Jump to ratings and reviews
Rate this book

Canting

Rate this book
For the batik-makers, canting, the copper pens to paint batik, are their spirits. At its most glorious moment canting is blown with deep and powerful feelings that are blended with the owner’s breath. But nowadays, hand-painted batik that is made by using a canting is crushed and cornered with the emerging of the new print batik. Hand-painted batik takes months and months to make, but this new kind only takes a few blinks. Canting is a symbol of a defeated and isolated culture because it is considered to be time-consuming. Ni––a girl who holds a bachelor degree in pharmacy, a bride-to-be from Ngabean––tries to explore hand-painted batik with a canting. However, she faces strong pressures from Pak Bei, a bold and handsome nobleman; Bu Bei, her mother, who used to be a batik painter; and her successful siblings. Canting, which is the signature of Ngabean’s batik cannot withstand the market demands. “When we acknowledge a sick culture, we must not cry, we must raise a flag instead.” Ni decides to be un-Javanese, to be different, to go against the flow in order to survive. Ni, who was born when Ki Ageng Suryamentaram died, is the second generation after her father, who dares to be un-Javanese.

408 pages, Paperback

First published January 1, 1986

47 people are currently reading
837 people want to read

About the author

Arswendo Atmowiloto

127 books156 followers
Seorang yang sangat terkenal di bidang jurnalistik, penulisan dan sinetron. Lahir di Solo 26 November 1948. Sempat kuliah di IKIP Solo selama beberapa bulan, lalu mengikuti program penulisan kreatif di Iowa University, Iowa City, Amerika Serikat (1979). Prestasinya sungguh luar biasa. Banyak karyanya yang telah disinetronkan dan mendapat penghargaan, di antaranya Keluarga Cemara dan Becak Emak, yang terpilih sebagai Pemenang Kedua Buku Remaja Yayasan Adikarya IKAPI 2002. Bahkan karena prestasinya pula, dia sempat masuk penjara selama lima tahun!

Kini ia mengelola penerbitan sendiri yang diberi nama Atmo Group. Ia tinggal di Jakarta dengan seorang istri yang itu-itu saja, tiga orang anak yang sudah dewasa, seorang cucu yang lucu, seekor anjing setia, ratusan lukisan buatan sendiri selama di penjara, serta sejumlah pengalaman indah yang masih akan dituliskan.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
353 (35%)
4 stars
359 (36%)
3 stars
215 (21%)
2 stars
43 (4%)
1 star
19 (1%)
Displaying 1 - 30 of 139 reviews
Profile Image for e.c.h.a.
509 reviews258 followers
February 18, 2010
Canting, simbol budaya yang kalah, tersisih dan melelahkan.

Kisah kehidupan satu keluarga dan usaha Batik Tradisionalnya di masa sebelum dan sesudah Kemerdekaan. Bagaimana seorang Pak Bei menjalani kehidupannya di masa muda, saat menjadi suami, saat menjadi Bapak serta saat menjadi seorang Kakek.

Kisah yang dituturkan dari sudut pandang seorang Priyayi yang merasa tidak Jawa bernama Pak Bei. Dari mata dan sikapnya, kita melihat bagaimana seorang Ibu Bei yang bukan Priyayi tetapi menunjukan kalau Ibu Bei mempunyai kuasa penuh terhadap Pak Bei.

Sang Penulis secara perlahan memunculkan konflik dan rahasia yang terjadi dalam Keluarga Sestrokesuman melalui cara yang berbeda, tidak langsung melainkan tersirat melalui tokoh bernama Ni.

Ni, anak bungsu Pak Bei yang notabene merupakan cerminan dari Pak Bei dan Ibu Bei sendiri. Dan dengan keyakinannya meneruskan usaha Batik keluarganya.

Ternyata Pak Bei tidak seperti dugaan saya saat saya mengenalnya di awal cerita. Perlahan kekaguman saya terhadap Pak Bei mulai tumbuh, apalagi saat Pak Bei menyadari kalau Ia hanyalah manusia biasa seperti lainnya.

Saya ini ndak ada fungsinya. Saya ini seperti Canting, seperti cecek dalam batikan. Ada dan dihargai karena dianggap semestinya dihargai. Tapi tetap tak ada artinya kalau tak ada yang menggunakan
p 378


Dan..saat baca buku ini, saya dibawa kembali ke sebuah Kota yang memang bukan kota kelahiran saya tapi membawa banyak kenangan didalamnya. Saya selalu merasa bahagia saat berada di kota tersebut.
Profile Image for Nanto.
702 reviews102 followers
December 4, 2014
Novel ini usai saya membacanya tak ubahnya sebuah karya ethnografi. Saya langsung tertarik dengan penggambaran suasana dan tokohnya. Dunia priyayi di awal kemerdekaan dan dunia usaha perbatikan menjadi tema sentral dari buku ini. Canting yang dijadikan judul novel ini dan sekaligus simbol perubahan.

Dialog awal yang bersetting nJurug memotret perwajahan dari kaum yang sedang geger itu. Ada seorang yang memilih "merakyat" sehingga mengikuti gerakan dipo kromo dipo. Di sisi lain Pak Bei Sestrokesuman yang jadi salah satu tokoh utama dalam novel ini adalah pengikut dari Ki Ageng Selo Metaram. Menanggapi lawan bicaranya yang memilih me-ngoko pada semua orang, Pak Bei berujar, "mereka mengritik jawa sebelum menjadi jawa". Selanjutnya, kisah utama buku ini berkisar pada dua orang: Pak Bei dan anaknya, Ni, dalam menghadapi perubahan di masing-masing jaman mereka.

Di sampul belakan buku ini dituliskan pergelutan keduanya, "Ni menjadi tidak Jawa, menjadi aeng---aneh, untuk bisa bertahan. Ni yang lahir ketika Ki Ageng Suryamentaram meninggal dunia, adalah generasi kedua, setelah ayahnya, yang berani tidak Jawa."

Namun begitu, novel ini memotret tokoh dan sisi lain dari dunia sekitar kedua tokoh utama itu. Tokoh lainnya mulai dari keluarga Pak Bei, istrinya yang bekas buruh batik, anak2 yang beragam karakter, hingga para buruh batik itu sendiri. Gambaran perempuan yang dikisahkan dengan menggunakan sosok Bu Bei yang menjadi penopang ekonomi keluarga dengan menjadi saudagar di Pasar Klewer. Arswendo menggambarkan pasar klewer dalam sketsa yang berjalin dengan keperempuanan yang ada pada Bu Bei dan banyak perempuan saudagar di sana. Kisah ini bercerita mulai dari Pasca-Revolusi Kemerdekaan, peristiwa 1965, pasca-1965.

Ketika pada masanya usaha batik keluarga itu menghadapi perubahan jaman yang kesekian kalinya, Ni muncul sebagai anak yang ingin melindungi warisan keluarganya. Usaha yang diniati dengan sesuatu yang "tidak wajar": membalas budi kepada para buruh yang telah menjadi penopang keberlangsungan keluarga itu. Toh Ni tidak dengan mudah memulainya apalagi menjalaninya. Ni masih banyak mendapati kesulitan.

