Agustinus Wibowo membawa kita ke dalam perjalanan yang tak hanya menelusuri peta dunia, tetapi juga peta hati dan pikiran. Sebagai warga Indonesia keturunan Tionghoa, dia pernah mengalami diskriminasi dan rasisme pada waktu muda, pengalaman yang membangkitkan pertanyaan mendalam tentang identitas. Buku ini adalah hasil pencariannya akan jawaban-jawaban tersebut—sebuah ekspedisi yang menggabungkan perjalanan fisik, memori sejarah, dan eksplorasi spiritual.
Agustinus Wibowo is an Indonesian travel writer and photographer who had spent four years traveling overland continuously. Departing from Beijing, his original destination was South Africa, but he was stuck in Afghanistan and stayed there for 3 years as a photojournalist. He has published two travel narrative books in Indonesian language, namely: Selimut Debu---Impian dan Kebanggaan dari Negeri Perang Afghanistan (Blanket of Dust---Dreams and Pride from War-torn Afghanistan) and Garis Batas---Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah (Borderlines---Journey in Central Asian Countries).
Kita dan Mereka. Perjalanan Agustinus Wibowo kali ini tak biasa. Berbeda. Buku ini memang masih bisa terhubung dengan karya-karya sebelumnya karena benang merah pencarian jawaban tentang kemanusiaan masih diuraikan. Jika mengikuti buku-buku karya penulis sejak awal, pembaca seakan diajak berkembang bersama. Pembaca jadi “teman” bagaimana penulis mengembangkan pertanyaan-pertanyaan terdalamnya terkait kemanusiaan. Bergerak dari konsep perjalanan fisik di negeri-negeri Asia Tengah di buku-buku awalnya, lalu di karya terbarunya, "Kita dan Mereka", kita diajak untuk berjalan menelusur ke sejarah bagaimana konsep "kita" dan "mereka" tercipta di kepala kita. Sebuah perjalanan menelusur ke dunia, dan pada akhirnya : perjalanan ke diri sendiri.
Pembaca disuguhkan sekitar 600 halaman yang berpotensi mengintimidasi di awal karena tebalnya. Buku ini ternyata dibuka dengan pertentangan identitas Cina dan Indonesia yang dirasakan penulis, yang seringkali kita temukan di buku-buku terdahulunya. Ini awal yang baik untuk terhubung dengan pembaca, karena pembaca tak langsung dibebankan uraian berbagai fakta.
Penulis tetap dengan keresahan dirinya tentang kemanusiaan, tentang identitas. Namun "Kita dan Mereka" dikembangkan ke arah yang berbeda, dengan banyak penjabaran sejarah yang bertujuan untuk menemukan data dan fakta bagaimana konsep “kita” dan “mereka” terbentuk di kepala kita.
Seperti sebelum-sebelumnya, penulis menyampaikan data sejarah tidak dengan mentah. Dari bagaimana tulisan ini disampaikan, tampak Agustinus juga tekun menelusur data, mengolahnya dalam pikiran, lalu merajutnya sedemikian rupa agar pembaca lebih mudah menelan. Ia juga menautkan datanya ke berbagai hal, lalu menyampaikannya dengan mengalir. Penulis yang juga seorang filatelis, kerap kali menyegarkan mata pembaca dengan berbagai gambar prangko terkait bahasan di antara narasi panjang.
Buku ini terbagi menjadi 13 bab panjang. Dimulai dengan bab Tembok, Nomad, Batas, Peradaban. Dilanjutkan dengan Bangsa, Kulit, Cerita, Agama, Utopia, Perang Suci, Globalisasi, Tanah Air, dan diakhiri dengan Diri.
Di bab tentang Tembok, penulis membahas berbagai “tembok” yang membatasi berbagai hal dari kita sebagai manusia. Baik tembok yang di kepala, maupun yang terlihat mata. Penulis membedah mengapa tembok amat berarti bagi kita. Ia bijaksana menyebut bahwa ini karena rasa ketakutan manusia untuk kehilangan hal berharga atau menangkis serangan musuh. Semua hal itu tercipta dari pemikiran manusia tentang konsep “kita” dan “mereka”. “Tembok selalu punya dua sisi. Ke luar, dia menghadang “mereka”. Ke dalam, dia mengurung “kita.”" (hlm 35)
Tembok-tembok fisik maupun tembok di pikiran menciptakan berbagai dampak kemanusiaan, yang menurut penulis tak menciptakan rasa aman, justru mendatangkan rasa tidak aman yang semakin besar. Di sisi lain, ia melihat secara lebar bahwa manusia membutuhkan rasa aman, namun juga memerlukan kebebasan. Kebijaksanaan dibutuhkan untuk mencapai keseimbangan.
