Berusaha mengubur masa lalu dengan meniti karier hingga menjadi diva negeri ini, Galila justru dipaksa menghadapi kenangan itu lagi tepat ketika hidupnya mulai bahagia: Prestasi gemilang, nama tersohor, dan Eddie, pria yang ia cintai, akan menikahinya.
Ia pun kembali ke pulau asalnya jauh di timur Indonesia. Menyelami lagi jejak masa silam yang membentuk dirinya sekarang. Menengok kampung halaman yang sempat luluh lantak akibat kerusuhan antar agama. Bertanya pada diri sendiri, apakah perempuan tanpa nama belakang dan masa lalu seperti dirinya masih memiliki masa depan?
Galila adalah sebuah cerita, tapi ia juga seorang wanita — dan keduanya tak lepas dari rasa. Pada akhirnya, Galila adalah sebuah perenungan: sejauh apa pun kaki melangkah, kita takkan pernah bisa meninggalkan titik di mana kita mengawali langkah itu. — Maggie Tiojakin; Penulis/Pendiri www.fiksilotus.com
Dengan pemilihan diksi dan analogi yang cermat, Jessica seakan mengingatkan bahwa pada hakikatnya cinta adalah soal dua pribadi yang bertaut. Sampai batas mana kita mau berjuang demi cinta yang kita yakini membuat kita bahagia? — Rully Larasati; Jurnalis, Femina
Jessica Huwae was born in Jakarta. After graduating from the Faculty of Cultural Studies in University of Indonesia, Jessica had a long career as journalist in media companies such as Femina Group, MRA Printed Media and Media Indonesia.
She is also the founder of Dailysylvia.com, a website dedicated to Indonesian career women, and a co-founder of custom publishing company, Kanakata Publishing Services.
Some of her published books are Soulmate.Com (2004), Skenario Remang-Remang (2013), Galila (2014), Javier (2014) and a collaborative book project, Work It, Girl! (2015).
Galila adalah sosok yang misterius. Terkenal sebagai diva dengan talenta menyanyi yang tidak perlu diragukan lagi, tidak banyak orang yang tahu mengenai sejarah hidupnya, kecuali bahwa ia berasal dari kepulauan Maluku di sisi timur Indonesia. Ia memang terkesan pelit informasi dan menjaga kehidupan pribadinya rapat-rapat. Ia pelit tampil di media massa, apalagi tabloid gosip. Oleh karena itu, publik pun semakin penasaran dan namanya semakin meroket.
Kehidupan pribadinya mulai menjadi sorotan ketika akhirnya Galila dekat dengan seorang pengusaha muda bernama Edward Silitonga atau akrab disapa Eddie. Pengusaha muda yang baru kembali dari studinya di Amerika Serikat ini mampu membuka hati Galila yang selama ini dijaganya rapat-rapat dengan kesederhanaan dan ketulusannya dalam mencintai Galila. Dengan Eddie, Galila diingatkan rasanya disayangi, sesuatu yang amat sangat mahal baginya.
Sayang, Eddie tumbuh di keluarga Batak yang teguh memegang tradisi. Ibu Eddie, Hana, yang bertangan besi, menolak percintaan Eddie dengan Galila. Buatnya, hanya gadis Batak dengan bibit-bebet-bobot yang sesuai yang pantas mendampingi Eddie. Dan itu ada pada diri Yunita, sang pariban, bukan Galila. Siapa pula Galila, sudah tidak sesuku, masa lalunya pun tidak jelas. Dan ketika Eddie dan Galila masih saja menentangnya, Hana tak ragu-ragu membayar orang untuk mengorek masa lalu Galila, mencari cela Galila. Di samping itu, saingan Galila yang merasa iri dengan popularitas Galila yang semakin menanjak, Davina Alexandra, juga menyusun rencana busuk untuk menghancurkan saingannya.
Ketika akhirnya masa lalu itu terkuak, Galila terpaksa kembali ke tanah kelahirannya untuk menghindari konflik di Jakarta. Namun, apakah ia harus terus melarikan diri sepanjang hidupnya?