Sampai menjelang akhir, napas saya mulai pendek dalam membaca buku ini. Sampai di satu paragraph, Arswendo mengisyaratkan akan menutup kisah dua orang "aeng" ini dengan suatu klimaks yang nJawani.

Buku bagus yang penuh dengan konsep lokal! Kalau ada grounded research dalam ilmu sosial mungkin ini grounded novel tentang perubahan sosial. Kutipan dari sampul belakang menegaskan sikap Ni, "Menyadari budaya yang sakit adalah tidak dengan menjerit, tidak dengan mengibarkan bendera." Menjadi "aeng" barangkali Ni?
Profile Image for Vanda Kemala.
233 reviews68 followers
August 6, 2019
Terbiasa dengan karya beliau lewat Keluarga Cemara, membaca Canting rasanya cukup jauh berbeda. Arswendo dengan lihai menunjukkan kehidupan priyayi Jawa, lengkap dengan beberapa falsafah dan pola pikir ala Jawa. Tentang pasrah, pengabdian, dan rasa ikhlas.

Beberapa nilai patriarki cukup kuat dimunculkan, terutama ketika menceritakan kehidupan Rama dan Ibu Bei Sestrokusumo. Nilai yang kemudian melebur dan bergerak mengikuti zaman di generasi berikutnya. Karakter beberapa tokoh dituliskan dengan baik dan punya porsi yang pas. Cukup suka karakter Ni yang digambarkan cukup berani menerjang arus dan melawan cara pandang keluarga atas niatnya untuk meneruskan usaha batik keluarga.

Arswendo amat sangat baik menunjukkan kondisi Solo dan kehidupan di sana. Tulisan yang pada akhirnya bikin rasa kangen ke Solo muncul lagi.
Profile Image for Agwi .
31 reviews7 followers
July 5, 2018
Ending-nya khas mas Wendo
Profile Image for Evan Dewangga.
301 reviews36 followers
February 8, 2019
Sejujurnya, saya malu karena baru membaca ini. Novel ini telah ada di rak sejak saya SMP, enam tahun yang lalu. Namun diri saya yang masih SMP sudah termakan bosan saat baru membaca halaman-halaman awal. Justru saya bertolak ke cerita epik Roman Tiga Negara atau novel biografi Genghis Khan saat itu. Dan dua tahun ini, saya justru membaca sastra canon Inggris, macam Wuthering Heights dan Nineteen Eighty-Four. Dengan naifnya saya mengira bahwa kebudayaan Inggris itu lebih baik daripada budaya di Indonesia. Bahkan sejak saya membaca dalam bahasa Inggris muncul sentimen "tidak mau membaca" sastra lokal. Pandangan saya berubah setelah membaca novel ini.

Saya orang Jawa, besar di Semarang, dan seakan ditampar keras oleh buku ini. Canting menyadarkan bahwa saya telah meninggalkan identitas Jawa yang saya miliki. Secara pribadi, keluarga saya juga sempat memiliki perusahaan yang dikelola keluarga dan "buruh", sehingga cerita dalam novel ini sangat relevan. Termasuk, masalah kiriman kepada keluarga yang pengangguran, hormat kepada orang tua, kepasrahan, ngudarasa, hingga menjaga gengsi. Jujur saya merasa hal-hal ke-Jawa-an itu merupakan budaya terbelakang, namun setelah membaca ini dan merenungkan kembali, ada alasan di balik itu, dan ada kebijaksanaan sendiri di balik nilai-nilai Jawa tersebut.

Buku ini mengubah persepsi saya, bahwa nyatanya tidak perlu jauh-jauh mencari kebijaksanaan sampai ke Keraton Inggris atau Keraton Han Tiongkok, cukup di balik kebersahajaan Pasar Klewer saja sudah ada sejuta nilai yang bisa digali.

Matur nuwun Pak Arswendo sudah membaptis saya menjadi Jawa kembali.
Profile Image for Indri Juwono.
Author 2 books307 followers
November 20, 2011
#2011-27#

"Kalau kalian akan mati kelaparan, saya akan membawa basi dan menjejalkan ke mulut kalian. Kalau kalian telanjang, saya akan bawa kain membalut tubuh kalian. Kalau kalian mati, saya akan membelikan peti mati. Tapi tidak untuk tetek bengek membeli sepeda, mengecat rumah, atau membayar hutang. Ini semua saya lakukan karena saya ingin melakukan. Bukan karena kalian adik-adikku. Pada orang lain yang saya kenal pun akan saya lakukan hal yang sama.

Saya tak ingin dipuji. Kalau memuji, jangan sampai saya mendengar.

Saya tak takut dicaci. Kalau mencaci, jangan sampai saya mendengar. Saya dilahirkan dengan telinga yang kecil dan tipis kulitnya, tak bisa mendengar hal-hal seperti itu."

Pak Bei-hal 132.
Profile Image for Imas.
515 reviews1 follower
April 23, 2013

Kisah kehidupan keluarga Pak Bei dan usaha menghidupkan usaha batik tradisional milik keluarga mereka.
Pak Bei seorang priyayi sedangkan istrinya Bu Bei bukan seorang priyayi namun sebenarnya lebih banyak berperan dalam mengatur keluarga.

Cerita tentang konflik dan rahasia yang terjadi dalam keluarga ini dimulai dari niat anak bungsu mereka Ni meneruskan usaha Batik keluarganya.

Meski bukan orang Jawa dan tidak mengerti budaya Jawa, buku ini cukup menarik.
Profile Image for Endah.
285 reviews157 followers
January 13, 2009
Canting adalah sebuah wadah tembaga untuk membatik. Ketika membatik, canting ditiup agar cairan lilin di dalamnya tetap meleleh. Canting memantulkan suara nafas peniupnya. Sebagai alat membatik tradisional, canting memiliki fungsi penting sebelum muncul batik jenis printing (batik cetak). Dengan nama alat itulah, roman Arswendo Atmowiloto ini dijuduli.

Canting berisi cerita tentang perjalanan hidup keluarga Ngabehi Sestrokusuma yang memiliki usaha pembatikan cap canting. Kepala keluarga adalah Raden Mas Daryono Sestrokusuma atau yang akrab dipanggil Pak Bei. Dengan Bu Bei, di nDalem Ngabean Sestrokusuman mereka berdua membesarkan enam orang anak; Wahyu Dewabrata, Lintang Dewanti, Bayu Dewasunu, Ismaya Dewakusuma, Wening Dewamurti, dan Subandini Dewaputri Sestrokusuma.

Dalam usaha pembatikan itu, yang memegang peran penting adalah Bu Bei. Bersama seratus dua puluh buruh batik dengan aneka tugas masing-masing, Bu Bei menjalankan usaha. Perjalanan usahanya berlangsung bertahun-tahun, sampai Bu Bei bisa membesarkan dan menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang perguruan tinggi. Dan sampai buruh-buruh batik itu dapat menghidupi keluarga masing-masing seraya mengabdikan diri untuk keluarga Sestrokusuma. Bertahun-tahun.