Di bab berikutnya, penulis membahas tentang kaum Nomad yang selama ini dipandang negatif, faktanya justru berpengaruh dengan membangun peradaban lewat jalur sutra. Mereka lebih banyak berdagang ketimbang berperang. Pembahasan itu juga diikuti tentang bagaimana kaum Nomad bermetamorfosis dan melihat jiwa Nomad yang masih tersisa saat ini.
Dari sepak terjang kaum Nomad yang seringkali dipandang sebelah mata, penulis menyinggung beberapa hal yang bisa menjadi perenungan tentang refleksi bagaimana kita melihat yang berbeda. “Ini adalah kecenderungan sifat manusia yang universal, untuk senantiasa menganggap diri sendiri sebagai pusat dunia, dan pada saat bersamaan, curiga atau takut atau bahkan benci terhadap mereka-mereka yang dianggap asing dan berbeda.” (hlm 63)
Bagaimana rumitnya pembentukan dan bercampurnya identitas, juga politik identitas dari kaum Nomad juga terlihat di bab ini. Menurutnya, identitas adalah tentang bagaimana kita memilih leluhur yang disuka. Pada dasarnya semua bangsa Nomad, bercampur.
Berikutnya, penulis membahas batas. Di buku-buku sebelumnya, penulis juga sudah membahas garis batas. Tapi kali ini ia menelisik ke sejarah penciptaan garis batas itu, oleh siapa, mengapa, bagaimana. Ini terasa seperti penulis yang menjawab pertanyaan di dirinya sendiri dan mengajak pembaca ikut bersamanya.
Salah satu bagian yang paling saya ingat adalah tentang sejarah bagaimana pembagian batas-batas negara yang dilakukan serampangan dan tidak adil oleh “negara-negara penjajah” yang memiliki pengetahuan tentang peta dan menerapkannya di beberapa negara Timur Tengah dan Afrika. Dampaknya bisa dirasakan hingga hari ini oleh manusia-manusia yang “dipaksa” terpisah oleh batas negara tersebut.
Penulis juga tampil dengan kritik tebal di sini. “Garis batas terjadi hanya karena manusia, binatang territorial yang mengembangkan ilusi bahwa kita bisa memiliki tanah serta bisa berkuasa atas tanah.” (hlm 115)
Bab ini seperti mengajak kita bertanya, mempertanyakan yang selama ini kita sangka “sudah dari sananya”. Dengan memahami konsep dan sejarah, pembaca seakan diajak untuk bisa melihat perspektif kemanusiaan yang berbeda. Terlihat betapa rumit sekaligus luar biasanya manusia menciptakan sistem untuk memberi batas sehingga menimbulkan konsep “kita” dan “mereka”.
Di bab Peradaban, penulis membahas berbagai peradaban manusia. Salah satu yang menarik adalah fakta tentang penciptaan tulisan hingga bagaimana imperium Arab menggencarkan penerjemahan karya yang membawa kekhalifahan Abbasiyah menjadi paling maju di masanya.
Agustinus juga mengajak pembaca melihat perspektif lebar tentang perang. Menurutnya, perang yang kita selalu anggap buruk, faktanya membawa dampak pada perubahan peradaban manusia. “Perang memang punya kontribusi luar biasa untuk membangun peradaban kita umat manusia.” (hlm 150)
Contohnya penjajahan yang juga mengubah pola makan manusia dengan tersebarnya bahan makanan dari satu tempat ke tempat lain.
Dari paparan sejarah penulis, juga tertampilkan beberapa fakta, misalnya tentang dominasi Eropa.
“Eropa sebenarnya juga berhasil mengembangkan ilmu teknologinya karena imperium Arab” (hlm 157).
Di sisi lain, penjajahan Eropa juga memberikan pengaruh pada sistem ekonomi pasar yang dianut banyak negara.
Pada bab Bangsa, penulis menjelaskan tentang bagaimana bangsa juga menjadi identitas penting dari manusia. Sejarah politik dan imajinasi dari manusia yang menentukan sebuah bangsa. Penulis mengelaborasi bagaimana bangsa bersinggungan dengan “mitos-mitos” lain seperti bendera negara, budaya, bahasa, ritual, hingga lambang negara.
