Pertemuan dan perkenalan, yang selanjutnya diikuti dengan interaksi serta komunikasi yang lebih intens juga mendalam, antara Zainuddin dahn Hayati menjadi kondisi menumbuh-kembangkan potensi cinta di antara keduanya. Lika-liku kehidupan yang dialami para tokoh akan mengingatkan pada keadaan keterombang-ambingan kapal di lautan. Perjalanan asmara Zainuddin dan Hayati menemukan halangan dan rintangan. Namun bagaimana kesudahannya? Apakah perjuangan cinta mereka berhasil berjumpa dengan bahagia?
Haji Abdul Malik Karim Amrullah, known as Hamka (born in Maninjau, West Sumatra February 17, 1908 - July 24, 1981) was a prominent Indonesian author, ulema and politician. His father, syekh Abdul Karim Amrullah, known as Haji Rasul, led and inspired the reform movement in Sumatra. In 1970's, Hamka was the leader of Majelis Ulama Indonesia, the biggest Muslim organizations in Indonesia beside Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah. In the Dutch colonial era, Hamka was the chief editor of Indonesian magazines, such as Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, and Gema Islam.
Ini adalah novel berbahasa Melayu pertama yang aku baca, sebuah novel klasik Indonesia. Dan novel inilah yang menjerumuskan aku ke dunia novel bahasa Melayu - Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka. Waktu itu aku berada di tingkatan 4; novel ini direkomen oleh guru Bahasa Melayu aku, cikgu Ghazali, kalau tak silap. Mungkin sebab muda lagi masa tu, aku tak dapat tangkap roh buku ni lagi. Apabila baca balik pada usia begini - ia meruntun seluruh jiwaku. Ini sebuah kisah Cinta Agung.
Spoilers Ahead!
Novel ini mengisahkan Zainuddin, seorang pemuda yang berasal dari suku Minang, namun dibesarkan di Makassar. Dia seorang anak luar nikah berdarah campuran Minang - Makassar, disebabkan itu dia dipandang rendah dan tak terima sepenuhnya oleh masyarakat Minang yang sangat menjunjung adat perpatih.
Zainuddin kemudian pergi ke Padang Panjang, Sumatera Barat, untuk belajar agama dan adat Minang. Di situ, dia bertemu dengan Hayati, seorang gadis Minang yang sangat jelita dan berasal dari keluarga bangsawan. Pertemuan pertama mereka menumbuhkan benih - benih cinta yang mendalam di hati masing - masing.
Mengetahui akan asal usul kedua - duanya, sudah pasti cinta dorang diuji oleh adat dan status sosial. Keluarga Hayati menentang keras hubungan dorang sebab Zainuddin ni tak memiliki suku yang jelas (pusako) di Minangkabau dan dianggap tidak setaraf. Hayati, yang terikat dengan adat, akhirnya terpaksa memutuskan hubungan dengan Zainuddin dan bernikah dengan Aziz, seorang pemuda kaya dan berpendidikan, yang juga sepupu jauhnya. Pernikahan ini dilakukan demi menjaga martabat dan kehormatan keluarga Hayati.
Keputusan Hayati untuk meninggalkan Zainuddin dan berkahwin dengan Aziz menghancurkan hati Zainuddin. Dengan hati yang remuk, Zainuddin membawa diri ke Batavia (sekarang ni Jakarta) dan kemudian ke Surabaya. Dengan semangat yang membara dan kerja keras, Zainuddin berusaha bangkit dari keterpurukannya. Dia menggunakan kemahirannya dalam bidang penulisan dan menjadi seorang penulis terkenal dan berjaya. Dengan nama samarannya Datuk Maringgih, Zainuddin mencapai puncak kejayaan dan dihormati ramai.
Sementara itu, kehidupan rumah tangga Hayati dengan Aziz tidak seindah yang disangka. Aziz ni seorang suami yang tak bertanggungjawab, suka berfoya - foya, dan selalu mezalimi Hayati dengan kasar. Akhirnya dorang jatuh miskin disebabkan tindak tanduk Aziz. Dalam keadaan terdesak, Hayati dan Aziz datang berjumpa dengan Zainuddin di Surabaya, tanpa mengetahui identiti sebenar Zainuddin. Zainuddin, dengan perasaan yang bercampur aduk antara cinta dan dendam, menerima kehadiran dorang berusaha membantu dorang, namun konflik batinnya tak pernah reda.
Akhirnya, Aziz meninggal dunia akibat bunuh diri setelah mengetahui Hayati masih mencintai Zainuddin. Hayati kini bebas, dan dia berharap dapat kembali kepada Zainuddin. Tapi Zainuddin yang hatinya sudah terlalu parah dengan pengkhianatan masa lalu, menolak Hayati. Dia rasa harga dirinya terlalu tinggi untuk menerima kembali orang yang pernah membuangnya sekarang.
Dalam perjalanan pulang ke Padang Panjang dengan menaiki kapal, Hayati terlibat dalam musibah besar. Kapal Van der Wijck tenggelam di perairan Laut Jawa. Hayati adalah salah seorang mangsa yang terkorban dalam tragedi tu. Berita kematian Hayati menggoncang jiwa Zainuddin. Walaupun telah menolak Hayati, dia sebenarnya masih mencintainya. Kematian Hayati meninggalkan penyesalan yang mendalam pada Zainuddin.
Akhirnya, Zainuddin hidup dalam kesepian dan meninggal dunia beberapa tahun kemudian, membawa bersamanya cinta dan penyesalan yang tak terungkap. Novel ini berakhir dengan kematian kedua - dua watak utama, meninggalkan kesan tragis dan ironis tentang pengorbanan cinta demi adat yang kaku. Cinta 2 pasangan sejoli tenggelam bersama Kapal Van Der Wijck.
Yang menyebabkan buku ini begitu indah adalah Buya menggunakan bahasa yang sangat putis dan kaya dengan metafora untuk menzahirkan emosi yang hendak disampaikan dalam novel ni. Ini adalah pengalaman membaca yang luar biasa menarik dan khusyuk. Bahasa Melayu terasa hidup dan bernyawa di bawah pena Buya. Ia mewah dengan peribahasa - sejenis khazanah seni dalam bahasa yang teramat tinggi nilainya.
Karya Buya ini mengetengahkan banyak tema kemanusiaan dan kehidupan mengikut tafsiran Buya sendiri, antaranya cinta, pengorbanan, kesetiaan, dan keberanian. Selain tu, Buya turut menggambarkan hidup berbudaya masyarakat Minangkabau dengan terperinci, memberi gambaran yang jelas tentang adat resam, hierarki sosial, dan nilai - nilai yang dipegang oleh orang Minangkabau menerusi peristiwa - peristiwa yang terjadi dalam novel ini.
Dari segi character, Zainuddin adalah watak yang kompleks. Otaknya cerdas, bercita - cita tinggi, dan sanggup kerja keras, namun juga memiliki sisi angkuh dan keras kepala. Cintanya pada Hayati begitu mendalam, tapi dia terbeban oleh rasa tanggungjawab terhadap keluarga dan masyarakat. Manakala si Hayati pula, meskipun jelita dan bijaksana, terperangkap oleh tekanan adat. Perbezaan taraf sosial dan etnik menghasilkan jurang yang sukar untuk diatasi. Pertembungan antara tradisi yang diwarisi turun-temurun dengan arus pemodenan yang semakin kuat menjadi konflik utama novel ni. Zainuddin yang terdedah dengan dunia moden bergelut dengan adat resam yang mengongkong Hayati.
Hayati menjadi simbol kepada nasib malang wanita dalam masyarakat Minangkabau masa tu. Kehidupannya ditentukan oleh adat dan maruah keluarga, bukan kehendak sendiri. Meskipun terdapat watak perempuan lain yang cuba melawan arus, namun ia memberi sedikit sinar harapan tentang perubahan yang mungkin berlaku pada masa hadapan.
Walaupun ditulis pada kurun ke-20, tema-tema yang cuba digarap dalam novel ini sebenarnya masih relevant bila kau baca zaman sekarang. Perjuangan melawan ketidaksamaan sosial dan hierarki yang tidak adil masih belum menemui titik noktah. Begitu juga dengan kebebasan seorang wanita khususnya untuk menentukan hala tuju hidup masing-masing.
Secara peribadi, novel ini adalah khazanah kesusasteraan Nusantara yang harus dibaca dan diteliti.
TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK Penulis : HAMKA Penerbit : PT. Bulan Bintang Cetakan : ke-32, Mei 2009 Tebal : 236 Halaman
Pada suatu masa di Desa Batipuh, Minang Kabau terjadi pertengkaran antara Mamak dan kemenakannya. Pertengkaran itu berujung pada kematian Sang Mamak, Datuk Mantari Labih ditangan kemenakannya, Pandekar Sutan. Pandekar Sutan lalu menjalani masa hukuman dan pembuangan di Cilacap dan terakhir dia dibuang ke Bugis. Setelah menjalani masa tahanan Pandekar Sutan menetap dan bekerja di Mengkasar. Karena dia menunjukkan budi pekerti yang baik akhirnya Pandekar Sutan diambil mantu oleh seorang seorang Mengkasar keturunan melayu. Ia dinikahkan dengan puteri buangsunya bernama Habibah.