Tidak seperti priyayi lainnya, Pak Bei adalah priyayi yang aneh. Aneh—karena ia berani mengambil sikap lain dari yang lain sampai dicap oleh priyayi-priyayi lainnya sebagai priyayi yang tidak nJawa. Namun, dalam keanehan itu terdapat sikap pasrah yang dijunjung tinggi olehnya. Hidup baginya adalah pasrah. Apa yang terjadi dihadapinya tanpa ragu. Ia menggelinding. Mengalir saja (hal. 359).

Pasrah bukan berarti kalah, bukan pula mengalah (hal. 150), dan pasrah bukan mencari (hal. 233). Tapi pasrah adalah menyerah secara ikhlas, menerima. Pun pasrah bukan berarti memaksa diri untuk pasrah (hal. 238). Dalam sikap pasrah, tak ada penyalahan kepada lingkungan, orang lain, juga pada diri sendiri. Dan dalam pasrah, ternyata, bisa pula menjelma sikap yang aneh; tak lazim, tak lumrah. Bukan semata dibuat-buat, tapi aneh yang disadari; kalau memang harus aneh, tidak mengapa. Ini, bagi Pak Bei, untuk menguji peraturan yang dianggap telah sempurna (hal. 356-357), untuk mengembalikan kemungkinan tidak selaras.

Jalan cerita Canting maju-mundur, melompat-lompat untuk merangkai kesatuan makna. Apabila bagian kesatu tampak seperti panggung di mana drama akan dan sedang dipertunjukkan, maka bagian ketiga menceritakan banyak “kejutan” yang terjadi dalam perjalanan kehidupan keluarga Sestrokusuman. “Kejutan”—karena kesadaran pembaca dihantam bertubi-tubi lewat peristiwa-peristiwa lampau yang dialami oleh anak-anak Pak Bei. Ada konflik yang berdiam, bersembunyi, dan akhirnya meledak. Dan itu seringkali lewat penceritaan si bungsu; Subandini Dewaputri—pribadi aneh dalam keluarga setelah Pak Bei.

Sering terasa bahwa penulis—melalui pribadi-pribadi yang “dipinjamnya”—bercerita tentang segala peristiwa yang lewat, seperti orang yang meriwayatkan. Namun tiba-tiba, tanpa terasa, begitu saja alur cerita menjadi peristiwa yang terjadi saat itu. Yang seperti ini banyak terdapat pada bagian kesatu, ketika cerita masih berkisar tentang riwayat Pak Bei dan Bu Bei beserta anak-anaknya.

Bagian yang paling singkat tapi menghentak-hentak adalah bagian kedua. Lewat kacamata seorang buruh batik, apa yang terjadi di kediaman Pak Bei dilukiskan. Karenanya, yang muncul adalah sebuah penafsiran dari seorang rakyat biasa terhadap peristiwa-peristiwa penting; semacam hasil pengamatan wong cilik. Lugu dan tentu saja lain, seolah ingin memberantaki apa yang selama ini kita anggap.

Puncak dari “kejutan” yang muncul adalah ketika si bungsu mengutarakan keinginannya untuk meneruskan usaha pembatikan yang hampir bangkrut. Kejutan—sekali lagi, karena di sinilah konflik yang diam itu muncul dan menghantam kesadaran pembaca setelah sekian lama dianggap seperti tak ada lagi. Dan inilah yang menghantar—dan tepatnya merangkai—pembaca pada apa yang ditemakan dalam cerita: pasrah, sikap pasrah dalam pribadi Pak Bei.

Sayangnya, konflik yang dapat membuat pembaca asyik menerka lagi meraba-raba itu akhirnya diselesaikan penulis dengan mematikan Bu Bei. Seakan-akan hanya itu jalan keluar. Bagi pembaca-aktif (a reader) yang mengeksplorasi permasalahan di dalamnya, memang satu-satunya jalan keluar adalah dengan mematikan Bu Bei. Padanyalah kunci permasalahan itu, sebagaimana yang dijelaskan panjang-lebar oleh Pak Bei pada si bungsu ketika menanggapi keinginannya untuk meneruskan usaha pembatikan (lihat hal. 233-235 & 238).

Tentang “ending” cerita, apa yang telah disajikan dan dirangkai dalam Canting, terkesan kuat diakhiri dengan tergesa-gesa. Entah apa maksud penulis, yang jelas, mulai halaman 362 (sampai halaman 377) cerita mengalir cepat dan cepat seolah-olah ingin buru-buru cari jalan keluar. Bukan mengada-ada, tapi begitulah yang terkesan. Emosi yang sudah teraduk-aduk dengan baik pada halaman-halaman sebelumnya dipaksa reda begitu saja.

Padahal, pada halaman-halaman sebelumnya itu, lelucon yang disajikan penulis lewat ucapan-ucapan para pelaku terasa mengena. Efek lucu dapat dipahami bila terasa mengena, karena tampil dalam komentar-komentar menyimpang pada kondisi-kondisi tertentu yang kita tahu bagaimana seharusnya. Seperti percakapan antara si bungsu dengan salah seorang buruh batik tentang kapan rencana pernikahan (hal. 204). Atau percakapan si bungsu dengan seorang tukang becak tentang tawar-menawar ongkos á la Solo ketika pulang dalam rangka merayakan ulang tahun Pak Bei (hal. 154). Atau juga—ini yang ekstrem (!)—komentar-komentar Pak Bei tentang kematian Bu Bei, yang bertebar pada halaman 254, 255, dan 257.

Meski demikian, apa yang diungkapkan sampai di sini adalah sebuah hasil pembacaan atas teks. Bagaimana pun hasilnya, semua berangkat dari keinginan untuk semata-mata membaca lalu menuliskan kembali apa yang didapat dari karya Arswendo ini. Sebab di dalamnya ada sesuatu yang dapat ditafsiri. Ada sesuatu yang mesti dilukiskan kembali oleh pembaca, tentu saja: walaupun Canting sudah lama tak beredar di pasaran.

Terlepas dari kekurangan dan kelebihannya, Canting tampaknya bukan sembarang karya. Tidak kurang dari Andries de Teeuw, pengamat sastra Indonesia dari Leiden itu, pernah memberikan tanggapannya tentang Canting ini dalam kumpulan tulisannya; Keberlisanan dan Keberaksaraan (Pustaka Jaya). Adapun Umar Kayam yang pernah memerankan Pak Bei dalam sinetron Canting, membeberkan sedikit suka-dukanya selama shooting di Solo dalam kumpulan kolomnya, Satrio Piningit ing Kampung Pingit: Mangan Ora Mangan Kumpul 4 (Grafiti Pers).

Bagi yang pernah membaca Para Priyayi (Grafiti Pers) dan kebetulan puas atau justru merasakan kerinduan yang sangat untuk menikmati lagi karya-karya yang setema dengannya, Canting ini adalah salah satu alternatif yang paling baik. Dan agaknya tidak berlebihan pula bila dikatakan bahwa “sekuel” Para Priyayi pun, yakni Jalan Menikung (Grafiti Pers), tak dapat menyamainya.

