Jump to ratings and reviews
Rate this book

Brain-Based Parenting

Rate this book
Memiliki anak datang dengan berbagai tantangannya tersendiri. Mudah sekali bagi orang tua untuk frustrasi dan terbawa emosi ketika menghadapi anak. Padahal, otak anak sedang berkembang, dan ada keterbatasan-keterbatasan yang wajar pada usianya, yang tentunya berbeda dengan orang dewasa. Memahami cara parenting yang sesuai dengan perkembangan otak anak dapat membantu anak tumbuh menjadi orang dewasa yang sehat secara fisik dan mental.

Dalam buku ini, dr. Ayuwidia Ekaputri menarik dari pengalamannya mempelajari cognitive neuroscience serta mengamati metode pendidikan anak di Swedia untuk merumuskan sederet cara pengasuhan yang memahami bagaimana otak berkembang seiring kita tumbuh serta bagaimana cara menerapkan teori parenting yang positif dan menghindari timbulnya “luka pengasuhan”, lengkap dengan kuesioner yang dapat digunakan orang tua untuk refleksi serta tip-tip sederhana.

188 pages, Paperback

Published January 1, 2023

8 people are currently reading
12 people want to read

About the author

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
7 (41%)
4 stars
9 (52%)
3 stars
1 (5%)
2 stars
0 (0%)
1 star
0 (0%)
Displaying 1 - 8 of 8 reviews
Profile Image for Harumichi Mizuki.
2,425 reviews73 followers
Currently reading
September 11, 2025
(Bab 1: Fakta Tentang Otak)

Otak lantai atas atau otak logika, yang secara ilmiah disebut prefrontal cortex, merupakan bagian otak yang mengontrol perilaku kita agar lebih terarah. Prefrontal cortex membuat seseorang mengambil keputusan dengan bijak, menyusun rencana, berpikir kritis dan rasional, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan "logika". Prefrontal cortex juga bertugas untuk meregulasi emosi. Meregulasi emosi artinya mengontrol emosi. Seseorang awalnya marah, sedih, kesal, takut, bisa menjadi tenang kembali ketika emosinya telah teregulasi. Menurut penelitian, prefrontal cortex baru mulai berkembang di usia 3-4 tahun, berkembang pesat di usia remaja, dan akhirnya matang di usia sekitar 25-30 tahun. Jadi, sangat dimaklumi kenapa anak-anak yang usianya sangat kecil kelakuannya "tidak masuk akal". Begitu pula dengan anak-anak remaja yang perilakunya tidak jarang membuat orangtua mengelus dada. Ya, karena otak anak-anak ini masih dalam tahap pembangunan. Belum sepenuhnya selesai. Pasti ada kendala dalam mengontrol emosi mereka.

*

Pada zaman modern ini, ancaman yang datang bukanlah binatang buas, melainkan berbagai suasana dan situasi sosial yang bisa membahayakan eksistensi diri. Selain kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi, ada empat hal yang bisa menjadi ancaman atau sumber stres dan mengaktivasi otak emosi yang dalam bahasa Inggrisnya biasa disingkat dengan NUTS, yaitu sebagai berikut.

- Novelty: suatu hal yang baru atau asing.

- Unpredictability: suatu hal yang tidak bisa diprediksi atau berjalan tidak sesuai prediksi.

- Threat to ego: saat kemampuan, status, dan kepintaran kita dipertanyakan.

- Sense of low control: merasa tidak mampu mengontrol sesuatu atau adanya hal-hal di luar kontrol.


*

Selain otak atas dan bawah. ada juga otak kiri dan kanan. Istilah ilmiahnya hemisfer kiri dan kanan. "Anakku dominan otak kiri, nih! Jago Matematika!", "kalau anakku dominan otak kanan, jiwa seninya mengalir deras!"

Ungkapan seperti ini sebenarnya mitos. Kedua bagian otak ini punya potensi yang sama tetapi memang kerjanya berbeda. Otak bagian kiri terlihat lebih aktif ketika kita menyusun kata, melihat fakta, memperhatikan urutan dan angka, dan berpikir ke depan. Sedangkan otak kanan lebih banyak memberi warna seperti memperhatikan ekspresi wajah, melihat sesuatu sesuai konteksnya, mengatur intonasi saat berbicara, seperti menikmati momen saat ini. Pada anak-anak, otak bagian kanan lebih dominan.