Ditahun keempat perkawinan Pandekar Sutan dan Habibah hadirlah Zainuddin. Tetapi malang diusia sembilan bulan Zainuddin harus kehilangan kasih sayang Ibunya dan dia kemudian diasuh oleh Ayahnya dan Mak Base, pembantu keluarga Pandekar Sutan yang berasal dari Bulukumba. Tak lama kemudian ketika Zainuddin masih balita Ayahnya juga berpulang ke hadirat Illahi. Mak Base-lah yang kemudian mengasuh Zainuddin hingga dewasa.
Mak Base mengasuh dan mendidik Zainuddin dengan sangat baik hingga asuhannya itu tidak lupa akar keluarganya. Darah Minang yang mengalir dalam dirinya membuat Zainuddin selalu terkenang dan berhasrat untuk bisa datang ke kampung tempat ayahnya berasal. Di Mengkasar sendiri Zainuddin tidak sepenuhnya diterima dalam lingkungan karena orang-orang selalu memandang dirinya sebagi anak Minang. Hasrat Zainuddin untuk bisa dating ke Minang Kabau sudah tidak terbendung. Dan suatu hari berangkatlah Zainuddin berlayar menuju kampung halamannya dengan diiringi derail air mata dan alunan do’a dari Mak Base.
Setelah menempuh perjalanan laut dan darat akhirnya Zainuddin tiba di dusun Batipuh. Awalnya Zainuddin diterima dengan sumringah oleh sanak saudaranya tetapi lama-kelamaan ia pun menginsyafi bahwa adat Minangkabau sangatlah berbeda. Orang-orang memandang dia sebagai orang jauh, orang Bugis, orang Mengkasar atau dalam bahasa Minangkabau disebut “ Anak Pisang “. Di dusun Batipuh ini Zainuddin bertemu dengan belahan jiwanya bernama Hayati. Tetapi kisah cinta Zainuddin dan Hayati membentur tembok peraturan-peraturan adat pusaka yang kokoh dan kuat dalam suatu negeri yang bersuku, berlembaga, berkaum kerabat dan berninik mamak.
Zainuddin terpaksa menyingkir ke Padang Panjang. Selain menunggu pujaan hatinya, di Padang Panjang Zainuddin memperdalam ilmu agama dan pengetahuannya karena di kota itu telah berdiri sekolah-sekolah bagus. Tetapi penantian Zainuddin tidak berujung indah karena Hayati akhirnya memilih untuk diperistri oleh Aziz, kakak sahabatnya yang bernama Khadijah. Luluh lantaklah hati si Yatim-Piatu yang terbuang itu, terlebih lagi disaat yang sama Zainuddin mendapat kabar kalau Mak Base, pengasuhnya juga telah berpulang.
Singkat cerita penderitaan yang datang bertubi-tubi itu membuat Zainuddin menjadi pribadi lain yang lebih tangguh. Berbekal uang warisan dari ayahnya Zainuddin mempertaruhkan peruntungan nasibnya di tanah Jawa. Kota pertama yang disinggahinya adalah Jakarta. Di Jakarta dia bekerja sebagai penulis lepas yang membuat hikayat atau cerita bersambung. Tulisan Zainuddin banyak peminatnya karena jiwa pengarangnya membuat dia selalu mengasilkan hikayat atau cerita yang isinya sangat menyentuh kalbu pembacanya. Zainuddin di kenal oleh pembacanya dengan nama pena “ Z ”. Keberhasilan Zainuddin menaklukkan Jakarta tidak terlepas dari jasa Muluk seorang “ perawa ” yang memilih insyaf dan selalu memanggil Zainuddin dengan sebutan Guru.
Tak berapa lama tinggal di Jakarta, zainuddin memutuskan untuk pindah ke Surabaya dengan alasan supaya dia bisa lebih dekat dengan kampung halamannya di Mengkasar. Berbekal pengalaman di Jakarta tak sulit bagi Zainuddin untuk memperoleh kejayaan di Surabaya. Di Surabaya Zainuddin selain dikenal dengan nama pena “ Z “ ia juga di kenal dengan nama “ Tuan Shabir “. Zainuddin juga aktif di perkumpulan “ Anak Sumatera “ dan menjadi motor penggerak dari kelompok Tonil “ Andalas “
Di Surabaya ini lah cinta Zainuddin dan Hayati di uji kembali. Sayangnya kisah cinta kedua anak manusia yang saling mengasihi ini tidak membuahkan kebahagiaan di dunia. Jiwa keduanya harus karam seiring dengan tenggelamnya Kapal Van Der Wick.
Kisah cinta yang mendayu dan mengharu-biru ini dituturkan oleh HAMKA dengan bahasa yang “ rancak “ , indah khas melayu. Jangan berharap menemukan kata-kata berbau makian meski dalam settingan ceritanya diliputi amarah atau kekecewaan. Walaupun masih menggunakan gaya bahasa “ tempoe doeloe “ novel ini secara keseluruhan tidaklah menjemukan. Diluar kisah romansa banyak ilmu dan pengetahuan yang bisa kita dapat dari novel ini, pertama mengenai adat dan budaya Minangkabau yang bersifat matrilinear ( menurut garis keturunan ibu ). Dan yang lain mengenai metafore karena seperti kita ketahui bahwa penulis berasal dari Minangkabau tentu saja gaya melayunya yang sangat kental menjadi jiwa dari novel ini.
Oh ya…do halaman 158 ada kutipan bahasa yang aku suka.
“ Di belakang kita berdiri satu tugu yang bernama nasib, disana telah tertulis rol yang akan kita jalani. Meskipun bagaimana kita mengelak dari ketentuan yang tersebut dalam nasib itu, tiadalah dapat, tetapi harus patuh kepada perintahnya”.
Tentu saja kalimat ini tidak langsung dimasukkan mentah-mentah ke dalam hati dan pikiran karena selalu tawakal, ikhtiar, ikhlas dan berdoa wajib hukumnya terutama bagi orang-orang beriman.
berapa kalipun baca buku ini..tetep gapernah bosan. Mungkin lebih tragis dari hanya sekedar titanic. Kisah cinta Zainuddin dan Hayati dalam kungkungan adat masyarakat minangkabau tempo dulu.Kisah tentang sebuah harapan pada seorang gadis yang membuatnya sakit, menderita dan kemudian bangkit lagi..Ada sedikit dendam di sana. Tapi sungguh Zainuddin tetap memilih Hayati sebagai cinta sejatinya, sampai gadis itu menemui ajalnya saat dia akan kembali ke kampung halamannya dengan Kapal Van der Wijck. Sebuah karya sastra yang berujung penyesalan, penderitaan dan cinta yang di bawa mati untuk kisah sejati dua insan...
Sistem Matrilineal—garis keturunan suku diambil dari garis ibu—membuat Zainuddin seolah tak dapat tempat di kampung halamannya sendiri, Batipuh, Padang Panjang. Sungguh, hanya karena ibunya seorang Bugis dengan ayah berdarah Minang yang jauh merantau. Ia layaknya orang asing dan tak diakui sebagai seorang Minang. Hati Zainuddin tak lantas langsung menciut walau tak diakui sebagai keluarga. Selama di Batipuh, ia tinggal bersama bibinya yang mengizinkannya untuk berada di kampung.
Tak lama berselang, Zainuddin jatuh hati dengan Hayati, seorang perempuan manis dari keluarga terpandang. Kasih pun terjalin. Namun, Zainuddin tak dapat bertahan lama untuk tinggal di rumahnya sendiri. Karena semakin banyak orang-orang kampung yang banyak bertanya tentang keberadaannya di Batipuh. Ia tahu diri sehingga memutuskan untuk mencari peruntungan ke Padang Panjang. Sebelum berangkat, Hayati berjanji setia menunggu Zainuddin untuk kembali pulang ke Batipuh.
Zainuddin dan Hayati masih bertahan dengan cinta kasih mereka. Tak peduli walau hanya dapat mendekap surat cinta saja. Tak berapa lama, sepucuk surat datang dari Zainuddin untuk meminang Hayati. Namun, bersamaan dengan itu, Aziz, kakak dari teman Hayati, juga datang dengan maksud yang sama. Atas keputusan keluarga, akhirnya pinangan Zainuddin ditolak.
Zainuddin patah arang. Hatinya hancur tak terkira. Sakit hati sungguh menyesak dadanya. Berbulan-bulan ia terbaring lemah tak berdaya, mengigau memanggil nama Hayati. Dokter tak dapat berkata, Zainuddin harus dipertemukan dengan kekasih hatinya, Hayati. Bang Muluk, anak ibu kost tempat Zainuddin tinggal, mengirimi Hayati surat agar datang ke Padang Panjang melihat kondisi Zainuddin.
