This book was converted from its physical edition to the digital format by a community of volunteers. You may find it for free on the web. Purchase of the Kindle edition includes wireless delivery.
Raden Ayu Kartini, (21 April 1879 – 17 September 1904), or sometimes known as Raden Ajeng Kartini, was a prominent Javanese and an Indonesian national heroine. Kartini was a pioneer in the area of women's rights for Indonesians.
After Raden Adjeng Kartini died, Mr J. H. Abendanon, the Minister for Culture, Religion and Industry in the East Indies, collected and published the letters that Kartini had sent to her friends in Europe. The book was titled Door Duisternis tot Licht (Out of Dark Comes Light) and was published in 1911. It went through five editions, with some additional letters included in the final edition, and was translated into English by Agnes L. Symmers and published under the title Letters of a Javanese Princess.
The publication of R.A. Kartini's letters, written by a native Javanese woman, attracted great interest in the Netherlands and Kartini's ideas began to change the way the Dutch viewed native women in Java. Her ideas also provided inspiration for prominent figures in the fight for Independence.
" Tiada awan di langit yang tetap selamanya. Tiada mungkin akan terus-menerus terang cuaca. sehabis malam gelap gulita lahir pagi membawa keindahan. kehidupan manusia serupa alam” (Kartini - Habis Gelap Terbitlah Terang)
“Wanita dijajah pria sejak dulu. Dijadikan perhiasan sangkar madu.”
Itu adalah sebuah kutipan dari sebuah lagu lama. Sebelumnya saya ingin jelaskan kalau saya tidak sudi menggunakan istilah wanita karena artinya yang merendahkan. Wanita berasal dari kata: wani = orang; toto = hias; yang artinya orang yang dihias, hiasan. Sedangkan perempuan memiliki makna yang jauh lebih menghormatkan. Perempuan dari kata empu = pemilik. Jadi wanita adalah pemilik, yang dihormati. Jadi untuk selanjutnya hanya akan ada kata perempuan .
Perempuan, sejak jaman dahulu kala sudah teraniaya. Entah itu di era Mesopotamia, Yunani maupun Timur Tengah. Baik itu Gadis pantai, Kartini hingga Siti Nurbaya. Perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah dan dilemahkan. Tak berdaya dan dibuat tak berdaya oleh system, adat dan kebudayaan. Apalagi, di era feodalisme Jawa, peran perempuan didomestikan. Peran perempuan hanyalah berkisar pada tiga hal : kasur, dapur dan sumur. Perempuan tak boleh berpendidikan. Tak berhak meraih kebebasan. Tujuan hidup perempuan jawa di masa feodal hanya satu: Kawin dan selanjutnya menjadi mesin reproduksi untuk meneruskan garis keturunan dan hegemoni laki-laki. Bahkan yang lebih parah, terkadang perempuan hanya dijadikan objek dan pemuas nafsu dan ego laki-laki. Perempuan dianggap patung yang tak punya perasaan. Dia harus merelakan suaminya memadu dirinya, hingga 2,3,4 bahkan lebih. Dia harus menahan sedihnya ketika harus hidup seatap dengan para madunya. Perempuan yang datang belakangan pun tak kalah menderitanya. Dia harus mau untuk menjadi istri kesekian dari seorang laki-laki yang entah sdh punya berapa istri.
Setiap tgl 21 April diperingati sebagai hari Kartini. Tanpa tahu secara detail kenapa? Dan mengapa Kartini? Yang diajarkan saat pelajaran sejarah sejak esde hanya kalau tentang lahir, hidup dan matinya saja, secara garis besar. “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang merupakan kumpulan surat-surat kartini kepada para sahabatnya memang sering sekali disebutkan. Tetapi, sampai sebelum hari ini, saya tidak pernah tahu apa isinya. Lagi-lagi kelemahan kurikulum pendidikan di Indonesia. Hanya mengajarkan kulitnya saja.
Akan tetapi terlepas dari itu, sosok Kartini adalah sosok yang dijadikan lambang perjuangan perempuan. Yang oleh masa sekarang digembar-gemborkan sebagai gerakan emansipasi perempuan. Satu pertanyaan menggelitik “kenapa Kartini?” padahal pada masa yang tidak terlalu jauh, juga sudah ada beberapa perempuan yang tercerahkan dan mau memperjuangkan nasib kaumnya. Sudah ada juga perempuan yang memulai pendobrakan. Tokoh Dewi Sartika misalnya. Bahkah, sosok yang satu ini tidak hanya menuangkan cita-cita dan mimpinya ke dalam kata-kata. Akan tetapi beliau sudah pada tataran riil. Beliau mendirikan sekolah sendiri untuk kaumnya. Lantas kenapa Kartini yang dijadikan icon perjuangan kaum perempuan? Tanpa bermaksud membanding-bandingkan atau menafikkan peran yang satu terhadap yang lain. Karena kedua tokoh ini berbeda tetapi tak sama. Sama, tetapi berbeda. Dan keduanya tidak dapat dibandingkan, karena keduanya sama berjasanya. Dengan cara berbeda.