Tidak heran, anak-anak melompat ke sana kemari saat berjalan ke sekolah, tidak peduli mereka bisa terlambat. Namun sayangnya, kita hidup di dunia yang memaksa otak kiri bekerja dominan. Misalnya, terus berpikir tentang masa depan, rencana, melihat semua sesuai fakta atau urutan. Akibatnya, ketika dewasa, kita tanpa sadar terus berpikir ke depan tanpa menikmati hari ini. Kita cenderung fokus ke fakta tanpa melihat konteks. Kita bahkan lupa memperhatikan raut wajah lawan bicara karena hanya fokus dengan isinya.

Semua bagian otak, baik otak logika maupun otak emosi serta otak kiri dan otak kanan sebaiknya digunakan secara seimbang. Otak berkembang dengan cara membangun koneksi antarself saraf. Koneksi ini akan terbentuk melalui pengalaman hidup. Sehingga, ketika otak emosi sedang membara, kita bisa meredakannya dan mengakses otak logika dengan cepat untuk berpikir jernih: apakah ini benar-benar bahaya yang mengancam nyawa? Begitu pula dengan koneksi antara otak kiri dan kanan yang harus dibangun dengan kuat. Antara otak kiri dan kanan terdapat corpus calosum sebagai jembatan antara dua area ini. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa corpus callosum ini mengalami penurunan volume dan koneksi saraf pada anak yang mengalami kekerasan, baik secara fisik maupun mental di masa kecilnya.

Memangnya apa dampak dari gangguan pertumbuhan corpus callosum? Gangguan pada corpus callosum berkaitan dengan gangguan fungsi sosial, gangguan kemampuan bahasa secara komprehensif, gangguan mendeteksi ekspresi wajah, bahkan gangguan kesehatan mental seperti bipolar.

Bagi anak-anak, lingkungan tempatnya tumbuh dan berkembang memegang peran penting dalam "pembangunan" otak. Proses pembangunan ini tentu dimulai dari lantai bawah dulu (sistem limbik atau otak emosi), baru ke lantai atas (prefrontal cortex atau otak logika). Jadi, jangan buru-buru ingin anak berlogika jika kebutuhan emosinya belum terpenuhi. Sebagai orangtua, kita membantu anak untuk membangun fondasi yang kuat dalam perkembangan otaknya. Sebelumnya dijelaskan bahwa prefrontal cortex orang dewasa sudah berkembang sempurna (fully-developed). Namun, mengapa kita sering menemui orang dewasa yang tidak bisa mengontrol emosi, berperilaku tidak bijak, dan arogan? Ibarat memasak kue, ketika adonan dimasukkan ke oven selama 15-20 menit, kue pasti matang. Namun, apakah kuenya enak? Belum tentu! Adonan bahan yang kita campurkan saat membuat kue sangatlah penting untuk memastikan kue tersebut enak.

Nah, masa kecil anak akan sangat menentukan perkembangan struktur otak dan perilakunya saat dewasa. Yuk, kita cek fakta-fakta berikut ini.

- Kesulitan-kesulitan yang dialami anak pada masa kecil berkontribusi pada perilaku negatif di kemudian hari seperti pelaku kriminal, penggunaan alkohol, dan obat-obatan, rendahnya pencapaian akademik.

- Trauma masa kecil (pengabaian secara fisik dan emosional, kekerasan seksual) memberikan dampak negatif terhadap kesehatan mental dewasa pada masa dewasa.

- Pola asuh sangat berkaitan dengan kemmapuan kognitif anak seperti perencanaan, kemampuan memori, dan belajar.

