Di bawah atap senja yang jingga Akika seruput secangkir kopi yang ampasnya membentuk carut marut perqueeran Indonengnong Sembari ditemani Efek Rumah Kaca “Aku takut kamu suka pada diriku Karena memang aku bukan lawan jenismu” Unchhh relate beng beng wak! Di rooftop yang mengarah ke pemandangan asri sungai Kalimalang Tanganku tak berhenti geser kanan geser kiri Cari yang serasi di Tinder Setelahnya pindah window shopping di Grindr Oh... Senja... Terima kasih Tuhan Akika Queer Dan akika Indonengnong
Entah kapan suatu perjalanan KRL saya membaca puisi random di twitter yang itu dimuat di sebuah situs, aku terbahak-bahak di KRL. Oleh bahasa yang benar-benar berani, oleh tema yang "tepi jurang" tapi renyah dibahasakan. Kemudian saya baca puisi-puisi lain dari penulis yang sama di situs yang sama. Saya carilah aku IG dan twitter, dan sempat bilang kalau saya sukai itu puisi.
Dua puisi yang bikin saya jatuh cinta waktu itu kalau tidak salah:
Jualan di Bulan Juni dan Akika ya Akika.
Tetapi percayalah semangat "queer" bukan semata tema, tetapi bahasa. Lihat bertapa dibabat habis bahasa yang selama ini selalu diagungkan oleh pengrajin puisi. Bisa itu masuk bahasa salon, bahasa binan, lantas masuk bahasa enggres, bahasa jaksel, suka...
Begitulaaaah.
aku berteriak "Aku mau ranger merah!" Temanku tidak terima Padahal bukan itu maksudku Aku maunya jadi ranger kuning Tapi aku mau ranger merah
Sebagai orang luar, saya ga bisa masuk ke dalam puisi-puisi Lele. Terlebih, saya bukan penggemar puisi-puisi panjang.
Tapi pergulatan-pergulatan yang didokumentasikan Lele di dalam sini memberikan gambaran mengenai apa isi kepala seorang kwir (koreksi saya kalau salah) dan tekanan-tekanan apa saja yang harus mereka hadapi.
Free verse is always wonderful, and Aldi wrote beautifully. He has his sound, his thoughts and feelings are screaming loud and clear - they’re raw and open - and I find them extremely relatable.
This is a great debut, and I’m looking forward to reading the next great thing.
Love at first sight: this book is serving delivering eating and DEVOUR all at once. Had to read it in MRT hoping people notice the shiny cover & get curious about it—this book genuinely needs to be discovered by everyone. Mwa.
It was very good, not only showing a very deep of vulnerability fo Aldi himself, as a queer, but also showing the way that he represent many issues, including social issues and political movement in Indonesia. It's very bravo for him to speak up, since queer in Indonesia were gotten many repressions under conservatives societies. I, as the moderator of his poetry book, very happy to see this book to be released and available for sale.
ini adalah buku kumpulan puisi dengan konsep dibagi jadi 3 bagian: 1. denial; 2. mulai coming in; 3. accepting—sudah coming in dan siap coming out.
satu hal yang menurutku paling jenius dari buku ini adalah inkorporasi lagu-lagu dan potongan lirik lagu di hampir setiap puisinya!! menurut gw sebagai orang yang jarang baca puisi, itu super jenius bray!! udah gt tiap bagian diawali dengan PLAYLIST (ada list lagu lalu ada QR code yang bisa redirect ke playlist tsb di youtube music) yang isi playlistnya adalah lagu2 yang akan muncul di bagian tsb. sbg contoh, playlist di awal bagian 1 isinya adalah lagu-lagu yang akan muncul di puisi-puisi bagian 1.
ada 2 tipe orang yang memutar playlist tsb ketika membaca buku ini: 1. dengerin dulu playlistnya sebelum baca bagian buku tsb 2. sambil baca sambil dengerin
nah tipe yang kedua dibagi lagi: 1. membiarkan playlistnya berputar begitu saja sembari membaca 2. baca puisi, nemu salah satu lagu di-mentioned, setel lagu tsb, kalo bisa tungguin potongan lirik yg dikutip di puisi tsb, lalu sambil si lagunya muterin potongan lirik tsb, kitanya sambil baca lirik yang tercantum di buku.
aku adalah tipe yang kedua (2, 2). turns out ternyata ASIKKK BGTTT baca buku kayak gitu!!! a whole new experience sumpah!!! reading experience yang sangat unikk dan bikin aku jadi lebih bisa merasakan perasaan yg coba disampaikan oleh puisi tsb!!