Kembali kepada Kartini, dalam tulisan-tulisannya tertera pikirannya, semangatnya, cita-citanya dan mimpinya untuk memajukan peran dan derajat kaumnya. Berangkat dari apa yang ia lihat dilingkungannya, Kartini mencoba mendobrak pakem-pakem baku dari adat istiadat Jawa. Kartini yang lahir dari keluarga bangsawan Jawa yang memegang teguh adatnya. Di tengah konflik internal yang muncul dalam dirinya, Kartini coba untuk memberontak. Pada fase-fase awal surat-suratnya, terlihat semangat muda seorang Kartini. Semangat untuk maju, sekolah, memperoleh pendidikan dan setara dengan kaum lelaki. Pada fase-fase awal, Kartini terkesan terlalu memuja Eropa dan membenci budaya, adat dan agama yang dianut masyarakat Jawa. Yang menurutnya mengukung dan mengekang. Buat Kartini muda, Eropa adalah segalanya. Baru pada fase selanjutnya ia baru mulai berpikir lebih dewasa dan realistis. tiba2 teringat pada minke di tetralogi buru yg hdp di masa yg hampir sama dgn Kartini. sama-sama berasal dari keluarga bangsawan. sama2 ketika muda mengagungkan Eropa. baru membumi setelahnya. apakah ini memang jadi tren kaum muda bangsawan terpelajar di masa itu ya?
Karena tulisan ini adalah kumpulan surat, isinya lebih bersifat subyektif dan personal. Seringkali Kartini memiliki konflik di dalam dirinya. Pertarungan antara mimpi dan cintanya kepada orang tua. Hingga akhirnya ia memilih untuk mengabaikan mimpinya sekolah di negeri Belanda.
Membaca buku ini, membuatku mengerti sulitnya jadi seorang Kartini. Seseorang yang bermimpi setinggi langit, tetapi terkungkung adat dan tradisi. Butuh tekad dan keberanian besar untuk mendobrak system yang telah ada dan membudaya. Walaupun Kartini tidak pernah secara nyata menjadi seorang “pemberontak”. Tetapi pada masanya, sikapnya yang ia curahkan lewat tulisan-tulisannya sudah merupakan sebuah pemberontakan. Kartini yang berasal dari keluarga bangsawan memang menjadi salah satu kelebihannya – kenapa ia begitu dikenal orang-. Karena berasal dari keluarga bangsawan majulah, ia bisa memiliki kesempatan untuk belajar. Karena asal usulnyalah ia punya kesempatan belajar bahasa belanda, yang akhirnya menjadi alatnya untuk menyuarakan mimpi dan cita-citanya kepada dunia. Karena tulisannyalah ia jadi dikenal banyak orang, baik di bumi Hindia Belanda ataupun di Eropa. Dan lagi karena ia berasal dari keluarga bangsawan jawa yang terkenal ketat terhadap adat istiadatnyalah, “pemberontakan’nya serasa jadi sesuatu yang lebih istimewa. Mungkin karena itulah Kartini menjadi icon gerakan perjuangan kaum perempuan.
Satu hal yang menarik dari tulisan-tulisan Kartini. Ternyata, memperjuangkan hak dan derajat kaum perempuan tidak berarti melepaskan kodrat sebagai seorang perempuan dan seorang ibu. Tidak seperti yang banyak digembar gemborkan para feminis zaman sekarang. Ketika atas nama kesetaraan hak dan emansipasi , mereka bisa dengan bebas melegalkan aborsi, free sex dan banyak pandangan semu serta salah kaprah lainnya. Dan satu hal yang paling penting: Walaupun Kartini punya mimpi yang besar, Kartini tetap menikah dan punya anak loch ^^ Soal pendapat yang menyatakan kalau pernikahan buat perempuan adalah penjara dan sebagainya, itu kembali kepada pribadi dan nasib masing-masing. :D apakah kita akan mendapatkan pasangan hidup yang bisa menghargai dan menerima kita apa adanya? Apakah kita mendapatkan suami yang bisa sekaligus jadi sahabat, kekasih dan pembimbing? Bukan pernikahan yang salah, yang salah adalah pelakunya. Just Heaven Knows. Yang bisa kita lakukan hanya berusaha dan berdoa.
Terlepas dari asal usul dan gelarnya. Sosok Kartini memang sudah istimewa. Walaupun akhirnya ia tak pernah bisa menamatkan mimpinya sekolah di negeri Belanda. Walaupun ia tidak bisa melihat pengaruh dari cita-citanya karena ia mati muda dalam usia 25 thn. Tetapi ia membuka jalan dan membawa pencerahan bagi kaumnya. Kartini bukanlah pendobrak. Tetapi Kartini membawa pelita dan membuka kesadaran kaumnya akan nasibnya. Membuat wanita berani berbicara, berani bermimpi. “Bermimpilah, karena tanpa itu, manusia akan mati”.
=== Note: Sekedar catatan, buku yang saya baca ini adalah terjemahan dari surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabatnya yang ditulis dalam bahasa Belanda. Buku yang ada di tangan saya ini, adalah versi terjemahan ke bahasa melayu oleh Armijn pane. Itulah kenapa gaya bahasa yang digunakan terlihat begitu mendayu-dayu. Agak aneh dan membuat pusing sebenarnya. Karena jadi serasa membaca atau menonton film Malaysia :D Walaupun saya tetap dapat mengerti isi dan jalan ceritanya, ini membuat saya tidak memberi 5 bintang untuk buku ini. Jadi penasaran untuk baca versi yang lainnya. Adakah?
