“Berbuatlah sedikit dosa, Jamal,” kata Sato Reang kepada satu kawan sekelasnya. Jamal anak yang saleh, selalu sembahyang lima kali sehari, juga rajin mengaji. “Pahalamu sudah banyak. Bertumpuk-tumpuk. Tak akan habis dikurangi timbangan dosamu.”
Ini kisah Sato Reang. Kadang ia demikian intim dengan dirinya, sehingga ini merupakan cerita tentang aku, tapi kali lain ia tercerabut, dan ini menjadi kisah tentang Sato Reang. Isi kepalanya riuh dan berisik, terutama sejak ia berumur tujuh tahun, ketika sang ayah berkata kepadanya, “Sudah saatnya kau menjadi anak saleh.”
Eka Kurniawan was born in Tasikmalaya in 1975 and completed his studies in the Faculty of Philosophy at Gadjah Mada University. He has been described as the “brightest meteorite” in Indonesia’s new literary firmament, the author of two remarkable novels which have brought comparisons to Salman Rushdie, Gabriel García Márquez and Mark Twain; the English translations of these novels were both published in 2015—Man Tiger by Verso Books, and Beauty is a Wound by New Directions in North America and Text Publishing in Australia. Kurniawan has also written movie scripts, a graphic novel, essays on literature and two collections of short stories. He currently resides in Jakarta.
Eka Kurniawan, seorang penulis sekaligus desainer grafis. Menyelesaikan studi dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Karyanya yang sudah terbit adalah empat novel: Cantik itu Luka (2002), Lelaki Harimau (2004), Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014), dan O (2016); empat kumpulan cerita pendek: Corat-coret di Toilet (2000), Gelak Sedih (2005), Cinta Tak Ada Mati (2005), dan Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi (2015); serta satu karya non fiksi: Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis (1999).
Eka Kurniawan sepertinya belum bosan mengolok-olok sisi maskulinitas kaum laki-laki lewat novel terbarunya: Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong (selanjutnya disingkat AMKM).
Setelah Ajo Kawir dalam Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas dibuat menderita karena mengalami gangguan impotensi akibat trauma psikologis, kali ini kita akan berkenalan dengan anak laki-laki bernama Sato Reang yang mengalami pemberontakan batin setelah—mengutip diksinya Eka—kehilangan kulup di ujung kemaluannya.
Hidup Sato Reang seketika berubah usai ia disunat dan sang ayah memintanya jadi anak saleh. Dalam perspektif Islam, sunatan atau khitanan merupakan simbol pengukuhan identitas bagi seorang anak laki-laki sebagai anggota muslim sejati dan bukti kesiapan pengabdiannya pada ajaran agama. Masalahnya, Sato Reang tak suka salat lima waktu, apalagi harus tunduk pada aturan atau norma lain yang mengikatnya.
Sadar atau tidak, mungkin Sato Reang adalah representasi diri kita atau sebagian diri kita ketika masih aktif menjadi bocah kampung. Saat kecil hingga remaja, ada begitu banyak pertanyaan lugu yang tak terjawab, dan orang-orang dewasa tak pernah merasa berutang penjelasan. Makanya, kita mungkin sepakat saat Sato Reang menggerutu, “Anak-anak kecil hanya mengikuti apa yang dikatakan sepuh-sepuh ini, dan mereka tak pernah punya keinginan untuk menerangkannya.”
Sialnya, karakter Sato Reang di sini justru menjelma sisi diri kita yang paling vulgar dan paling kelam. Jika mengutip pemikiran filsafat dari Imam Al-Ghazali, kondisi jiwa Sato Reang mungkin sudah sampai pada level kehewanan (i-bahimiyah), kebuasan (al-sabu’iyah), dan kesetanan (al-syaithaniyah), atau parahnya kombinasi ketiganya—meskipun sifat-sifat itu tak tumbuh sekaligus, tetapi berangsur-angsur muncul menjelang usianya 16 tahun.
Tentu tak keliru kalau ada yang beranggapan karakter Sato Reang membawa ingatan kita pada tokoh Holden Caulfield dalam novel fenomenal karangan J.D. Salinger, The Catcher in the Rye. Seorang bocah yang punya kegelisahan berlebih dan segudang masalah di masa transisi hidupnya menjadi remaja. Sebagai protagonis anti-hero, sikap keduanya pun nyaris sama persis: mereka suka mengeluh dan hobi mengumpat atas semua hal. Tolol! Anjing! Wewe gombel! Setan jembut!
Di ranah sastra Barat, karakter semacam ini sering muncul dalam novel-novel yang diberi label "picaresque"—berasal dari bahasa Spanyol, picaresca atau pícaro, yang berarti nakal atau bajingan. Novel picaresque umumnya mengandung tujuh unsur penting: narator orang pertama, protagonis dari kelas sosial yang lebih rendah, protagonis membuat pilihan tak bermoral yang mendekati kriminalitas, pengembangan karakter minimal, sedikit atau tanpa plot, mengandung realisme sastra, dan sindiran. Salah satu contoh yang paling terkenal yakni The Adventures of Huckleberry Finn karya Mark Twain.
Apabila ditelisik lebih jauh, rasanya AMKM paling menonjol dalam tiga aspek: karakter Sato Reang yang anti-tradisi, sudut pandang orang pertama (ini bisa diperdebatkan kemudian), serta aliran kesadaran.
Di saat teman-teman sebayanya mengalami gairah tertentu setelah disunat, dan mulai mendedikasikan diri untuk beribadah lebih taat, Sato Reang justru berpikir sebaliknya. Ia malas beribadah, malas pergi ke sekolah. Ia membenci ayahnya, gurunya, dan terutama Jamal—temannya yang paling saleh. Alegori anti-tradisi ini sebetulnya sudah tergambar dari pemilihan judul AMKM, sebab anjing tak biasanya mengeong dan kucing jarang pula menggonggong. Gaya penulisan Eka pun bisa jadi simbol anti-tradisi ketika ia memilih latar tahun 90-an, tetapi dengan sengaja memasukkan kata "bocil" dan "membagongkan"—diksi yang baru populer di era kekinian.