Di bab Kulit, penulis seakan ingin mengajak pembaca kembali mengecek kesombongan kita sebagai manusia yang merasa bisa melakukan segalanya dengan menelusur ke sejarah manusia pra sejarah. Pembaca jadi bisa mendapat pengetahuan bahwa manusia begitu mirip secara genom dengan orang utan, simpanse, hingga gorilla. Bahkan kemiripannya hingga di atas 90%. Yang membedakan, manusia beradaptasi, berbahasa, hingga “menciptakan” kepunahan.
Bab Cerita jadi salah satu bab favorit saya. Penulis menunjukkan betapa hebatnya sebuah cerita sebagai kemampuan yang dimiliki manusia untuk berinteraksi, berkomunikasi, sampai menciptakan mitos yang berpengaruh pada bagaimana manusia memilih cara hidupnya. Seperti sistem kasta di India yang meyakini bahwa manusia berasal dari Purusa yang diiris para dewa, sehingga terbentuklah kasta dan masih diterapkan hingga hari ini. Sistem ini berpengaruh besar pada bagaimana seseorang memperlakukan orang lain.
Persepsi dan imajinasi menjadikan manusia makhluk yang luar biasa. Manusia bisa menciptakan bangsa, negara, garis batas, hingga uang. Semua karena "intelektual" manusia yang berujung pada identitas, tindakan baik, atau bahkan sampai menimbulkan perang.
Penulis juga tak segan menyajikan sebuah fakta dan kritik meski tak menyenangkan untuk didengar. “Di alam semesta ini tidak ada yang namanya keadilan, kebebasan, dan kesetaraan…Dalam Sejarah manusia pun kita tidak pernah benar-benar setara, selalu ada hierarki kekuasaan, selalu ada penguasa dan rakyat jelata, selalu ada yang lebih bebas merdeka daripada yang lain.” (hlm 292)
Penulis juga “memberi panduan” tentang bagaimana membedakan mitos, cara kerja mitos, hingga hubungan mitos dengan sains.
Di buku ini penulis juga membahas tentang agama di bab tersendiri. Bab ini menarik, karena sebagai pemeluk agama, saya dan mungkin Anda, jarang mempertanyakan mengapa memeluk agama dan memilih beragama. Agama sebagai sesuatu yang kerap sakral dan dianggap rumit dimaknai sederhana, namun menggiring penulis ke kesimpulan tentang bermacam agama.
“Dari semua perjalanan dan pencarian itu, saya menemukan bahwa di balik beragamnya agama dan kepercayaan, ada tema besar tentang cinta kasih, perdamaian, dan tuntutan untuk menjadi manusia yang lebih baik.” (hlm 307)
Penulis mengajak kita menelusur ke mitologi hingga sejarah Tuhan, lalu ke spiritualitas. “Spiritualitas adalah tentang mengalami Tuhan, sedangkan agama adalah tentang memahami Tuhan.” (hlm 349).
Bab ini juga menggambarkan betapa agama lebih dari masalah personal dan privat, namun juga dampaknya pada sesama manusia, tradisi, peradaban, hingga munculnya tragedi. Penulis menyebut dua fungsi agama, yaitu agama sebagai inspirasi spiritual dan institusi sosial (hlm 384)
Ada juga pertanyaan-pertanyaan kritis yang membuat pembaca berpikir. “Apa sebenarnya yang membuat seseorang bisa begitu teguh memeluk suatu agama, meski dengan keterbatasan pengetahuannya terhadap agama itu sendiri.” (hlm 377)
Bab 9 mengambil judul Utopia. Penulis mengajak pembaca membedah tentang utopia yang ada di hidup kita : kebebasan.
Pembahasan itu membawa pembaca juga pada berbagai ideologi seperti komunisme, liberalisme, sekuler, dan negara-negara yang menganutnya. Juga bagaimana manusia juga tak segan bertempur hanya karena perbedaan ideologi itu.
Pada akhirnya, penulis mempertanyakan hal yang sepantasnya kita juga tanyakan pada diri sendiri, sebagai manusia. “Mengapa pertempuran ideologi bisa merenggut begitu banyak korban?.. Ideologi telah menjelma menjadi “agama” politik. Para penganutnya diperintahkan untuk membuktkan fanatisme mutlak, komitmen tanpa batas, dan kesiapan untuk mengorbankan apa pun.” (hlm 445)
Perang Suci menjadi tajuk bab 10. Jatuhnya kekhalifahan Utsmani, menelisik lebih dalam ke anggapan Islam dan Barat yang bertentangan, hingga membahas faktor geopolitik Timur Tengah yang berpengaruh pada dunia.
