Satu hal yang ingin kutanyakan kepadamu sejak lama, bagaimana mungkin kita saling jatuh cinta, namun ditakdirkan untuk tidak bersama?
Aku dan kamu tidak bisa memaksa agar kebahagiaan berlangsung selama yang kita inginkan. Jika waktunya telah usai dan perpisahan ini harus terjadi, apa yang bisa kita lakukan?
Masihkah ada waktu untuk kita bersama, Ruth?
JIka memang kamu harus pergi, berilah aku waktu sedikit lebih panjang untuk menikmati saat-saat terakhir bersamamu. Meski tidak lama, hanya sebentar, seperti senja yang senantiasa kamu lukis, atau seperti ciuman pertama kita yang ragu-ragu. Berilah aku waktu sedikit lebih panjang untuk memelukmu, karena aku belum mengungkapkan seluruhnya yang ingin kukatakan kepadamu.
Ironis, Ruth. Kamu berkata “Aku sayang kamu” tepat pada saat kamu harus meninggalkanku.
They are "Angsa-Angsa Ketapang" (2010), "Radio Galau FM" (2011), "Kata Hati" (2012), "Milana" (2013), "Cinta." (2013), "Surat untuk Ruth" (2014), "Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri" (2014), "Jika Aku Milikmu" (2016), "Metafora Padma" (2016), "Elegi Rinaldo" (2017), "Mobil Bekas dan Kisah-kisah dalam Putaran" (2017), "Luka Dalam Bara" (2017), "Untuk Seorang Perempuan yang Memintaku Menjadi Hujan" (2017), "Asal Kau Bahagia" (2017), "Espresso" (2019), "Tentang Menulis" (2019), "Residu" (2019), "Batu Manikam" (2020), and "Banse Firius" (2020).
My short story “Goa Maria” appeared in the bilingual anthology of Indonesian writing Through Darkness to Light (Ubud Writers and Readers Festival 2013 & Hivos).
I provide editorial and copywriting services, for commercial and literary purposes. I accept prose, poetry, and nonfiction story.
Mengharapkan tulisan yang "move on" dari Bara. Mungkin Bara memanfaatkan tren galau yang lagi mewabah sekarang ini, move on dalam artian segi cerita yang baru, pengolahan karakter yang matang karena kalau nggak Bara akan terjebak dalam tema dan gaya yang itu-itu saja. Terus terang saya ngantuk di tengah-tengah, tapi sisi baiknya, saya kagum dengan semangat Bara untuk memaksa diri untuk produktif berkarya semoga ke depannya lebih baik.
Aku memutuskan memberi satu bintang saja untuk buku ini. Katanya, buku ini bagian dari buku Bara sebelumnya, Milana. Entah, apakah kesan menariknya menjadi berkurang karena aku belum membaca Milana. Tapi yang jelas, buku ini tak meninggalkan kesan apa-apa. Tidak ada gregetnya, bahkan dengan gaya bertutur surat (atau solilokui) semacam itu, membuat penuturannya menjadi seperti seorang penulis pemula yang terbata-bata, membosankan.
Yang membuat aku heran, buku ini begitu digadang-gadang GPU, ada talkshow di mana-mana. Aku tak tahu di mana letak istimewa buku ini. Setelah memakai cara memasukkan lirik lagu untuk memperpanjang2 halaman, sekarang Bara menemukan trik baru untuk memperpanjang halaman: membuat daftar-daftar seperti di bab akhir. Untungnya, ketika dibaca, daftar itu menarik.
Endingnya, cukup menohok dan menawarkan kegetiran Ruth dan Are. Tapi itu hanya di akhir, di awal dan di tengah, Bara gagal memainkan emosi karena penuturan ceritanya yang seperti baru belajar menulis.
Bukan untuk aku. Buku ni untuk Ruthefia Milana. But for the sake of menambahkan nahu kata, aku layankan je lah si Areno Adamar ni punya surat-surat - cinta yang terputus di tengah jalan.
