Bagi A. Fuadi, peristiwa 98 merupakan salah satu momen penting karena terjadi perubahan besar di Indonesia. Melalui Sepotong Kisah di Balik 98 kita dibawa ke pusaran itu, salah satu bab paling dramatis dalam sejarah bangsa. “Kita menjaga memori kolektif bangsa ini dengan tulisan-tulisan, melalui diskusi dan karya.”
Menurutnya, manusia hidup dari cerita dan memori. Dengan memori, kita terhubung dengan masa lalu. Dengan tulisan, kita bisa mengambil energi dari masa lalu, mengambil pelajaran dari masa lalu. Dan melalui empat cerita pilihan A. Fuadi ini, kita diajak untuk menyaksikan kisah-kisah yang menggambarkan harapan, keberanian, dan ketegaran di tengah gejolak politik dan sosial yang hebat.
Akar Randu, Debu, dan Kisah-Kisah Pilu oleh Ferry Herlambang
Layang-Layang Putus Tak Pernah Salah oleh Donny M. Ramdhan
Fuadi lahir di nagari Bayur, sebuah kampung kecil di pinggir Danau Maninjau , tidak jauh dari kampung Buya Hamka. Ibunya guru SD, ayahnya guru madrasah.
Lalu Fuadi merantau ke Jawa, mematuhi permintaan ibunya untuk masuk sekolah agama. Di Pondok Modern Gontor dia bertemu dengan kiai dan ustad yang diberkahi keikhlasan mengajarkan ilmu hidup dan ilmu akhirat.
Gontor pula yang membukakan hatinya kepada rumus sederhana tapi kuat, ”man jadda wajada”, siapa yang bersungguh sungguh akan sukses.
Juga sebuah hukum baru: ilmu dan bahasa asing adalah anak kunci jendela-jendela dunia. Bermodalkan doa dan manjadda wajada, dia mengadu untung di UMPTN. Jendela baru langsung terbuka. Dia diterima di jurusan Hubungan Internasional, UNPAD.
Semasa kuliah, Fuadi pernah mewakili Indonesia ketika mengikuti program Youth Exchange Program di Quebec, Kanada. Di ujung masa kuliah di Bandung, Fuadi mendapat kesempatan kuliah satu semester di National University of Singapore dalam program SIF Fellowship. Lulus kuliah, dia mendengar majalah favoritnya Tempo kembali terbit setelah Soeharto jatuh. Sebuah jendela baru tersibak lagi, Tempo menerimanya sebagai wartawan. Kelas jurnalistik pertamanya dijalani dalam tugas-tugas reportasenya di bawah para wartawan kawakan Indonesia.
Selanjutnya, jendela-jendela dunia lain bagai berlomba-lomba terbuka. Setahun kemudian, dia mendapat beasiswa Fulbright untuk program S-2 di School of Media and Public Affairs, George Washington University. Merantau ke Washington DC bersama Yayi, istrinya—yang juga wartawan Tempo—adalah mimpi masa kecilnya yang menjadi kenyataan. Sambil kuliah, mereka menjadi koresponden TEMPO dan wartawan VOA. Berita bersejarah seperti peristiwa 11 September dilaporkan mereka berdua langsung dari Pentagon, White House dan Capitol Hill.
Tahun 2004, jendela dunia lain terbuka lagi ketika dia mendapatkan beasiswa Chevening untuk belajar di Royal Holloway, University of London untuk bidang film dokumenter. Kini, penyuka fotografi ini menjadi Direktur Komunikasi di sebuah NGO konservasi: The Nature Conservancy.
Fuadi dan istrinya tinggal di Bintaro, Jakarta. Mereka berdua menyukai membaca dan traveling.
”Negeri 5 Menara” adalah buku pertama dari rencana trilogi. Buku-buku ini berniat merayakan sebuah pengalaman menikmati atmosfir pendidikan yang sangat inspiratif. Semoga buku ini bisa membukakan mata dan hati. Dan menebarkan inspirasi ke segala arah. Setengah royalti diniatkan untuk merintis Komunitas Menara, sebuah organisasi sosial berbasis relawan (volunteer) yang menyediakan sekolah, perpustakaan, rumah sakit, dan dapur umum secara gratis buat kalangan yang tidak mampu.