Berderai air mata Zainuddin melihat Hayati datang bersama Aziz. Tangannya sudah penuh dengan hiasan inai—pacar kuku—dan melingkar pula di jari manisnya sebuah cincin. Pada akhirnya ia harus dihadapkan pada kenyataan bahwa Hayati sudah menjadi milik orang lain.
Bang Muluk menjadi sahabat karib Zainuddin, membantunya untuk melupakan masa lalunya yang pahit. Entah itu identitas diri yang tak diakui keluarga, atau juga kasih tak sampainya. Zainuddin sadar bahwa ia harus bangkit dari keterpurukannya. Bersama Bang Muluk, ia merantau ke Surabaya. Menjadi pengarang yang sukses bukan kepalang. Tapi ternyata dunia teramat sempit. Aziz pindah tugas ke Surabaya, Hayati pun dibawa bersamanya. Mereka bertemu kembali dengan Zainuddin di sebuah perkumpulan orang Sumatera di sana.
Sungguh sayang, rumah tangga Aziz dan Hayati semakin tak harmonis. Aziz mulai sering menghabiskan waktu dan uang di meja judi. Hayati makin nelangsa. Aziz kehilangan pekerjaan hingga mereka sempat menumpang tinggal dengan Zainuddin. Berlarut-larut dengan kondisi yang tak juga membaik, Aziz menalak Hayati. Ia pun mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri di Banyuwangi. Sebelumnya, karena merasa dahulu telah merebut Hayati dari Zainuddin maka Aziz “mengembalikan” Hayati ke pangkuan Zainuddin.
Namun, sakit itu masih membekas. Hati Zainuddin telah beku. Ia tak mau mengingat kembali cintanya yang dalam pada Hayati. Ia tak peduli walau saat itu ia masih membujang. Ia menolak Hayati, menyuruhnya agar pulang ke Batipuh. Dengan perasaan hampa, Hayati pun berangkat dengan Kapal Van der Wijk yang bertolak dari Makassar-Tanjung Perak-Semarang-Tanjung Priok-Palembang, lalu menuju Padang. Tetapi, malang tak dapat ditolak, kapal yang ditumpangi Hayati karam beberapa jam setelah dari Perak. Hayati dan penumpang lain dilarikan ke rumah sakit daerah Tuban.
Zainuddin kalap. Ia masih sempat bertemu Hayati sebelum akhirnya ia meninggal. Rasa sesal menyelimuti relung hati Zainuddin. Hatinya patah lagi. Untuk kedua kalinya ia kehilangan orang yang dicintainya. Dan kali ini untuk selamanya. Setahun kemudian, ia pun meninggalkan semua kenangannya karena jatuh sakit.
Sewaktu SMA saya membaca novel ini dan hingga saat ini pun, saya merasa novel ini sungguh luar biasa. Dari segi cerita, betapa dahulu, seorang anak lelaki yang ingin mengetahui jati dirinya ditolak mentah-mentah oleh keluarga ayahnya sendiri karena dianggap tak punya identitas sebagai orang Minang. Hanya karena ia tak punya suku—sistem matrilineal—di kampung. Sejak kecil Zainuddin besar di Makassar, ibunya seorang Bugis dan ayahnya adalah Minang. Maka otomatis jika ditelaah dari adat Minang, tentu saja ia dianggap seperti tak punya keluarga di kampung Batipuh, Padang Panjang. Lamarannya pada gadis Minang bernama Hayati pun ditolak karena keluarga Hayati lebih memilih Aziz yang jelas silsilah keluarga dan masa depannya.
Konflik yang bertubi-tubi membuat Zainuddin berusaha bangkit. Mulai dari sikap keluarga yang tidak memberinya tempat, kisah cintanya yang berliku, pencapaian sukses yang tidak sebentar, hingga kembali dihadapkan pada kerumitan untuk memilih : menerima Hayati kembali atau tetap mempertahankan kerasnya hati yang sudah dilukai teramat dalam. Namun semua itu berujung pada penyesalan. Tapi, inilah kisah roman klasik yang begitu memukau.
Lalu, dari segi bahasa penulisan, novel ini tak begitu sulit untuk dimengerti. Karena pada beberapa novel zaman dulu terdapat bahasa sastra yang sering tak begitu dipahami oleh pembaca masa kini. Tapi saya rasa untuk novel ini tidak. Bahasanya begitu menyentuh, Hamka dapat membuat pembaca masuk ke dalam alur cerita. Ikut merasakan kepedihan hati Zainuddin, dan segala bentuk konflik yang terjadi pada tokoh cerita novel ini.
Akhirnya, mencoba untuk tidak berlebihan dalam menilai, novel yang telah dicetak ulang hingga puluhan kali ini membuat saya terharu dengan seluruh aspeknya; cerita, bahasa, dan konflik cinta yang mendalam. Sungguh, begitulah adanya.
Tebakan awal saya, Hayati tidak jadi dengan Zai, hal yang membuat saya meletakkan buku yang sedang saya baca adalah pada saat buku tersebut sudah kelihatan dengan jelas bagaimana akhir ceritanya, sebelum halaman terakhir tercapai.
Tapi dugaan saya salah, karena setelah menyelesaikan sampai pada halaman terakhir, semua persangkaan saya tentang akhir ceritanya, ternyata jauh sangat.
Buku yang menarik, ajaran moral ditanamkan dalam alur cerita yang menarik, dibalut dengan kekeyaan kata minang yang bernuansa Melayu, dalam genre sastra romantik yang berkelas.
Buku ni aku baca kemudian tutup dan letak atas meja sehingga berakhir lama di atas meja. Maaf kepada semua yang sangat menyukai naskah ini~
Entahlah, tiada satu watak pun yang aku sangat suka. Sama ada Zainuddin atau Hayati. Tapi watak menyampahkan terlalu banyak. Entahlah, mungkin aku kena ulang-baca semula naskah ini. Owhh ya, adaptasi movie-nya aku sangat tak suka! *gelak*
A very memorable and captivating read. A great title but the thing only happened at the end. Made me wonder the whole time I was reading this, what does the author means by Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck and I didn't know it was literally talking about a sinking ship.
I like the topics mentioned in this story - religion, culture, the difference in social status. This story sets around 1930, so readers got the idea about the state of the country at that time. A great writing. If I take aside the romance, focus on the situation, the mindset of the community - Minangkabau people at that time- I find this a great literature.
The characters are not likeable, in fact the main character, Zainuddin seems pretty depressing almost the whole story.
I wish more words are put on the glossary. I don't like the way they made the glossary. Make the words italic or something to make it easier for the reader to know if the words are on the glossary.
I can finish an 800-page book in a day but I took 3 days to finish this. I picked this up because I used to have a friend that worshiped this book, most probably because the ship sunk on her birthday and it was the only book (that was famous) she read at that particular time.
It was a bumpy ride for me. Even had nightmares because of it.
I liked the language. It's one of the most delicate things I've ever encountered. Geography on point. The background was an intricate tapestry of custom, pride and family ties but I can't find anything to like with the protagonists, namely Zainudin and Hayati.
I actually had high hopes for Hayati when the author described she would (probably) bring changes because her name is different than the rest. She didn't. Just another pretty face.
I cringed at most of the letters. I find Zainudin's letters very difficult to digest. How he begged and then angry because there wasn't any reply, how friendship was somehow equivalent to love, how he kept going on and on about how unfortunate he was from the beginning until the end. It was quite tiring for me. Pity is not Love. That was my limit.
I understand why it's one of the most famous classical literature of Indonesia. Hamka brought forth groundbreaking issues and even for the time being not all of it has been resolved. It's a bold move with simple Romeo and Juliet idea. It made people think and try to avoid the same outcome as fated in the book. It's a brilliant move, actually. It should not end any other way.
And yet I find it lacked hope (for the characters, but it revolutionized the readers)
This book reminded me of Les Miserables though I loved Hugo's book, I can't say the same for Hamka's.
Kisah cinta ketaksampaian, cinta antara dua darjat, romansa antara Zainuddin dan Hayati. Itu adalah lapis pertamanya novel, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk karya pak Hamka.
Namun, jika kisah cinta Shakespeare ‘Romeo & Juliet’ dikatakan sebuah masterpiece yang tidak wajar dipandang hanya sebagai hikayat cinta semata-mata. Maka kisah cinta pak Hamka ini juga duduknya di tempat yang sama jika tidak lebih tinggi.
Dalam cinta ‘Romeo & Juliet’, Shakespeare mendokumenkan pergeseran sosial politik antara dua kelas kasta masyarakat. Dalam cinta ‘Zainuddin & Hayati’, pak Hamka mendokumenkan kerosakan sistem feudalisme, dan kehidupan adat bersuku di alam Melayu. Sungguh novel ini sarat dengan kritik sosial.
Zainuddin seorang pemuda yang memiliki budi pekerti indah. Bertepatan dengan namanya yang bermaksud ‘Perhiasan Agama’. Jika mahu dianalogikan karakter Zainuddin boleh diibaratkan sebagai pakaian yang indah. Bagi pemakainya, cantik dan menarik dipandang bagi yang melihat. Tetapi jika dibuat berperang pasti senang terluka berbanding baju besi. Dan Zainuddin banyak sekali terluka dalam novel ini.