Awalnya, saya tertarik oleh konsep surat-suratan yang diusung Bara. Gaya bahasanya yang ringan, sendu, dan mendayu-dayu bikin nggak kerasa ternyata udah baca sampai berpuluh-puluh halaman. Awalnya, ada setitik rasa penasaran yang membuat saya terus melanjutkan baca. Rasa penasaran berkat karakter Ruth yang misterius membuat saya menduga-duga. Ada bercak bekas darah di buku sketsanya. Sebenarnya dia kenapa? Oke. Sejak bagian pertengahan, saya jadi bosan. Konsep surat-suratan yang awalnya bikin tertarik, kini jadi menjenuhkan. Melulu "telling" doang (yah, emang surat isinya "bercerita", sih), sangat miskin "showing". Saya ngerasa jadi kayak anak kecil yang dikhotbahi seorang guru menyebalkan, lama sekali dan nggak selesai-selesai. Menjelang ending, saya masih menantikan apa yang akan Bara berikan untuk saya. Ternyata kecarut-marutan yang terburu-buru dikisahkan. Daftar-daftar yang di halaman-halaman akhir itu, akhirnya sudah tak menarik lagi.
Kenapa cuma 2 bintang : Saya mau agak kritis buat buku ini Seperti biasa saya tidak menyukai cerita romance yang terlalu menye-mnenye... HMM.. sebenarnya ceritanya bagus sih, tapi kurang dalem. Konfliknya baru keluar setelah hampir 3/4 buku. Makanya sempet lama banget baca buku ini.. 3 hari buat buku setipis ini (selain karena job banyak banget). Satu-satunya yang menolong dari buku ini cuma endingnya. Tetapi masih belum bisa membuat saya menangis karena mungkin 3/4 buku ini gak ada isinya. LOL.. Meskipun saya tertarik dengan cara menulisnya. Tetapi sepertinya buku ini gak bakalan ada di lemari bukuku untuk waktu yang lama. Hehehe
kehilangan? aku pernah merasakannya, menjalin cinta dengan seorang laki laki selama 4 tahun lalu aku ditinggalkan dan dia sekarang telah menikah dengan perempuan lain, ya Bara telah menceritakan bagaimana seorang Are ditinggalkan oleh Ruth yang benar-benar dicintainya. di buku ini Bara dengan jelas bagaimana rasanya terluka dan kehilangan, good book:)
Judul Buku: Surat Untuk Ruth Penulis: Bernard Batubara Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Tebal: 168 halaman; 20 cm Tahun Terbit: April 2014 Genre: Fiksi Dewasa ISBN: 978-602-03-0413-7 Harga: 45.000,00
Surat Untuk Ruth adalah karya ketiga dari Bernard Batubara yang saya baca, setelah Milana dan CINTA. (baca: cinta dengan titik). Dengan tebal 168 halaman, novel ini terhitung cukup tipis, sehingga hanya membutuhkan beberapa jam bagi saya untuk menyelesaikannya.
Surat Untuk Ruth adalah prekuel dari Milana, salah satu cerpen dalam kumpulan cerita pendek Bernard Batubara dengan judul yang sama. Menurut saya, adalah tantangan tersendiri bagi penulis untuk menulis cerita awal, dari suatu akhir yang telah banyak diketahui pembacanya. Sebagai salah satu dari orang-orang yang telah membaca Milana, sejak awal saya sudah dapat menebak kemana akhir cerita ini akan dibawa. Menurut saya kekuatan cerita bukan hanya pada akhir cerita yang menyedihkan. Melainkan, bagaimana penulis dalam hal ini melalui sudut pandang Areno Adamar mengungkapkan perasaannya kepada (mantan) kekasihnya, Ruthefia Milana, sekaligus membentuk alur cerita dalam bentuk surat.
Sejak novel-novel sebelumnya, penulis kerap menggunakan tempat-tempat nyata dalam karya fiksinya. Kali ini, ia mengambil latar tempat beberapa kota seperti Bali, Surabaya, Batu dan Yogyakarta. Dengan latar tempat dominan adalah Bali, mulai dari pantai-pantai, Jembrana, Ubud hingga pada tempat sedetil kafe dan hotel. Sehingga, alur cerita dari novel ini terasa begitu dekat dengan pembaca.
Ketika menutup novel ini, saya berhenti sejenak dan berpikir apakah perasaan tentang cerita dalam Surat Untuk Ruth begitu dekat karena saya tinggal di Bali dan telah membaca cerpen Milana? Mungkin saja. Namun, saya menemukan alasan lain mengapa cerita ini begitu dekat. Pertama, cerita yang diangkat antara Are dan Ruth masih seputar cinta, cinta tanpa kemampuan untuk saling memiliki, cinta yang kandas. Semua itu memang ada di sekitar kita. Istilah masa kini adalah kegalauan.