"Manusia kadang memang jadi lebih jujur saat detik-detik perpisahan datang menjelang." (hal. 31)
Galila, seorang diva yang di saring saat audisi menyanyi. Gadis Timur yang berusaha mengubah takdirnya di Jakarta. Berusaha melupakan masa kelamnya. Sampai, Edi anak pengusaha kaya mengetuk pintu hati Galila. Berusaha meyakinkan kalau cinta itu ada
Tapi, sayangnya semua nggak berjalan mulus. Keluarga Edi yang kental dengan adat istiadat Batak menginginkan seorang menantu yang juga harus dari sukunya. Terlebih Galila yang tertutup dengan dirinya yang berasal dari timur itu.
Memang, Galila memiliki masa yang kelam. Yang membuat dia tidak sanggup untuk mengorek kembali luka itu. Tapi, apa Galila akan sanggup mempertahankan hubungannya dengan Edi? Apa Edi pun akan mempertahankan Galila?
Kisah yang cukup pelik. Cukup menegangkan. Cukup dark. Dan memang agak lamban diawal. Tapi, semuanya ternyata memang panjang untuk mengenal sosok Galila.
Karakter dari tiap tokoh yang memiliki ciri khas. Terlebih Mama nya Edi yang cukup keras memang mendominasi dalam cerita ini.
Alur tempatnya di jakarta dan sedikit di Ambon cukup menjelaskan keadaan.
Konfliknya sih agak kurang menegangkan dan kurang klimaks di akhiran menurutku.
Overall, cukuplah ceritanya menghibur. Walau banyakan cerita kelamnya hehe
Galila. Sebuah judul novel yang unik, seunik covernya. Novel ini saya pilih sebagai bacaan untuk tema baca bareng BBI bulan April dengan tema “Perempuan.” Saya ternyata tidak salah memilih bacaan sebab novel ini sangat memikat.
Galila adalah nama seorang diva terkenal yang berasal dari wilayah timur Indonesia, persisnya Saparua, kota kecil yang berjarak dua jam dari kota Ambon. Namanya melejit setelah memenangkan kontes Indonesia Mencari Diva. Bakat menyanyinya telah memukau sebagian besar pencinta musik di tanah air. Bukan perkara mudah bagi Galila untuk mencapai posisi gemilang tersebut. Perjuangan dan impiannya yang tak kunjung padamlah yang membuatnya berhasil mencapai cita-citanya: menjadi penyanyi sukses di Ibu Kota. Meski terkenal, pembawaannya tetap santun dan rendah hati, sehingga membuatnya begitu dicintai para penggemar. Banyak laki-laki yang mencoba merebut hatinya, namun Galila selalu menjaga jarak. Sombong? Tidak juga. Rupanya, ada rahasia yang disembunyikan Galila sehingga ia terkesan membentengi diri dari para pria.
Tapi toh pertahanan diri Galila akhirnya tertembus juga. Namanya Edward Silitonga, seorang pengusaha tampan bedarah Batak. Insiden kecil yang terjadi usai penampilan Galila di acara yang diadakan oleh perusahan Eddie telah menumbuhkan perasaan khusus di antara mereka berdua. Pelan-pelan, ia mulai membuka hatinya bagi pria tersebut. Akan tetapi, segalanya tidak berjalan sesuai harapan. Latar belakang budaya di antara mereka berdualah yang menjadi batu sandungan. Hana Silitonga, ibunda Eddie, sangat menentang hubungan keduanya. Sebagai wanita yang menjunjung tinggi tradisi, Hana hanya ingin Eddie menikahi wanita yang berasal dari suku yang sama. Bagi Hana, Galila yang sama sekali tidak memiliki nama belakang, juga dengan latar belakang yang tidak jelas tidaklah pantas bagi Eddie.
Eddie bersikeras mempertahankan hubungannya dengan Galila. Demikian juga dengan Galila, setelah merasakan kasih yang tulus dari Eddie, ia bersikukuh mempertahankan hubungannya dengan laki-laki itu. Sayangnya, Hana akhirnya mengetahui masa lalu Galila yang kelam. Hal itu dijadikan senjata bagi Hana untuk menyerang Galila.
Cinta Galila dan Eddie pun diuji. Mampukah Eddie menerima fakta bahwa wanita yang ia cintai ternyata tak seperti yang ia kira? Bagaimana dengan Galila sendiri? Dapatkah ia bertahan saat karirnya terancam hancur akibat skandal masa lalunya yang terekspos oleh media? Di atas semua itu, ia terancam akan kehilangan orang yang telah membuatnya merasakan kasih sayang yang sesungguhnya.