Nah, ini yang menjadi menarik, yaitu kesengajaan Eka Kurniawan menggunakan sudut pandang orang ketiga sekaligus orang pertama saat menarasikan karakter Sato Reang. Pembaca pun harus dipaksa terbiasa saat pronomina persona Sato Reang sekonyong-konyong dapat berubah dari "ia" menjadi "aku" dalam satu paragraf pendek. Hal ini sebetulnya sudah diperjelas Eka melalui teks di belakang sampul novel, yang bunyinya begini: “Ini kisah Sato Reang. Kadang ia demikian intim dengan dirinya, sehingga ini merupakan cerita tentang aku, tapi kali lain ia tercerabut, dan ini menjadi kisah tentang Sato Reang.”
Kemudian, sampailah kita pada kesimpulan bahwasanya novel ini coba mengusung konsep aliran kesadaran (stream of consciousness). Penulisan aliran kesadaran mengacu pada teknik naratif ketika pikiran dan emosi seorang narator atau karakter ditulis sedemikian rupa, sehingga pembaca dapat merasakan kondisi mental dari karakter tersebut. Istilah ini pertama kali muncul dalam kritik sastra yang ditulis oleh May Sinclair pada tahun 1918, melalui analisis novel-novel karya Dorothy Richardson.
Lebih dari itu, AMKM jelas ditulis Eka Kurniawan untuk menyindir pola asuh orang tua yang cenderung otoriter—mendidik dengan ketat, kaku, atau secara keras membatasi anak dalam bersikap, dengan harapan agar anaknya mengikuti aturan mereka tanpa diskusi atau kompromi. Didikan keras seperti yang dilakukan ayah Sato Reang serta ayah-ayah lain bisa jadi lahir dari produk budaya, latar belakang etis, atau karena mereka hanya mengetahui cara mendidik semacam itu—sebuah paradoks karena mereka pun dibesarkan dengan cara demikian.
Mungkin aku sedikit paham mengapa judul novel ini merupakan padanan kata (collocation) yang dibalik. Anjing menggonggong dan kucing mengeong terdengar lazim belaka. Sesuatu yang diterima secara umum, take it for granted. Tapi, bisa saja bukan, kita bilang anjing mengeong, kucing menggonggong, dan diamini sebagai kebenaran? Bukankah padanan kata hanya hasil dari kesepakatan? Kalaupun onomatope adalah sumber mengapa anjing dan kucing berbunyi demikian, itu juga hasil konstruksi akal budi manusia. Mana yang alami, tak ada yang tahu.
Begitu pula hidup Sato Reang. Sejak lahir ia sudah masuk ke dalam suatu sistem yang mengharuskan ia sembahyang, bersekolah, mengaji, untuk mendapat gelar anak saleh. Gelar itu bagi orang tua adalah pujian, sedangkan bagi Sato Reang adalah cemoohan. Menjadi saleh bukan menjadi tujuannya. Ia hanya menuruti ego khalayak bahwa yang dimaksud saleh adalah begini dan begitu. Saleh hanya sebatas menuruti khotbah para penceramah. Esensi beragama bukan lagi mencari makna hidup di dunia, tetapi mencari validasi siapa yang terihat paling taat. Sato Reang ingin mendobrak kelaziman yang bobrok dan mengakar, pikiran-pikiran orang malas yang menganggapnya alamiah dan tak perlu diperdebatkan. Itu diperlihatkan dari renungan-renungannya sendiri. Bukankah hidup yang tak diperiksa bukanlah hidup yang layak untuk dijalani?
Sato Reang kadang diceritakan oleh seorang narator, kadang ia sendiri yang bertutur. Dan ini terjadi bolak-balik semau penulis. Kupikir ada alasan yang bakal kutemui di akhir cerita mengapa demikian. Ternyata, tidak. Mungkin tujuannya murni eksperimental, tapi maaf, switch point of view yang berlebihan membuatku pening. Lalu, cerita tetangga dan keisengan kawannya tak berkontribusi apa-apa bagi keresahan Sato Reang. Bagiku, itu terlalu memakan halaman. Terlebih, aku tak mengerti apa urgensi dicetak hard cover untuk novel 133 halaman selain melambungkan harganya.
Sato Reang artinya binatang(milik)ku. Kebinatangan bersemayam dalam diri tiap orang, bahkan anak remaja. Agama berarti kepatuhan, tunduk di bawahnya. Kedua sifat ini yg diangkat Eka pada novel kelimanya #AnjingMengeongKucingMenggonggong.
Sunat adalah tanda bahwa lelaki sudah mendapat beban syariat, seperti salat, puasa, dan lain2. Sato Reang disunat, ayahnya mewajibkan ia harus salat tepat waktu, puasa, dan mengaji. Sato Reang terpaksa mengalah utk kehidupan anak2nya demi kepatuhan agama.
Ayahnya sebagai lonceng utk Sato Reang menjalankan ibadah2 yg dianjurkan agama. Kebinatangan dalam diri Sato Reang memberontak, ia lelah, ia iri terhadap teman2 sebaya yg bisa lalai dalam beribadah, yg tidak patuh.
Hingga puncaknya, lonceng itu menghilang, ia bebas, ia menjadi tak patuh. Segalanya ingin ia coba yg tidak dibolehkan oleh agama. Bahkan ia menjadi setan kecil utk temannya yg patuh terhadap agama.
Ada beberapa adegan kebanalan yg diangkat Eka utk menunjukkan kebinatangan Sato Reang, seperti mengencingi tiap tempat seperti anjing. Namun menurut saya ini tidak perlu atau kurang berkelindan dengan dua sifat yg mau diangkat, kebinatangan dan kepatuhan.
Kebanalan Sato Reang harusnya bisa lebih liar lagi kalau kita lihat tulisan2 Eka sebelumnya, seperti mabuk2an, menjadi perusuh di tiap tempat, atau melawan orangtua. Kebanalan itu justru disematkan kepada Jamal, kawan dari Sato Reang yg alim dan patuh.
Judul dari novel ini tidak seperti tiga novel awal Eka Kurniawan yg menggambarkan topik dari novel tersebut, seperti Cantik Itu Lula, Lelaki Harimau, dan Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas. Judul novel terbaru ini saya rasa tidak demikian.