Penulis dan pembaca sebuah buku, sama-sama mempunyai peranan penting yang terhubung satu sama lain. Misalnya saja, adalah hak penulis untuk memilih bercerita melalui latar yang mudah dibayangkan, pilihan pembentukan dalam penokohan dan memoar, beberapa pembaca mungkin akan mempertanyakan apakah karya ini fiksi ataupun tidak. Membangun cerita adalah hak penulis, di lain pihak penulis tidak bisa menutup keran imajinasi pembaca atas apa yang mereka tulis. Bahkan, sebenarnya sejak naskah masuk ke tangan editor pun tulisan bukan lagi murni dibentengi hanya sebagai milik penulis. Kuncinya adalah komunikasi dan persepsi untuk saling mengapresiasi. Sekali lagi saat sampul belakang novel ini dibalik, disana tertera genre fiksi dewasa. Karena itulah kategori dimana buku ini ditempatkan. 4/5 untuk karya Bernard Batubara kali ini, bacaan yang tepat untuk menemani di akhir pekan.
Selesai dalam beberapa jam aja dan sesak dada saya. Hiks... Ini buku kedua dari Bara yang aku baca. Dan dibanding Cinta., aku lebih suka Surat untuk Ruth ini. Masih dengan gaya Bara yang agak puitis mendayu-dayu (halah), membaca surat/memoar untuk Ruth ini jauh lebih mudah dicerna dan nggak bikin aku merasa lebay pas bacanya. Hihi... Gaya ceritanya mengalir, rasa sakitnya juga dapet banget. Terutama endingnya. Hiks. Benar kata Bara, kalau baca buku ini kamu harus siap patah hati. T_T Well sebenarnya sih aku udah menebak akhir ceritanya karena ada beberapa petunjuk yang diberikan si Are (tokoh utama) waktu menuliskan ceritanya tentang Ruth, tapi part di bagian ending itu memang menusuk hati banget. Jadi pas tau kalo tebakanku benar, aku nggak protes karena endingnya berhasil bikin aku harus menahan air mata. And btw, waktu membaca buku ini aku merasakan rasa yang sama seperti saat membaca buku Murakami yang berjudul Dengarlah Nyanyian Angin. Ceritanya mengalir tenang, damai, tapi juga membisikkan kesunyian dan rasa kehilangan. Ah jadi lebay deh tuh. Hehe... Yang pasti I like this book. Pasti akan dibaca ulang lagi one day, kalau tumpukan buku sudah dibaca semua :)
Novel romance (terkadang) memang menjadi pilihan yang paling banyak dimintai oleh pembaca, terutama anak muda seperti saya *oke ini abaikan*. Dan siapa sih yang gak tau Bernard Batubara? He's also a talented writer! Dia juga salah satu penulis favorit saya setelah dia berhasil membuat saya jatuh cinta dengan novel-novelnya terdahulu; Cinta. (baca:cinta dengan titik), Kata Hati, dan lainnya. Sebelum Surat Untuk Ruth ini launching, timeline saya sudah ribut bahas novel ini. Duh, katanya sih kalau baca novel ini itu kamu sudah bersiap untuk kehilangan. hehe kecuali saya, saya kan udah kehilangan,,,dia,, ah sudahlah (abaikan ini). Surat Untuk Ruth tidak jauh berbeda dengan novel Bara yang lain, deskripsinya full. Bahasanya puitis banget dan yah,, dibeberapa bagian malah terkesan hyper ballad (menurut saya). Memang sih, garis besar novel ini menceritakeun tentang kehilangan dan saking sedihnya, Bara mengungkapkannya dengan kata-kata yang terkesan berlebihan. Tapi tetep apresiasi yang luar biasa untuk Bara! Keseluruhan sih, ini novel yang wajib dibeli kamu, kamu, kamu, yang mungkin sedang atau baru saja kehilangan. Selamat kehilangan!
