar juga berperan besar dalam penyembuhannya.
seneng banget dihubungi kak @asroruddinzoechni di komenan instagram. buat ikutan giveaway bukunya wkwkwk. terus sebelum baca aku baca beberapa review an dari teman teman lainnya. dan boom. setelah aku baca, aku bener bener suka cara penulisannya. gaya bahasanya sangat mudah dipahami dan dibaca disaat santai.
ada pepatah, dimana ada keinginan disitu pasti ada jalan. nah ini beneran cocok banget sama karakter salman. sosok yang menurutku luar biasa sih, perjuangan seseorang untuk meraih mimpinya dan gimana dia mengatasi permasalahan. dan aku suka banget latar diceritanya. mengambil latar tempat di daerah natuna. sebenernya aku belum tahu sih daerah natuna itu seperti apa dan bagaimana. cuman pernah denger namanya aja. tapi setelah membaca ceritanya kayaknya aku tertarik buat mengunjungi tempat itu. lingkungan yang berbeda dengan tempatku. kampung nelayan yang asri.
#reviewuntuktemanrima | Kemarau di Sedanau | @asroruddinzoechni | @bhuanasastra | 322 hlm. Aku baca di Panjalu E-lib
Ini cerita Salman dan mimpinya untuk menjadi seorang dokter. Namun, keadaan ekonomi dan tempat tinggal yang jauh dari segala jangkauan, membuat Salman yang cerdas dan ulet justru harus memanen cacian dan hinaan.
Menariknya, Salman tidak terpengaruh akan semua itu. Ia hanya fokus pada mimpinya, mencari celah untuk mewujudkannya, sampai berita buruk itu tiba, mengikis pertahanan dan kepercayaan diri Salman.
Saat menyadari penulis menggunakan alur mundur, aku jadi ke trigger buat nyelesaiin buku ini secepatnya. Karena di prolog dapat spoiler kisah cinta Salman yang manis, justru kandas ditengah jalan💔 WHY?
Rasa penasaranku dibungkam sama perjalanan Salman yang kelewat 𝘴𝘵𝘳𝘶𝘨𝘨𝘭𝘪𝘯𝘨. Pahit, penuh luka, dan menyimpan kedukaan. Usahanya buat bangkit, prosesnya membolak-balikan hati dan peran orang di sekitarnya, jadi membuatku merenung.
Aku nggak nyangka patah hatinya cowok separah ini!
Aku suka mengikuti Salman selama kuliah, karena merasa ikut duduk di bangku Fakultas Kedokteran juga, saking detail dan banyaknya atribut kampus serta kasus yang diselipkan dalam buku ini, apalagi pas bahas masalah mental. Tapi, ada beberapa istilah medis yang tidak memiliki penjelasan, jadi cukup membingungkan bagi orang awam.
Mengenal Salman lewat POV orang ketiga, membuatku sadar, kalau setiap orang memang punya batasan. Keyakinan kita bisa goyah dan overthinking bisa menyerang siapa saja. Teman yang suportif jadi harta berharga dalam sebuah perjuangan, karena di titik terendah, dukungan positif dari sekitar itu terasa amat sangat berarti.
Sebenernya buku ini relevan buat dibaca siapa aja. Tapi bakal lebih ngena buat kamu yang butuh asupan tentang kesehatan mental atau support buat bangkit dari titik terendahmu.
Buku terakhir yang diberesin tahun 2023 dan sukaaaa 😍
Tapi tapi, kenapa ga ada peringatan kalau buku ini mengandung bawang? 😭 Salman, kenapa hidup kamu harus sesedih ini sih.. Tapi sesuai yg selalu dibilang teman2 dan keluarga Salman, 'semua pasti ada hikmahnya'.
Baca buku ini itu vibe nya kaya baca buku Buya Hamka atau NH Dini. Hehehe. Campuran bahasa daerah, perjuangan karakternya untuk memperbaiki taraf hidup, walau harus dikecewakan berkali2 oleh suratan takdir 💖💖. Suka sama perjuangan Salman, suka sama persahabatan Salman sama temen2 kuliahnya, apalagi Gilang yg baik banget sama Salman, suka sama support sistem di kampus Salman, suka sama keluarganya Salman, suka juga background tempat kaya Sedanau yg jarang2 di angkat di novel jaman sekarang..
Awalnya sempet kerasa pacenya terlalu pelan, apalagi awalnya udah bom banget sama kondisi di Ugd, eh abis itu berasa jadi pelan banget. Baru kerasa naik lagi pas bapaknya mulai sakit n Salman mulai ikut tes beasiswa.
Novel "Kemarau di Sedanau" by Asroruddin Zoechni adalah kisah inspirative and educative about family, medical for mental health education.
Novel ini sebagai penyemangat jiwa dan mentor (guide) for spiritual spirit untuk meraih cita cita dalam keterbatasan hidup dan keuangan. Seorang Salman Adiputra mampu meraih beasiswa PEMDA di Kabupaten Natuna, Pulau Sedanau.
Kisah romansa antara Salman dan Hamidah yang harus melalui LDR (Long Distance Relationship), mampu membuat saya terharu biru.
Terima kasih kepada Bapak dr. Asroruddin Zoechni yang telah menulis karya yang memikat hati tentang perjalanan hidup seorang dokter daerah dan menjelaskan istilah medis dalam mental health dan prosedur yang diterapkan para Ahli. Novel ini mendorong saya untuk terus membaca dan meraih cita dan cinta.
Novel ini mengisahkan perjuangan seorang pemuda asal Sedanau, Kabupaten Natuna, bernama Salman Adiputra yang bermimpi menjadi dokter. Meskipun ia anak nelayan miskin, Salman beroleh jalan kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura, Pontianak, melalui jalur beasiswa dari Pemerintah Kabupaten Natuna.
Namun ujian bertubi-tubi menghadang langkah Salman. Mulai dari kehilangan orang tua yang amat ia cintai dan hormati, kesulitan ekonomi, hingga ditinggal menikah oleh kekasih hati.
Kepada siapa lagi Salman mengharap pertolongan? Masih kuat 'kah kakinya meneruskan perjalanan mewujudkan impian?
Novel pembangun jiwa ini cocok dibaca siapa saja yang tengah berjuang meraih mimpi.
Memotivasi, inspiratif, dan memberi banyak sekali pelajaran. Bukan hanya tentang kisah cinta, tapi juga perjuangan meraih mimpi dan kesadaran akan kesehatan mental.
Saya suka isu yang diangkat oleh penulis, juga karakter Salman yang mengalami perubahan. Saya suka suasana ketika Salman menghadapi pasien. Tegangnya dapet banget.
Novel ini cukup menggambarkan tentang dunia kedokteran, tapi sekadar saran, ada baiknya untuk istilah-istilah kedokteran diberi footnote gitu supaya pembaca yang awam seperti saya bisa paham.
Inspiratif dan memotivasi orang agar jangan sampai jatuh terpuruk semakin dalam. Semuanya tersaji melalui kisah Salman si pemuda dambaan Sedanau.
Melalui novel ini kita jadi tahu bahwa di bagian terpencil seperti Sedanau dan Ranai di wilayah Natuna, cerita tentang jatuh bangun dan meraih impian tertinggi ternyata bisa dicitrakan lewat sosok Salman. Klise sih, tapi asyik diikuti lengkap dengan logat khas Melayunya yang kental dan menambah unik cerita ini. Kemarau akhirnya berganti hujan yang sejuk.