A freelance journalist (member of Aliansi Jurnalis Independen-AJI), researcher and travel writer specialized environmental reporting and indigenous people. He has written seven books, exploring also impact of colonialism, cultural consequences, and ancient spiritual in Indonesia. Most of his personal work has a strong political and social component, published in several media such as Majalah Tempo, DestinAsian Indonesia, Mare , National Geographic Indonesia, Currier International France, Republika, Kumparan.com, Travelounge, Marie Clair Magazine, Beritagar Indonesia, Colour, Garuda Indonesia Inflight Magazine, Sriwijaya Inflight Magazine, Travel Fotografi, Chip Magazine..
He is the author of The Banda Journal which won Photobook of the Year 2021, Paris Photo-Aperture Foundation, and selected as TIME 20 Best Photobook of 2021.
Suka banget buku ini! Mungkin karena aku masih terbilang jarang membaca buku-buku yang mengupas Indonesia, makanya baca Indonesia dari Pinggir ini jadi sesuatu yang cukup mesmerizing.
Membaca Indonesia dari Pinggir, rasanya kayak dibawa jalan-jalan ke daerah Indonesia timur. Senang sekali jadi bisa memahami adat-adat mereka secara gak langsung dari buku ini. Menarik juga bagaimana warga Indonesia timur itu selalu punya unique selling pointnya masing-masing😆 Ambil kata pekerjaan mereka, ada pemburu paus, pemburu cendrawasih, pembuat pinisi, sandek dan lainnya. Meskipun yang diburu juga hewan dilindungi, tapi seakan-akan ini menjelaskan kalau Indonesia memang pluralisme banget dan yang diangkat kali ini adalah keragaman fungsi masyarakat (yang mana aku jarang menemukan ini). Plus pekerjaan mereka itu udah lebih dari sekadar penghasilan, tapi ritual, adat, struktur sosial, relasi mereka dengan alam yang udah dijaga turun-temurun.
Yang gak kalah menarik dari buku ini adalah cara mas Fatris memasukkan sedikit sejarah dari daerah yang dia kunjungi. Bagaimana kejadian di masa lalu punya andil dalam membentuk masyarakat di sana. Apalagi aku juga suka banget ceritanya beliau di Timor Leste, bener-bener eye-opening bahwa yaahh kelam juga ya masa-masa itu.
Buku ini ditulis kayak jurnal/diary, jadi berasa agak jumpy di beberapa bagian. Mungkin editornya perlu ngasih semacam line break yang lebih obvious lagi. All in all, terima kasih sudah ngajak jalan-jalan ke daerah yang.. aku gak pernah tau bisa kukunjungi atau tidak!
Aku suka bagaimana Fatris selalu sadar dan terbuka atas ketidaktahuannya atas banyak hal, terutama ketika tiba di tempat-tempat baru di Indonesia pinggiran. Aku juga senang bahwa Fatris menulis sambil berefleksi atas apa yang ia tahu dan tidak ketahui; seolah-olah dia berpikir bersamaku sebagai pembaca. Mungkin itu juga yang membuat catatan-catatan ini terasa jujur dan tidak terkesan mendikte. Sebab pemilik wacana dan kuasa atas pengetahuan dan praktik-praktik yang dituliskan dalam buku ini adalah masyarakat yang ditemui Fatris di perjalanan. Fatris hanya menuliskan apa yang dia temui, dan aku cuma membacanya, berharap dapat belajar hal-hal baru (aku mendapatkannya).
Walaupun banyak isi catatan terasa melompat-lompat dari satu titik ke titik lain, buku ini berhasil bikin aku sedikit menyesal tidak sempat menulis catatan perjalanan selama jauh dari rumah. Tanpa menyalahkan Fatris, nada catatan-catatan ini juga terasa maskulin--membuatku berpikir seperti apa rupa catatan ini jika ditulis seorang perempuan? Ah, semoga setelah ini aku punya setidaknya secuil keberanian dan setitik kepiawaian menulis seperti Fatris.