Zainuddin dipandang sebagai orang luar oleh masyarakat di tempat kelahirannya di Mengkasar kerana bapanya Pendekar Sutan adalah orang Padang dan bukannya anak tempatan. Walaupun ibunya adalah anak kepada seorang tokoh yang terpuji di Mengkasar. Tetapi adat masyarakat itu melihat bako adalah dari bapa.
Bila meningkat dewasa Zainuddin berhijrah ke Padang tempat kelahiran bapanya. Namun di situ dia dia menerima layanan yang sama seperti di Mengkasar. Adat Minangkabau memandang bako adalah dari ibu. Sub-etniksiti di alam Melayu.
Walaupun Islam telah lama bertapak di Nusantara namun adat dan kepercayaan lama yang bertentangan dengan Islam masih berakar dan menguasai pemikiran masyarakat ketika itu. Sedangkan jelas Islam membawa konsep Ayat ke 13 surah alhujurat dan anjuran tiadalah bezanya setiap manusia kecuali ketaqwaan yang dikendongkan oleh junjungan besar kita Nabi Muhammad saw.
Jika penulisan pak Hamka membawa dalil-dalil naqli seperti yang di atas pastilah pantas berakhir segala perbincangan. Namun pak Hamka mengusulkan kritikannya penuh rasional, logik, terkandung falsafah dan memberi ruang kepada pembacanya untuk menimbang apa yang disampaikan.
Secara jujurnya, terasa ‘panas tengkuk’ juga membaca surat-surat Zainuddin dan Hayati ini (terasa nak skip pun ada), apatah lagi dengan karakter Zainuddin yang aku rasakan sangat lemah dan naif. Tapi suasana inilah dan watak yang tak sempurna inilah yang sebenarnya menghidupkan watak dan cerita TKVDW menjadi real.
Watak Zainuddin tidak statik, HAMKA memperlihatkan fasa-fasa bagaimana karakter Zainuddin meniti kedewasaan fikiran dari seorang yang berilmu tetapi lemah kerana asyik tenggelamnya dalam permainan jiwa iaitu cinta. Namun setelah itu Zainuddin bangun menjadi orang besar, penulis dan ahli seni yang terkenal dengan memakai pseudonim Leter Z dan Shobir.
Cantik sekali mesej cara penyampaian pak HAMKA (menurut kaca mata saya yang sangat sensitif dengan diksi), Zainuddin memakai nama Shobir yang bermaksud sabar ketika berhijrah ke Surabaya. Innallaha maas sobirin- sesungguhnya Allah bersama orang yang sabar, dan siapa bersama dengan tuhannya pastilah kejayaan juga mengiringi.
Kedua diksi ‘Muluk’. Setelah mengetahui Hayati telah bernikah/mengkhianati cintanya sedang pilihan di tangannya, Zainuddin bagai bangkai bernyawa dan hampir membunuh diri. Namun Muluk seorang parewa yang bersungguh-sungguh menyedarkannya. Yang akhirnya Zainuddin dan Muluk bersama-sama berhijrah ke Tanah Jawa dari kota Padang, dari lembah dukacita ke lembah cita-cita.
Zainuddin tidak pernah lupa cinta pertamanya, walaupun dia dikhianati kekasih sendiri. Sehinggakan cinta terkhianati itulah yang menjadi toniknya menghasilkan karya-karya besar bersama temannya Muluk, dia menempa nama. Muluk atau malik ejaannya bermaksud ‘yang menguasai’. Apa yang ingin di sampaikan oleh pak Hamka bagi saya adalah sebagaimana Zainuddin yang pada awalnya tenggelam dan lemah, tetapi setelah dia mengemudi dan menguasai pergolakan hati dan fikirannya akhirnya dia dapat berdiri dan berbakti lalu menjadi orang yang disanjungi kerana baktinya.
Teringat saya akan satu kalam ahli tasauf: “Beza antara orang jahil dan berilmu itu hanyalah antara ingat dan tidaknya pada Allah”.
Terimakasih dekat abah sebab hadiahkan buku Buya Hamka ni dekat saya masa saya sekolah menengah lagi (2010). First impression saya terhadap tajuk dan nama buku ini ialah, ini confirm cerita perang. Siap ada kapal. Entah-entah ada pasal lanun. Padahal baca sinopsis dah. Tapi dia punya fikir tu jauh sangat.
Mengisahkan tentang Zainuddin. Secara ringkasnya. Boleh dikatakan dialah watak utama yang mengunguli keseluruhan cerita ini. Asalnya dia ingin menuntut ilmu. Akan tetapi, pada suatu hari dia telah terpandang raut wajah Hayati dan terus jatuh cinta. Menariknya perkenalan antara mereka berdua dengan berutus surat. Rasa sangat klasik dan romantik. Hayati juga turut rasa perasaan yang sama sehinggakan pada satu tahap Zainuddin terpaksa pergi ke tempat lain atas desakan penduduk kampung. Maka, terjadilah perjanjian kata-kata kesetiaan dari Hayati terhadap Zainuddin. Katanya berapa lama sekalipun dia akan tetap menunggu. Jangan putus asa. Dan banyak lagi yang indah-indah belaka ayatnya.
In short. Hayati mungkir janji & berkahwin dengan Aziz. Sangatlah perit bila Zainuddin tahu akan perkara itu. Derita nya perasaan itu sampaikan yang baca pun terasa. Perkahwinan antara Hayati & Aziz adalah perkahwinan atas dasar kecantikan dan kemewahan semata-mata. Dan Hayati tahu meskipun ketika itu dia tetap akan pendiriannya memilih Zainuddin. Pasti akan ditentang dan tidak mendapat restu dari org tua. Maka dia bersetuju saja dan terpaksa menulis kepada Zainuddin yang Aziz adalah pilihannya & banyak lagi ayat yg perit.
Nak dijadikan cerita, Zainuddin bangkit dan menjadi seorang penulis. Terkenal, kaya dan semua karyanya disukai ramai. Ini saya puji. Usaha dia move on tu. Hayati & Aziz pula dalam krisis kehidupan. Kalau nak tau lebih, korang baca la.
Ayat puitis. Latar belakang tempat yg menarik. Storyline yang kuat. Permainan emosi yang baik. Dan saya suka sangat cerita ini. ❤️
Tidak dapat dinafikan...bahasa yang digunakan dalam buku ini amat indah dan puitis.. Namun jiwa ini tak dapat menerima membaca kata-kata yang merayu-rayu pada cinta manusia. Benar, mungkin penulisnya ada tujuan dalam menyampaikan ceritanya kerana beliau ingin memberi pengajaran kepada sesiapa saja yang membacanya.
Kisah ini berkisar tentang percintaan dua insan dari keluarga Melayu yang berlainan keturunan dan darjah. Yang satu dari keluarga yang terlalu mengagungkan adat, yang satu lagi pula tidak terlalu bergantung padanya. Niat mereka berdua amat suci murni. Namun pabila salah seorang darinya terhanyut seketika, niat yang bersih pun terkubur dengan habuk dan kotoran dunia... Yang seorang pula hatinya digantung pada manusia. Jadi, bila hatinya turut dikubur, maka terlupalah tujuannya yang sebenar hidup di dunia. Sedihnya, inilah realiti kehidupan. Walaupun kisah ini diceritakan menurut pada awal zaman 1920-an, cabaran pada masa itu dan cabaran yang ada sekarang di tahun 2015 ternyata masih sama. Cuma cabaran pada masa ini, adat sudah tidak berapa dipeduli. Harta...masih diberi keutamaan barangkali. Walhal agama yang penting sekali.
Sebagai pembaca, saya suka dengan karakter Muluk. Si parewa yang bertaubat nasuha dan si pendamping yang setia dan si pemberi nasihat yang banyak isinya.
...mungkin saya akan membaca buku ini lagi tetapi yang menjadi tarikan saya adalah bahasanya...bukan jalan ceritanya.
Done baca karya agong popular ini. Dapat ku simpulkan yang Zainuddin ini seorang yang sangat menyedihkan. Relakslah Din, bunga bukan sekuntum! (Berapa kali aku cuba beritahu Din tapi mustahil!)
Aku terfikir adakah wujud pria seperti Din di dunia ini? Hmm....
"Jika hati kau diberi-Nya nikmat pula dengan cinta sebagaimana hatiku, marilah kita pelihara nikmat itu sebaik-baiknya, kita jaga dan kita pupuk, kita pelihara supaya jangan dicabut Tuhan kembali. Cinta adalah iradat Tuhan, dikirimnya ke dunia supaya tumbuh. Kalau dia terletak di atas tanah yang lekang dan tandus, tumbuhnya akan menyiksa orang lain. Kalau dia datang kepada hati yang keruh dan kepada budi yang rendah, dia akan membawa kerusakan. Tetapi jika dia hinggap kepada hati yang suci, dia akan mewariskan kemuliaan, keikhlasan dan taat kepada Ilahi."