Empat cerita pilihan Ahmad Fuadi ini adalah kisah yang mengambil sudut pandang korban dan juga pelaku—dan 3 diantaranya adalah kisah yang tak langsung. Artinya, kisah yang diambil dari POV kerabat dari korban/kenalan korban.
Cerita pertama diambil dari sudut pandang pelaku yang melakukan penjarahan terhadap seorang pria Tionghoa yang memiliki bisnis di desa. Rasa iri, tak suka, dan dendam membuat ia kemudian mengompori orang lain untuk menyerang pria tersebut hingga hartanya tak lagi bersisa. Cerita ini berfokus pada perenungan pelaku—tentang penyesalan, rasa tak puas secara batin, dan bersalah
Cerita kedua adalah tentang pencarian dua orang terhadap temannya yang hilang. Petualangan mereka atas rasa curiga, pencarian bukti, hingga berusaha mengungkap kebenaran diceritakan dengan detail. Yang pada akhirnya—hanya 1 dari 2 temannya yang berhasil mereka temukan. Hingga tahun-tahun berikutnya, mereka hanya percaya bahwa 1 lagi temannya hanya baik-baik saja meskipun tak bisa dilacak lokasinya.
Cerita ketiga menceritakan tentang persahabatan antara seorang jurnalis dan seorang anak yang bekerja sebagai penyemir sepatu. Pertemuan yang tidak sengaja itu membuat mereka menjadi “partner in crime” dan sering bercakap-cakap tentang kehidupan. Melalui cerita-cerita si anak, si jurnalis jadi tahu kalau problem penting pasa periode 98 adalah kelaparan. Kisah pilu ini berakhir dengan kesedihan.
Cerita keempat adalah cerita tentang perjalanan seorang anak yang berusaha mencari tahu rahasia kelam ayahnya, yang ternyata seorang penjarah kejam. Berbekal wasiat dari ayahnya, ia mencari tahu dan kemudian mengungkap kebenaran. Seiring berjalannya waktu, keluarga tersebut masih terjebak trauma. Dari cerita ini kita bisa melihat bagaimana upaya memaafkan dan memohon ampun adalah proses yang panjang.
Another side of story of Mei 98 selain latar belakang di Jakarta. Ternyata ada kisah-kisah lainnya selain yg ramai diceritakan dan yang dicatat. Apa yang terjadi di Solo, Bandung, Surabaya pada saat itu, sampai dengan kisah gelap penyintas 98. Ringan, tp cukup intimate khususnya sebagai pengingat kembali akan sejarah.
Menampilkan empat kisah yang -barangkali- dipilih oleh A. Fuadi berkenaan 1998; tahun yang mencatat pelbagai peristiwa bersejarah, bahkan berdarah di Indonesia. Kesemuanya terjadi aturan domino effect, dimulai dengan krimon (krisis monoter), penghapusan dwi fungsi ABRI, dan kemuncaknya adalah pada 14 Mei 1998 Tragedi Trisakti, yang kemudian disusuli pengunduran Seoharto dari pejabat. Membaca novel-novel yang menceritakan semula pemerintahan Orde Baru (Orba) dan peristiwa sekitar tahun 1998, membuatkan saya benar-benar sebak, kesal dan kadang bercampur marah. Nyawa manusia pada tahun tersebut begitu murah sekali. Para penguasa terus bertindak celaka, manakala rakyat menjadi mangsa.
Novel pertama yang menjadi pintu untuk saya membaca dengan lebih lanjut berkenaan Orba ialah Laut Bercerita. Karya Leila S. Chudori ini menjadikan saya semakin penasaran untuk mengetahui akan kekejaman rejim Seoharto. Yang paling membekaskan bagi saya ialah Tragedi Trisakti, yang turut menjadi terjemahan puncak kebencian kepada warga Tionghua—toko-toko mereka dibakar, dan paling celaka… pemerkosaan massal secara brutal terhadap perempuan Tionghua. Buat kalian yang ingin membuat pembacaan lanjut berkenaan peristiwa ini, saya sisipkan satu artikel jurnal yang pernah saya baca: https://heuristik.ejournal.unri.ac.id...