trs tau gaa? kata kak Ale, lagu-lagu di playlist bagian 1 kenapa disusunnya ga chronological order? soalnya, kalo kalian baca judul lagunya dari lagu pertama sampai lagi terakhir, itu seolah membentuk suatu kalimat 😳😳😳
yhh pokoknya ni buku KEREN DAN UNIK!!! and it was such a pleasure to be able to meet the kak Ale himself (cmiiw apakah benar pronounsnya kak Ale he/him?) and listening to him talking about his own book!! his first child!!
sbg seorang queer myself, some poems in this book resonates with me. ada beberapa puisi yang bacanya bikin mau nangis :') ARRGHHH :'(((( udah gitu the concept of membagi buku ini jadi 3 bagian (denial, coming in, accepting) bikin perjalanan membaca bukunya jadi enak aja gitu alurnya. dari yang bertanya-tanya "Mengapa aku begini?~" jadi "I'm a Big Big Gay In The Big Big World".
lu queer/ally/mau mengapresiasi queerness tapi belum baca buku ini? tunggu apa lagi??? segera beli dan hayati puisi-puisinya!!! 🫵🏻🫵🏻🫵🏻 (kalo bisa beli yang edisi cetakan kedua aja yh karena ada bonus di akhir buku 😁)
akhir kata, inilah kutipan2 favorit sy:
Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan Tapi jangan pernah kemakan self stigma "Aku begini tuh berdosa, kita harusnya bertobat" Denial is a river in Egypt — from Bersatulah Hemong-Hemong Kota Jakarta (page 64)
Terima kasih Tuhan Akika Queer Dan akika Indonengnong — from Puisi Senja Nan Indie Cucok Meong Ala Queer Indonengnong (page 35)
Akika Ya Eyke adalahsebuah kumpulan puisi yang berani dan jujur dalam mengeksplorasi pengalaman queer dan melela. Buku ini menggunakan bahasa yang segar dan inovatif, termasuk penggunaan bahasa binan, untuk menciptakan dunia puitik yang unik dan penuh makna. Puisi-puisi dalam buku ini menyentuh berbagai tema, seperti identitas, cinta, kehilangan, penolakan, dan pencarian jati diri. Penulis berhasil menggambarkan dengan sensitif dan empati kompleksitas emosi yang dialami oleh individu queer dalam perjalanan menemukan jati diri.
Aldiansyah Azura dengan mahir menggunakan puisi sebagai medium untuk memberikan suara kepada mereka yang seringkali terpinggirkan. Akika Ya Eyke bukan hanya sekadar kumpulan puisi, melainkan sebuah pernyataan keberanian. Penggunaan bahasa binan dalam beberapa puisinya adalah langkah berani yang membuka ruang baru dalam dunia sastra Indonesia.
Buku ini tidak hanya berbicara tentang pengalaman queer, tetapi juga tentang universalitas manusia. Tema-tema cinta, kehilangan, dan pencarian jati diri adalah pengalaman yang dapat dirasakan oleh siapa saja, terlepas dari orientasi seksual atau identitas gender. Azura berhasil menciptakan puisi-puisi yang mampu menyentuh hati pembaca dari berbagai latar belakang.
Meskipun ada beberapa puisi yang mungkin terasa terlalu eksperimental bagi beberapa pembaca, secara keseluruhan, Akika Ya Eyke adalah sebuah karya yang bermakna. Buku ini memberikan kontribusi yang signifikan dalam memperkaya wacana sastra Indonesia dengan menghadirkan perspektif queer yang autentik dan jujur.
Penulis berhasil menciptakan dunia puitik yang inklusif, di mana pembaca dapat merasakan empati dan pemahaman terhadap pengalaman queer. Akika Ya Eyke adalah sebuah langkah maju dalam perjalanan menuju masyarakat yang lebih terbuka dan menerima perbedaan.
Puisi mbeling sudah harus masuk museum, sekarang adalah era puisi ngondek wak! Barangkali kalimat tersebut yang menggambarkan kesanku setelah membaca buku puisi ini. Buku ini sangat well curated, tiga fase yg ingin dibicarakan Lele tersampaikan dengan baik karena ada playlist dan subbab mengiringinya. Semuanya bekerja dengan baik dan benar-benar mampu merayakan ke-aku-an dari penulisnya tentang siapa dia dan hal-hal yang dia perjuangkan.