"Tahukah engkau semboyanku? Aku mau! Dua patah kata yang ringkas itu sudah beberapa kali mendukung membawa aku melintasi gunung keberatan dan kesusahan. Kata "aku tiada dapat!" melenyapkan rasa berani. Kalimat "aku mau!" membuat kita mudah mendaki puncak gunung.
Sebelum baca buku ini, saya sempet mikir ngapain sih kita tiap 21 April kudu ngerayain hari kartini segala. Kayaknya biasa aja gitu, soal emansipasi itu. Ternyata pas baca buku ini baru ngerti, ternyata pemikiran beliau ini luar biasa sekali, melampaui zamannya deh. Yang bikin terpana lagi pemikiran akan kehidupan pada umumnya dan usahanya menyetarakan kaum wanita dan pria itu keluar dari dirinya seorang wanita jawa kuno, dipingit pula. Kagum deh. Walaupun ada yang bilang dia bukan pahlawan wanita sebenarnya dan usahanya belum cukup besar untuk jadi pahlawan, saya tetap kagum sama R. A. Kartini.
"agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu!"
pertama kali, buku ini kubaca ketika kelas dua sma. kubaca sampai habis karna aku penasaran tentang keistimewaan kartini. dan ternyata.. terkandung sesuatu yang luar biasa..
Kartini Ingin Menjadi Muslimah Sejati
Pada masa kecilnya, Kartini mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan ketika belajar mengaji (membaca Al-Quran). Ibu guru mengajinya memarahi beliau ketika Kartini menanyakan makna dari kata-kata Al-Quran yang diajarkan kepadanya untuk membacanya. Sejak saat itu timbullah penolakan pada diri Kartini.
"Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?" [ Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899]
"Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya. [ Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 15 Agustus 1902]
Sampai suatu ketika Kartini berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati di Demak (Pangeran Ario Hadiningrat). Di Demak waktu itu sedang berlangsung pengajian bulanan khusus untuk anggota keluarga. Kartini ikut mendengarkan pengajian tersebut bersama para raden ayu yang lain, dari balik tabir. Kartini tertarik pada materi pengajian yang disampaikan Kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar, seorang ulama besar dari Darat, Semarang, yaitu tentang tafsir Al-Fatihah. Kyai Sholeh Darat ini - demikian ia dikenal - sering memberikan pengajian di berbagai kabupaten di sepanjang pesisir utara. Setelah selesai acara pengajian Kartini mendesak pamannya agar bersedia menemani dia untuk menemui Kyai Sholeh Darat. Inilah dialog antara Kartini dan Kyai Sholeh Darat, yang ditulis oleh Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat :
"Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?" Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu. "Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?". Kyai Sholeh Darat balik bertanya, sambil berpikir kalau saja apa yang dimaksud oleh pertanyaan Kartini pernah terlintas dalam pikirannya. "Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?"
Setelah pertemuannya dengan Kartini, Kyai Sholeh Darat tergugah untuk menterjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Pada hari pernikahan Kartini, Kyai Sholeh Darat menghadiahkan kepadanya terjemahan Al-Quran (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Quran), jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah sampai dengan surat Ibrahim. Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya. Tapi sayang tidak lama setelah itu Kyai Sholeh Darat meninggal dunia, sehingga Al-Quran tersebut belum selesai diterjemahkan seluruhnya ke dalam bahasa Jawa. Kalau saja Kartini sempat mempelajari keseluruhan ajaran Islam (Al-Quran) maka tidak mustahil ia akan menerapkan semaksimal mungkin semua hal yang dituntut Islam terhadap muslimahnya. Terbukti Kartini sangat berani untuk berbeda dengan tradisi adatnya yang sudah terlanjur mapan. Kartini juga memiliki modal kehanifan yang tinggi terhadap ajaran Islam. Bukankah pada mulanya beliau paling keras menentang poligami, tapi kemudian setelah mengenal Islam, beliau dapat menerimanya. Saat mempelajari Al-Islam lewat Al-Quran terjemahan berbahasa Jawa itu, Kartini menemukan dalam surat Al-Baqarah ayat 257 bahwa ALAH-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Minazh-Zhulumaati ilan Nuur). Rupanya, Kartini terkesan dengan kata-kata Minazh-Zhulumaati ilan Nuur yang berarti dari gelap kepada cahaya. Karena Kartini merasakan sendiri proses perubahan dirinya, dari pemikiran tak-berketentuan kepada pemikiran hidayah. Dalam banyak suratnya sebelum wafat, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat "Dari Gelap Kepada Cahaya" ini. Karena Kartini selalu menulis suratnya dalam bahasa Belanda, maka kata-kata ini dia terjemahkan dengan "Door Duisternis Tot Licht". Karena seringnya kata-kata tersebut muncul dalam surat- surat Kartini, maka Mr. Abendanon yang mengumpulkan surat-surat Kartini menjadikan kata-kata tersebut sebagai judul dari kumpulan surat Kartini . Tentu saja ia tidak menyadari bahwa kata-kata tersebut sebenarnya dipetik dari Al-Quran. Kemudian untuk masa-masa selanjutnya setelah Kartini meninggal, kata-kata Door Duisternis Tot Licht telah kehilangan maknanya, karena diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan istilah "Habis Gelap Terbitlah Terang". Memang lebih puitis, tapi justru tidak persis.