3,5. hmmm... selain dari idea yang unik which is novel ini dikemas jadi semacam surat atau diary dengan kadar taraf kegalauan internasional tokoh utama cowoknya, puitisasi dari Bernard yang emang udah gak usah ditanyain lagi pasti nampol, jalan ceritanya juga gue suka. tapi seperempat akhir cerita buat gue berasa diburu-buru karena tokoh utama cew udah memilih jalannya sendiri, ditambah pencampuran bahasa inggris yang kurang pas. kekurangan dari cerita itu ruth sama area ini baru tiga bulan ya? duh ko drama bgt ya? apalagi gue yang udah setahun mau dua bulan pacaran? haha... terakhir mungkin gue gak suka sama endingnya yang pfffff si ruth ini cabe merk apa si? menurut gue harusnya endingnya mungkin akan lebih bagus kalo si ruth ini hidup dengan penyesalan karena telah menikah dan semacam melewatkan are. dan are gak harus meninggal ko *eh spoiler*. are harusnya pergi saja tanpa harus kembali. Alah... tapi dengan baca novel ini muncul idea nulis buat pacar. haha.. mksh mas bara, tetap menulis :)
Sudah beberapa bulan buku ini nangkring di rak buku, di deretan buku-buku pinjaman. Sudah dua minggu terlewat pula buku ini aku pindahkan dari rak jadi ke atas kasur. Biar kalau mau baca-baca tengah malem nggak perlu turun-turun. Alhasil masih saja terbengkalai karena Proposal Skripsi harus didahulukan daripada baca novel yang bisa dilakukan nanti pas libur.
Dan, pagi ini hatiku tergerak.
Cara bertutur Bara-san tergolong puitis, jika dilihat referensi buku-buku yang aku baca, jarang banget mendapati tulisan seperti ini. Terakhir baca tulisan puitis milik seleb-twit kontroversial, aku drop gitu aja karena benar-benar nggak cocok. Tapi aku suka tulisan Bara, meskipun aku nggak merasakan chemistry antara Are dan Ruth. Jujur aja hubungan mereka agak aneh menurutku. Sampai aku kadang ngerasa tersesat bacanya, mengira ada sesuatu yang terlewat. Apalagi endingnya, aku bahkan nggak ngerti apa yang terjadi.
Aku berani ngasih 3 bintang karena benar-benar tersanjung dengan beberapa hal yang Bara ungkapkan di sini. Kisah ini benar-benar membuatku patah hati.
Positifnya, Bernard punya tone yang baik. Buku ini sukses kubaca dalam waktu sebentar saat menunggu keberangkatan sebuah pesawat. Gaya tutur Bernard yang santai, lembut, dan penuh perasaan itu memang bisa melenakan.
Hanya saja Ben, aku pikir menulis novel bukan sekadar olah bahasa. Memang pilihan yang tepat, karena judulnya pun surat, maka isinya pun adalah sebuah tuturan/tell. Tetap saja, aku merasa kurang dari sisi adegan demi adegan yang kamu tampilkan untuk membuatku percaya pada pernyataan-pernyataan yang kamu berikan. Misalnya ketika dinyatakan tak ada kebetulan di dunia, maka ekspektasiku ya kamu bisa menunjukkan sesuatu seperti film Serendipity atau 500th day of Summer begitu.
Kecewaku yang kedua adalah pada caramu mengakhiri cerita. Aku pikir itu tetlalu cepat, dan menyingkap keterburu-buruanmu dalam menulis cerita ini.
Ini novel yang baik, tapi tidak khidmat. Kira-kira begitu.
Mungkin karena cara Are bercerita kali, ya. Membuat saya jadi sedikit banyak kurang simpati sama dia. Are mencintai Ruth, tapi Ruth tidak bisa bersama Are karena ibu Ruth ingin Ruth menikah dengan pacarnya. Dengan ending yang personally buat saya, sangat menyebalkan, akhirnya buku ini berhasil saya selesaikan.
Are romantis, bahkan keromantisannya terhadap Ruth bikin saya merinding dan tentu saja, iri. Tapi dalam setiap perkataan Are saya menangkap kesan kalau Ruth itu dingin dan heartless. Padalan kan belum tahu. Mau nggak mau pembaca akan membodoh-bodohkan Ruth karena nggak mau bersama Are. Akhirnya saya jadi nggak simpati deh sama Are.
Overall good book, sedikit lagi diperbaiki jalan ceritanya, pasti akan jadi favorit saya. Buku Benzbara pertama yang saya baca. :)
Awalnya saya punya ekspektasi bahwa buku ini bakal seperti Milana yang syahdu. Namun ternyata saya salah. Memang tema romance dan kasih tak sampai sudah menjadi tren di Indonesia. Buku ini ternyata kurang syahdu, mungkin karena sekadar mengikuti tren tema novel saat ini. Meskipun demikian, dua jempol untuk penceritaan Bara yang selalu menarik: tak terburu-buru dan mampu mengantarkan pembaca untuk masuk ke dalam jagad cerita. Yang pasti sih, dilihat dari beberapa komen tentang buku ini di halaman goodreads ini, saya yakin cerita dalam buku ini berhasil menyentuh para pembaca, Selamat, Bara!