Di luar cerita, hasil akhir tampilan buku ini emang cantik, hardcover yg ciamik dan berjaket dengan cover yg khas Wulang Sunu. Namun marjin yang terlalu berjarak membuat buku ini seperti ditebal2kan. Harusnya bisa lebih dimaksimalkan.
Apakah buku ini layak dibeli dan dibaca? Menurut saya layak, novel yg ditunggu dari Eka Kurniawan setelah berjarak 8 tahun dari novel terakhirnya. Dan tentu karena ini dari penulis favorit saya, Eka Kurniawan.
Selaku sastrawan kondang, buku Eka Kurniawan jarang sekali masuk radar bacaanku. Bermula dari iseng mengicip karya anyarnya, aku jadi ingin meminta lebih.
Aku suka dengan cerita-cerita yang menguliti kebejatan manusia, dan buku ini menyuguhkannya berupa santapan sekali lahap yang mengenyangkan lagi mengusik batin. Narasinya sedap, binal, namun juga jenaka. Aku bisa mendengar riuh-rendah Sato Reang yang asyik meludahkan sifat binatangnya, antara kepengin menempeleng atau meringis geli dibuatnya.
Ah, Sato Reang. Biadab nian engkau. Sedari dini dicekoki nilai-nilai dan ajaran religius, tapi ternyata dirimu sendirilah yang titisan setan. Beres perkara andaikan aku bisa melabeli Sato Reang sesederhana ‘woalah, bocil kematian’. Nyatanya, aku malah seperti menghadap cermin yang menelanjangi kecacatan sendiri.
Sebagai penganut agama berbekal ‘warisan’ keluarga, aku sedikit banyak berbagi masa kecil serupa dengan Sato Reang (mungkin kamu juga?). Pergi ke masjid, mengaji, hafalan surat-surat di kitab suci—kenapa? Karena orang-orang menyuruh begitu, karena di sekolah nilai agama kami juga dicatat. Kalaupun harus bersungut-sungut, toh tetap kujalani.
Berbeda dengan Sato Reang, dulu aku tak punya nyali menentang titah agama dengan dalih, “Awas dosa!” (sungguh, ini adalah kalimat mujarab agar anak rajin ibadah). Tumbuh dewasa malah membuatku mempertanyakan alasan keimananku selain karena takut dibakar api neraka. Seketika aku ngeri. Tanpa harus menampik, mungkin aku sendiri juga Sato Reang—yang berkhayal sesekali berbuat maksiat, yang masih mengeluhkan kenapa harus begini dan begitu.
Kendati ingin memakinya, aku pun jadi bersimpati pada Sato Reang. Bukan tanpa sebab, tindak-tanduk otoriter sang ayah mengungkung Sato Reang pada ajaran “benar-salah”, menihilkan ruang baginya untuk mengambil keputusan. Beberapa perilaku itu turut mengguratkan luka mendalam, dibiarkan membusuk, hingga melahirkan sosok binatang Sato Reang–wujud pemberontakan sekaligus upaya paling liar atas pembuktian eksistensinya.
Sato Reang memang laknat, dan dia dengan senang hati menunjukkan borok yang berusaha ditutupi mereka yang mengaku ‘hamba Tuhan’. Semua orang bisa jadi hamba Tuhan, tapi sudahkah kita benar-benar mengimani-Nya? Sepertinya ini pertanyaan yang juga harus kuajukan ke diri sendiri.
Ada apa dengan buku ini? atau ada apa dengan Eka Kurniawan?. saya merasa ini sepertinya tak perlu jadi novel, cukup cerpen. Bangsatnya, kemasan buku ini bagus sekali, warnanya, ilustrasinya ciamik bener. buku ini mewah. Tapi apakah buku perlu menjadi mewah? entahlah. Tapi membaca kisah Sato Reang sukses membuat saya jengkel. Jengkel karena Sato Reang hanya menjadi tokoh yang biasa2 saja. Dibilang pemberontak tidak juga, keinginan memberontak sepertinya iya. Dibilang pendurhaka, tentu tidak. Ia hanya berhasil menjadi umat yang pemalas. Upaya menjadi anjing juga tidak berhasil. Ia hanya berhasil menjadi anjing setengah matang. Satu satunya upaya sukses Sato Reang adalah menjadi setan bagi temannya, Jamal. Itupun bukan upayanya sendiri, tapi bareng teman2nya. Seperti tulisan Mas Eka di "Tips Bahagia untuk Penulis", saya memberi tiga bintang untuk buku ini, bukan satu bintang, biar sekiranya Mas Eka membaca tulisan ini, ia ikut jengkel. haha. Ijinkan saya menuliskan kalimat contekan kurang ajar ="buku ini menghancurkan mitos populer bahwa jika buku itu karya Eka Kurniawan, pasti bagus". Lebok tah!
This entire review has been hidden because of spoilers.
Penantian selama bertahun-tahun bagi para penikmat sastra mungkin tak terbayar begitu memuaskan, kala sastrawan ternama negeri ini, Eka Kurniawan kembali menelurkan novelnya setelah cukup lama vakum. Dibanding karya-karya fenomenal beliau sebelumnya yang gegap gempita, novel teranyarnya ini cenderung sederhana dan terkesan antiklimaks. Meskipun tema father issue-nya cukup mengena secara pribadi.
Kita dibawa pada hikayat pemuda Sato Reang (Holden Caulfield ala Eka) dari masa kanak-kanaknya hingga bersunatnya dia. Sato digambarkan sebagai anak muda yang berpikir kritis dan kerap diam-diam menentang apapun aksi ayahnya yang alim dan dianggapnya sebagai pecundang. Kala sang ayah berpulang, Sato merasa ia pelan-pelan dihantui dan menjelma menjadi sosok ayahnya tersebut. Ia semakin memberontak, tak mau dicap sebagai pemuda saleh. Hingga sebuah insiden mengubah pandangan hidupnya selama-lamanya.
Seperti biasa, Eka begitu fasih bermain dengan diksi yang memikat dan alur yang cukup tak tertebak , meskipun pada akhirnya Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong ini terasa begitu lemah dibanding karya-karya Eka sebelumnya. Pesan yang maunya dianggap kuat di penghujung alur pun sebenarnya tak seberpengaruh itu. Namun, sebagai karya yang berdiri sendiri, novel ini tetaplah menarik dan temanya yang mempertanyakan agama masih lumayan kontemplatif untuk disantap.