Setelah Kartini mengenal Islam sikapnya terhadap Barat mulai berubah : "Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?" [Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902]
Kartini juga menentang semua praktek kristenisasi di Hindia Belanda :
"Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi? .... Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?" [ Surat Kartini kepada E.E . Abendanon, 31 Januari 1903]
Bahkan Kartini bertekad untuk memenuhi panggilan surat Al-Baqarah ayat 193, berupaya untuk memperbaiki citra Islam selalu dijadikan bulan-bulanan dan sasaran fitnah. Dengan bahasa halus Kartini menyatakan :
"Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai." [ Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902]
This book is a collection of letters that Kartini (1879-1904) wrote during the last five years of her life. For those of you who don't know Kartini, she is a national hero in Indonesia (her birthday is celebrated each year) for her pioneering work in the education of Javanese women. Unfortunately, she died at the very young age of 25 after giving birth to her first-born child.
The original letters by Kartini were written in Dutch, so I'm not sure how accurate the English translation is, however the way she writes is beautiful and extremely thoughtful. I was in particularly impressed that a woman at the turn of the 20th century, in the Dutch East Indies, who received some education could have the same thoughts like women nowadays! For instance, she complains about polygamy, the pressure to get married (which in fact hasn't changed in Indonesia today), being torn between filial piety towards her parents (especially her father) and what she wants in life (education, to open a school for native officials' daughters).
Slowly, the reader can see how Kartini's thoughts and opinions change. She becomes more spiritual in that her belief in God becomes stronger. This in turn improves her relationship with her mother (who may not be her birth mother, but one of the wives of her father). She first gives up the dream of studying in Holland and then sacrifices the opportunity to study in Batavia in order to marry a man (who already has three wives) chosen by her father. Maybe she did it because her father was very sick for a long time and sad whenever Kartini spoke about pursuing education elsewhere. Maybe she felt pressured after her younger sister married the year before. Either way, Kartini seemed happy towards the end, to become a mother and have a husband who actually shared the same beliefs she had about women's education. Such a loss that she died so young. I really wonder what kind of letters Kartini would've written about the independence movement in Indonesia, maybe even about the Suharto dictatorship and how gender inequality is still a problem globally.
"Do you remember the cool, bright tropical evenings, when everything was quiet, and the stillness was only broken by the rustling of the wind through the tops of the cocoanut trees?"
"But I can see no other way. Christianity alone does not bring one happiness; only the personal love of God does that, of which Christianity is the symbol." (Kartini quoting a letter from Dr. Adriani to Mevrouw Abendanon-Mandri regarding religion)
Habis Gelap Terbitlah Terang adalah buku kumpulan surat yang ditulis oleh Kartini. Kumpulan surat tersebut dibukukan oleh J.H. Abendanon dengan judul Door Duisternis Tot Licht. Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Buku Habis Gelap Terbitlah Terang diterbitkan kembali dalam format yang berbeda dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Buku terjemahan Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Armijn Pane menyajikan surat-surat Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Pembagian tersebut ia lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan atau perubahan sikap dan pemikiran Kartini selama berkorespondensi. Pada buku versi baru tersebut, Armijn Pane juga menciutkan jumlah surat Kartini. Hanya terdapat 87 surat Kartini dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang". Penyebab tidak dimuatnya keseluruhan surat yang ada dalam buku acuan Door Duisternis Tot Licht, adalah terdapat kemiripan pada beberapa surat. Alasan lain adalah untuk menjaga jalan cerita agar menjadi seperti roman. Menurut Armijn Pane, surat-surat Kartini dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi salah satu penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke dalam lima bab pembahasan.
Buku ini saya baca di waktu saya masih kelas 6 SD. Saat itu peprustakaan di sekolah saya mengoleksi banyak sekali roman dan novel-novel sastra Indonesia. Dan saya menemukan buku ini. Dulu saya sama tidak memberanikan diri membaca buku dengan bahasa-bahasa berat dan hanya mampu dicerna oleh orang-orang dewasa. Maklum masih anak SD. Tapi ternyata bahasa yang digunakan dalam buku ini sangatlah ringan dan mudah dimengerti. Saya pun berasumsi bahwa Raden Ajeng Kartini adalah tipe perempuan cerdas yang mampu menunjukkan kecerdasannya tanpa harus berkomunikasi dengan kosakata sulit. Hal lain yang menarik dari buku ini adalah surat-surat cinta antara Kartini dengan lelaki-lelaki Belanda yang jatuh cinta padanya. Romantis, lucu, mengharukan, dan penuh inspirasi. Saya pun belajar kata-kata indah dari buku ini, di usia saya yang saat itu masih kanak-kanak :)
I have always been suspicious of any celebrated woman figure recognised by the government, because I believe a true revolutionary figure would not get any fame from the very body they want to criticise. Kartini is one of them. I got mixed feelings upon reading this book. She's a truly eloquent writer and this is apparent from the way she wrote. It's timeless! One hundred years later and it still mesmerised me. Kartini was a truly talented writer and thinker, I found myself engaged with her inner thoughts.