Bahwa perpecahan dan peperangan yang terjadi tidak sesederhana yang kita bayangkan. Jika ditelusuri, perpecahan itu disebabkan berbagai kerumitan. Penulis mengajak kita untuk melihat ke depan dan merefleksikan fakta-fakta itu terhadap diri sendiri.
“Tidak mungkin menghapus permusuhan dengan permusuhan. Tidak mungkin memberantas kekerasan dengan kekerasan. Tidak mungkin menghapuskan terorisme dengan terorisme. Tidak mungkin menciptakan perdamaian melalui pembantaian. Tidak mungkin menegakkan keadilan dengan ketidakadilan.” (hlm 494)
Jika melihat bagaimana kondisi geopolitik dunia akhir-akhir ini, buku ini relevan untuk paling tidak, memberikan sudut pandang baru dan menguji tentang pemahaman-pemahaman pembaca secara personal.
“Sepanjang sejarah manusia, tujuan nomor satu para penguasa, tidak peduli itu dalam masyarakat sedenter maupun nomaden, tidak pernah demi mewujudkan perdamaian dunia atau kemakmuran seluruh umat manusia. Tujuan sejati mereka hanya satu : kekuasaan. Sejarah manusia tidak pernah tentang kebenaran dan moral. Siapa yang benar dan bermoral belum tentu jadi pemenang, tetapi siapa yang menjadi pemenang bisa menulis ulang sejarah untuk menjadi benar dan bermoral.” (hlm 66).
Penulis membahas globalisasi di bab 11. Bab ini menyinggung tentang kapitalisme yang mengalahkan komunisme saat ini di dunia. Juga tentang globalisasi yang memaksa mengubah berbagai hal dari sebuah negara. Kapitalisme yang kerap dianggap dekat dengan globalisasi juga banyak dijabarkan sebagai refleksi bagaimana dunia bekerja saat ini.
Bab 12 tentang Tanah Air. Di bab-bab akhir ini, saya merasa penulis mulai lebih banyak menunjukkan pengalaman pribadi, seakan ingin mengantar pembaca menuju akhir dengan hangat.
Penulis membahas tentang pengungsi yang terombang-ambing antara rasa tak memiliki tanah yang ia tinggali, namun juga tak bisa tinggal di tanah airnya sendiri. Agustinus juga menunjukkan berbagai kesulitan yang dialami pengungsi seperti pengungsi yang sengaja didatangkan ke Prancis asal Maroko, Aljazair, dan Tunisia. Penulis mengajak melihat mereka dari sudut pandang yang lain dengan menunjukkan sejarah tentang bagaimana rasa menjadi korban diskriminasi pada diri mereka itu bermula, sehingga pembaca bisa menilai dengan lebih lebar.
Dilema pengungsi juga tidak lepas dari kata akar yang membentuk identitas. Berbagai masalah di sebuah negara juga disebut-sebut sebagai akibat dari pengungsi dan bagaimana dampaknya pada tatanan sosial negara.
Di bab akhir, Diri, penulis mengajak pembaca kembali mendekat secara personal dengan banyak cerita tentang diri penulis dan bagaimana ia bergelut dengan problem-problem identitasnya. Namun di sela-sela itu, ia juga menjawab berbagai pertanyaan dalam dirinya dengan menyelipkan berbagai fakta tentang manusia dari kacamata sains.
Penulis juga seakan ingin mengatakan betapa gemar kita sebagai manusia begitu menolak realitas yang pasti terjadi pada diri kita, seperti fisik yang menua. “Semua ini pada dasarnya adalah upaya untuk menjaga agar realitas tetap sejalan dengan narasi cerita di dalam kepala.”
Agustinus sudah mengajak pembaca pergi menganalisis peperangan di dunia, mencari akar permasalahan dari perbedaan sepanjang buku. Namun pada akhirnya ia bijaksana kembali pada diri di akhir. Diri adalah asal muasal konflik besar di lingkup sosial, salah satunya bagaimana kita menetapkan identitas kita. “Identitas adalah konsep yang dapat diinterpretasikan dengan beragam cara, tidak ada satu keharusan yang pasti.” (hlm 614).