Lingkungan tempat anak tumbuh menentukan bagaimana perilakunya saat dewasa. Jadi, apa yang kita tanamkan kepada anak saat ini akan menjadi fondasi bagi hidupnya kelak. Apakah kelak anak kita bisa menghadapi dunianya dengan baik? Semua bergantung pada fondasi yang kita bangun.
Profile Image for Rafi'atul Hayati.
15 reviews1 follower
June 17, 2025
Sebagai seseorang yang belum menikah, menurutku membaca buku parenting itu adalah salah satu sarana untuk belajar mengenal diri sendiri.
Sebagaimana istilah yang sering kita dengar "happy parents, happy kids" yang mengartikan bahwa tanpa memahami dirinya terlebih dahulu, akan sulit untuk orangtua memahami anaknya.
Seperti judulnya, buku ini membahas tentang pengasuhan berbasis perkembangan otak anak. Anak yang baru lahir dan baru bertumbuh tentu belum tahu banyak hal, seperti belum paham bagaimana menyampaikan keinginannya dengan baik, belum tahu bagaimana merespon kondisi di sekitarnya, belum tahu mana yang bahaya dan mana yang tidak, dan berbagai ketidaktahuan lainnya.
Buku ini menyadarkan kita bahwa anak-anak butuh waktu untuk memproses banyak hal. Karena anak-anak ini baru lahir ke dunia, maka kitalah yang harus belajar untuk memahami mereka.
Daaan untuk memahami bagaimana anak bertumbuh dan berkembang, maka kita sebagai orangtua harus belajar dulu memahami diri kita sendiri. Kalau ternyata ada banyak PR di diri kita yang harus diselesaikan, entah itu trauma masa lalu atau hal lainnya, maka jangan ragu untuk meminta bantuan dari profesional agar kita tidak menurunkan trauma tersebut pada generasi penerus kita. Tidak mudah memang, tapi kalau tidak dicoba untuk disembuhkan sekarang, kapan lagi?
Profile Image for Dasilva Rindu.
15 reviews
January 12, 2025
buku ini sangat direkomendasikan untuk siapapun yang sedang mencari referensi tambahan dalam hal parenting. penulis membagikan banyak sekali pengalaman pengasuhan dan menuliskannya berdasarkan perkembangan otak anak (neuroscience).
diawali dengan pengenalan fakta terkait dengan otak, penulis memberikan pengetahuan mengenai tempramen anak, bagaimana menghadapi anak ketika tantrum, hingga baik-buruknya pengenalan gadget pada anak usia dini. penulis menyampaikan pikirannya dengan bahasa yang mudah dipahami. dilengkapi dengan aktivitas interactive journal dan kuesioner, buku ini menjadi sangat membantu untuk memberikan gambaran yang lebih jelas terkait penerapannya. buku ini juga memberikan kita sebuah motivasi dan harapan untuk menjadi agen perubahan untuk memutus rantai pengasuhan yang tidak tepat... terdapat bagian untuk dijadikan refleksi oleh orangtua/pendamping anak pada bab terakhir dari buku ini.

sebagai kesimpulan pada halaman paling terakhir yang tentunya sy sangat setuju dengan pernyataannya, dimana penulis berkata bahwa: "it takes a village to raise a child"
This entire review has been hidden because of spoilers.
15 reviews
August 20, 2025
Buku parenting berbasis neurosains atau lebih dikenal dengan sebutan neuroparenting.
Ditulis oleh seorang dokter yang juga bergelar Master di bidang cognitive neuroscience.
Dengan bekal keilmuan tersebut, pendekatannya menjadi lebih meyakinkan karena seluruh pemaparannya berdasarkan fakta dan penelitian ilmiah.

Bagian favorit saya di buku ini adalah ketika membahas struktur otak dan keterkaitan pola asuh terhadap kemampuan kognitif anak di masa depan.

Saya mengutip sebuah ungkapan dari buku ini "It takes a Village to raise a Child", yang artinya "Membutuhkan orang satu desa untuk mengasuh anak."
Maknanya bahwa membesarkan anak bukan hanya tanggung jawab orang tua saja, tetapi juga melibatkan peran lingkungan sekitar seperti keluarga besar, tetangga, guru, teman, dan masyarakat. Semua punya kontribusi dalam membentuk kepribadian, nilai, dan masa depan anak.

This book is highly recommended..
Profile Image for Aditya Sattvika.
57 reviews
March 11, 2024
Buku ini bagus dan ringkas, cocok bagi orang tua yang tidak punya waktu membaca buku rebal, merupakan sintesa dari banyak buku-buku populer tentang pengasuhan dan psikologi, pun sangat praktikal, disertai pula dengan jurnal dan kolom-kolom latihan yang bisa kita isi sendiri.
Namun demikian, kembali lagi "it takes a village to raise a kid" dan penulisnya tinggal di swedia. Sementara "vilage" yang tersedia di Indonesia untuk kita seperti ini adanya
Profile Image for Katherina Liandy.
6 reviews
November 6, 2025
Bukunya bagus untuk dibaca oleh orangtua yang ingin memahami bagaimana mengasuh anak dengan memahami cara kerja otak anak sesuai usia dan tahapan perkembangan. Buku ini dilengkapi ilustrasi (walau tidak begitu banyak), ada lembar refleksi yang bisa jadi acuan journalling, dan ada dilengkapi ulasan how to do (how to respond children, etc)
Profile Image for Hilma Azhari.
33 reviews1 follower
September 17, 2024
Buku parenting yang sangat ringan dan mudah dipahami juga berdasarkan sains.
Sangat direkomendasikan bagi pengantin baru, para orang tua, pengajar dan lainnya yang mengharapkan generasi selanjutnya menjadi lebih baik.
Bagus banget 👍👍👍👍👍
Profile Image for Lala.
6 reviews
July 22, 2024
Bagus dan bahasanya cukup mudah utk dimengerti. Cakupan bahasannya juga luas.
Displaying 1 - 8 of 8 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.