Rimbun Natamarga

Profile Image for Truly.
2,760 reviews13 followers
October 4, 2020
Entah kebetulan, dalam waktu berdekatan, kembali saya membaca buku terkait urusan batik. Kisah dalam buku ini adalah tentang keluarga juragan batik. Banyak hal menarik dalam kisah ini. Akhir kisah dibuat dengan sangat indah. Tak selalu kisah berakhir bahagia seoenuhnya. Ni, harus mampu melakukan banyak kompromi dan menerima dengan lapang hati bahwa situasi sudah berubah.

Sosok Pak Bei dan Bu Bei, memberikan gambaran mengenai kehidupan sepasang suami istri yang memiliki keterikatan satu dengan lainnya. Saling paham tanpa perlu bicara.

Menarik
Profile Image for Dharwiyanti.
49 reviews49 followers
February 9, 2009
Buat saya, seorang Jawa yang tinggal di 'negeri tetangga', membaca Canting seperti belajar budaya leluhur. Banyak hal saya dapatkan dari buku ini, tentang bagaimana orang Jawa itu, setidaknya pada generasi di atas saya, dan ke atas2nya lagi.

Canting berkisah tentang dua generasi: Pak Bei alias Ngabehi Sestrokusuma, pemilik usaha batik merk Canting, dan putri bungsunya Ni alias Subandini Dewiputri Sestrokusuma. Keduanya punya semangat pemberontak, tapi implementasinya tentu berbeda2 sesuai jamannya masing2.

Di awal buku dikisahkan tentang Pak Bei yang sangat feodal. Apa2 selalu dilayani oleh istri dan pegawai2nya. Bu Bei yang ternyata bekas buruh batik itu benar2 menyiapkan segala sesuatunya untuk Pak Bei, mulai dari air hangat untuk mandi, sampai menjual batik di Pasar Klewer. Sudah begitu, Pak Bei tinggal menikmati hidup, pergi bersosialisasi dengan teman2nya sesama priyayi,dan "tirakatan" Jumat Kliwon yang kadang diwarnai dengan judi dan perempuan. Belum lagi kesenjangan strata sosial antara priyayi dan buruh yang nggak terbayangkan pada jaman sekarang.

Bu Bei-lah sesungguhnya yang motor penggerak keluarga sekaligus motor penggerak usaha. Menjadi manajer produksi merangkap manajer pemasaran, juga manajer keuangan dan manajer sumber daya manusia. Saya jadi ingat gurauan Pakde saya saat peluncuran bukunya awal tahun lalu. Kata Pakde saya, selaku priyayi Solo, beliau memang kerjanya menekuni hobi, yaitu membongkar pasang otak (maklum, dokter bedah saraf :-P ). Cari duit itu urusan duniawi, urusan istri.

Sungguhpun kesan pertama saya tentang Pak Bei kurang begitu baik, ternyata seiring berjalannya kisah, banyak hal2 baru yang saya ketahui darinya. Ternyata dibalik kegiatannya yang agak nggak jelas itu, Pak Bei sangat mengikuti berita terkini: mulai dari politik seputar Bung Karno dan nekolim, sampai urusan seni drama. Pemikiran2 Pak Bei pun banyak yang nggak lazim, bahkan progresif untuk jaman tahun 60-an itu. Walaupun tentunya, semua baru sebatas wacana, pandangan, belum sampai kepada sebuah pergerakan yang nyata. Modernitas Pak Bei masih berpadu kental dengan filosofi2 Jawanya.

Bagian berikutnya adalah giliran Ni menjadi lakon. Ni adalah satu2nya anak Pak Bei yang namanya menggunakan Sestrokusuma, karena konon Pak Bei sempat meragukan apakah Ni benar2 anaknya. Ni adalah satu2nya anak Pak Bei yang hidupnya nggak mengikuti pakem anak priyayi Jawa: manut2 orang tua, dan pasti akan hidup enak. Ni adalah satu2nya anak Pak Bei yang mau mengurusi usaha batik Canting yang sudah tergusur batik printing.

Plot kisahnya mungkin cenderung standar. Tapi muatan dialog2nya, terutama antara Pak Bei dan Ni, benar2 kaya akan perenungan. Bagaimana Pak Bei menjelaskan bahwa orang Jawa itu memang hakikatnya pasrah, tapi sekaligus menyemangati Ni untuk menjadi pembuka pintu perubahan.

Pada bagian akhir cerita, banyak hal dari masa lalu yang kemudian terungkap. Kelam, diselesaikan dengan tak adil menurut kacamata orang luar, namun dengan penuh pertimbangan oleh Pak Bei. Pak Bei pun menunjukkan bagaimana seorang priyayi di masa tuanya nggak hanya sekedar menjadi menara gading yang tak tersentuh, tapi juga menjadi mercu suar yang menerangi sekitarnya.

Akhir cerita memang terasa agak terburu2. Seperti ada yang tiba2 memencet tombol Fast Forward pada tape recorder. Tapi mungkin 20 halaman terakhir buku ini bisa dianggap sebagai sebuah epilog. Sekedar untuk menggambarkan kepada pembaca, bagaimana kira2 kelanjutan nasib keluarga Sestrokusuma. Karena kekuatan cerita ini memang bukan pada alurnya. Ending-nya bagaimana,itu bukan suatu hal yang penting lagi. Karena Canting sudah memperkaya pembacanya sejak awal.
Profile Image for Fionna Christabella.
46 reviews2 followers
June 23, 2021
*📖 Review Buku 📖*

📗 *Judul :* __Canting_
🖊️ *Penulis :* Arswendo Atmowiloto
🖨️ *Penerbit :* Gramedia Pustaka Utama
📆 *Tahun :* Cetakan I, Juli 1986
📚 *Tebal :* 384 halaman
🛡️ *ISBN:* 979-605-804-9
🧕 *Reviewer :* *Fionna Christabella*

🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻

Raden Ngabehi Sestrokusuman atau Den Bei, seorang juragan batik Canting dengan buruh batik berjumlah 112 orang di gandok rumahnya. Sedangkan Bu Bei, wanita pilihan yang diangkat derajatnya dari buruh pabrik menjadi istri bangsawan menjalankan usaha rumahan batik bertahun - tahun tanpa kenal lelah. Bu Bei menjadi tumpuan roda perekonomian keluarga Sestrokusuman, dari tangan beliaulah setiap harinya, ratusan kain batik diusung ke pasar Klewer diperjualbelikan hingga pasar tutup di sore hari. Tujuh hari sepekan, 30 hari sebulan tanpa mengenal cuti. Tak pernah mengeluh pada suaminya meski terkadang pasar sedang sepi pembeli.

Suatu hari Bu Bei mengandung anak keenam setelah sebelas tahun berselang dari anak yang terakhir lahir. Lima anak sebelumnya yaitu Wahyu Dewabrata, Lintang Dewanti, Bayu Dewasunu, Ismaya Dewakusuma, Wening Dewamurti telah beranjak dewasa. Kehamilan anak keenam - Subandini Dewaputri Sestrokusuma (dipanggil Ni) menanamkan keraguan pada Den Bei akan kesetiaan Bu Bei.