Secara singkat, novel ini menyajikan cerita dengan fokus isu religi dan dikemas dengan cara menggelikan melalui karakter-karakternya. Karakter Sato Reang yang menjadi sorotan diceritakan sedari dia kecil melalui petualangan-petualangan bocil. Saat masih kecil, dia menjadi anak yang nakal tetapi menikmati hidup sebagaimana kebanyakan bocah seusianya. Namun setelah disunat, Sato Reang dituntut untuk menjadi lebih dewasa dan tidak meninggalkan ibadahnya.
Eka Kurniawan menyajikan jalannya cerita yang membuat pembacanya berada dalam posisi netral. Melalui karakter Sato Reang yang dipaksa menjaga perilaku sesuai dengan ajaran agama, tetapi hal ini berdampak kepada tidak puasnya Sato Reang dalam menjalani kehidupan. Banyak hal-hal yang membuat dia menahan diri, dan membenci keluarganya sendiri.
Sedangkan dari sudut pandang orang sekitar Sato Reang, menjaga perilaku sesuai agama itu merupakan keharusan. Meskipun berdampak pada mengambil kebahagiaan dan hak hidup sepenuhnya Sato Reang. Mereka tidak peduli akan kebahagiaan Sato Reang, karena sudah menganggap dia dewasa dan emang seharusnya bisa bersikap lebih baik.
Mendekati akhir cerita, alur novel semakin menarik. Saat membacanya saya merasa nyaman dan selalu penasaran akan ada kejadian apa lagi di dalam cerita. Sehingga membacanya tidak perlu waktu yang lama. Karena didukung juga dengan cerita perbab yang pendek.
Secara keseluruhan, novel ini mudah dibaca dan cenderung mirip kepada cerpen karena pendeknya. Saya sangat menikmati alur cerita, hubungan antartokoh, dan amanat yang terkandung di dalamnya. Saya merekomendasikan novel ini untuk orang yang baru mulai membaca atau mudah terdistraksi saat membaca buku.
Ini adalah karya panjang Eka pertama yang aku baca setelah sebelumnya lebih banyak menikmati karya beliau dalam bentuk kumpulan cerpen. Harus kuakui bahwa karya terbaru dari Eka ini rupanya sama sekali tidak membuatku terkesan. Entah karena dibuat dalam bentuk novel pendek atau lebih tepatnya novella aku merasa ada sedikit inkonsistensi pada beberapa narasi yang menurutku tidak penting sekali untuk dibahas. Tetapi, buku ini termasuk paket lengkap, ada beberapa topik yang coba ditonjolkan oleh Eka dalam AMKM ini seperti maskulinitas, agama, validasi dan juga pencarian identitas diri yang membuat karya ini menjadi salah satu karya Eka Kurniawan karena di buku ini Eka sama sekali tidak menghilangkan ciri khasnya yang selalu membuat pembacanya tertawa terpingkal-pingkal lewat setan berwujud anak kecil bernama Sato Reang.
AMKM berkisah tentang Sato Reang yang mempertanyakan konsep kesalehan yang ditanamkan oleh ayahnya kepada Sato Reang setelah disunat. Kurang lebih, apa yang dirasakan oleh Sato Reang juga dialami oleh diriku, hidup di tengah keluarga konservatif yang religius dengan ajaran agama Katolik membuatku wajib menjalani misa hari minggu, puasa dan pantang setiap hari Jumat menjelang trihari suci, berdoa Rosario lima peristiwa, membaca Alkitab serta beberapa kewajiban lainnya yang diajarkan oleh ayahku kepadaku sedari kecil. Waktu adegan pintunya Sato Reang di gedor-gedor biar bisa sembayang di masjid saja rasanya dibuat merinding karena waktu bagian ini Eka sudah seperti seorang cenayang karena bagaimanapun juga setiap hari Minggu ayahku selalu membangunkanku untuk misa ke gereja mengikuti ekaristi, kalaupun aku tidak bangun mungkin percikan air akan membangunkanku dari tempat tidur.
Tetapi apa yang aku alami ini kasusnya berbeda dengan yang dialami oleh Sato Reang. Sato Reang sendiri merasa bahwa konsep yang dijejalkan oleh ayahnya ini malah mengekang kebebasannya sehingga pada akhirnya membuat Sato Reang tumbuh menjadi seorang pemberontak bahkan menjadi seorang penghasut kecil yang licik yang bisa saja mencabut nyawa manusia. Setelah kehilangan ayahnya pun Sato Reang semakin kehilangan jati dirinya karena dia merasa ayahnya kini hidup di dalam dirinya bahkan segala kebiasaan yang pernah ayahnya tinggalkan telah menggerogoti dirinya semakin dalam.
Di sisi berseberangan, Ayahnya menilai bahwa Sato sudah saatnya untuk bersikap dewasa dan lebih bijak dalam menganut ajaran muslim yang sudah dianutnya. Ayahnya sendiri hanya tahu bahwa Sato itu berdoa dan sholat lima waktu sambil menunaikan kewajibannya sebagai muslim yang taat tak peduli jika anak-anak seumuran Sato Reang mencemoohnya.
Aku sendiri merasa kagum dengan tulisannya Eka. Beliau sendiri tidak serta-merta membuat cerita ini dikulik hanya dari satu sisi sehingga membuat cerita ini mungkin akan terkesan ambigu malahan Eka memberikan kesempatan kepada pembacanya untuk melihat kejadian ini dari sisi yang lain. Tentunya, Eka sendiri punya alasan lain agar pembacanya bisa lebih kritis dalam menikmati bacaan seperti ini. Eka pun terbilang berani untuk mengeluarkan banyaknya kata-kata mutiara yang tersebar hampir di tiap lembaran buku ini yang membuatku hanya bisa menggelengkan kepala mengingat semuanya itu keluar dari mulut jahanamnya Sato Reang sendiri.