On the other hand, there are some things that I have to disagree with her. First is her insistence that women should be educated because women will be children's first educator. I don't find anything that doesn't challenge femininity as groundbreaking. Second, she came from the bourgeoisie class with Javanese blood, the "first" class of Indonesian people. She's The One, and in some instances, despite her criticism towards colonialism, she also exhibited classism to those 'below' her. Third, and this is what surprised me the most, she didn't sound like she objected her marriage, despite what I was taught since I was in elementary school. She seemed to be agreeing to the marriage and adored her husband, and this fact left me wondering if women who love her fathers and husbands could be true revolutionaries.
Nonetheless, Kartini was a trailblazer and a true progressivist. Her ideas and charm radiate through her writings, and even with my criticism above, I still wish I could be her friend.
"Aku tiada hendak melihat, tetapi mataku tinggal terbeliak juga, dan pada kakiku ternganga jurang yang dalam sedalam-dalamnya, tetapi bila aku menengadah, melengkunglah langit yang hijau terang cuaca di atasku dan sinar matahari keemasan bercumbu-cumbuan, bersenda gurau dengan awan putih bagai kapas itu; maka dalam hatiku terbitlah cahaya terang kembali! (kepada Nona E.H. Zeehandelaar. Januari 12, 1900.)"
Mungkin aku naif atau terlalu berani. Belum selesai aku membaca semua suratnya, aku akui, aku jatuh cinta pada Kartini.
Menurut saya, buku Kartini ditulis sangat dalam. Surat asli yang ditulis oleh Kartini sebenarnya ditulis dalam bahasa Belanda tetapi dia berhasil menulis dengan penuh pertimbangan. Hal yang paling membuat saya takjub adalah Kartini memiliki pemikiran yang sama dengan wanita masa kini. Salah satu contoh yang ditunjukkan adalah ketika Kartini mengeluh tentang bagaimana dia berada di bawah tekanan untuk menikah yang merupakan situasi di Indonesia di mana perempuan dipaksa untuk menikah. Kartini bahkan ingin mengarahkan hidupnya sendiri dan membuka sekolah untuk putri para pejabat adat.
Pelajaran utama yang saya dapat dari Kartini adalah untuk membuat impak, kita tidak harus melakukan gerakan dramatis dalam skala besar. Sebaliknya, kami dapat membuat dampak dengan alat apa pun yang kami sediakan. Pikiran, bakat, dan keterampilan kita adalah semua yang kita butuhkan untuk membuat dampak dan mencapai tujuan kita. Ini tidak hanya untuk wanita tetapi saya percaya ini juga penting untuk pria karena masing-masing dari kita dapat berdampak pada generasi dan negara yang akan datang.
Semua pembaca bisa melihat bagaimana pemikiran dan pendapat Kartini berubah sepanjang buku ini. Awalnya, dia melepaskan mimpinya untuk belajar di Belanda dan kemudian tidak belajar di Batavia melainkan menikah dengan pria yang dipilih ayahnya untuknya. Pada akhirnya, Kartini nampaknya bahagia karena ia akhirnya tinggal bersama anaknya dan suaminya mendukung ide-idenya. Sungguh luar biasa dia meninggal di usia yang begitu muda. Saya akan merekomendasikan buku ini kepada orang-orang dari segala usia untuk dibaca karena luas dan menginspirasi.
Buku ini menceritakan tentang hidup Kartini yang juga merupakan lambang hidup para wanita Indonesia di masa lalu sebelum Kartini dengan susah payah memperjuangkan pendidikan wanita. Melalui surat-surat Kartini, saya bisa lebih menghargai pendidikan yang diberikan kepada saya karena dulu banyak sekali wanita yang ingin mengeluarkan suaranya tetapi tidak bisa karena dianggap tidak setara dengan pria. Dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang, para pembaca akan mengetahui bahwa Kartini adalah wanita yang sangat cerdas dan pantang menyerah dalam segala hal yang ia lakukan. Sebab itu surat-surat Kartini menunjukan bahwa Kartini jauh melampaui jamannya yang mempercayai bahwa derajat laki-laki harus berada diatas derajat perempuan. Kartini memiliki nilai-nilai yang kuat sehingga suaranya akhirnya terdengar oleh banyak orang. Dari buku ini, Kartini menceritakan banyak hal yang diderita karena menjadi seorang wanita yang tidak dianggap apa-apa di Indonesia. Kata-katanya sangat menggerakan saya karena dari surat-surat tersebut, Kartini terdengar sangat tulus dan bergairah. Siapapun yang membaca buku ini juga akan merasakan derita-derita dan kesenangan Kartini. Walau kadang putus asa, Kartini selalu bangkit lagi dan tetap menggunakan suaranya untuk wanita-wanita yang tidak mampu. Kartini merupakan seorang pahlawan bagi wanita di Indonesia dan suaranya membawa banyak dampak kepada kehidupan wanita jaman sekarang. Kartini mengajarkan bahwa dalam kehidupan, akan ada banyak orang yang mencoba untuk merusakkan jiwa kita, tetapi kita harus bisa tetap bangkit karena suatu saat nanti, perjuangan kita akan ada berbuah hasil yang sangat memuaskan.