Novel-novel berkenaan 98’ seharusnya dibaca oleh semua warga Indonesia supaya generasi muda tidak buta akan sejarah. Semoga di Malaysia juga lebih banyak penghasilan novel-novel yang merakamkan peristiwa-peristiwa hitam negara semisal 16 Mei 1969, peristiwa Memali dan rusuhan Taman Medan 2001. Namun, mestilah, rakaman peristiwa ini perlu bersikap objektif (walau sukar pada hakikatnya).
---
Saya sekadar mencatat kembali ulasan ringkas saya terhadap setiap empat kisah di dalam novel ini:
Kisah pertama: Akar Randu, Debu, dan Kisah-Kisah Pilu oleh Ferry Herlambang.
Kisah-kisah yang disaksikan oleh akar, debu dan peluru—diadun menjadi satu. Kegawatan yang berlalu sekitar 1997-98' dari ujung desa hingga ke kota; yang sarat dengan perjuangan, pengkhianatan, kesabaran dan penyesalan.
Pengolahan cerita yang begitu mengasyikkan. Terima kasih akar, debu, dan tidak terlupakan, peluru!
Kisah kedua: Layang-Layang Putus Tak Pernah Salah oleh Donny M. Ramdhan.
Benar-benar menggugah akal dan pemikiran. Saya tidak menyangka kisah ini begitu plotwisted dan mind-blown. Tapi banyak juga hal yang saya pelajari melalui kisah ini, terutamanya unduk usuk yakni tatakrama dalam berbicara—membina hujah satu persatu dengan cermat untuk menyampaikan apa yang kita ingin bicarakan. Psikologi ini sangat membantu agar argumen mampu disampaikan secara tersirat, tanpa menggunakan kekerasan.
Satu hal yang juga menarik bagi saya ialah bagaimana penulis menjadikan masjid sebagai tempat berkumpulnya warga desa. Budaya yang semakin terhapus dalam masyarakat kita, saya kira.
Kisah ketiga: Sepatu Untuk Jenderal oleh Ariyanto.
Kisah yang paling pendek di antara empat yang lainnya. Namun, kisah ini juga paling berbekas buat saya hingga mengundang air mata.
Pada usia yang begitu muda Jenderal, kau mengajar kami akan erti kehidupan, kesyukuran dan pengorbanan. Lewat kisah ini juga, saya memerhati bahawa ibu bapa itu sangat penting dalam kehidupan anak-anak.
Kisah keempat: Terang Gelap Surya oleh Heri Widianto
Pendosa ingin menebus masa silamnya, namun mengheret keluarganya bersama. Atas dasar inilah, konflik terbina. Satu-persatu rahsia yang disimpan rapi, akhirnya terburai dan dihakimi. Dosa itu kifarah, begitulah.
Buku ini berisikan 4 pilihan cerita oleh Ahmad Fuandi. Melalui keempat cerita ini kita dapat melihat penggalan penggalan kisah dari berbagai penjuru Indonesia. Dengan membaca ini seperti yang tertulis pada halaman 487 yang menyatakan “Harapan kami sebagai penyintas, jangan pernah melupakan hal itu. Sebab, dilupakan sama mengerikan lnya dengan sejarah kelam itu sendiri”. Salah satu cerita yang paling membekas untuk saya pribadi adalah layang-layang putus tak pernah salah. Entah bagaimana cerita tersebut sangat menyayat hati dan juga membuat saya berpikir bahwa memaafkan seseorang itu penting, appun yang terjadi dengan kita sebaiknya tetap membalas kejahatan dengan kebaikkan, bukan sebaliknya.
Real mengisahkan "dibalik" sejarah tahun 98. Meski cuman 4 bab tp dahsyat sekali kisah tiap babnya. Definisi cerita pilihan yang memang terpilih karena sebagus dan semenarik itu. Dan terakhir, selamat jalan, Jenderal! Bab paling ngeuna ke hati diantara semuanya T.T
sepotong kisah di balik 98 kedua yang aku baca mau nangis bacanya tiap ceritanya terutama di buku ini yang judulnya sepasang sepatu untuk jenderal hikd nangid