Baca kisah selengkapnya dalam Galila, sebuah karya terbaru dari Jessica Huwae.
***
Sepanjang membaca novel ini, saya dibuat kagum oleh cara Jessica Huwae memainkan kata-kata. Diksi atau memilihan kata yang digunakan oleh sang pengarang membuat saya betah menikmati setiap paragraf dalam novel ini, meski dalam novel ini berisi banyak narasi dan deskripsi. Bahkan, hampir di setiap halaman saya dapat menemukan kalimat-kalimat menarik yang bisa dijadikan quote. Kepiawaian penulis tak hanya dalam diksi, namun juga bagaimana ia mengolah alur cerita dalam novel ini. Alur yang digunakan dalam novel ini adalah gabungan antara alur maju dan alur mundur. Pembaca sering diajak untuk menelusuri perjalanan masa lalu para tokohnya, khususnya Galila. Penggabungan alurnya sendiri terasa halus sehingga tidak membingungkan pembaca.
Konflik yang dibangun dalam novel ini menarik untuk disimak. Penulis mengangkat persoalan benturan budaya sebagai isu utama novel ini. Sebagai pembaca, saya menikmati betul bagaimana penulis menggambarkan dua budaya dalam novel ini. Kita bisa memperoleh gambaran umum tentang kebudayaan Batak dan Ambon. Lewat tokoh Hana, pembaca dapat memahami bahwa memang penting untuk menjaga tradisi yang sudah diwariskan secara turun-temurun. Alih-alih tidak suka dengan dengan Hana, saya justru dapat memahaminya pemikirannya. Selain teguh dengan prinsipnya, sebenarnya Hana hanya ingin yang terbaik bagi anak-anaknya. Namun yang tidak Hana pahami adalah, tak semua hal dalam hidup ini dapat dipaksakan atau dipertahankan, terutama bila sudah menyangkut urusan hati.
Ide cerita dalam novel ini memang bukan suatu hal yang baru. Cinta yang terhalang oleh latar belakang budaya? Rasanya kita cukup sering membaca kisah-kisah seperti ini. Namun, membaca novel ini tetap memberikan kesan yang berbeda, berkat menuturan yang apik serta ritme cerita yang tidak membosankan. Kejutan yang disiapkan oleh penulis bagi pembaca, dalam hal ini tentang masa lalu Galila, benar-benar membuat saya terpana.
Hal menarik lain yang diangkat penulis, yaitu tentang kerusuhan hebat yang terjadi di Ambon beberapa tahun silam. Kisah sedih itu mungkin masih membekas di benak kita. Atau, mungkin ada pembaca yang mendenga kisahnya langsung dari para saksi mata? Dalam novel ini, lewat tokoh Galila, pembaca diajak untuk mengenang kembali peristiwa tersebut. Bukan bermaksud mengorek luka lama, tapi untuk menjadi refleksi. Bahwa kita dapat belajar dari kesalahan masa lalu dan berharap kelak tak akan ada lagi peristiwa sedih yang sama. Harus saya akui, saya sempat menitikkan air mata pada bagian ini.
Novel ini nyaris “sempurna” apabila tidak terdapat typo. Masih terdapat typo dalam novel ini meski jumlahnya tidak banyak. Ada juga penggunaan tanda sambung “-“ yang seharusnya tidak perlu karena kata tersebut tidak terpotong dan masih dalam satu deretan kalimat yang sama (contoh: un-tuknya, hlm. 62). Kemudian, saya ingin mengomentari dua tokoh dalam novel ini, yaitu Davina (saingan Galila sesama penyanyi) dan Yudah. Saya pikir seharusnya karakter Davina bisa dibuat lebih kuat tanpa harus terkesan klise seperti tokoh antagonis dalam sinetron. Karakternya saya rasa bisa digali lebih dalam lagi, sehingga tidak sekadar numpang lewat. Sementara Yudah, saya pikir akan berperan besar dalam cerita, tapi ternyata hanya sekadar numpang lewat. Terkahir... uhm, saya merasa adegan ‘insiden kecil’ antara Galila dan Eddie terasa klise. Mungkin penulis perlu mencari adegan yang lebih kreatif? Haha, maafkan saya yang terkesan sok tahu ini.