Dalam buku ini pun, Eka mengkritisi didikan keras orang tua untuk mau mengikuti keinginan mereka tanpa mendengarkan apa yang sebenarnya anak-anak inginkan yang tentunya akan berdampak buruk lewat pola asuhnya ayah Sato Reang. Hal ini pun tidak lepas dari latar belakang ayahnya yang mungkin pernah mengalami hal serupa yang malangnya diturunkan pada Sato Reang dan herannya lagi kenapa Eka tidak kepikiran menulis masa lalunya ayahnya Sato Reang ini yang menurutku sangat penting dan bisa dikembangkan lagi karena aku hanya mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang penulis silat yang gagal sebelum waktunya ketimbang harus menulis kisah cintanya nelayan kenalan Sato Reang. Serius, bagian itu sama sekali tidak memuaskan. Ya, kemungkinan ada alasan lain yang mungkin dipikirkan oleh Eka untuk menulis kisah itu sebagai plot armornya Sato yang sangat penting untuk membentuk karakternya seperti yang kita kenal.
Oh ya, berbicara tentang topik maskulinitas dan Validasi rasanya kurang lengkap jika tidak dibicarakan. Sato Reang tentu seorang manusia walau tingkahnya lebih mirip setan yang bisa merasakan cinta hanya saja terlalu banyak malu yang harus dia tahan seorang diri akibat belenggu kesalehan yang coba dia dobrak namun sayangnya menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
Untuk topik maskulinitas sendiri aku merasa peran teman-temannya Sato Reang membawa kontribusi besar yang menyesatkan bahwa menjadi seorang pria tentunya harus merokok, mabuk-mabukan dan menonton film porno. Puncaknya Sato Reang berhasil membuat Jamal, yang merupakan cucu ulama besar jatuh ke dalam lembah dosa. Aku merasa bahwa selama ini percuma juga kalau Jamal sembayang kalau imannya saja lemah. Semuanya pasti akan beres kalau Jamal tidak termakan umpannya Sato.
Terakhir, sebenarnya butuh waktu bagiku untuk bisa beradaptasi dengan gaya bahasanya Eka dalam buku misalnya penuturan sudut pandangnya yang kadang berpindah-pindah dari yang sebelumnya diceritakan oleh seorang narator kemudian berpindah ke Sato Reang sendiri sehingga membuatku berpikir kalau apa yang dibuat oleh Eka ini sudah berlebihan tetapi setidaknya ini adalah sebuah variasi cerita baru yang coba ditawarkan oleh para pembaca lamanya yang ingin mendapatkan sesuatu yang baru dari tulisannya. Kemudian, lebih memperdalam karakter lainnya yang menurutku penting tapi kurang digali soalnya menjelang cerita ini berakhir aku sudah tidak penasaran lagi dengan akhir dari ceritanya ini.
"Enam belas tahun ia hidup sebagai anak waras, kalian menyesatkannya hanya dalam lima hari. Lima hari! Bajingan kalian" (133)
Saya nggak pernah pede mengomentari buku sastra, tapi singkatnya: sebagai pembaca, saya menikmati buku ini. Mungkin karena saya punya anak laki-laki, dinamika orang tua dan anak di sini jadi terbayangkan.
Buku ini bercerita soal Sato Reang, anak yang dibesarkan oleh orang tua yang agamis dan menuntutnya menjadi anak saleh. Alih-alih menjadi saleh, Sato Reang kemudian memendam kebencian kepada ayahnya bahkan setelah ayahnya meninggal. Kebencian yang saya interpretasikan digambarkan sebagai api, yang juga identik dengan iblis dalam ajaran agama.
Hal menarik lainnya juga adalah back story ayah Sato Reang yang bergulat dengan mimpi dan kegagalan. Walau singkat, buat saya mengingatkan tentang bagaimana menjadi pecundang bisa membuat orang berusaha mencari kemenangan melalui kuasa yang lebih kecil, misalnya di keluarga.
Kisah nelayan yang menjadi teman ayah Sato Reang juga berkesan buat saya :')
"Aku mencintai api. Bahkan di neraka, jika aku tak salah dengar, Tuhan mempercayakan tugas kepada api untuk membakar dosa-dosa manusia."
Tidak berekspektasi apa-apa dengan buku ini, kecuali selalu percaya dengan tulisan Eka Kurniawan yang filosofis sekaligus bikin meringis. Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong berkisah tentang Sato Reang, anak remaja yang baru disunat dan selalu disuruh sembahyang oleh bapaknya. Sato Reang aslinya malas beribadah, katanya mengganggu aktivitas dia sebagai anak kecil.
Lalu, bapaknya Sato Reang meninggal. Menurutku, dia kaya kehilangan kompas atau guidance gitu deh. Terus gue juga mengira si Sato Reang jadi terganggu kesehatan mentalnya sejak kehilangan bapaknya.
Novel ini menceritakan tentang kehidupan seorang anak laki-laki bernama Sato Reang yang dididik oleh ayahnya dengan didikan keras dan otoriter. Ajaran ayahnya yang mengedepankan islamisasi terkesan terlalu keras dan mengekang. Parenting seperti ini membuat Sato Reang merasa direnggut kebebasannya.
Bagi anak kecil seperti sato reang, dipaksa melakukan kegiatan ibadah tanpa penjelasan esensi dari ibadah itu sendiri adalah sebuah bentuk haus validasi. Seolah anak-anak hanya melakukan apa yang diperintah orang dewasa demi gelar 'anak saleh'. Sebagai anak-anak merasa tidak punya kebebasan memilih dan tidak punya kesempatan untuk mengeksplorasi mana yang baik dan buruk. Seolah hidup Sato Reang sebuah bola yang digilir dan ditendang kesana kemari tanpa bisa melawan.
Permasalahan Sato Reang dan ayahnya sukses membuat aku menguras emosi. Ayah Sato Reang terlalu banyak menuntut, harus ngaji, harus sembahyang, jangan ini jangan itu. Men-judge permainan anak-anak sebagai bid'ah, haram dan judi. Bukannya menjadi nasehat, teguran keras seperti ini justru membuat Sato reang tumbuh tertekan dan akhirnya ketika remaja ia tumbuh menjadi pribadi yang membangkang. Segala tuntutan ayahnya tentang ibadah, membuat Sato reang semakin membenci menjadi anak saleh. Bagi Sato Reang ibadah telah mencabik-cabik waktunya sebanyak lima kali sehari.