Cinta adalah sesuatu hal yang suci. Ia adalah fitrah yang dianugerahkan Tuhan untuk segenap umat manusia. Ia adalah rasa yang akan membuat hati kita berbunga-bunga dalam sekejap atau serasa dilanda badai dalam sekejap pula. Cinta seharusnya membawa kenikmatan, tetapi di saat yang sama dapat juga menyakitkan. Mungkin itulah yang ingin disampaikan Hamka dalam bukunya "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck".
Ini adalah kisah dua insan, Zainuddin dan Hayati, yang harus menempuh jalan panjang demi mencapai cinta mereka. Cinta yang suci, cinta yang tulus, cinta yang tidak berdasarkan nafsu ataupun harta, tetapi cinta yang murni yang didasarkan kepada sang Maha Pencipta dan pemilik segala cinta.
Sekarang, izinkan saya bercerita tentang kisah mereka...
Cerita dimulai dari kisah ayah Zainuddin, Pandekar Sutan, yang dibuang ke Mengkasar setelah tidak sengaja membunuh pamannya, ketika ia berusaha mempertahankan haknya atas harta warisan ibunya. Di Mengkasar, sang ayah menikah dengan wanita Bugis terhormat bernama Habibah. Meskipun Habibah berasal dari keluarga bangsawan, tetapi pernikahan mereka tidak disukai oleh banyak orang, sehingga mereka memutuskan untuk memutus tali persaudaraan dengan keluarga Habibah.
Kemudian, lahirlah Zainuddin. Hati Pandekar Sutan yang dulu sempat terluka, kini mulai mengecap bahagia. Sayang, kebahagiaan itu tak berlangsung lama, karena Habibah meninggal dunia ketika sang putra masih sangat membutuhkan dirinya. Kehilangan istri tercinta membuat Pandekar Sutan tak dapat hidup bahagia. Ia pun menyusul sang istri ketika Zainuddin beranjak besar. Tinggallah Zainuddin, yang kini menjadi yatim piatu, dirawat oleh ibu angkatnya, Mak Base.
Meskipun menjadi orang buangan, kerinduan akan kampung halaman tetap mengisi hati ayah Zainuddin. Ia kerap bercerita kepada putra semata wayangnya tentang kampung halamannya yang indah, tanahnya yang subur, dan gunungnya yang menjulang tinggi. Kerinduan sang ayah diwarisi kepada Zainuddin, yang membuatnya turut merasakan kerinduan yang sama.
Itulah sebabnya, ketika beranjak dewasa, Zainuddin memutuskan untuk pergi ke tanah Minang, ke kampung halaman sang ayah, untuk menuntut ilmu dan mengenal secara langsung tanah nenek moyangnya. Zainuddin pergi, diiringi tangis dan rasa berat hati Mak Base, yang tidak tahan harus berpisah dengan anak kesayangannya, karena merasa bahwa mereka tak akan bisa bertemu lagi karena ia sudah cukup tua. Namun, hati Zainuddin telah mantap, dan tak ada yang bisa dilakukan Mak Base lagi selain merestui putra angkatnya itu.
Kehidupan baru Zainuddin di dusun Batipuh, kampung halaman ayahnya, sama sekali tidak mudah. Meskipun memiliki darah Minang, tetapi ia sama sekali tidak dianggap sebagai orang Minang. Masa lalu ayahnya sebagai orang terbuang, sekaligus kenyataan bahwa ayahnya menikah dengan orang Bugis, membuat orang-orang menganggap ia adalah orang Bugis. Padahal, ketik berada di Bugis ia tidak dianggap sebagai orang Bugis, tetapi sebagai orang Minang. Cara manusia mengkotak-kotakkan seseorang berdasarkan tempat lahirnya memang sering kali tidak manusiawi dan itulah yang dialami oleh Zainuddin.
Untungnya ia bertemu Hayati, di sebuah siang ketika hujan lebat mengguyur bumi Batipuh. Hayati adalah seorang gadis cantik, kembang desa yang memiliki perangai lemah lembut. Zainuddin yang ketika itu membawa payung kemudian meminjamkan payungnya kepada gadis itu. Hubungan mereka pun dimulai, berawal dari surat yang dikirimkan Zainuddin kepada Hayati. Tak butuh lama bagi keduanya untuk jatuh cinta dan perasaan mereka makin menguat setiap harinya. Sayangnya, keluarga Hayati mendengar hal itu, sehingga paman Hayati meminta Zainuddin untuk meninggalkan Batipuh. Atas nama adat yang terhormat, sang paman mengatakan bahwa itu demi kebaikan mereka berdua dan karena mereka berdua sebenarnya tidak berjodoh. Aih, memangnya siapa dia? Seenaknya memutuskan bahwa orang tidak berjodoh?
Zainuddin pun pindah ke Padang Panjang dengan hati hancur. Untungnya Hayati sempat menemuinya dan mengungkapkan perasaannya, yaitu perasaan cinta yang tulus dan murni, yang membuat Zainuddin mampu menjalani harinya di perantauan. Korespondensi mereka masih terus berlanjut dan perasaan mereka tampaknya terus menguat setiap harinya. Hingga pada suatu hari, akhirnya Hayati mendapatkan izin untuk pergi ke Padang Panjang, menginap di rumah sahabatnya, Khadijah.
Khadijah bisa jadi adalah tokoh yang paling saya benci di novel ini. Bukan hanya menertawakan cinta suci Hayati kepada Zainuddin, ia juga memengaruhi Hayati agar berpikir dan bertindak seperti dirinya, seorang gadis kota dengan gaya hidup hedon dan tidak peduli lagi dengan tata krama. Bujukan Khadijah agar Hayati, yang tidak paham mode, mengganti pakaiannnya berhasil, lalu bertemulah Hayati dan Zainuddin di acara pacuan kuda dan pasar malam, sebuah festival yang ramai dan meriah di daerah itu. Namun, Zainuddin tidak merasa senang bisa bertemu Hayati. Ia justru terkejut dan kecewa karena pakaian gadis itu kini terlalu banyak menampilkan bentuk tubuh, ketat, dan sama sekali tidak sesuai dengan adat Minang maupun ajaran agama mereka. Ditambah lagi, Khadijah dan teman-temannya menertawakan Zainuddin, yang membuat Hayati semakin meragukan rasa cintanya kepada pemuda itu.
Keraguan Hayati semakin besar ketika Khadijah semakin menghasutnya, mengatakan kalau Zainuddin bukan jodohnya (lagi-lagi ada yang bersikap merasa lebih tahu dari Tuhan), bahwa Zainuddin tidak pantas untuk Hayati (seolah ia tahu perasaan Hayati dan tahu siapa lelaki yang paling pantas untuknya), dan bahwa Zainuddin lelaki yang membosankan yang hanya tahu ilmu agama (Padahal, apalah lagi bekal yang paling penting untuk menikah selain itu?). Bagian ini benar-benar menguras emosi saya, karena Hamka begitu pandai menampilkan sosok Khadijah sebagai seorang perempuan yang menyebalkan, materialistis, hedonis, tidak agamis, dan juga narsis. Apalagi si Khadijah ini punya misi untuk mencomblangkan kakaknya, Aziz, dengan Hayati.
Aziz berbeda 180 derajat dengan Zainuddin. Sifatnya tidak berbeda jauh dengan adiknya, ditambah lagi Aziz senang main perempuan, dan bukan tipe lelaki yang setia. Tidak terhitung berapa banyak wanita yang didekatinya, tapi tanpa ada niat serius untuk meminang mereka. Awalnya ia tidak berniat untuk menikah, tetapi melihat Hayati yang cantik jelita, dia tergoda juga.
Singkatnya, Aziz meminta izin kepada keluarga Hayati untuk menikahinya. Dia membawa berbagai barang untuk menunjukkan posisinya sebagai orang berada. Di lain pihak, Zainuddin sedang merasa bersedih hati karena baru saja mendapat surat bahwa ibu angkatnya di Mengkasar meninggal dunia. Sang ibu angkat meninggalkan warisan yang jumlahnya tidak sedikit. Warisan itu sebenarnya dulu adalah uang warisan dari ayah Zainuddin, yang dengan cerdas digunakan Mak Base untuk berbisnis, sehingga jumlahnya menjadi berlipat-lipat.
Zainuddin yang merasa bahwa perasaan cintanya kepada Hayati semakin besar, akhirnya memutuskan untuk memberanikan diri mengirimkan surat pinangan kepada keluarga Hayati. Namun, Zainuddin tidak menyebutkan kalau ia sudah menjadi orang kaya sekarang.
Keluarga Hayati tentu saja memilih Aziz, yang asal usulnya jelas, hartanya juga jelas, meskipun iman dan perilakunya tidak jelas. Yang bikin sakit hati, Hayati sendirilah yang memutuskan untuk memilih Aziz, meskipun dia diberi tahu kalau Zainuddin juga meminangnya. Jadilah Hayati menikah dengan Aziz, meninggalkan Zainuddin yang menderita patah hati begitu dalam, hingga sakit berbulan-bulan dan hampir mati karenanya.