Sepanjang buku ini, penulis kerap menyelipkan pengalaman pribadinya ketika dalam perjalanan maupun ketika berinteraksi dengan berbagai bangsa. Ia tampak ingin menampilkan gabungan antara perjalanan fisik, rasa, serta data sejarah.
Di sisi lain, penulis juga mengajak pembaca untuk mendekonstruksi apa yang sudah ada selama ini, membangun lagi atau menggeser pemahaman agar kita lebih bijaksana memandang imajinasi-imajinasi kita selama ini tentang konsep “kita” dan “mereka”. “Kitalah para manusia gua itu. Kita semua hidup di dasar gua gelap, setiap hari hanya menyaksikan bayang-bayang identitas dan mengira semua itu adalah realitas kita.” (hlm 16)
Penulis juga terlihat mengambil begitu banyak referensi, namun tak membuat pembaca kewalahan. Thomas Hobbes, Yuval Noah Harari (ini sangat terasa di bagian pembahasan tentang uang), Benedict Anderson, dan banyak lainnya. Kabar baiknya, penulis bisa tetap mengambil posisi untuk dirinya sendiri.
Pada akhirnya buku ini memberikan tawaran sebuah perjalanan menelusur sejarah untuk membuka pikiran kita tentang apa-apa yang selama ini kita genggam erat dalam kehidupan. “Banyak orang memang lebih memilih untuk tinggal dalam kenyamanan, kegelapan, daripada mengonfrontasikan kepercayaan mereka ke hadapan cahaya kebenaran yang menyakitkan.” (hlm 21)
Agustinus Wibowo seperti mempertanyakan, menelusur ke akar, mengkritisi, lalu memaknai. Meski mungkin beberapa bagian tak bisa semua pembaca setujui, namun penulis terlihat menempatkan dirinya di tengah sebisa mungkin. Ini terasa sebagai analisis, bukan sebagai tulisan persuasif untuk menganut paham tertentu.
Penulis juga terlihat berusaha memperlebar sudut pandang pembaca dalam mengartikan siapa diri kita, juga mengartikan siapa mereka. Ia mendekonstruksinya sampai ke akar, kemudian mengajak kita berpikir. Seberapa luas nilai-nilai kemanusiaan yang kita miliki? Seberapa bijaksana kita memandang dan mengartikan perbedaan? Pada akhirnya pertanyaan itu juga sampai pada : apa itu kita dan apa itu mereka.
Buku ini terasa mencerminkan seorang pencari yang penuh rasa ingin tahu hingga ke akar. Saya jadi teringat ucapan Gita Wirjawan, "Everybody should be intellectually curious in the extreme." Agustinus melakukannya, dan mengajak pembacanya turut serta.
Sebelas bab pertama menjadi dasar untuk melihat bagaimana identitas terbentuk dan bagaimana identitas yang kita miliki tidaklah tunggal. Kemudian pada dua bab terakhir, Agustinus Wibowo menjahit sebelas bab sebelumnya menjadi satu perspektif yang utuh dan mengundang pembaca untuk melakukan refleksi tentang identitas yang dimiliki.
Buku ini agak berbeda dari buku-buku sebelumnya, karena pengalaman perjalanan penulis bukan menjadi dasar utama tulisan. Namun, kekayaan pengalaman hidup dan perjalanan penulis, menurut saya, menjadi dasar mengapa buku ini akhirnya muncul. Membaca buku Kita dan Mereka membuat saya pribadi merasa lebih tenang dan mantap dalam memahami dan memandang siapa saya. Tulisan-tulisan penulis selalu berhasil membuat saya sebagai pembaca melakukan refleksi diri. Ini menjadi kekuatan utama dari Agustinus Wibowo.
Sebuah buku yang menghadirkan pengetahuan dengan sangat detail. Tema yang menarik dengan menjabarkan begitu banyak informasi serta contoh peristiwa dengan relevan. Sebulan tepat untuk saya bisa menyelesaikan membaca buku ini,bab per bab seperti petualangan yang teramat sayang untuk dilewatkan. Agustinus Wibowo sekali lagi membuktikan bahwa dia adalah penulis dan petualangan setara maestro
Lewat perjalanan fisik dan riset pustaka yang dilakukannya, lewat pengalamannya menjelajahi sejumlah bangsa dan negara di dunia, Agustinus menemukan berbagai fakta yang menunjukkan betapa manusia itu terlihat berbeda-beda tetapi setelah didekati ternyata sejati sama. Kita terbentuk oleh cerita-cerita memiliki tembok batas masing-masing, membangun peradaban yang berputar jatuh bangunnya, saling berperang dan berkonflik, meyakini suatu sistem keyakinan tertentu, hingga membentuk diri dengan segala aku dan kamunya.