Sepanjang baca buku ini, jadi ikut jengkel, ikut capeeek, dan muak banget. Islamisasi yang harusnya diajarkan dengan penuh kelembutan dan kedamaian justru menjadi paksaan dan ancaman. Akhirnya membuat si anak takut untuk melanggar perintah ayahnya, bukan Tuhannya.
Selesai baca kurang dari sehari walau disambi-sambi sibuk ini itu. Begitu sampai halaman terakhir, kugumamkan satu baris di lagu Nuansa Bening; “Hmmmm… Tiada yang hebat, dan mempesona…”
Bercerita tentang seorang bocah bernama Sato Reang yang dibebani oleh ayahnya jadi anak saleh sejak ia disunat. Namun, dengan penuh amarah, Sato Reang menolak mentah-mentah segala konsep tentang anak saleh yang dijejalkan ayahnya atau oleh siapa pun kepadanya.
Ia menolak untuk patuh, tak mau ngaji, apalagi shalat lima waktu. Ia bahkan meluapkan kebenciannya pada sembahyang shalat itu dengan mengatakan “… waktuku tercabik-cabik lima kali sehari.”
Ayahnya yang tak menyerah untuk menjadikannya anak saleh justru membuat pemberontakan Sato Reang semakin menggila. Ia menjadi setan kecil yang terkutuk. Melakukan apa pun kehendaknya tanpa peduli apakah itu dosa atau apakah itu mencelakai orang lain.
Btw, aku punya temen2 masa kecil yang kelakuannya mirip Sato Reang & Kurnia, temennya. Nggak separah mereka, emang. Tapi cerita mengencingi buah & melempar kresek berisi kotoran dulu pernah kami alami.
ngajak anak saleh buat nakal juga pernah dilakukan, tapi nggak sampai bernasib seperti Jamal.
——
Lhoo, apa saja yang dilakukan Sato Reang pada sekitarnya, temannya, dan pada dirinya? bacalah, selesai sekali duduk kalau lagi nggak sibuk.
Memang tiada yang hebat dan mempesona, tapi ini tulisannya Eka. Nah!
Bahkan setelah mati, Ayah terus mencoba membangunkanku agar aku pergi ke masjid dan sembahyang subuh. Tidak, Ayah, aku tak akan melakukannya. - p. 112
Sato Reang membenci Ayahnya. Ayah yang selalu menyuruhnya ke masjid untuk sembahyang. Ayah yang menggolok membelah menjadi dua, bola sepak yang ia mainkan di kala magrib. Ayah yang membakar boneka monyet yang Sato dapatkan untuk adiknya. Dan Ayahnya telah mati, namun masih "menghantuinya".
-----
Relasi anak laki-laki dengan ayah sangat kental disajikan di sini. Tentang tokoh aku dan Sato Reang yang sebenarnya orang yang sama. Namun, kadang ia menceritakan seolah itu dirinya sendiri. Kadang pula seolah itu orang lain—Sato Reang.
Penceritaannya khas. Ya, meski ada beberapa bagian yang aku nggak mengerti, ada juga yang bikin ku mengernyitkan dahi, bikin geleng-geleng. Lengkap sudah.
Puncaknya saat misi Sato Reang untuk "menyesatkan" Jamal. Cucu seorang ulama besar. Ia sangat alim dan rajin sembahyang di mesjid. Tidak bersalaman dengan anak perempuan. Tidak mengangkat tangan untuk memberi hormat saat upacara bendera. Tidak mengulang mengucapkan pancasila. Tidak makan di warung karena tidak tahu persis kehalalannya.
Tingkah polah Sato Reang—yang menurut orang katanya berduka atas kematian Ayahnya—padahal itu adalah manifestasi kemarahan Sato terhadap Ayahnya, sukses buat aku mengelus dada.
“Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong” adalah buku yang mengecewakan dari seorang penulis Indonesia yang selalu saya nantikan karyanya.
Buku ini bercerita tentang seorang anak yang tidak ingin menjadi anak soleh. Seperti tipikal karya sastra yang baik, halaman pertama buku ini langsung menggigit—set up ceritanya bikin penasaran. Tapi, semakin dalam dibaca, semakin hilang ‘panas’ yang sudah berhasil dihadirkan di awal. Ceritanya terasa membosankan, dengan detail yang mungkin dimaksudkan sebagai elemen estetik atau pendalaman karakter, tapi (menurut saya) cuma terasa ornamental dan kurang kedalaman.
Seandainya buku ini hanya berupa cerpen atau 30 halaman saja, mungkin akan terasa lebih pas. Sayangnya, panjangnya 130 halaman dipenuhi repetisi pendalaman karakter yang tidak menarik.
Sebagai penggemar berat Eka Kurniawan, saya kecewa. Semakin tua, seorang penulis seharusnya semakin matang. Tapi apakah mungkin, gairah muda dan kebaruan dalam tulisannya sudah menguap bersama usia?
Semoga tidak. Saya tetap menantikan gebrakan Eka yang, seharusnya, merupakan potensinya
Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong merupakan novel karya Eka Kurniawan yang bercerita tentang Sato Reang dan sepak terjangnya dalam perjalanannya memaknai kesalehan. Tumbuh dalam pengawasan orang tua yang begitu taat pada agama menjadikan Sato Reang jengah dan sangat berniat untuk menjadi bengal. Namun, semakin keras ia berusaha, Tuhan selalu punya cara untuk menunjukkan kebaikan pada Sato Reang.
Jika mungkin sebagian orang akan menganggap cerita pada buku ini nyeleneh dan menyalahi norma. Sebaliknya, buku ini justru memberikan kebebasan yang begitu luas pada pembacanya untuk bagaimana memaknai kesalehan itu sendiri.
Respon tokoh utama dalam menghadapi kekangan dan persepsi sosial di lingkungan tempatnya tinggal, buat saya tidaklah berlebihan. Sy sesekali membayangkan bagaimana jika Sato Reang adalah sy sendiri, hidup ditengah-tengah aturan yang padanya tidak diberikan keleluasaan dalam mengambil keputusan. Meresahkan dan membuat jengah tentunya...