"Minangkabau negeri beradat, seakan-akan hanya di sana saja adat yang ada di dunia ini, di negeri lain tidak. Padahal kalau memang negeri Minangkabau beradat, belum patut orang seperti dia hendak ditolak dengan jalan yang begitu saja. Permintaan bisa terkabul dan bisa tidak, tetapi tidak ada hak bagi yang menolak buat menyindir pula kepada orang yang ditolaknya. Apalagi pintu yang dilaluinya bukan pintu 'belakang' tetapi pintu muka, tiba tampak muka, berjalan tampak punggung." (Hal. 115)
Untungnya ada Bang Muluk, anak dari induk semang tempat Zainuddin tinggal, yang begitu baik hati dan mampu membawa Zainuddin kembali kepada alam kesadaran. Kesadaran bahwa ia tidak pantas merasa menderita sendirian seperti ini, karena Hayati tentunya sedang berbahagia dengan suaminya yang kaya dan sama sekali tidak mengingatnya. Kesadaran bahwa ia tidak pantas untuk merasa dunia sudah kiamat hanya karena seorang wanita. Apalagi jika cintanya memang tulus, maka ini adalah takdir yang telah dipilihkan Tuhan untuknya. Serasa ditampar oleh kata-kata Bang Muluk itu, Zainuddin pun memutuskan untuk pindah ke Pulau Jawa. Terlalu sulit baginya berada di tempat itu, sementara bayangan Hayati ada di mana-mana. Bersama Bang Muluk, sahabat sejatinya yang juga menjadi kakak baginya, mereka pun pindah ke Pulau Jawa dan mengadu nasib disana.
"Bukan begitu jalan yang ditempuh budiman. Jika hatinya dikecewakan, dia selalu mencari usaha menunjukkan di hadapan perempuan itu, bahwa dia tidak mati lantaran dibunuhnya. Dia masih hidup, dan masih sanggup tegak. Dia akan tunjukkan di hadapannya dan di hadapan suaminya bahwa jika maksudnya terhalang di sini, pada pasal lain dia tidak terhalang." (Hal. 151)
Di sinilah keadaan sedikit demi sedikit mulai berbalik. Sebenarnya saya mau cerita lebih banyak lagi, kalau bisa sampai akhir ceritanya malahan. Tapi kalau begitu, nanti jadinya tidak seru lagi. Jadi, saya kasih bocoran sedikit aja ya....
Zainuddin jadi sukses di Jakarta. Ia sukses sebagai penulis yang dikagumi dan dipuja banyak orang. Ia kemudian pindah ke Surabaya karena ingin membangun bisnisnya sendiri di bidang penerbitan. Sementara itu, Aziz dipindahkan ke Pulau Jawa, tepatnya di Surabaya. Dan... untuk sekali lagi takdir kembali mempertemukan mereka, tapi kini dalam bentuk yang berbeda... Kali ini, Hayati mulai sadar seperti apa suaminya.
Apa yang akan dilakukan Zainuddin? Maukah ia menolong Aziz dan Hayati yang dulu telah menyakitinya? Akankah Hayati kembali kepadanya dan mungkinkah mereka diberi kesempatan untuk menyambungkan kembali tali cinta yang dulu terputus? Lalu, apa hubungan ini semua dengan Kapal Van Der Wijck yang menjadi judul cerita?
Karya klasik Indonesia karangan Hamka ini cukup membuat saya sesak napas. Kisahnya yang bertemakan kemalangan hidup dan cinta yang tak sampai berbalut kepasrahan kepada takdir Sang Pencipta membuat saya menahan napas berkali-kali. Emosi saya naik turun dibuatnya, terutama di bagian pertengahan ketika Zainuddin diusir dari Batipuh, ketika Khadijah mengata-ngatai Zainuddin di depan Hayati, ketika Zainuddin menerima surat penolakan dari mamak Hayati karena mereka bangsa beradat dan tidak mau menerima pinangan Zainuddin, juga di akhir ketika keadaan Hayati dan Aziz semakin buruk, dan Hayati harus menuai apa yang dulu pernah dilakukannya kepada Zainuddin.
Akhir cerita ini mengenaskan dan mungkin banyak yang merasa tidak puas dan sebal dengan perilaku Zainuddin di akhir. Namun, entah kenapa saya bisa menerimanya, karena apa yang dilakukan Zainuddin itu memang sudah seharusnya begitu. Saya memang menyesalkan tindakannya yang terlalu emosional yang membawa mereka kepada tragedi. Namun, saya merasa bahwa Zainuddin memang harus melakukannya, karena itu adalah yang terbaik bagi mereka berdua.
Ketika cinta suci kedua orang manusia dipisahkan oleh hal-hal yang bersifat fana, maka kebahagiaan tak akan bisa diraih. Zainuddin dan Hayati adalah contohnya. Ketika atas nama adat orang lain dihinakan, atas nama kepandaian orang lain dianggap bodoh, atas nama harta orang lain diinjak-injak, dan memisahkan dua insan yang ingin meraih ridho-Nya dengan cara yang suci yaitu pernikahan, maka bukanlah kebahagiaan yang akan didapat, tetapi penderitaan dan kesengsaraan. Sepertinya itu adalah sunatullah yang ingin disampaikan oleh Hamka melalui buku ini, bahwa kita harus bersikap adil kepada setiap manusia, tanpa melihat latar belakang yang sesungguhnya tidak berpengaruh pada kualitas keimanan dan ketakwaan seseorang.
*review ini disadur dari review yang saya tulis di blog, karena rupanya saya lupa untuk mengcopasnya ke akun Goodreads saya ini.
Karya Hamka tidak pernah mengecewakan, semuanya tidak asing lagi untuk mengajak para pembaca berfikir dan mendalami isi-isi yang tersirat di dalam penceritaan beliau.
Setelah lima karya beliau saya baca, akhirnya tergerak juga hati untuk baca buku ini. Watak Zainuddin, Hayati dan Aziz sangat terkenal dan dialog Zainuddin pada Hayati sangatlah popular seputar alam Nusantara setelah filem adaptasi karya ini keluar beberapa tahun yang lalu. Menjadi alasan untuk mematahkan hujah wanita dan saya sebagai seorang perempuan turut bersetuju dengan kata-kata Zainuddin.
Tetapi, watak Zainuddin, Hayati dan Aziz saya rasakan ia lebih kepada neutral. Tidak pula saya menyebelahi sesiapa kerana mereka bertiga ada khilafnya tersendiri, setiap yang terjadi dalam hidup mereka semuanya memberikan makna kepada saya sebagai pembaca. Bagaimana cinta yang suci itu boleh bertukar kepada sebuah penghinaan dan akhirnya sekadar menjadi memori di dalam diri.
Hamka juga tidak lari dengan kritikan terhadap bangsa dan adat Minangkabau yang baginya membeza-bezakan darjat hanya kerana orang itu orang luar, tidak berharta dan tidak segagah orang kebanyakan di sana. Sungguh cinta itu jernih, tetapi tangan-tangan manusia menghancurkan ia sehingga cita-cita seorang muda terkubur.
Saya terfikir, jika pengakhirannya indah adakah sebuah keluarga terhormat di desa Padang Panjang akan terbentuk? Dengan kemulian hati Hayati dan kebijaksanaan Zainuddin pasti zuriat mereka berdua akan lahir sebagai orang yang berpandangan jauh. Kecewa tetapi beginilah Hamka menulis karya beliau, memberi makna kepada pembaca bahawa kisah ini tidak berakhir seperti angan-angan nafsu diri.
Walaupun buku ini mendapat kritikan kerana bagaimana seorang golongan agama menulis buku cinta tetapi saya suka akan penjelasan Hamka.
...kian lama kian mengertilah orang apa perlunya kesenian dan keindahan dalam hidup manusia.
Keindahan manusia itu memang terletak pada cinta, cuma bagaimana seseorang itu memandu ia. Dasar cinta itu, bagaimana kita menafsirkannya dengan kefahaman diri sendiri.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck…karya penulis tersohor yang di ibaratkan sebagai pohon kelapa condong ini kerana lahir di Sumatera tetapi gah namanya di Malaysia. Naskah ini saya temui ketika melewati ke kedai buku berhampiran. Pada asalnya, niat saya hanya mahu melihat buku-buku yang baru sampai. Namun, apabila terlihat buku ini, saya terus mengambil keputusan untuk membelinya dan terus membelek buku ini apabila tiba di rumah.
Kisah Zainuddin yang diceritakan dalam buku ini amat senang di fahami walaupun matapelajaran sastera amat saya benci ketika di bangku sekolah dahulu.
Naskah ini mengisahkan kisah cinta Zainuddin dan Hayati. Zainuddin hidup melarat selepas kematian ibunya orang Mangkasar dan ayahnya yang berasal dari Sumatera. Zainuddin kemudiannya mengambil keputusan untuk pulang ke tanah tumpah ayahnya dan bertemu Hayati kemudiannya jatuh cinta.