Baru pertama kalinya baca novel karya Bernard. Kesan awal sih biasa aja samo novel ini. Tapi semakin dalem masuk ke cerita, beberapa potongan pertanyaan semakin terungkap dan alhasil aku sangat menyukai novel ini.
Ide cerita yang mudah ditebak namun malah menjebak dan tata bahasanya yang mengalir dengan indah.
4 bintang deh untuk novel ini karena aku sangat menyukainya.
Novel yang sangat keren. Are yang tidak percaya akan cinta lagi namun setelah bertemu dengan Ruth, Are telah jatuh cinta yang sangat dalam kepada Ruth. Namun, kebahagiaan yang singkat yang di rasakan Are hanya sementara. karena takdir tidak mengizinkan mereka untuk bersatu... rasa sakit kehilangan benar-benar digamparkan dengan baik oleh penulis Bernard Batubara. Noveil Yang Indah... :)
165 halaman isinya full galau semua :)) Secara tema dan konsep, sebenarnya tidak jelek. Tapi entah kenapa ada sesuatu yang kosong/kurang begitu selesai baca. Mungkin ending-nya yang menurut saya terasa dipaksakan.
Satu-satunya yang bikin buku ini menarik, karena somehow, gue pun kadang berpikiran sama seperti yang diceritakan di buku ini.
Ceritanya sebenarnya biasa, tetapi gaya penuturannya yang bikin beda, karena ditulis seperti surat,bahkan mirip diary, sehingga bisa benar-benar merasakan perasaan hati si "aku". Mengingat bahwa si "aku" nya ini adalah seorang cowok, mungkin ini cowok sifatnya sedikit melankolis. Buat yang sering galau, novel ini cocok dijadikan bacaan hihi
karya berlatarbelakangkan pulau bali yang diolah dalam bahasa romantis yang tersendiri.. susunannya agak kreatif.. namun beberapa plot berulang dan isi yang meleret-leret serba sedikit melelahkan pembacaan
Wah, peningkatan yang bisa dibilang signifikan sekali jika dibandingkan dengan novel sebelumnya. Semoga di novel-novel selanjutnya kemampuan menulis Bara juga terus meningkat. :)
Bang Bara sukses bikin penasaran untuk lanjutin baca. Di kasih kejutan juga dari bang Bara di dalam buku itu, sesuatu yang berbeda. KEREN BANGET! RECOMMENDED!
“Tahukah kamu, Ruth, cahaya yang dipancarkan bintang-bintang adalah cahaya yang berasal dari masa lalu? Artinya, pada saat aku atau kamu melihatnya, bintang-bintang itu sudah lama tidak ada di sana. Mereka sudah mati. Mereka adalah masa lalu. . . Seperti kamu dan aku.”—hal. 56 . . Sama seperti judulnya “Surat Untuk Ruth” ini mengambil konsep surat-menyurat melalui sudut pandang Areno Adamar—yang lebih akrab dipanggil Are yang menceritakan kisah cintanya dalam bentuk surat untuk Ruthefia Milana. Bisa dibilang Are ini jatuh cinta pada pandangan pertama alias memiliki perasaan yang spesial untuk Ruth alih-alih memanggil nama Milana disaat perkenalan diri saat pertama kali mereka bertemu. . . Daftar-daftar dan memoar yang ditulis Are adalah menjadi salah satu hal yang aku sukai. Gaya bahasanya ringan, melankolis lalu pemilihan kata-kata yang menarik. Sebenarnya cerita dan konflik umum banget terjadi pada semua orang, ya klise emang! Namun keputusan yang diambil Ruth lah yang bikin aku sebel sama dia, yakni sebuah prioritas diatas segalanya bagi Ruth membuat Are dan Ruth tidak bisa bersama. . . Untuk setting tempat pulau dewata, Bali yang lebih dominan, menjadi tempat bertemu dan juga berpisahnya Are dan Ruth, tempat yang begitu detail seperti pantai, jembrana, Ubud tak hanya di Bali tetapi juga Surabaya, Malang, dan Yogyakarta sehingga aku memiliki gambaran. . . “Kami ditakdirkan untuk tidak bersama, walau kami mungkin saling cinta.”—halm 34 . . “Semesta sebelumnya sama saja seperti hati manusia, tidak dapat kita kira—hal. 46 . . Untuk pembaca, Novel ini akan memberi tahu bagaimana rasanya terluka dan juga kehilangan disaat yang bersamaan. . https://www.instagram.com/p/B5fbeKwAt...