Kartini is truly a national hero of Indonesia. This book is a great representation of how society treated women during tougher times, where we follow Kartini through her journey of fighting for equality in education and freedom. As readers, we are able to understand her thoughts and feelings from first-person perspective and it is indeed a privilege for us to be able to read this book. Kartini taught me that despite all the hardships she has experienced, she still persevered and continued to hope for better days in the future, where young girls and women everywhere will be able to receive quality education and the freedom they have always deserved. It is evident from Kartini's writing that she was way ahead of her time, and even with all the patriarchal ideals, she holds her values strong and empowers other women to do the same. In a time where women were silenced and neglected, Kartini defied the standards and used her voice to advocate for all women. This book is a reflection of her voice in the form of her writing, which serves as a reminder to us all that our voices matter, regardless of how we choose to take action in voicing what we believe in. "Habis Gelap Terbitlah Terang" is not only a story of Kartini's journey, it is also a wake-up call to take action, a revolutionary yet necessary movement, and an especially inspiring book.
There is a large time difference between the era I currently live in and the era Kartini lived in. My ability to be able to freely experience, attain education, and make my own choices could be attributed to the causes Kartini had continuously fought for. The letter is personal and reading these letters allowed me to understand the pain women went through in a society that is determined to shackle them. Reading Kartini's journey in pursuing education and sharing such a privilege with many girls allowed me to see her as a very respectable figure. Her perseverance in fighting for such causes, despite the opposition she received in return, is an admirable trait. The obstacles, in this case, are not a threat to Kartini's fight for women's rights. Through this, it is important for us to continue to support and extend her legacy. As of now, there are still many changes that could still be made, but Kartini's accomplishments had made it possible for everyone to be able to create a change, especially concerning women's rights.
This book is a reminder that perseverance is key and that changemakers are not limited to those in power; everyone can create positive changes.
I read Kartini in high school and it is one of the most influential and emotional books in Indonesian history. It excellently represents the Javanese culture during the colonization period and she writes with such imagery that it feels as though you are right there. Her struggles against the government as well as her dedication to education shows bravery and it truly makes her shine as a hero. Paving the way for women's rights while fighting her own family struggles (her father was sick) creates the image of a strong, fierce, and independent woman that many strive to be. For many people in Indonesia, Kartini is and will always be a symbol of hope. Her letters teach us to always be hopeful even when things don't seem to be going your way. It teaches us to be our own individual, with our own rights. Sacrificing her own education in Netherlands to build a school for women in Indonesia shows how she cares for the citizens of Indonesia and it teaches us to respect and appreciate the education system we have today.
Genius. Habis Gelap Terbitlah Terang yang disusun oleh Armijn Pane itu menggambarkan dengan gamblang pemikiran-pemikiran Kartini yang melapaui anak-anak di jamannya. Meski usianya tergolong singkat (21 April 1879-13 September 1904), ia sudah melahirkan gagasan-gagasan dan pandangan-pandangan luar biasa tentang peran wanita, kemanusiaan, agama, serta pikiran kemajuan lainnya untuk mewujudkan kaum perempuan yang terdidik.
Lepas dari keotentikan, dan bahasa yang jadul, serta banyak 'kembangnya', buku ini wajib dibaca untuk mengenal siapa Kartini, dan mengapa ia layak menjadi pahlawan. Dan terutama, agar kita bisa lebih menghayati ketika menyanyikan lagu Ibu Kita Kartini :D
I believe that Kartini is a very talented writer filled with great thoughts and ideas. Her book mesmerises me in such a way that she values education more than anything. However, what surprised me the most was the fact that she didn't sound like she was against her marriage even though it was arranged. She seemed to be agreeing to the marriage and showed how she loved her husband, and this fact left me wondering if women who love her fathers and husbands could be true revolutionaries. A lesson learned in the book was that she wanted Javanese women to get the same education as men, which we as a society can understand that we should treat education seriously.
Apapun pandangan yang cuba mengatakan mengapa Kartini, dan tidak tokoh-tokoh lain seperti Cut Nyak Dien atau Malahayati,atau lain-lain yang sepatutnya lebih diangkat, saya berpandangan Kartini juga ada sumbangan dan ideanya sendiri.
Banyak ideanya melangkaui zaman, bahan bacaannya yang boleh kita korek dan kita ketahui dari buku ini dan juga dari buku Ananda Toer sangat mengagumkan untuk wanita di zaman itu. Say boleh mengatakan Kartini jadi begini kerana pembacaannya, bukan hanya sekadar promosi-promosi sengaja dari Belanda.
"Habis Gelap Terbitlah Terang" is a very good book. The book illustrates women's struggles in twentieth-century Indonesia, and it provided insight into Kartini's effort to pave the way for women's rights. Kartini's controversial letters proved her bravery and her willingness to sacrifice herself for a brighter future. Her bravery inspired the nation to change, and she taught me the valuable lesson of perseverance. She also taught me proper Bahasa grammar, so I thank Kartini for writing the letters.