Cintanya dengan Hayati dihalang dek kerana adat Minangkabau yang mengutamakan perempuan untuk kesinambungan adat dan harta, sedangkan Zainuddin tidak mempunyai apa-apa dan bukan dari keturunan Minangkabau sepenuhnya. Dia di halau dari kampung ayahnya, Batipuh dan membawa diri ke Pandang Panjang.
Zainuddin kemudian bangkit dari kekecewaan dan menjadi seorang penulis yang ternama tetapi Zainuddin tetap setia pada cintanya terhadap Hayati gadis yang pernah berjanji sehidup semati dengannya.
Hayati kemudiannya kembali menagih kasih setelah diceraikan suaminya yang tidak bertanggungjawab dan suka berfoya-foya. Masih terasa dengan kekecewaannya, Zainuddin menolak cinta Hayati dan menyuruh Hayati pulang ke kampungnya dengan menaiki kapal Van Der Wijck.
Saya membaca Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck selepas membaca Magdalena, karya saduran dari Mesir tulisan Al Manfaluthi.
Motivasi membaca karya ini adalah selepas membaca Magdalena. Biasanya apabila saya menonton filem adaptasi dari novel, saya memang tak akan baca novel tersebut. Sebab saya malas dan menonton filem lebih santai dari membaca. Haha.
Novel ini saya dapat dari kawan lama, hasil tukaran dengan buku saya yang lain kira-kira 2 atau 3 tahun lepas... Tapi, saya tak tergerak nak membaca sampailah saya khatam novel Magdalena baru-baru ini.
HAMKA dituduh plagiat novel Magdalena. Saya kurang percaya. Tetapi setelah hampir khatam novel ini, saya perhatikan memang banyak sangat persamaan. Yang berlainan cuma mesej utama novel dan latar tempat, masyarakat dan beberapa watak.
Tidak hairanlah HAMKA diserang. Tapi hati saya masih lagi enggan mengatakan novel ini hasil plagiat.
Novel ini mengajar para pemuda bagaiman berdamai dengan kekecewaan akibat cinta ditolak. Magdalena tidak mengajar hal ini. Magdalena sebuah roman dendam dibawa mati.
Saya kadang teringat andainya para pemuda mencontohi Zainuddin untuk 'move on', pastinya tidak ada kes pembunuhan kekasih. Mungkin?
“Cinta adalah sebagai kemudi daripada bahtera kehidupan. Sekarang kemudi itu dicabut; ke mana dia hendak berlayar lagi, di mana dia hendak berlabuh, teroleng terhempas kian kemari, daratan tak nampak, pulau tak kelihatan.”
hlm 156, edisi terbitan PTS, cet. 2023.
Laras bahasa yang diselang seli pepatah Minang mengagumkan, buku yang cocok untuk zamannya, cerita yang sederhana tetapi konflik cintanya memilukan, namun penyudah cerita agak sederhana juga. Hamka ternyata seorang tokoh yang hebat dan karya-karyanya dalam bidang sastera dan ugama berjaya menempatkan diri pada kedudukan penting dalam kelimuan Nusantara.
Hampir setahun buku ini tersimpan dirak setelah membelinya. Akhirnya pokoknya berbuah. Keinginan kuat menghabiskannya untuk mengambil 'mood' sebelum menonton naskah filemnya, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Karya Buya HAMKA yang menyebabkan saya tidak dapat melepaskan buku ini setelah mula membacanya. Sambil mendengar lagu Nidji, Menunggu Karma menambah 'feel' mengkhatamkan novel ini.
Kritik sosial Buya HAMKA terhadap budaya Minangkabau. Karya yang sarat dengan falsafah tentang cinta membuatkan kita berfikir lebih dalam untuk memahami kehebatan cinta dan yang lebih hebat tentunya pencipta Cinta.
Antara yang menarik untuk dikongsi, beberapa bait tulisan yang menusuk ke dalam jiwa.
"Manusia pada zaman ini baru melihat kulit. Kalau dilihatnya rumah yang indah, keindahan itu yang menakjubkannya bukan kepintaran yang mengatur petanya. Kalau dibacanya hikayat yang bagus,bukan fikiran pengarang yang diselaminya tetapi ia menggeleng-gelengkan membaca susun katanya. Kalau dia tertarik dengan rupa perempuan yang cantik, kepada hawa nafsu syaitanlah terhadap fikirannya, bukan kepada kekuasaan TUHAN yang menciptakannya."
"Cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa. bukan menimbulkan tangis sali sedan. Tetapi cinta menghidupkan pengharapan, menguatkan hati dalam perjuangan menempuh onak dan duri penghidupan." (m/s 63)
"Cinta adalah iradat Tuhan, dikirimnya ke dunia supaya tumbuh. kalau dia terletak di atas tanah yang lekang dan tandus, tumbuhnya akan menyeksa orang lain. Kalau dia datang kepada hati yang keruh dan kepada budi yang rendah dia akan membawa kerosakan. Tetapi jika dia hinggap kepada hati yang suci, dia akan mewariskan kemuliaan, keikhlasan dan taat kepada Ilahi." (m/s 71)
"Di belakang kita berdiri satu tugu yang bernama nasib, disana telah tertulis rol yang akan kita jalani. Meskipun bagaimana kita mengelak dari ketentuan yang tersebut dalam nasib itu, tiadalah dapat, tetapi harus patuh kepada perintahnya."(m/s 241)
Karya ini mengajar kita tentang erti cinta dan takdir. “Cita-cita manusia tidak dapat melawan kehendak takdir.” – Hamka
Sebuah karya hebat dari Hamka, buku pertama Hamka yang saya membaca juga. Memang hebat penulis yang saya lama dah kenal tetapi baru baca ini. Dia telah menunjukkan beberapa intipati dan masalah sosial dunia dan walaupun setting buku ini di Indonesia, masalahnya umum di seluruh dunia.
Zainuddin memang hebat dan seorang ahli falsafah yang menulis untu rakyat dan bukan seorang elitist. Memang sedih tengok kisah hidupnya yang diingin tidak tercapai, namun ia tidak pernah menghalang dia untuk menjadi existentialisme dia untuk mendidik dan mengubah masyarakat.
Walaupun terdapat unsur yang agak susah untuk dicerna apabila dia "terlalu romantik" haha dalam tulisan suratnya , ia menunjukkan kekuasaan bahasa Hamka dan untuk menunjukkan betapa nice guy Zainuddin.
"Nice guy finishes last" mungkin diambil sebagai tema, tetapi nice guy yang merupakan amazing being, thinker dan philosopher ini harus dicontohi semua orang.
Buku ini harus ada dalam semua rak buku orang yang dapat baca Bahasa Melayu.
Sebenarnya aku rasa bersalah sungguh memberi 3 bintang sahaja untuk buku ini. Sedangkan rata-rata memberi 4 dan 5 bintang. Maaf dari hujung rambut ke hujung kaki aku ucapkan! Aku tahu Hamka ini seorang yang sangat berbakat dalam bidang penulisan. Malahan silibus tingkatan 5 ada memuatkan 1 bab khas untuk Hamka dalam Pendidikan Agama Islam. Terbukti l a h kehebatan beliau.
Frankly, this book is not my cup of tea. Aku begitu yakin jikalau buku ini dibaca sekali lagi sewaktu umurku mencecah 20 tahun begitu, pasti lebih lagi bintang yang diberikan.
Apa-apa pun, aku suka pengakhiran cerita ini. Seperti ada sebab tersendiri penulis menentukan nasib Hayati dan Zainuddin begitu. Jadi, secara tidak langsung kita pun akan memikirkan percaturan hidup yang telah disusun oleh Allah sejak azali lagi.
first time I read this, I feel bored by the long letters written by the two person: Zainudin & Hayati. I also hate the character of the man, that I thought was too mellow & weak. But when I read the last chapter, in my wet cheek & soaked eyes, I finally realized the message that Hamka tried to tell, about the development process of a naive man's mind to a grown up-revengeful-man. Again, it's a story about someone's ego that destroy his happiness. Hamka also successful in describing the trend of the society in that era, the bad things that caused by the feodal system etc. This is a great novel. I've read more than 5 times, but still crying whenever I got into the last chapters...huhuhu
Being my first time reading a classic novel, I have to say that this book is a page-turner. The language was quite hard to understand (which is reasonable as it was written in old Malay/Indo and Minang languages), but as you proceed, you'll somehow be deeply engrossed with the poetic diction. Judging from the cover quote, one may think that it is just another cliche love story, but this story is much more than that as it emphasizes the aspects of the Minang tradition, the difference in social status and the compliant role of women. I was also captivated by the way he narrates the settings. It was as if I was there; feasting upon the beauty of Indonesia- the mountains, the sunsets, everything. Definitely a recommended book for classic literature lovers.