Buku ini seakan dibagi menjadi dua bagian, bagian pertama menceritakan tentang Den Bei dan Bu Bei serta sepak terjang Den Bei dalam politik bangsawan sedangkan bagian kedua lebih banyak mengkisahkan kehidupan anak - anak Den Bei terutama kisah Ni.

Ni dewasa adalah lulusan sarjana Farmasi, ia berniat untuk meninggalkan gelarnya dan menjadi juragan batik. Hal tersebut membuat kaget seluruh anggota keluarga Sestrokusuma terutama Bu Bei. Oleh karena sejak kecil Ni dilarang keras untuk mendekat ke gandok belakang karena untuk membunuh keinginan sang anak bergaul dengan batik dan buruh - buruh batik. Lebih jauh Bu Bei ingin menyatakan kepada suaminya bahwa Ni adalah benar - benar anak kandung Den Bei, keturunan Sestrokusuma. Kenyataan bahwa saat dewasa Ni memilih utk menjadi juragan batik membuat Bu Bei kehilangan kesadaran bahkan seda (meninggal dunia). Kesalahan akan kematian Bu Bei yang mendadak kemudian ditimpakan kepada Ni lantaran keinginannya tersebut. Selepas kematian ibunya, Ni mencoba mengumpulkan kembali sisa - sisa kejayaan Canting. Akan tetapi, jaman berubah waktu bergulir, batik tulis bersaing dengan batik cap. Batik cap memangkas waktu pembuatan batik sehingga lebih praktis dan ekonomis dengan kualitas hasil kain batik menyerupai batik tulis.

Kenyataan ini memukul habis mimpi Ni, modal dan kekuatan serta inovasi yang sudah dikerahkannya sia - sia belaka. Pada akhirnya ia harus menyerah pada kedigdayaan teknologi. Nama kebangsawanannya tak dapat menolongnya dari kebangkrutan. Ni menerima kenyataan bahwa akhirnya perusahaannya hanya bisa menerima pekerjaan dari perusahaan batik lainnya. "Cara bertahan dan bisa melejit bukan dengan menjerit. Bukan dengan memuji keagungan masa lalu tapi dengan jalan melebur diri...Ketika ia melepaskan nama besar Sestrokusuman, ketika itulah ia melihat harapan." (p. 374).

🍂🌾☘️🍂🌾☘️🍂🌾☘️🍂🌾☘️
Profile Image for Sandra Frans.
208 reviews4 followers
December 15, 2020
Berikut saya copy paste tulisan di Blog saya tahun 2014
Canting adalah sebuah buku yang menceritakan tentang sebuah keluarga Jawa yang kental akan budaya leluhurnya. Adalah keluarga Ngabean Sestrokusuma yang pada tahun 1960an di Solo merupakan keluarga yang terhormat selain karena status kejawian yang mengalir pada darahnya, juga usaha batik dengan cap Canting yang dikelola oleh istri Pak Bei (begitu panggilan orang-orang terhadap Raden Ngabehi Sestrokusuma). Pada jaman itu, kerabat keraton yang memiliki usaha tidaklah lumrah, keluarga Pak Bei sering dicap feodal ataupun kapitalis oleh mereka yang iri kepadanya, karena usahanya yang maju juga karena pak Bei memiliki 112 buruh yang dihidupinya dan setia kepadanya.

Pak Bei beristrikan bu Bei yang adalah seorang anak dari buruh pembatik yang bekerja pada keluarganya. Bu bei dinikahinya saat bu bei masih belia, 14 tahun dan kemudian memberinya 5 orang anak yang dirasanya cukup. Semua berubah ketika 11 tahun sejak anak terakhirnya lahir, bu Bei mengandung lagi yang membuat ragu banyak orang termasuk bu Bei sendiri, apakah anak itu adalah benih dari pak Bei atau bukan. Nyatanya, Ni, anak keenam ini adalah pribadi yang mirip sifat dan tingkah lakunya dengan pak Bei.

Saya tidak akan meneruskan mengenai ringkasan cerita dari buku ini, karena garis besar buku ini adalah mengenai keluarga dan hal-hal kecil didalamnya juga mengenai usaha Ni untuk mempertahankan usaha batik keluarganya yang nyaris mati dikarenakan banyaknya muncul perusahaan batik printing. Saya ingin mengambil makna dari empat tokoh yang menurut saya menonjol ketika membaca novel ini.

1. Bu Bei
Bu Bei sebenarnya adalah ibu rumah tangga biasa yang begitu setia mengabdi kepada keluarganya, juga menyayangi anak pertamanya yang laki-laki seperti kebanyakan ibu jaman dahulu lainnya. Tapi Arswendo menitik beratkan suatu sikap yang jaman sekarang ini sudah berubah nilainya.Ibu Ngabehi Sestrokusuma memiliki sikap pasrah. Pasrah yang dilandasi dengan kerja keras dan juga 'pasrah' menjalaninya. Ibu Bei bangun pagi sekali dan menyiapkan semua keperluan suaminya mulai dari air panas untuk mandi,handuk, baju, makanan dan hal kecil lainnya, kemudian mengurus anak-anak mereka, lanjut ke Pasar dan berjualan batik, mengontrol kegiatan pembatikan di rumah mereka, sore hari kembali menyiapkan kebutuhan keluarga, menghitung uang pada malam hari dan berulang kembali besoknya.

Pasrah dalam hal ini adalah bu Bei bekerja tanpa ambisi, tanpa tujuan untuk menghasilkan keuntungan seberapa besar atau pindah ke pasar yang lebih modern atau ambisi lainnya. Bu Bei bekerja karena kebutuhannya untuk bekerja bukan uang semata, bukan kesuksesannya meproduksi ratusan lembar batilk. Maka ketika banjir besar melanda Solo dan memporakporandakan pabrik batiknya, Bu Bei tidak stres atau terpuruk, beliau bangkit pertama kali dan memulai kembali. Sikap pasrahnya membuat Bu Bei hidup dengan tenang tanpa ambisi.

2. Pak Bei
tokoh ini sudah menonjol sejak halaman pertama, tipikal bapak-bapak jaman dulu (atau mungkin juga jaman sekarang) yang sombong tetapi berwibawa, yang selalu dilayani, yang selalu menjadi nomer satu, yang perkataannya adalah sabda dan selalu (berlagak) pintar. Nyatanya pak Bei memang pintar, pengetahuannya luas mengenai seni dan budaya, dan pak Bei berani berbeda dengan keluarga Jawa lainnya.