Pas awal baca, mikirnya kok ya Eka masih aja seputar itu aja, pas itu bagian motong kulup. Baru deh bagian belakang merasa oh ini ya yang mau disampaikan, bagaimana si anak yang ingin melawan segala yang sudah pakem dalam keluarganya.
Gejolak anak-anak, menjadi orang muda dan lingkungan saleh yang membawa pada keharusan atas kesalehan yang sudah ada dalam keluarga. Apalagi sosok bapak si pencerita dalam buku ini.
Selesai baca buku Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong karya Eka Kurniawan. Ini buku pertama dari Eka Kurniawan yang gue baca, cukup terpukau sama ide ceritanya dan gaya nulisnya, jadi penasaran buku dia lainnya.
Bukunya menceritakan Sato Reang yang menolak jadi anak saleh. Dia memendam kemurkaan ke sang ayah yang otoriter. Di awal buku udah provokatif dan kontroversial, ada kutipan “Berbuatlah sedikit dosa Jamaaaal!”
Terus gue penasaran nama Sato Reang, pas cari tau dalam bahasa Sunda artinya binatang berisik. Jadi gak heran kelakuan Sato Reang kaya binatang di buku ini, cuma ada alasannya ya. Sepanjang buku kita ngeliat kelakuan bangor dari Sato Reang dari SD sampe SMA. Awalnya cuma ada di pikiran doang, sampe akhirnya dilakuin.
Buku ini bahas dampak ketika ajaran agama dipaksakan. Terus gimana pola asuh yang keras malah bikin anak semakin berontak. Setelah baca novel ini, jadi ngerti kenapa ilustrasi di cover bukunya ada api dan bayangan, api karakter Sato Reang yang terobsesi sama api, alasannya bisa dibaca bukunya. Terus bayangannya itu bapaknya yang selalu ngikutin dia kemanapun dia pergi. Ini tebakan gue doang sih hehe.
Oh iya ada selipan kisah cinta tragis tetangga Sato Reang yang curi perhatian.
Kutipan gong di buku banyak,salah satunya ini nih:
“Enam belas tahun ia hidup sebagai anak waras, kalian menyesatkannya hanya dalam lima hari. lima hari! bajingan kalian”
Baca kutipan ini bikin merenung, tidak diduga, tidak disangka huhu. Bukunya cuma 133 halaman, terasa ringan cuma sebenarnya berat dan mendalam.
Eka Kurniawan continues to be haunted by the success of Cantik itu Luka in order to produce a book this terrible.
Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong is essentially a nothing-burger story about youth, adolescent rebellion, and religion packed in such a way that they do not say anything new, meaningful, nuanced, etc. Rather, they read like one of those shitty pulp moral stories of forgotten ages of Indonesia's past.
This book quite literally read like it was written as a mean for tax exemption, if that even exist here in Indonesia.
Where Cantik itu Luka is masterful because of its allegorical portrayal of how Indonesia itself has been left raped and battered by the prolapsing anus of Dutch and Japanese colonialism, this book offers nothing but a vain jerk-off to one's distorted view of himself as an artist.
Instead of reading this crap, just read the aforementioned book instead. Or, if you are looking for something similars but better, then read something like: Catcher in the Rye, Leave Society, In Praise of the Stepmother, Stoner, whatever.
TLDR: do NOT read this book, the Kurniawan of then is not the same author that he is now.
Senang Eka nyoba-nyoba eksperimen ganti-ganti POV, agak bingung tapi yah asik dibaca sih. Jujur kadang sambil baca kepikiran nerjemahin bukunya gimana, soalnya jokesnya sering segmented, terus pemilihan katanya juga enggak umum wkwk. Overall seru, kayaknya pas panjang buku Eka Segini karena terakhir baca O kepanjangan, baca Sumur kependekan. Seperti biasa, jago bikin simpati karakter brengsek yang kalo IRL sebenernya bikin saya pengen pindah kewarganegaraan. Tapi gak dikasih 5 bintang karena beberapa bukunya terakhir agak kurang greget ya entah kenapa, kayak awalnya lamban dan kebanyakan deskripsi, kesininya kayak ngebut dikejar deadline(?) alias pacenya gitulah.
Tidak menandai kalimat bagus untuk di-post di progres baca. Jadi, langsung tandai finished saja. Sekalian sebagai pengingat untuk baca ulang dan mencatat beberapa hal.
Di pembacaan pertama, karakter Sato Reang bikin ingat Holden di The Catcher in the Rye. Sembari nunggu momen baca ulang Anjing ini, mungkin ada baiknya kubaca ulang The Catcher. 👌🏼
Saya membaca buku ini sambil merindukan Dewi Ayu dan Margio. Apakah Eka akan menulis seperti dua novel itu lagi? Saya pikir itu tidak akan terjadi. Sebagai penulis Eka selalu berusaha menemukan bentuk-bentuk baru bagaimana sebuah novel ditulis. Salah satunya Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong ini, terlepas dari pembaca suka atau tidak.
Begitu membaca bahwa tokoh utama dalam buku terbaru Eka Kurniawan ini “...tak suka menjadi anak saleh” dan ...senang membayangkan dunia dipenuhi segala petaka yang boleh ditertawakan,” saya tahu bahwa cerita ini akan menjadi novel picaresque, sebuah istilah yang beberapa kali disebut Eka dalam tulisan di blog pribadinya. Cerita picaresque biasanya memiliki seorang tokoh utama anak muda yang lincah menyerocos, suka keluyuran, kelakuannya ugal-ugalan, tapi sebenarnya adalah bentuk ekspresi anak kecil yang polos ketika menghadapi dunia orang dewasa yang banyak aturan, penuh muslihat dan suka basa-basi. Jika karakternya orang dewasa, biasanya ia berasal dari kalangan pinggiran, bisa juga bajingan kelas teri, yang harus berhadapan dengan dunia yang runyam atau orang-orang serius yang memiliki kekuasaan. Ciri-ciri novel picaresque bisa ditemukan dalam Sato Reang, sang protagonis cerita ini yang merasa hidupnya menjadi suram dan membosankan setelah ia disunat lalu dituntut bapaknya untuk menjadi anak saleh. Sebenarnya kecenderungan picaresque sudah terlihat dalam novel-novel Eka sebelumnya, tetapi baru kelihatan mengental unsurnya di buku ini, karena kuatnya nada kritik terhadap kepatutan dan hal-hal tabu yang sudah terlihat sejak halaman pertama. Semangat mengolok-olok memang sangat kentara dalam novel ini. Eka memprotes hal-hal yang selama ini dianggap sakral lewat kalimat-kalimat singkat dan bahasa yang ringan. Contohnya ketika Sato Reang merasa enggan untuk solat, ia malah curhat: “...aku selalu merasa lima kali itu sangatlah banyak. Kewajiban itu terus merampok waktuku. ... Aku selalu merasa belum melakukan apa-apa. Tak bisa melakukan apa-apa. Waktu tak pernah mengalir bebas. Waktu tercabik-cabik lima kali sehari.”