Pada awalnya saya beranggapan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah sebuah karya berkenaan peperangan. Ternyata silap. Karya cinta agung. Perihal cinta yang malang dan tragis. Aduhai.
Sebuah karya sastera agong yang wajar dibaca oleh setiap ulat buku. Menusuk kalbu betul jalan ceritanya. Penceritaannya puitis, berserta dengan kata2 pujangga yg indah. Turut diselitkan dengan elemen2 dakwah serta kata2 nasihat yang boleh dijadikan pedoman. Sebuah karya yang membangkitkan isu2 seperti cinta antara dua darjat, adat resam yg kolot, pegangan agama, kesetiaan, dan banyak lagi.
Mengisahkan tentang Zainuddin, seorang pemuda yatim piatu yang membesar di Makassar. Ayahnya berasal dari etnik Minangkabau, manakala ibunya berasal dari etnik Melayu Bugis. Suatu hari, Zainuddin berkelana ke tanah tumpah darah ayahnya di Padang untuk belajar ilmu dunia dan akhirat, serta untuk bertemu sanak saudara sebelah ayahnya. Malangnya, dia tidak diiktiraf sebagai keturunan Minangkabau kerana menurut adat, keturunan hanya diiktiraf dari darah sebelah ibu. Dianggap orang asing di bumi sendiri, Zainuddin terluka, sehinggalah dia bertemu dengan Hayati. Maka bermulalah kisah cinta suci yang tragis di antara Zainuddin dan Hayati, sebuah kisah cinta antara dua darjat.
TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK Roman yang dikarang oleh Prof. Dr. Hamka ini diterbitkan tahun 1939. Roman ini mengisahkan persoalan adat yang berlaku di Minangkabau dan persoalan kekayaan yang menghalangi hubungan cinta sepasang kekasih. Sejak berumur 9 bulan, Zainuddin telah ditinggalkan Daeng Habibah ibunya, menyusul kemudian ayahnya yang bernama Pendekar Sutan. Zainuddin tinggal bersama bujangnya, Mak Base, Kira-kira 30 tahun yang lalu, ayahnya punya perkara dengan Datuk Mantari Labih mamaknya, soal warisan. Dalam suatu pertengkaran Datuk Mantari terbunuh. Pendekar Sutan kemudian dibuang ke Cilacap selama 15 tahun. Setelah selesai masa hukumannya, ia dikirim ke Bugis untuk menumpas pemberontakan yang melawan Belanda. Di sanalah Pendekar Sutan bertemu dengan Daeng Habibah. Untuk mencari keluarga ayahnya, Zainuddin pergi ke desa Batipuh di Padang. Di Padang ia tinggal di rumah saudara ayahnya, Made Jamilah. Sebagai seorang pemuda yang datang dari Makasar, ia merasa asing di Padang. Apalagi tanggapan saudara-saudaranya demikian. Demikian pula ketika ia dapat berkenalan dengan Hajati karena meminjamkan payungnya pada gadis itu. Hubungan antara Zainuddin dan Hajati makin hari tersiar ke seluruh dusun dan Zainuddin tetap dianggap orang asing bagi keluarga Hajati maupun orang-orang di Batipuh. Untuk menjaga nama baik kedua orang muda dan keluarga mereka masing-masing, Zainuddin disuruh meninggalkan Batipuh oleh mamak Hajati. Dengan berat hati Zainuddin meninggalkan Batipuh menuju Padang Panjang. Di tengah jalan Hajati menemuinya dan mengatakan bahwa cintanya hanya untuk Zainuddin. Zainuddin menerima kabar bahwa Hajati akan pergi ke Padang Panjang untuk melihat pacuan kuda atas undangan sahabat Hajati yang bemama Chadidjah. Zainuddin hanya dapat bertemu pandang di tempat itu karena bersama orang banyak ia terusir dari pagar tribune. Pertemuan yang sekejap itu membuat Hajati mendapat ejekan dari Chadidjah. Chadidjah sendiri sebenamya bermaksud menjodohkan Hajati dengan Aziz, kakak Chadidjah sendiri. Karena merasa cukup mempunyai kekayaan warisan dari orang tuanya setelah Mak Base meninggal, Zainuddin mengirim surat lamaran pada Hajati. Temyata surat Zainuddin bersamaan dengan lamaran Aziz. Setelah diminta untuk memilih, Hajati memutuskan memilih Aziz sebagai calon suaminya. Zainuddin kemudian sakit selama dua bulan karena Hajati menolaknya. Atas bantuan dan nasehat Muluk, anak induk semangnya, Zainuddin dapat merubah pikirannya. Bersama Muluk, Zainuddin pergi ke Jakarta. Dengan nama samaran "Z", Zainuddin kemudian berhasil menjadi pengarang yang amat disukai pembacanya. la mendirikan perkumpulan tonil "Andalas", dan kehidupannya telah berubah menjadi orang terpandang karena pekerjaannya. Zainuddin melanjutkan usahanya di Surabaya dengan mendirikan penerbitan buku-buku. Karena pekeriaan Aziz dipindahkan ke Surabaya, Hajati pun mengikuti suaminya. Suatu kali, Hajati mendapat sebuah undangan dari perkumpulan sandiwara yang dipimpin dan disutradarai oleh Tuan Shabir atau "Z". Karena ajakan Hajati Aziz bersedia menonton pertunjukkan itu. Di akhir pertunjukan baru mereka ketahui bahwa Tuan Shabir atau "Z"adalah Zainuddin. Hubungan mereka tetap baik, juga hubungan Zainuddin dengan Aziz. Perkembangan selanjutnya Aziz dipecat dari tempatnya bekerja karena hutang yang menumpuk dan harus meninggalkan rumah sewanya karena sudah tiga bulan tidak membayar, bahkan barang-barangnya disita untuk melunasi hutang. Selama Aziz di Surabaya, ia telah menunjukkan sifat-sifatnya yang tidak baik. la sering keluar malam bersama perempuan jalang, berjudi, mabuk-mabukan, serta tak lagi menaruh cinta pada Hajati. Akibatnya, setelah mereka tidak berumah lagi. Mereka terpaksa menumpang di rumah Zainuddin. Setelah sebulan tinggal serumah, Aziz pergi ke Banyuwangi meninggalkan isterinya bersama Zainuddin. Sepeninggal Aziz, Zainuddin sendiri pun jarang pulang, kecuali untuk tidur. Suatu ketika Muluk memberi tahu pada Hajati bahwa Zainuddin masih mencintainya. Di dalam kamar kerja Zainuddin terdapat gambar Hajati sebagai bukti bahwa Zainuddin masih mencintainya. Beberapa hari kemudian diperoleh kabar bahwa Aziz telah menceraikan Hajati. Aziz meminta supaya Hajati hidup bersama Zainuddin. Dan kemudian datang pula berita dari sebuah surat kabar bahwa Aziz telah bunuh diri meminum obat tidur di sebuah hotel di Banyuwangi. Hajati meminta kesediaan Zainuddin untuk menerimanya sebagai apa saja, asalkan ia dapat bersama-sama serumah dengan Zainuddin. Permintaan itu tidak diterima baik oleh Zainuddin, ia bahkan amat marah dan tersinggung karena lamarannya dulu pemah ditolak Hajati, dan sekarang Hajati ingin menjadi isterinya. la tidak dapat menerima periakuan Hajati. Dengan kapal Van Der Wijck, Hajati pulang atas biaya Zainuddin. Namun Zainuddin kemudian berpikir lagi bahwa ia sebenamya tidak dapat hidup bahagia tanpa Hajati. Oleh sebab itulah setelah keberangkatan Hajati ia berniat menyusul Hajati untuk dijadikan isterinya. Zainuddin kemudian menyusul naik kereta api malam ke Jakarta. Harapan Zainuddin temyata tak tercapai. Kapal Van Der Wijck yang ditumpangi Hajati tenggelam di perairan dekat Tuban. Hajati tak dapat diselamatkan. Karena luka-luka di kepala dan di kakinya akhimya ia meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di Surabaya. Sepeninggal Hajati, kehidupan Zainuddin menjadi sunyi dan kesehatannya tidak terjaga. Akhimya pengarang terkenal itu meninggal dunia. Ia dimakamkan di sisi makam Hajati.
This book is definitely a legend. I have been hearing so much about this book. Production have been making this story into theatre performance for so many times. Reviews were practically everywhere. The book itself has been re-write, re-published many times. Some said that the story impersonates The Titanic, but the story wasn’t about a sinking ship. It’s all about a sinking relationship. The Van Der Wijck ship was just a closure.
TWO WRONGS WILL NEVER MAKE A RIGHT.
This is definitely a great story of how 2 different social status impacted a pure relationship. A great story of showing no matter how pure one’s love is, it won’t work when the other one is just looking at the others’ opinion and wealth.
HAMKA wrote this story amazingly. He is very detailed. It was beautiful. His little details on how he describe the Kota Mengkasar in the evening, how detailed he was about Zainuddin and Hayatis’ letters. The story was not about a sinking ship. It is a story about a sinking relationship being blind by wealth and social status. The ship was the closure.