Dengan mempelajari sejarah, kita akan tahu bahwa identitas-identitas yang kita anggap penting itu sebenarnya juga terus berubah. Identitas Cina tidaklah selalu komunis, dan bukan hanya tentang komunisme. Sejarah komunisme Cina yang tidak sampai seratus tahun itu hanyalah seujung kuku dari ribuan tahun sejarah bangsa Cina. Demikian juga dengan Indonesia, tidak selalu sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Agama besar yang paling mendominasi sejarah panjang peradaban Indonesia justru adalah Hindu dan Buddha. Bahkan, nama ideologi nasional "Pancasila" bersaal dari istilah Buddhis untuk lima aturan dasar (sila) yang menuntun perilaku hidup.
Identitas-identitas kita sebenarnya sangatlah cair dan terus berubah, namun konflik-konflik yang muncul dari identitas kita senantiasa terlihat sangat kaku dan permanen. Orang-orang yang menjadi ekstrem dalam membela identitasnya biasanya adalah mereka yang buta tentang dunia luar dan sejarah mereka sendiri. Orang-orang yang demikian umumnya tidak meragukan dan tidak mempertanyakan identitas mereka, sehingga terjebak dalam sesat pikir bahwa identitas mereka adalah sesuatu yang permanen sejak masa silam yang tiada berpangkal dan abadi menuju masa depan yang tiada berujung.
(hal. 18, bab Prolog)
*
Bab 1: Tembok
Tembok menciptakan isolasi, dan isolasi inilah hal yang sesungguhnya paling berbahaya dari sebuah Tembok. Mereka yang terkurung Tembok akan merasa seperti terus-menerus terancam oleh musuh. Ketakutan itu akan membuat mereka terus-menerus memperkuat Tembok, baik fisik maupun psikologis, yang justru akan membuat mereka semakin terisolasi, semakin terbelenggu, dan semakin ketakutan, hingga pada akhirnya mereka akan terbenam dalam Tembok-Tembok yang mereka bangun sendiri.
(hal. 42)
Membangun Tembok sebenarnya bukan untuk mengusir kaum nomad barbar, melainkan sekadar untuk mengusir rasa takut. Ini ibarat orang menutup kelopak matanya sendiri, lalu berfantasi bahwa musuh di hadapannya akan hilang begitu saja. Tembok bukan menciptakan keamanan, melainkan hanya menciptakan perasaan aman.
Membedakan dua hal ini sangat penting, karena hasilnya bisa teramat berlawanan. Alih-alih membangun Tembok, setiap negara sebenarnya selalu punya dua opsi dalam menghadapi musuh mereka, yaitu berperang habis-habisan atau berdamai melalui negosiasi dan kerja sama. Solusi membangun Tembok sebenarnya menunjukkan bahwa seseorang tidak tertarik untuk mencari akar masalah. Tembok tidak pernah menyelesaikan masalah, malah berpotensi mengaburkan masalah dan menggantinya dengan masalah lain yang lebih besar.
(hal. 43)
Paspor dan visa sejatinya adalah tembok-tembok dalam wujud kertas. Sistem paspor dan visa itu juga bekerja dengan logika tembok, yaitu membeda-bedakan orang melalui generalisasi. Mereka yang berasal dari negara-negara yang dianggap berisiko tinggi, seperti Afghanistan dan Irak, akan terpenjara dalam negara mereka sendiri karena paspor yang mereka pegang membuat negara lain enggan membukakan pintu bagi mereka. Sebaliknya, pemegang paspor Inggris, bahkan jika dia adalah seorang pekerja serabutan, akan menikmati kebebasan perjalanan yang lebih besar dibandingkan dengan miliarder dari Afghanistan. Pikirkan betapa absurdnya sistem ini: kebebasan untuk bepergian semata-mata ditentukan oleh buku kecil yang kau pegang. Padahal, tidak semua orang Afghanistan adalah teroris, dan tidak semua orang dari Inggris bukan teroris.