Aku merasa layout bukunya asal-asalan sih untuk buku sebagus ini. Sorry.
coming hot on the heels of hendri yulius' bahasa binaria jakbar opus stonewall tak mampir di atlantis, akika adds jaktim working-class rough-and-tumble to jakarta's queer poetry vocabulary. the evolution from akika to eyke represents 20 years of journey in the poetic wilderness for the queer aku-lirik, only accepted in the literary mainstream in the second half of the period, and also two decades of up-and-down struggle for queer liberation in the big kampung that could
“You said, you’re straight, you’re just curious how the strange fruit taste like..”
Slayyyyyyyyy..
Buku kumpulan puisi Aldi yg slayy banget dengan bahasa yg sometime pake bahasa gaul ala Debbi Sahertian. Menceritakan banyak hal mulai dari penerimaan hati diri hingga hubungan dengan lekong.
puisipuisi Lele membuat kita menyaksikan statement yang super seru & luwes. merebut katakata kembali. merebut ketubuhan. merebut aku. alemooonggggg, akika ya eikee neik... syum the best syum syummmm.
7 hari nyoba nulis review buat buku ini, tapi masih enggak kepikiran harus bilang apa selain INDO LIT PEAKED HERE.
I told myself I need to write a real review for this in order to convince people to read and buy it tapi sumpah... Baca aja... Beli... Baca... Rasakan sendiri...
Terima kasih atas puisi-puisi yang meski bukan pengalamanku secara personal, sangat mengetuk/mendobrak/menghancurkan pintu (hits close to home, kalau kata londo). All of the poems written here really moved me. Bangga menjadi queer Indonesia.
bukunya tipis dan bisa dibaca sekali duduk. isinya gak kayak buku puisi lain yang susah dipahami wkwkw (akunya aja sih yang jarang baca puisi). buku ini ringan, relatable, menghibur, ada sedihnya juga. i love all the references and playlist!! worth a read!!
Jujur, eksploratif, dan nggak ditutup-tutupi jadi 3 kesan yang lekat terasa ketika membaca Akika Ya Eyke! karya @lele.laki.
Kumpulan tulisannya dibagi ke dalam 3 playlist utama, terasa deep, terasa personal. Mulai dari sulitnya mengekspresikan gender hingga menemukan ruang aman lewat orang-orang terdekatnya, mulai lebih berani untuk menunjukkan diri dan orientasi seksual sebenar-benarnya, hingga tak lagi takut untuk merayakan identitas sebebas-bebasnya.
Menariknya, apa yang dituangkan lewat buku puisi ini ternyata mengingatkanku pada Teori Dramaturgi-nya Erving Goffman. Ada peran-peran berbeda yang dimainkan sesuai konteks dan situasi sosial.
Di depan panggung, kadang Lele seperti terpaksa jadi orang lain (atau jadi yang diharapkan orang lain). Ada banyak bagian dalam dirinya yang gagal jadi dirinya. Lain soal di belakang panggung, jelas ia bisa lebih santai, lebih apa adanya, lebih Lele banget lah pokoknya.
Coba bandingkan aja puisi terkait “Mamah” dan puisi terkait “teman”. Dengan Mamah, segalanya lebih formal, segan, dan hormat. Sementara dengan teman, wah … tentu aja lebih all out.
Dan entah bagaimana, setiap puisi terasa ada feel-nya betulan. “Hmm, di puisi ini kayaknya Lele lagi kecewa. Eh … tapi di puisi lain, Lele lebih percaya diri, nih.” Samar-samar terngiang di kepala, buku puisi ini nampaknya bukan cuma bentuk ekspresi aja, melainkan medium untuk mencari kawan dan dukungan.
Nah, kalau ditanya apa puisi yang kujagokan, jawabannya ada banyak, tapi 4 di antaranya adalah 1. “Di Persimpangan Jalan, Hamzah Nunggu Keajaiban” 2. “Handcuff and Whip” 3. “Wasiat Calon Mayat Ngondek” 4. “Rambut Api Unggun”
“Jelas Nunu bohong. Karena rambutnya belum jadi arang. Rambutnya masih api unggun. Dan kami masih mengelilinginya. Tak membiarkannya padam.” 😭💗
Begitulah. Kawan-kawan suportif seperti ini yang kita dambakan. Coba baca aja halaman Ucap-ucip Tararengkyu dan cari tahu apa/siapa-siapa aja yang membuat penyair bisa lebih menerima diri sendiri, mendapatkan ruang aman, hingga turut merayakan kesetaraan. Akika ya Eyke! ini lah saksi perjuangan.