Yang saya kagumi dari pak Bei, walaupun terkesan bersikap 'sombong', namun dia tidak memaksakan kehendak pada anak-anaknya. Dia mengenal betul anak-anaknya, terlihat ketika dia menasihati Ni panjang lebar bahkan merelakan begitu saja Ni untuk meneruskan usaha pembatikkan itu tanpa campur tangan kakak-kakaknya. Pak Bei tidak menyayangkan hartanya yang banyak itu untuk diberikan kepada Ni untuk dikelola. Dia adalah pria yang cocok dengan peribahasa pada semakin berisi semakin merunduk.Pada akhirnya, Pak Bei mengakui kehebatan istrinya dalam mengelola keluarga dan usaha mereka. Bahwa sebenarnya dlaang dari kesuksesan ini bukan dia tapi istrinya. Bahwa dia hanyalah canting yang tak akan berfungsi jika tidak ada orang yang menggerakannya. Pak Bei adalah contoh bagi para orang tua tentang bagaimana memperlakukan anak-anak. Pak bei adalah seorang tua yang sudah kenyang nilai hidup. Rasanya, jika dia beneran ada, saya ingin duduk sambil minum teh mendengarkan dia bercerita tentang apa saja.

3. Ni
Wanita muda, anak bungsu dari keluarga kaya yang ternyata paling memikirkan keluarganya. Ni berbeda dengan kakak-kakaknya, Ni paling dekat dengan para buruh yang tinggal di Kebon, Ni berani untuk 'melawan' kakak-kakaknya dan tidak hanya manut saja.Ni punya prinsip dan keras kepala mewujudkan mimpinya. Ni adalah orang muda yang tidak cerewet mengkritik sesuatu yang menuju kehancuran tapi turun tangan dan memperbaiki.

Ni lah yang berinisiatif dan mencoba untuk mengembangkan usaha keluarganya walau ditentang kakak-kakaknya. Ni adalah tipikal perempuan masa kini yang bekerja, aktif dan mengambil keputusan bukan hanya nurut dan nerima.

4. Himawan
Kekasih Ni yang mau menunggu. Himawan bukan tokoh utama, dia hanya pelengkap, tapi entah kenapa, bagi saya, sosok Himawan ini unik. Dia menerima Ni apa adanya dan mendukung Ni. Dia membiarkan Ni dan ide gilanya itu bersatu sementara cita-citanya dia untuk menikahi Ni harus disampingkan telebih dahulu. Himawan adalah lelaki yang tidak egois. Dia bersabar melihat Ni mengembangkan sayapnya. Himawan mengigatkan saya pada kekasih saya yang juga mau menunggu dan selalu mendukung (ini murni curhat :p)

Terakhir, saya banyak belajar dari buku dengan tebal 376 halaman ini.
Saya belajar tentang ayah, ibu, keluarga, pasangan, ambisi dan juga tentang pasrah menjalani hidup.

Bukankah hidup tanpa ambisi itu adalah hidup yang tenang? Walau mungkin terkesan membosankan.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Ardita .
337 reviews6 followers
June 14, 2008
Buset Jawa banget ini buku.. Despite all the goodness in it, seperti pilihan setting, penokohan dan lain-lain.. kayaknya ada yang kurang.

Pada sepertiga akhir buku, Wendo nampaknya terburu2. "Opera Jakarta" masih lebih mending..

Atau hal ini berarti Wendo memang berusaha jujur, menjadi orang Jawa? Go figure..

Profile Image for Feti Habsari.
43 reviews9 followers
December 2, 2016
Saya memang orang jawa meski dibesarkan dan larut dalam hiruk pikuk gemerlap kota. Saya keturunan jawa yang jauh dari lingkup kekeratonan dan tidak memahami budayanya. Melalui Canting, saya turut larut perihal budaya jawa, keraton, priyayi, bahkan 'buruh' yang penuh dengan kepasrahan. Jawa yang sebenar-benarnya jawa.
Profile Image for Maya Murti.
205 reviews8 followers
January 18, 2020
Ini karya fiksi yang bisa cukup menjelaskan dunia priyayi Jawa--khususnya abad 20. Tentang nilai-nilai yang dianut, pergeseran budaya, penghayatan filosofi Jawa. Buat saya pribadi, buku ini menjawab sebagian rasa penasaran saya tentang beberapa hal, salah satunya tentang priyayi:
"Semua ingin menjadi priyayi. Yang sudah priyayi ingin menjadi lebih priyayi lagi. Yang sudah kaya ingin lebih kaya. Yang sudah punya pangkat ingin punya pangkat lebih tinggi. Itu semua menjadi priyayi. Salah satu saja, namanya priyayi. Apalagi kalau ketiganya..."
Sebagai generasi Jawa baru yang tinggal di Jawa--walau Jawanya bagian luar--terus terang saya merasa kesulitan menyesuaikan diri. Orang-orang, terutama yang lebih tua, mengkode saya harus bersikap begini dan begitu. Mengartikan maksud dalam isyarat diam, atau malah perkataan yang sebenarnya berarti sebaliknya. Intinya ribet deh, kalau kamu orangnya straightforward tapi tinggal di Jawa, hahaha. Makanya saya relate sama tokoh Ni anak bungsunya Pak Bei ini:
Ni makin menyadari bahwa ada beberapa bagian dalam kehidupan di rumahnya yang tak sepenuhnya bisa dipahami secara gamblang. Kadang ini membuatnya jengkel dan tak puas. Tetapi juga kadang membuatnya seakan terlindungi. Karena kalau ada sesuatu yang salah, ia tidak merasa secara langsung. Ia cukup merasa dengan celaan atau kritikan.
Saya ikut gregetan bareng Ni, menyaksikan betapa mbulet-nya komunikasi dalam keluarganya sendiri. Penuh dengan perkodean dan ekspektasi tak terucap yang alasannya untuk menjaga nama
baik keluarga atau sekadar meneruskan kebiasaan yang telah berjalan. Belum lagi kerabat yang berprasangka buruk dan menyampaikannya di belakang punggung. Hah, bener-bener deh cangkemane.

Saya juga kagum dengan teknik penceritaan penulis. Di awal buku, terkesan seperti tulisan Gabriel García Márquez atau Eka Kurniawan yang apa-apa diceritakan sampai jauh dan detail. Tapi untung tidak melebar ke mana-mana seperti kedua penulis itu. Dan ternyata cerita awal buku itu menjadi penyokong dari penyelesaian konflik. Intinya memang buat foreshadowing dan info yang diberikan purposeful.