Beautiful book! My friend recommended I read this while I visited her in Indonesia. It was an incredible experience to learn about a culture through their literature while simultaneously vacationing in that country. It tells the story of a very forward thinking woman in a time where it was not so common..I don't want to give anything away!
Recueil de lettres de Raden Adjeng Kartini, une féministe indonésienne (1879-1904) qui est considéré comme une des pionnières des droits des femmes en Indonésie au point où le 21 avril, jour de naissance, a été décrété comme jour férié national.
L'intérêt de ces lettres est sa correspondance avec des militantes féministes hollandaises (dont on ne connaît pas le contenu des lettres dans cette édition, ce ne sont que les lettres de Kartini) et de tous les sujets féministes qui sont traités: l'éducation des filles, la sororité, les mariages forcés, la polygamie, les injustices de classe, le racisme des Hollandais, la maternité, les religions, l'orientalisme, etc. Je crois que seul le suffrage des femmes n'est pas abordé (ou j'ai oublié?) dans la correspondance et en même temps qu'on découvre les intérêts de Kartini, ses lectures (et quelque fois de la musique impossible à retrouver même avec Internet), ses passions, ses engagements, ses opinions, etc.
On trace aussi le portrait de la société indonésienne/javanaise à travers le regard de son autrice ce qui est quand même beaucoup plus intéressant et lucide que les regards ethnologiques des féministes occidentales à l'époque puisqu'en plus de connaître la langue, les traditions, les gens, etc. Elle est en mesure de porter un regard critique local, lucide et éclairé que le regard extérieur souvent posé (et d'ailleurs, dans une des lettres, on traite de cette question).
C'est dommage que seul sa correspondance semble être disponible en français ou en anglais (après, elle est morte très jeune, elle aurait possiblement pu faire beaucoup plus au cours de sa vie) malgré de nombreux articles écrit parfois à six mains (avec ses deux sœurs) qu'il aurait été bien de retrouver, de traduire et d'éditer dans un volume de ses textes. Il semble y avoir une édition annotée de ses lettres disponibles (Kartini: The Complete Writings 1898-1904), mais elle se détaille au coût de 203CAN$... et il ne semble pas y avoir de copie papier dans les bibliothèques au Canada. Dommage. J'aurais vraiment voulu en lire davantage. Les quelques notes de noms ou de textes (et musique) que je prenais ne donnait malheureusement jamais rien de disponible dans les langues que je lis (à l'exception d'une féministe hollandaise) donc je me suis assez vite retrouvé dans une impasse de lecture.
Sinon, les seules critiques que j'aurais, et il s'agit de correspondances privées donc il est fort possible que dans un essai, ç'aurait été réfléchi différemment, est que Kartini souscrivait quand même à des idées civilisationnelles et certaines idées de supériorité des peuples ou de certaines personnes (probablement dû aussi à une éducation dans une famille d'aristocrates). Cela ne l'empêche pas, plus tardivement dans sa vie (et surtout dans une lettre en particulier qui était presque surprenante après avoir lu les précédentes) de vivement critiquer ces idées et d'apporter des critiques coloniales et de classes dans ses analyses.
Ini bukan sekadar kumpulan surat melainkan sebentuk perlawanan yang sunyi, dituliskan dengan tinta yang lembut namun mengguncang. Di setiap halaman, mengalir suara seorang perempuan yang mencoba meraba cahaya di balik sekat-sekat adat, kelas sosial, dan batas gender yang membelenggu, tanpa pernah melepaskan kelembutan budi dan kejernihan pikir. Di tengah zaman yang menganggap pendidikan bagi perempuan sebagai sesuatu yang berbahaya, bahkan mengancam tatanan, tulisan-tulisan ini menyala sebagai keyakinan bahwa pengetahuan bukan hanya hak, tetapi martabat itu sendiri. Lewat renungan tentang kecantikan, duka, pernikahan, dan kemerdekaan, terkuaklah dunia batin yang sangat terikat pada tanah kelahirannya, namun berbicara dengan resonansi universal.
Yang menjadikan tulisan-tulisan ini tak terlupakan adalah kedalaman emosinya. Ada kemarahan, tapi bukan yang meledak melainkan yang mengalir tenang, mengendap dalam tiap kalimat yang tertata. Ada kesedihan, namun begitu halus hingga terasa nyaris puitis. Sang penulis tidak mengiba simpati; ia menuntut untuk dipahami. Melalui surat-suratnya, ia membangun potret seorang jiwa yang tak sudi dibatasi jiwa yang haus membaca, mahir merasa, dan tak henti bertanya. Pergulatannya tidak dibungkus romantisme; justru ia hadir dalam benturan nyata antara cinta terhadap keluarga, hormat terhadap tradisi, dan kerinduan untuk melampauinya. Saat membaca, kita seakan menyaksikan terang yang terus berusaha menembus kabut yang padat.
