1945: Begitu kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, revolusi rakyat pecah di Brebes, Tegal, dan Pemalang. Digerakkan oleh seorang tukang cukur yang juga jawara lokal (lenggaong) bernama Kutil, rakyat bergerak melucuti kekuasaan feodal-kolonial dari para birokrat lama dengan akibat yang sungguh berdarah-darah.
1998: Gejolak ketidakpuasan terhadap Orde Baru sudah tak terbendung. Hasan Sukardi, seorang mahasiswa asal Tegal, berada di inti pergolakan ini saat tentara mulai melakukan penculikan- penculikan aktivis demi mengamankan kekuasaan rezim.
Dua kisah perlawanan terhadap kekuasaan yang saling bertaut, dalam sebuah sejarah yang enggan berpihak kepada orang kecil.
”Dengan latar tiga daerah sebagai akar kisah pasca-kemerdekaan republik ini, Yono Daryono tandem dengan Ubaidillah “Turah” menganggit novel Kutil mengalir hingga ke masa kejatuhan Soeharto 1998 […] novel ini melengkapi dokumentasi penting era reformasi […] Novel kiye luget, gawe runtag, semrowong!” —Kurnia Effendi, Sastrawan
Dari opening scene aja udah dikasih adegan DORR and die with a smile, hm.
Novel ini bukan novel yang ringan, jelas ... karena mana ada novel yang ringan jika itu historical fiction. Bangsa ini tidak memiliki kisah yang happy dan tenang apalagi untuk mengisahkan masa lalu.
Berkisah tentang dua orang laki-laki yang hidup di zaman yang berbeda. Zaman revolusi di mana negara baru saja merdeka, tapi [mantan] rupanya ingin kembali menjajah dan masa perjuangan reformasi. Dua tokoh ini menjadi sentral dengan kehidupan yang penuh dera.
Yang aku suka dari novel ini adalah mengisahkan tempat yang mungkin tidak begitu familiar dalam perjuangan. Biasanya yang sering muncul dari kota-kota besar seperti di Jakarta, Bandung, atau Surabaya. Namun, ini berlatar di Tegal, Pemalang, dan sekitarnya. Dan juga, biasanya lagi, tokohnya adalah orang penting atau setidaknya protagonis yang berjiwa ksatria. Nah, ini memang berjiwa ksatria tapi background dia adalah Lenggaong alias bandit alias preman. Lho kok bisa bandit memimpin revolusi? Inilah perjuangan kaum strata bawah, kaum marjinal, yang meski dikuliti oleh bangsa, tetap memegang teguh prinsip cinta tanah air.
After taste baca novel ini hampa, tapi tetap novel dengan sajian menarik, terutama jika ingin mengetahui pergerakan kaum bawah pada masa-masa revolusi dan reformasi.
Pada dasarnya saya sangat tinggi berekspektasi pada novel ini. Pertama sebab ini memotret “bagian kecil” yang menjadi bagian besar lanskap sejarah revolusi Indonesia. Dia terjadi di kawasan Tegal-Pemalang-Brebes yang mungkin tidak terpikir akan muncul peristiwa mengerikan ini. Atau sejatinya ya pasti di setiap pelosok Indonesia pada masa itu akan mengalami peristiwa kacau demikian. Kedua sebab ya itu dia mengambil latar masa revolusi, ketika beberapa tahun sebelum dan sesudah perang kemerdekaan.
Dua tokoh dalam novel ini, Kutil dan Kardi dua genereasi berbeda, Kutil menggerakkan revolusi ketika masa agresi. Ketika kemerdekaan Indonesia masih begitu hijau, Jepang masih ada sisa-sisa, dan Belanda juga mendadak datang tidak ingin melepaskan jajahan. Sedangkan di daerah-daerah rakyat kelaparan, miskin, dan tidak punya pakaian. Sebaliknya, lurah dan para pejabat memiliki banyak simpanan harta, dan ini memang habit era penjajahan—menarik pajak lebih besar, dan mencekik rakyat.
Apa yang terjadi ketika rakyat marah dan lapar..? Yaaa sudah seperti yang terduga. Menjarah harta dan kehidupan. Maka revolusi tidak terhindarkan. Rakyat dibantu para lenggaong (preman) rakyat menjarah, membunuh, dan membantai siapa saja—terutama pejabat. BERDARAH MEMANG.
Berpuluh-puluh tahun, salah satu teman Kutil, Makdum, menasihati cucunya Kardi agar berhati-hati ketika demo 98. Dua revolusi ini sama-sama menelan korban jiwa.
Tetapi ketidaknyamanan dalam novel ini bukan berdarah dan adegan kejinya, tapi banyak karakter yang seolah boneka pengaran. Dia tidak diberi kesempatan untuk “hidup” dalam novel. Berasa adegan per adegan yang cepat tanpa ada unsur kehidupan pada normalnya.
Yaaa ceritanya emang soal revolusi dan perlawanan. Bacaan mudik yang ternyata nggak kebaca.
Menariknya buku ini karena tiga alasan. Pertama, dia menceritakan Revolusi 1945 di daerah yang biasanya tidak menjadi perhatian dalam sejarah, Tegal (Jawa Tengah) dan sekitarnya. Kedua, penulisnya adalah dua orang dengan latar serupa, sma-sama suka menulis, meski terpaut usia 15 tahun. Ketiga, ceritanya menggabungkan dua sejarah penting di Indonesia, Revolusi 1945 dan Reformasi 1998.
Meski terpaut 53 tahun, kedua peristiwa itu saling berkait dalam novel ini. Bagaimana Hasan Sukardi, seorang aktivis 1998 yang kuliah di Jakarta, terhubung dengan Kutil, tokoh utama dalam novel setebal 331 halaman ini.
Alur cerita novel ini maju mundur. Dari 1998 ke 1945. Dari Hasan ke Sukardi. Dari represi Orde Baru ke pergolakan rakyat sejak 1945 hingga gonjang-ganjing politik 1965. Alur yang selalu tidak mudah untuk diikuti. Apalagi dengan tema seberat itu.
Mungkin karena terlalu berat temanya, maka jadi kurang terasa kurang mendalam emosi-emosi pada tokohnya. Bisa jadi karena ada tuntutan untuk menceritakan peristiwa sejarah juga, jadi sisi manusianya kurang tergali.
Kisah fiksi sejarah berlatar tiga daerah (Brebes, Tegal, Pemalang) dengan tokoh sentral seorang lenggaong yang dari kacamata masyarakat umum adalah preman, pembuat onar sekaligus pembunuh, tapi dalam riwayat kisahnya juga mendapat tempat di hati pejuang revolusi. Meski memiliki latar dua revolusi (atau reformasi?) yang berbeda, ceritanya membentuk kesatuan yang bersinergi.
Jika revolusi selalu digagas oleh tokoh besar yang berkedudukan dan berpendidikan tinggi, pada akhirnya setelah membaca Kutil karya Yono Daryono dan Ubaidillah perasaan itu saya rasa harus segera dikubur dalam. Karena Kutil yang seorang lenggaong (preman kampung) yang berpendidikan rendah dan bukan siapa-siapa, mampu menggerakkan sebegitu banyak masyarakat di wilayah Tegal untuk mengusahakan kemerdekaannya dari oknum-oknum tidak bertanggung jawab dan hanya ingin mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri.
Bersama rekan sesama lenggaong, Kutil menginisiasi sebuah kemerdekaan yang adil dan merata. Meskipun dalam praktiknya banyak kekerasan yang tidak bisa terhindarkan, namun dalam sebuah revolusi agaknya hal-hal semacam itu tidak bisa dihindari.