Saya menilai buku ini masih satu tema dengan buku Dua Ibu. Bedanya Canting mengambil latar keluarga bangsawan Jawa, sedangkan Dua Ibu berlatar rakyat jelata. Saya bisa merasa bahwa buku ini adalah salah satu bentuk kekaguman Arswendo terhadap sosok ibu Jawa yang setia mengabdikan diri untuk keluarga, bagaimanapun kondisi mereka. Menerima keadaan, mengambil sikap tulus bekerja. Diselingi dengan filosofi dari Pak Bei bahwa tak seharusnya rasa segan mengusik nilai-nilai yang telah mapan menghalangi seseorang untuk bertanya atau mengambil tindakan yang terbilang aneh. Terlebih lagi jika zaman telah berubah.
Cara bertahan dan bisa melejit bukan dengan menjerit. Bukan dengan memuji keagungan masa lampau, bukan dengan memusuhi. Tapi dengan jalan melebur diri...
Profile Image for Widia.
65 reviews1 follower
March 12, 2022
📚
Judul: Canting
Penulis: Arswendo Atmowiloto
Penerbit: gpu
Halaman: 384

Buku ini sangat kental dengan kehidupan priyayi di Jawa. Tentang keluarga Ngabean Sestrokusuma yang masih memegang erat budaya leluhurnya. Pak Bei Sestrokusuma kemudian menikah dengan Bu Bei yang merupakan bekas buruh batik keluarganya. Batik Cap Canting itu dikelola oleh Bu Bei, yang kemudian menjadikannya sebagai saudagar di Pasar Klewer. Bu Bei bekerja keras tanpa mengenal hari libur, pergi pagi dan pulang saat sore hari. Namun, tidak menghilangkan rasa hormatnya kepada suaminya, Pak Bei. Apa yang dikatakan Pak Bei, maka itu yang dia lakukan.

Bu Bei yang sudah melahirkan 5 orang anak yaitu Wahyu, Lintang, Ismaya, Bayu dan Wening. Namun, dikehamilannya yang keenam, Pak Bei mulai meragukan kesetiaan Istrinya. Begitupun dengan Bu Bei sendiri yang ikut meragukan kehamilannya. Anak itu kemudian diberi nama Subandini Dewaputri Sestrokusuma, dipanggil Ni.

Ni yang dari kecil dilarang untuk bergaul dengan segala hal yang berbau dengan batik dan buruh batik oleh Bu Bei, untuk meyakinkan dirinya kalau Ni adalah keturunan Sestrokusuma. Sebagai lulus Sarjana Farmasi, Ni malah memutuskan untuk mengambil alih usaha Batik Cap Canting yang sudah mulai mundur dari kejayaannya. Bu Bei yang mendengar hal itu, sangat menentang keputusan Ni.

Cerita di buku ini berpusat pada sepak terjang keluarga Pak Bei dan Bu Bei, kepasrahan dan keikhlasan para buruh batik dan kerja keras Ni mengelola kembali usaha Batik Cap Canting yang hampir bangrut.

⭐ 5/5
2 reviews
January 25, 2024
Saya tidak sengaja mendapatkan buku ini dari dosen saya yang sedang membersihkan rak bukunya. Awalnya saya hanya tertarik pada penulisnya, Arswendo Atmowiloto, tanpa berprasangka apapun pada isi bukunya. Ternyata, buku ini memberi saya – yang setengah Jawa ini – gambaran bagaimana sesungguhnya orang Jawa dan mereka yang akhirnya menjadi tidak Jawa.

Canting mengisahkan dinamika kehidupan Ni, Bu Bei, dan Pak Bei dalam keluarga Ngabean yang priyayi. Bu Bei menggambarkan dualisme wanita karir Jawa yang berperan sebagai istri di rumah dan pengusaha di tempat kerjanya. Pak Bei merupakan sosok pemimpin keluarga, pengikut Ki Ageng Suryomentaram, serta priyayi yang aktif dan vokal dalam kehidupan sosial pasca kemerdekaan. Ni, dengan misteri kelahirannya, dihadapkan pada konflik batinnya untuk meneruskan usaha batik tradisional keluarga di tengah modernisasi zaman. Selain Ni, terdapat empat kakaknya dengan kehidupannya masing-masing yang seolah mapan tak bercela. Tak ketinggalan pula para pekerja di Ndalem Ngabean yang hidup sederhana, tetapi sangat loyal mengabdi.

Arswendo menggambarkan kehidupan keluarga priyayi Surakarta di tengah pergolakan sosial budaya pasca kemerdekaan. Kisah ini menunjukkan nilai-nilai Jawa yang tetap bertahan dan yang akhirnya ditinggalkan. Pak Bei dan Ni muncul sebagai sosok-sosok yang berani menjadi berbeda, menjadi tidak Jawa. Dalam kisah Bu Bei sebagai juragan batik, Arswendo menyelipkan diskursus mengenai peran wanita dalam keluarga dan dalam kariernya. Dalam konteks Ndalem Ngabean, perbedaan kelas sosial antara priyayi dan pekerja-pekerjanya makin membaur seiring perkembangan zaman. Ni menjadi jembatan antar generasi yang mendobrak kebiasaan-kebiasaan usang. Canting pada akhirnya menjadi sebuah usaha untuk bertahan di tengah pergerakan zaman.
Profile Image for Mizuoto.
143 reviews1 follower
January 29, 2025
⭐: 4.5/5

Canting dalam novel ini tidak sekadar alat membatik maupun merek dagang melainkan juga simbol transformasi ekonomi tradisional-modern dan gambaran bergesernya tata nilai masyarakat Jawa. Melalui perilaku sehari-hari kehidupan keluarga Ngabehi Sestrokusuma, novel ini mengandung banyak falsafah Jawa yang luhur dan Arswendo mengemasnya dengan baik dalam kisah roman keluarga bangsawan yang memiliki usaha batik beserta pergulatannya.

Arswendo membawa pembaca untuk menyelami kehidupan priyayi Jawa di Kota Surakarta lengkap dengan segala atribut dan pola pikir mulai dari bertutur, bersikap, hingga bergaul kala itu. Tentang bagaimana orang Jawa itu, tentang kepasrahan yang bukan berarti kalah, tentang pengabdian, tentang keikhlasan, dan tentang penerimaan. Kisah Canting juga menggambarkan nilai-nilai Jawa yang masih bertahan, ada pula yang ditinggalkan.

Resensi lengkap bisa dibaca di sini
Profile Image for Iras P.
14 reviews
December 29, 2017
Buku yang menarik dengan penggambaran kehidupan 'juragan' dalam kebudayaan Jawa khususnya Solo pada masa-masa setelah kemerdekaan. Kisah dalam buku ini lebih berpusat pada kehidupan keluara Pak Bei & Bu Bei serta usaha batik dan anak-anaknya. Sarat dengan penggambaran bagaimana seorang wanita Jawa hidup sebagai istri di dalam rumah dan wanita karir di luar. Bagaimana seorang istri yang 'menurut' pada kehendak suaminya. Bagaimana seorang Pak Bei menjadi 'raja' dalam industrinya, dalam kehidupan bermasyarakat, dalam keluarganya. Bukan sebagai salah satu tokoh utama, namun lebih kepada keseluruhan penggambaran kehidupan keturunan bangsawan Solo dan segala konflik serta susah-senangnya.

Penggambaran kraton dan tempat-tempat di Solo yang real dengan segala kejadian yang pernah benar-benar ada di sana.

Penerimaan dan perubahan menjadi inti dari buku ini.
Profile Image for Dyan Eka.
287 reviews12 followers
October 28, 2023
Novel ini tuh, menarik. Mengangkat cerita tentang kasta sosial suatu keluarga jawa dengan 'pengikutnya' yang nuruuttt banget, yang mengabdi banget.

Sebenarnya kalo dari blurb, yang di-highlight adalah tentang pergeseran batik canting ke batik printing. Tapi menurutku justru topik itu kurang greget.