(hal. 46-47)
*
Bab 2: Nomad
Karena para nomad ini sungguh sulit ditundukkan, negeri-negeri peradaban sedenter seperti Cina, Romawi, dan Persia sering menggambarkan kaum nomad ini sebagai orang-orang barbar yang biadab dan hina. Kata "barbar" sendiri berasal dari bahasa Yunani, barbaros, untuk menyebut orang asing yang tidak bisa berbahasa Yunani sehingga kalau berbicara terdengar bar-bar-bar. Makna kata ini sebenarnya netral, hanya untuk menyebut orang asing yang berbeda bahasa dan budaya. Namun, perang dahsyat dan permusuhan dengan negeri-negeri tetangga membuat kata barbar yang kemudian diwarisi oleh Romawi itu menyeritkan kengerian dan kebencian terhadap orang-orang asing yang mereka pandang berperadaban lebih rendah.
Ini adalah kecenderungan sifat manusia yang universal, untuk senantiasa menganggap diri sendiri sebagai pusat dunia, dan pada saat bersamaan, curiga atau takut atau bahkan benci terhadap mereka-mereka yang dianggap asing dan berbeda. Dengan menempelkan label "barbar" atau "biadab" pada kaum nomad, negeri-negeri berperadaban sedenter berusaha menciptakan pembenaran untuk aksi-aksi mereka menyerang dan memberantas nomad.
(hal. 63)
Sangat mungkin, negeri-negeri sedenter aktif memerangi nomad bukan karena mereka terlalu miskin dan biadab, melainkan sebaliknya, justru karena kaum nomad itu terlalu makmur dan terlalu menggiurkan untuk dibiarkan tetap merdeka.
(hal. 65)
Tentu kita juga tidak bisa lantas mengatakan bahwa para nomad semata-mata orang beradab pecinta damai tanpa dosa yang menjadi korban penganiayaan keji negeri-negeri sedenter. Perampokan yang dilakukan masyarakat nomad terhadap masyarakat petani memang adalah fakta yang tidak terbantahkan. Nomad memang bisa jadi sangat beringas dalam memerangi dan menghancurkan negeri-negeri agraris.
Namun, apabila kita melihat in idari sudut pandang nomad, kita akan melihat bahwa motif utama serangan itu adalah tindakan negeri-negeri "beradab" yang secara sepihak menghalangi perdagangan, misalnya dengan membangun tembok benteng, mendirikan Tembok Besar, menutup perbatasan, atau melarang perdagangan. Di mata nomad, semua tindakan ini sama dengan provokasi perang. Hidup para nomad itu sangat bergantung pada perdagangan, sehingga ketika perdagangan dihentikan, mereka akan memilih berperang mati-matian agar tetap bisa bertahan hidup dan melanjutkan perdagangan. Ini menampilkan sebuah pola menarik dalam hubungan manusia sejak zaman baheula: kita bekerja sama untuk berperang. dan kita berperang untuk bekerja sama.
Konflik manusia selamanya tidak pernah bisa disederhanakan menjadi dualisme "beradab versus biadab" atau "kebenaran versus kejahatan", atau "korban versus pelaku". Sepanjang sejarah manusia, tujuan nomor satu para penguasa, tidak peduli itu dalam masyarakat sedenter maupun nomad tidak pernah demi mewujudkan perdamaian dunia atau kemakmuran seluruh umat manusia. Tujuan sejati mereka hanya satu: kekuasaan. Sejarah manusia tidak pernah tentang kebenaran dan moral. Siapa yang benar dan bermoral belum tentu jadi pemenang, tetapi siapa yang menjadi pemenang bisa menulis ulang sejarah untuk menjadi benar dan bermoral.
Sejak dari buku Selimut Debu penulis mengajak pembacanya turut serta dalam perjalanannya meneroka negara-negara yang rawan konflik. Selalu ada konflik dalaman sepertinya pencarian yang terus menerus dalam tulisan beliau. Buku ini adalah jauh dari genre yang selalu ditulis Agustinus tetapi temanya lebih kurang sama tentang jati diri atau identiti.
Penulis mengajak kita melihat dengan mata burung tentang apa yang berlaku hari ini bukanlah semudah kita vs mereka. Ilustrasi abstrak tembok dan sempadan yang dibina dalam mental kita serta apa yang berlaku di sekeliling kita dengan rancaknya pertukaran informasi membuatkan kita keliru dan susah untuk memahami dengan dalam apa sebenarnya yang berlaku. Hujung-hujung kita akan terjatuh dalam pemikiran yang sangat cetek; kita betul dan mereka salah.
