Dalam kompetisi media yang sangat ketat seperti ini, aku agak beruntung karena mediaku masih mengedepankan etika. Tidak boleh meliput gosip. Artis cerai, pejabat selingkuh, siapa pacar politikus tertentu, hal semacam itu terlarang di media kami.
Kalau kamu suka novel yang ceritanya bergulir dengan mulus tanpa terlalu ada plot twist dan kamu menyukai karakter-karakter yang idealis, mungkin kamu akan suka membaca novel ini. Hammam, tokoh utama di sini lumayan beruntung dalam hidup karena atasannya sempurna, yang hendak ia liput juga sempurna. Pendek kata, dia dikelilingi karakter-karakter yang sempurna. Yang malah membuatku merasa kurang relate. Bagaimana mungkin orang seidealis itu tetap bisa bertahan hidup secara ekonomi bahkan ngga perlu memikirkan target dan pendapatan karena “ilmu pengetahuan” saja cukup. Saya tidak suka Mas Ikhsan. Buat saya, dia membosankan, tidak menarik, dan cuma bisa baca buku sambil ngopi dan ngerokok aja. Dia ngga melakukan apa-apa tapi dikagumi, dipuja, dan dianggap dukun. Kita ngga perlu banyak-banyak Mas Ikhsan di negeri ini. Kita barangkali lebih butuh Mas Arkan yang tetap di bidangnya tanpa perlu terjun ke dunia politik.
Banyak teladan dalam novel ini: Mas Ikhsan yang mencintai ilmu, gaya kepemimpinan Mas Arkan yang patut diacungi jempol, Hamman sebagai sosok pembelajar, termasuk Mbak Suciwati yang ulet dalam bekerja, dan nyaris semua karakternya berbudi baik.
Tangan Kotor seperti memperlihatkan keganjilan. Ketika kebaikan di mana-mana, maka keburukan akan nampak mencolok. Buku ini sedikit menyindir taktik licik penguasa. Meski tak banyak diceritakan sosoknya, kurasa, ini yang paling diingat pembaca. Apa karena kita mengalaminya?
Sebagai novel, buku ini terselip banyak petuah. Ini salah satu keunikan novel—yang kutunggu-tunggu di setiap halamannya.
Novel dengan sudut pandang jurnalis dan kelindannya dengan politik. Banyak nyempil ilmu jurnalis dan kepemimpinan di sini. Ceritanya sederhana tapi sangat meyakinkan. Semua karakternya terbangun sempurna. Porsinya pas. Dari akar rumput hingga pucuknya. Dari buku ini kita diyakinkan lagi bahwa mereka yang sedang berkuasa sungguh mau dan mampu melakukan apa saja untuk mewujudkan keinginannya. Tapi ini fiksi lho. 🫢
Bagi yang terlanjur membaca seluruh bibliografi Puthut EA (terutama sebelum era Mojok), saya cukup yakin di sana kita sudah paham semestanya.
Sebagaimana Belitong bagi Andrea Hirata, semesta Puthut EA adalah katarsis kubangan kecewa. Semesta tak melulu soal lokasi, tapi juga emosi dan abstraksi.
Bedanya, “Tangan Kotor di Balik Layar” ini adalah pelampiasan yang telanjang atas rezim kuasa, tak seperti novel atau antologi esai sebelumnya yang terbiasa melampiaskan kecewa yang fatal dalam selubung pasrah si tokoh utama.
Di “Tangan Kotor …” ini si anti-hero lebih pada kalut, alih-alih pasrah. Tentang kenapa negerinya bisa ada di titik ini, saat kuasa jadi seakan jadi “sawah” bagi keluarga si penguasa.
Tapi betul kata Seno Gumira Ajidarma, di saat kritik bisa diberangus oleh perundangan (yang disusun dan disahkan oleh yang berkuasa), di sana sastra harus bicara.
Dan terkasihanilah mereka yang apabila pada sastra pun masih semenjana, melaporkan pun menuntut si penulis masuk penjara.
Kelakuan yang jahilnya menuju ke kutukan penguasa yang dalam masanya membakar buku, membubarkan diskusi, dan menutup keran tukar pikiran.
“Apa yang ada di balik padepokan misterius itu? Rahasia apa yang sengaja dipendam atau justru hal-hal yang tak bisa terbaca oleh orang awam?