Namun, yang paling menetap setelah surat terakhir bukanlah derita melainkan cahaya. Bahkan dalam keterkung-kungan, ada arah, ada nyala menjadi. Tulisan-tulisan ini tidak menyuguhkan jawaban akhir; ia justru menyisakan gema seperti panggilan yang terus menggema menembus waktu. Bagi kita yang kini hidup dengan kebebasan yang dulu hanya bisa diimpikan, karya ini adalah anugerah sekaligus teguran yang lembut: bahwa di balik tiap kemerdekaan ada letih yang tak terlihat, ada perjuangan yang dilantunkan dengan kata-kata yang nyaris tak terdengar. Ia tak pernah hidup dalam dunia yang ia impikan tetapi ia berani menamainya. Dan dalam keberanian itu, ia membantu membangunnya.
This book gave readers insight into the restricted lives Indonesian women were living through the perspective of one of the country's most influential heroes. Kartini's inspiring letters conveyed her courage, perseverance, and how she was truly willing to do all that she possibly could in order to provide Indonesia's young women the education they deserved. The letters were very personal and took us through her emotions, opinions, and experiences. Kartini held her values of equality high above the views of her patriarchal society, despite how the idea of "empowered women" was highly looked down upon by most. It's clear that Kartini was ahead of her time and her commendable impact on her country goes far beyond education. She also showed us that anyone can fight for their dreams and that it's not limited to those with privilege and power.
I grew up believing Kartini was an overrated hero because her impact didn't measure with other greats. Other countries had Nelson Mandela, Martin Luther King Jr., Malcom X, etc... This book, showing Kartini's perspective, provides not only her dreams and accomplishments but also her sacrifice. She knew her limitations and she respected powers higher than her own not for lack of ambition but as to not burden her father. She sacrificed her dreams for her people, the ladies stuck in old Javanese tradition, and even married into polygamy selflessly. This book helped me realize that Kartini isn't a hero because of what she accomplished, albeit impressive in its own right, but because she fought for every inch of progress and voice we are able to see today. This book is a testament to a civil rights and women's rights hero that doesn't get enough respect.
This was a very interesting book. I could really feel Kartini’s passion for women’s education. Her letters bring us deeper into her thoughts, giving us a view into her experiences and perspective on the world and how that has shaped her thoughts and her as a person. It also gives us insight into how women were treated in the past and despite that, Kartini hoped and pursued her ideals until the very end. She said that even though she may not be able to achieve everything she wanted, she believed that women in the future will continue on the path she laid out. With that, she leaves a mark as a national hero in history. Her story encouraged me to persevere and continue working towards my ideals. She has shown us that even one single person can contribute to a great change and that inspires me to do what I can to help make a difference in this world.
Buku yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” adalah suatu pengalaman dan pelajaran bagi rakyat Indonesia dimana tanpa suatu pergerakan seorang Kartini, puteri-puteri Indonesia tidak dapat berprestasi seperti sekarang. Secara ringkas, kita dapat merasakan jerih-payah seorang Kartini pada saat dia tidak diberi kesempatan memiliki hak yang setara dengan wanita yang berada di Eropa. Meskipun buku tersebut terdapat bagin yang kontroversional, banyak hal yang kita bisa pelajari dalam perjalanan Kartini. Kartini sebagai manusia yang tidak memiliki harta, takhta, dan hak tidak pernah menyerah dan terus yakin bahwa suatu waktu cita-citanya akan terkabulkan. Hal yang paling penting dari seorang Kartini adalah melakukan gerakan pertama agar cita-citanya bisa dicapai.
Bagiku Kartini itu perempuan luar biasa. Pemikirannya jauh melampaui masanya. Seorang remaja putri di tengah negeri terjajah nan terbelakang dengan kemampuan berpikir di atas rata-rata (bahkan dari kebanyakan pria terdidik kala itu). Dari sekumpulan surat kepada para sahabatnya ini kita bisa menyelami bukan saja perjuangannya untuk pendidikan bagi perempuan namun juga pemikirannya tentang kemajuan seni, kesejahteraan rakyat, kesehatan, dan banyak hal lainnya. Buat mereka yang selalu mempertanyakan kepahlawanan Kartini, ada baiknya membaca buku ini terlebih dahulu.
I read this book in high school and it was amazing. I found it inspiring how Kartini wanted to study in Europe to become something more than a daughter and a wife. She wanted to gain more knowledge than what she already read in books and make something of herself. It was also incredibly heartbreaking to see her give up her dream to study outside of Indonesia to build schools for women in Indonesia. I think the main lesson from this book is that sometimes sacrificing your dreams can make others' come true and make their lives better.
this book is so beautiful, truly, i adore her so much even when i was a kid! i'm surprised we never learned about kartini for our history class (they only taught us about her role as a feminist figure in Indonesia) and no teachers recommended us about this book??
happy women history month, especially for raden adjeng kartini🫡 (i actually intended to read this for kartini day but i just love reading her letters so much :3)
Habis Gelap Terbitlah Terang was recommended by my favorite teacher from my school. At first, it was just schoolwork for me. But the further I went and finished the story, I learned a lot and learned more about Kartini. The book unfolds the mysteries and life of Kartini. How it all started and how education is now allowed for all Indonesian citizens. I learned a lot from Habis Gelap Terbitlah Terang. Throughout the story, Kartini didn't give up on achieving her dreams and goals. With all the challenges that she faced, she still fought through and achieved her dreams.