Dari bab awal hingga akhir, dengan bahasa yang lebih mudah dicerna dan tak terlalu akademik, penulis membawa kita merenung dan memahami keadaan yang kompleks ini.
Saya setuju dunia perlu ada pergeseran, pertentangan, perlawanan, konflik, dan pertempuran untuk semuanya bergerak maju.
Menurut Max Scheler, manusia adalah ens amans. Untuk memahami manusia, pelajarilah dirimu sendiri. Karena manusia bukanlah berhadapan dengan orang lain, melainkan fenomena dirinya sendiri.
Pada prolog buku ini, Agustinus Wibowo membawa kita menelusuri peta, bahwa perjalanan adalah cermin. Dengan menelusuri orang-orang yg kita jumpai, menyelami batin kita dan menengok sejarah yang membentuk peradaban kita, kita akan menemukan bahwa apa yang kita anggap identitas penting ternyata cair dan terus berubah.
Buku ini seperti sebuah kapak nabi Ibrahim yang memusnahkan berhala-berhala ilusi yang kita buat sendiri sehingga yang tersisa hanya realitas kita yang hakiki. Saat kita menghancurkan ilusi itu, kita akan memandang manusia lain sebagai teman seperjalanan mencari arti hidup di alam semesta yang terus berevolusi.
Buku yang kaya informasi dan kontemplasi. Banyak hal diceritakan oleh Avgustin secara baik. Intinya adalah bagaimana manusia dengan seluruh latar belakang proses hidupnya mencari kebahagiaan. Hubungan antar manusia dengan dialektikanya telah menciptakan dunia yang berwarna. Dimana tidak semua manusia memiliki kecocokan dan menemukan kebahagiaan dalam mengarunginya.
Pada bagian akhir. seperti para ustad menyampaika. untuk mencapai kebahagiaan manusia harus QONAAH bisa berdamai dengan kenyataan yang ada.
Buku ini menyampaikan situasi geopolitik yang terjadi di dunia dengan baik sehingga memudahkan pembaca untuk memahami mengapa banyak konflik terjadi bukan semata-mata merupakan konflik horisontal. Pada akhirnya yang paling menderita dan terdampak dari kebijakan pemerintah adalah rakyat sipil.
dibandingkan dengan buku-bukunya terdahulu, buku ini berbeda, lebih reflektif. dari judulnya, buku ini dengan jelas memperlihatkan minat penulisnnya yang lebih dalam katimbang melaporkan pergerakannya dari sini ke sana. penulis hendak menarik learning points dari perjalanan-perjalanan yang dilakukannya selama ini. salah satunya adalah mengenai identitas. penulis yang telah lama dikenal karena penerbitan catatan-catatan perjalananya di asia tengah itu, kali ini mengendapkan perjalanannya ke dalam refleksi tentang identitas. baik itu identitas komunitas, suku, bangsa. yang masih sama dari buku-bukunya yang terlebih dulu, buku ini juga dihiasi oleh foto-foto keren penulisnya sendiri. keren karena obyeknya adalah peristiwa dan tokoh asia tengah yang jarang muncul dalam publikasi di tanah air, juga dipotret dengan tingkat estetika tinggi. dari teknik dan gaya penulisannya, agaknya ini ditulis setelah berhenti berjalan, setelah mengendapkan sekian lama. gak kebayang bisa merangkum tema-tema besar ketika masih dalam proses perjalanan. caranya membagi bab dan sub-bab dengan menggunakan metafor yang telah dikenal umum: kotak-kotak pembeda (di dalamnya diulas tentang berbagai cara yang dikenal orang sepanjang sejarah untuk membedakan diri dari kotak/kelompok lain), kemudian bagian keduanya tentang sarana yang dipakai untuk membedakan (bisa dengan warna kulit, mitos warisan leluhur, agama), dan bagian ketiga atau terakhir tentang bagaimana keragaman itu di masa kini diusahakan agar bisa hidup bersama secara harmonis. perbedaan-perbedaan ternyata alamiah, namun melalui perjalanannya yang ekstensif itu penulis lalu mengenali kesamaan-kesamaan manusiawi yang ada di semua orang dan semua bangsa. indonesia juga demikian: beragam dalam banyak hal, tapi bercita-cita untuk hidup bersama.