"Dua orang yang memiliki hubungan selama bertahun-tahun bisa dengan mudah melupakan kenangan hanya dalam waktu satu-dua minggu. Sebaliknya, sepasang manusia yang baru menjalani hubungan selama dua-tiga bulan, bisa saja memiliki kenangan dan perasaan yang begitu damam, sehingga melupakan hubungan tersebut adalah mustahil." (Hal. 139)
Cerita ini menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku utama. Jadi lebih tersentuh aku. Alurnya juga maju dan sedikit mundur untuk mengenang kenangan bersama Ruth. Lumayan cepat sih alurnya
Penggunakan kosa kata nya juga lumayan baku dan banyak kata-kata baru yang aku dapat wkwk rada puitis gimana gituh tapi nggak terlalu mendayu sih
Tapi, ku sebal ih ceritanya singkat yaa maklum sih tipis bukunya tapi aku cukup nyaman bacanya
Saling mencintai, tapi tidak ditakdirkan untuk bersama. Itu kisah inti dari bukunya. Bara menggunakan sudut pandang orang kedua, jadi waktu baca rasanya kita masuk jadi bagian dari cerita itu.
Penceritaannya dibuat seakan2 isi seluruh tulisan di buku ini adalah memoar/diary/surat yang Are tulis untuk Ruth. Gaya bahasanya santai, mungkin karna ini tadi bentuknya surat untuk Ruth ya jadinya super santai. Karna tadi pake sudut pandang orang kedua, aku berasa jadi Ruth. Sakit bacanya. Selesai baca, aku kayak pengen ketemu sama Are, tapi ngga bisa :(
Banyak orang yang bilang ini alurnya kecepetan, tiba2 ketemu, tiba2 pacaran. Ada juga yang bilang bikin bosem di pertengahan. Tapi menurutku, dibuat cepet gitu karna ini ya “surat” jadi Are nulis inti2nya aja selama dia ketemu Ruth. Jadi, ya masih oke kok, ngga bosen juga. Yang ada malah sakit hati aku gatau lagi ini pokoknya sedih wkwk
kalo dibacanya pas patah hati bisa kejer nihhh..... dari sudut pandang seorang are, dia menuliskan surat untuk ruth. aku baca buku ini seakan-akan are ada di depanku lagi cerita tentang ruth wkwkwkw
sedih sih, walaupun konfliknya umum banget buat tema romance, tapi gaya penulisannya aku suka. ngalir aja gitu, dan ringan. tapi ada sedikit trigger warning di dalamnya, disebutkan juga tentang self-harm nya ayudita dan ruth. saat itu mereka tidak merasakan sakit, melainkan lega. tapi itu bukan cara yang baik ketika kamu sedang tertekan. kadang perlu kita mengikhlaskan dan menghadapinya saja.
eh tapi itu di endingnya, si are meninggal kah? itu bukan mimpi lagi kan? kok kayak final destination yaa, dia dikasih mimpi dulu abistu beneran kejadian....
This entire review has been hidden because of spoilers.
Novel ini ada sangkut pautnya dengan cerpen Milana (Senja Di Jembrana) jadi sebenarnya sudah bisa ke tebak arah ceritanya. Ajaibnya, meskipun demikian, saya enjoy sekali membaca novel ini. Saya lebih menyukai cerpen ketimbang novel-novel Bara. Entah mengapa, bila dirinya menulis cerpen lebih nyastra dan membuatku sedikit banyaknya tergugah. Saya suka cerpen Bara yang berjudul Metafora Padma dan Senja Di Jembrana tentu saja. Dengar-dengar Bara akan memberikan gebrakan baru akhir tahun atau awal tahun depan, apakah itu? Apakah tulisannya (kontennya) akan jauh lebih berat dari ini? Kita lihat saja penulis ganteng yang juga selebtweet ini beraksi.