Mengenai pemakaian kalimat singkat, di dua novel sebelumnya, Seperti Dendam dan O, Eka juga menggunakan cara ini. Bedanya, jika di dua novel itu ia menggunakan banyak dialog, kali ini ia hanya menggunakannya sesekali saja dan lebih banyak menggunakan narasi yang mengungkapkan isi pikiran tokoh utamanya. Cara ini menjadi cocok karena untuk pertama kalinya Eka menulis novel dengan memakai sudut pandang pertama sehingga membuatnya lancar dalam mengeluarkan segala opini dan keluhan Sato Reang. Ketika akhirnya ia terbebas dari ayahnya yang selama ini mengekangnya, ia pun akhirnya bisa merealisasikan dirinya seperti yang ia inginkan. Ia bisa keluyuran menghindari mesjid, kencing di mana pun semau hati, sampai mengajak temannya yang alim untuk berbuat maksiat, dan itu membuatnya merasa benar-benar hidup seperti yang dikatakannya sendiri, ”Kapan pun mau, aku bisa memberi sedikit gangguan kepada manusia lain. Membuat mereka marah, jengkel, dan bahkan sakit. Dengan cara seperti itu, akhirnya aku menjelma ada.” Judul novel ini yang terkesan melantur sebaiknya tak usah terlalu dipikirkan. Sepertinya Eka sedang terinspirasi dari Cesar Aira, salah satu penulis yang ia bahas dalam tulisan blognya, yang suka memberi judul yang tidak ada sambungannya dengan cerita dalam buku. Sebagai seorang yang memiliki referensi luas dalam hal bacaan, saya percaya bahwa Eka adalah penulis yang suka coba-coba. Berbagai bahan coba-cobanya bisa dilihat dari daftar bacaannya yang beragam dan ia catat dalam banyak tulisan blog dan esai yang sudah diterbitkan dalam beberapa buku itu. Untuk percobaannya kali ini, saya cukup suka, dan juga menanti percobaan-percobaan berikutnya.
Saya baru membaca novela ini setelah ikut dua kali diskusi bukunya. Satu di Bebasari bareng Zen RS dan Feby Indirani. Dua di Gramedia Sudirman, Eka doang. Modelan talkshow, jadi nggak banyak yang ndalem. Yah, fanservice gitu deh. Di Bebasari, sebaliknya, telaahnya tajem. Zen RS, misal, bilang kalo novela ini adalah eksperimen Eka atas cerita coming-of-age dan watak non-konformis. Soal ritus perlintasan akil-baligh dan pertanyaan atas pasca-kebebasan. Dan, Eka mengiyakan.
"The Catcher in the Rye", yang terjemahan Indonesia versi lawasnya dikasih judul "Pemuda yang Memendam Amarah", karya JD Sallinger, jadi salah satu referensi utamanya. Selain "The Stranger" atau "Orang Aneh"-nya Albert Camus.
"The Catcher in the Rye" soal gerundelan pemuda pemberang. Dan "The Stranger" soal pemuda yang berani berkata "tidak, saya bukan manusia biasa. Saya aneh dan terus kenapa?".
Dikisahkan, Sato Reang, anak Pak Umar imam masjid Kampung Rawa Batu, disunat. Yang baru dia sadari, sunat bukan cuma perkara hilangnya kulup kemaluan, melainkan juga apa yang disebut Zen RS sebagai ritus perlintasan (rites of passage). Ritus yang bikin Sato DIPAKSA melintasi kanak-kanak menuju remaja, akil baligh, dan sebagai muslim anak Pak Umar, Sato mesti jadi ANAK SOLEH.
Dan Sato ogah. Sepanjang buku, kita disajikan Holden Caulfield versi pesisir selatan Jawa. Segala yang wajar ditolaknya, meski seringkali diam-diam, sebab ya dia hanyalah bocah yang tidak kuasa melawan orang dewasa. Pemberontakan kecil-kecilan dilakukannya, seperti terus adu jangkrik sampai lewat azan maghrib, yang membuatnya disamperin bapaknya.
Banyak ketakutan, kekesalan, dan tentu, kemarahan tak terkatakan seorang bocah berhasil dituliskan Eka lewat tokoh Sato Reang. Misal, bagian ketika Pak Umar tumben-tumbenan mengajak sekeluarga "piknik", padahal yang dimaksud adalah menghadiri tabligh akbar alim ulama di masjid raya provinsi.
Tai betul bagian ini. Rilet. Saya yakin semua anak pasti punya pengalaman terpaksa ikut orang tua, apapun bentuknya. Entah kondangan, entah ke rumah sodara yang cuma pernah didengar namanya, atau bahkan melayat, yang meski terdengar durhaka, tapi ya peduli setan. Siapapun tahu, sound dangdut, rumah sodara yang cuma pernah didengar namanya, atau kuburan, bukanlah habitat bocah.
Bukan cuma watak dan lakon nonkonformis yang bikin novela ini memikat. Bagian ketika Eka mendeskripsikan suasana realis pun luar biasa. Terasa dekat dan apa adanya. Misal, di bagian Pak Umar meninggal. Eka sukses menerjemahkan kesedihan sekaligus guyubnya warga kampung; dan tentu, tentang isi kepala Sato ketika itu, yang salah satunya adalah menebak-nebak pakde mana yang punya pikiran bejat untuk menyerobot ibunya sebagai istri mereka.
Dan masih banyak hal lainnya. Buku yang asyik lah pokoknya.