Novel ini menarik, sayangnya menurutku kadang cukup bertele-tele, bikin ngantuk. Tapi sebenernya hal yang aku anggap bertele-tele itu adalah penjelasan dari beberapa hal yang ngga bisa di-skip juga. Bingung dah jadinya 😅

Ada banyak, banyak sekali, percakapan di novel ini dibanding narasi. Jadi harus fokus ini yang giliran ngomong siapa dan ngomongin apa.

Kalo mau belajar sekilas tentang batik canting, novel ini bagus sih ya, sebagai dasar untuk menumbuhkan rasa tertarik dan penasaran yang lebih lanjut.
Profile Image for Afina Emas.
7 reviews1 follower
July 14, 2017
Usai menamatkan buku ini saya langsung teringat dengan cerita Para Priyayi oleh Umar Kayam, serupa tapi tak sama. Keerupaan tersebut terletak pada latar belakang kehidupan priyayi Jawa dan dinamikanya.
Untuk saya sendiri, membaca mengenai kehidupan masyarakat Jawa pada zaman dahulu selalu menarik, sayangnya klimaks cerita pada Canting kurang dapat menggugah saya untuk membacanya ulang, tidak seperti Para Priyayi.
Tentu saja membandingkan kedua buku tersebut, hanya karena latarnya yang sama, adalah hal yang kurang tepat. Saya merekomendasikan buku ini untuk siapapun yang ingin mengetahui sisi lain kehidupan priyayi Jawa yang bergelut dengan keadaan.
Profile Image for Bunga Mawar.
1,355 reviews43 followers
July 27, 2019
Ke mana aja ya saya, baru sekarang baca buku ini, hehee

Sebagai turunan orang Jawa non-Solo dan nggak ngerti batik pula, beberapa bagian buku ini bikin pengetahuan bertambah. Saya juga jadi diingatkan, beberapa kali berkunjung ke Solo, kok ya belum sekalipun mampir ke Pasar Klewer. Sama halnya dengan berkali-kali ke Yogyakarta, saya belum pernah masuk Pasar Beringharjo, cuma lewat pintu luarnya aja mondar-mandir.

Mungkin karena saya bukan tukang belanja kain-kainan juga, yaa.

Sayang, kisah perjuangan Bu Bei tidak sepanjang yang saya harapkan. Kelanjutan perjuangan oleh anak bungsunya juga tidak seindah yang saya harapkan. Tapi mau gimana, hidup harus realistis.

3.5 bintang.
Profile Image for Amira Zarra Ovitte.
24 reviews
June 9, 2018
gila! ngabisin novel setebal ini dalam 24 jam? bisa bayangin kan kegabutan saya sekarang? haha.

novel ini penuh dengan nilai-nilai yang luhur, penuh filosofi, makna, serta petuah. lewat sosok Pak Bei kita dikenalkan dengan seorang ayah yang berwibawa. lewat sosok Bu Bei dikenalkan dengan sikap yang nerimo dan pasrah. bagaimana sebuah canting bisa sedemikian berpengaruh pada kain putih dan bisa berpengaruh pada kehidupan seisi rumah.

cukup untuk mengingatkan diri sendiri pada nilai adiluhur Jawa. well done!
Profile Image for Dinda.
118 reviews6 followers
September 6, 2018
Ini beli bukunya udah bertahun-tahun lalu deh. Terus lupa udah dibeli, dan baru inget kemarin pas liat ada temen yang baru baca ini. Pas di cek di rak buku, masih berbungkus plastik dong.

Membaca buku ini kayak dengerin wejangan tentang apa itu budaya ‘pasrah’-nya orang jawa. Sebagai orang yang lahir dan besar di Medan dengan karakter ‘tembak langsung’, buku ini cukup menarik. Jadi ngerti kenapa orang Jawa itu ‘nrimo’ begitu.

Ceritanya lumayan mengalir, tapi dikasih tiga bintang karena terasa datar-datar aja buatku.
Profile Image for Heru Prasetio.
210 reviews2 followers
September 13, 2021
Saat baca novel ini saya teringat dengan konsep keluarga jawa yang ada pada novel Para Priyayi. Semua juga lugas diterapkan di karya Arswendo yang baru pertama kali aku baca ini. Bercerita tentang kelurga Pak Bei yang tetap kekeh mempertahankan bisnis batik secara tradisional meski zaman sudah berubah. Ada banyak konflik menarik tentang keluarga. Ada rahasia terpendam yang ditutupi tapi layakya bangkai akan tercium juga baunya. Secara keseluruhan aku menikmati baca buku ini. Semacam baca buku ethnografi dengan konsep lokal dan kaya akan ilmu sosial.
Profile Image for Widania.
4 reviews6 followers
November 23, 2019
Saya tertarik dengan karakter Ni. Karakter utama yang menggambarkan wanita kuat dan pemberontak. Lengkap dengan jiwa muda yang berapi-api. Namun, kenyataan menampar Ni karena sebenarnya apa yang ia ketahui tentang keluarganya hampir tidak ada apa-apanya.

Pergulatan Ni dengan keluarga. Cerita ayah, ibu dan kakak- adik digambarkan begitu detail dan menggambarkan ragam emosi. Buku yang membuat saya beberapa kali menangis, hehe.

Saya senang sekali bisa menemukan buku ini.
2 reviews
April 7, 2021
Novel ini novel paling beda dari novel-novel lain yang sudah saya baca. Jalan ceritanya natural, cara menceritakannya juga jauh dari dramatis dan realistis. Konfliknya pun sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, terutama dengan kehidupan masyarakat Jawa. Novel ini sangat menggambarkan bagaimana kepribadian masyarakat Jawa pada umumnya. Jika ingin mengetahui nilai-nilai yang dianut masyarakat Jawa, novel ini sangat cocok dibaca.
Profile Image for Allen Denecke.
1 review
December 29, 2023
Gaya kepenulisan Arswendo di buku ini membuat aku semakin ingin menyelam, semakin dalam semakin aku mencoba mengira-ngira, membuat aku jadi banyak mencoba-coba.

'Apa yang Pak Bei lihat saat ini, apa yang membuatnya terdengar begitu berwibawa, dalam seulas aksara.'

Hal yang paling membuat aku jatuh cinta pada novel ini adalah, sesuatu yang lebih mengartikan apa itu pasrah. Arswendo berhasil membuat aku merasakan banyak perasaan ketika membacanya.
Profile Image for Om Wawan.
43 reviews2 followers
July 13, 2024
'setiap usaha rasionalisasi hanya akan membenarkan hal-hal yang tidak rasional' kata pak Bei ketika membuka genting rumah agar arwah istrinya keluar mulus ke Surga

bukan sekedar keren.., ini masterpiece dari Arswendo

gaya bertutur dan cerita yang disajikan berkolaborasi membangkitkan imajinasi yang nyata ke era masa lalu, ini senyatanya novel sejarah dan novel sastra yang mengandung banyak pesan filosofis budaya Jawa dan kepriyayiannya

Displaying 1 - 30 of 139 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.