Membaca buku Tangan Kotor di Balik Layar memberikan sensasi ngeri, penasaran sekaligus bingung untuk menyimpulkan akhirnya. Saat membaca 50 halaman awal saja sudah dibuat bengong dengan pengantar yang memikat dan memancing rasa ingin tahu lebih dalam tentang kunci penyelidikan yang dilakukan Hamam (jurnalis) dalam buku ini. Gaya penulisan yang rapi dan rinci dalam menjelaskan detail suasana padepokan serta tokoh-penting yang terlibat di dalamnya semakin memantik rasa penasaranku sebagai pembaca. Cara pendekatan Hamam yang halus serta melibatkan orang-orang sekitar mengenai padepokan tersebut juga menarik. Bagaimana bisa orang sekitar yang terkenal dekat dan tahu banyak mengenai Mbah Guru malah justru tidak tahu wajah atau rupa orang tersebut? Mereka mengakui kemampuan seseorang tanpa memperdulikan siapa sebenarnya orang tersebut. Bukankah hal ini menjadi fenomena yang unik untuk ditelusuri? Dalam perjalanannya, Hamam ternyata berhasil masuk lebih dalam ke padepokan tersebut sayangnya semakin banyak tahu dia seolah terjebak. Dirinya bukan lagi penasaran untuk bahan liputan melainkan lebih merujuk pada kebutuhan spiritualisme yang selama ini tak didapatkannya. Dia juga bertanya-tanya mengenai konsep tujuan hidup dan apa yang dikejar selama hidup yang tak mendapatkan jawaban selama hidupnya. Karakter tokoh yang ada di dalam buku ini sangat kuat dan saling mempengaruhi. Aku suka bagaimana penulis menyisipkan kritik dan nasihat bagus tidak hanya untuk Hamam, orang yang datang mencari nasihat bahkan untuk kita sebagai pembaca. Buku ini menyajikan banyak kejutan di setiap sub bab bahasan seperti adegan penculikan Hamam dan siapa orang di baliknya termasuk kita yang dibuat deg-degan saat Hamam ikut andil dalam konsultasi pejabat besar dengan Mbah Guru. Satu hal yang menarik dari padepokan tersebut adalah mindset orang-orang di dalamnya. Mereka fokus pada tujuan hidup yang jelas dan tidak neko-neko. Fokusnya adalah belajar dan terus belajar sehingga setelah huru-hara yang terjadi (meskipun menyisakan banyak pertanyaan dan kejanggalan) mereka justru tenang padepokan itu kembali sepi.
Point Unggul dan Menarik: • Tema dan konsep unik dari penulis termasuk cara pengembangan ceritanya. Jadi temanya sudah bagus ditambah eksekusi yang oke menambah daya tarik dari bukunya. • Pengembangan tokoh dan karakter di dalamnya juga oke banget jadi meskipun banyak namun semuanya memiliki proporsi yang seimbang. • Aku suka bagaimana penulis menggambarkan latar suasana dan tempat yang deskriptif sehingga mudah dibayangkan. • Ada banyak nasihat hidup dan juga fokus tujuan yang menarik untuk disimak. • Ada semacam refleksi mengenai spiritualitas terhadap pencarian tujuan hidup dan kebingungan yang mungkin selama ini masih menghantui.
Pelajaran yang Didapatkan: Buku ini mengajarkan kita untuk melihat semua hal langsung dari beberapa sisi tanpa memihak salah satu pihak hanya dari anggapan orang lain. Sesuatu yang aneh dan buruk dari luar atau cerita orang belum tentu sepenuhnya seperti itu. Kita perlu kenal mendalam dulu dan masuk untuk mendeskripsikan seseorang apalagi perihal baik buruknya seseorang juga sangat subjektif. Bisa jadi menurut orang baik namun menurut kita tidak.
Untuk Siapa Buku Ini Dibaca? Buku ini cocok dibaca untuk semua orang yang suka dengan penyelidikan kelompok tertentu yang dianggap aneh dan mengancam. Apalagi di dalamnya juga banyak kejadian maupun nasihat yang akhirnya membuka mata kita untuk tidak langsung mengecam apapun hanya dari pandangan buruk orang lain.
Got this from Pasar Literasi Kalibata and bought it for around 40k. Surprisingly, this one is good. Simple, fresh, and quite relatable to the political situations behind the scenes that the public rarely knows about. Not much to say since the plot isn’t complex, and it’s a very easy-to-carry type of book.
Oh! One thing, I love how this book highlights leadership, integrity, and wisdom. Although it’s only about 180 pages or so, it’s packed with meaningful quotations about life as well.
Membaca novel ini seperti melihat Indonesia periode ini sedang becermin. Seperti sebuah refleksi kepercayaan dan nepotisme yang terang diceritakan dan membuat kisahnya begitu relevan dan menggelikan hati. Diceritakan dengan begitu reflektif, realis, dan menonjolkan kekuatan cerita dibandingkan metafora.
selesai dengan waktu kurang dari satu hari, wkwkwkw mantap. buku yang sangat menarik! kuat akan sindiran politik, khususnya era pilpres kemarin. ditambah, buku ini juga mewakili sudut pandang jurnalis, semakin menambah kesan yang ckup oke buatku. kurangnya adalah—baca aja deh nnti jg nemu kurangnya dmna hehe.
genuinely doesn't know where they wanna go at times. feels very much like a mojok propaganda. the ending really intrigues tho, Indonesians really chose stability instead of progress.