Secara keseluruhan saya cukup puas membaca novel Galila. Sungguh bacaan yang menarik dan sayang bila dilewatkan. Kekuatan diksi dalam novel ini saya pikir bisa dijadikan contoh bagi mereka yang tengah mengembangkan kemampuan menulis. Ini kali pertama saya membaca karya Jessica Huwae, dan saya jadi tertarik untuk membaca dua bukunya yang lain, yaitu soulmate.com dan Skenario Remang-Remang.
***
Berikut saya kutip beberapa kalimat dari novel Galila sebagai gambaran tentang penggunaan diksi dari sang penulis.
Galila juga suka duduk-duduk di atas bangkai pohon yang terdampar di tepi pantai. Membiarkan ombak kecil bergelung-gelung menyapu kakinya. Menatap kejauhan, menghitung menit-menit matahari berpulang dan memanggil petang. Semilir angin yang hangat menepuk-nepuk halus pipinya. Kadang dia dan teman-temannya mengumpulkan kerang-kerang kecil untuk dibawa pulang, atau melemparkannya kembali ke laut sambil mengucapkan doa dan harapan dalam hati. (Hlm. 24-25)
Setiap orang seharusnya pernah membuat kesalahan masa muda, setidaknya sekali dalam hidupnya. Kalau nggak, mereka nggak akan pernah merasakan bahwa mereka pernah hidup. (Hlm. 54-55)
Mereka bertemu lagi, begitu dekat namun juga teramat jauh. Sungguh lucu bagaimana hidup bisa membawa pemisahan dalam waktu singkat. Bagaimana atribut yang melekat di permukaan kadang menciptakan jarak dan bukannya esensi. Manusia memang memuka apa yang dilihat mata, lupa bahwa apa-apa yang terlihat mata kelak bisa getas, rapuh, dan aus. (Hlm. 315)
Novel ini menggunakan sudut pandang orang ketiga dengan alur maju mundur. Bercerita tentang Galila perempuan asal Saparua, Ambon yang merantau ke ibukota, tempat di mana ajang Indonesia Mencari Diva berada. Galila memenangkan kontes tersebut dan tidak berapa lama kariernya langsung melejit di bawah naungan Magda sebagai manajernya.
Sifat Galila yang tertutup, tidak suka mengekspos kehidupannya di mata publik dan media, membuatnya menjadi artis eksklusif dan mahal. Tidak seperti artis-artis lainnya yang sering sekali muncul di berita-berita gosip televisi maupun majalah.
Kesuksesan Galila membuat siapa saja iri padanya, termasuk oleh Davina Alexandra, rivalnya sebagai penyanyi. Apa pun akan dilakukan oleh Davina agar ia bisa lebih segala-galanya dibanding Galila, termasuk menggunakan cara-cara kotor.
Kesel banget sama tokoh antagonis ini, berasa kayak di sinetron-sinetron!! *zoom out* *zoom out*
Dengan kariernya yang mulus hidup Galila terasa sempurna, tapi tidak bagi kehidupan pribadinya, termasuk kisah cintanya yang tidak begitu mulus. Bertemu beberapa lelaki yang mengisi hatinya namun tidak ada yang bisa bertahan, membuatnya dihargai sebagai seorang wanita. Salah satunya Marco, kekasih pertamanya di kampung halaman.
“Biarlah cinta, mungkin, kelak yang menemukannya. Entah kapan dan bagaimana.” (page 63)
Sampai akhirnya ia bertemu dengan Edward Hamonangan Silitonga atau biasa disebut Eddie, anak pengusaha kaya raya dari keluarga Silitonga asal Batak yang sudah lama tinggal di Amerika.
Pertemuan mereka berawal di acara syukuran pembukaan cabang baru PT Cahaya Sejati yang kelima belas, di mana Eddie juga berada di sana sebagai penerus dari usaha ayahnya, Jackson Silitonga. Mereka bisa saling mengenal lebih dekat lantaran insiden terjatuhnya Galila dari panggung—yang untungnya bisa diselamatkan oleh Eddie. Sampai pertemuan-pertemuan selanjutnya mereka berteman baik hingga menumbuhkan rasa cinta lalu jadian.
Namun, sayang sekali hubungan keduanya tidak direstui orangtua Eddie, terutama ibunya, Hana. Tokoh antagonis kedua yang jahatnya kayak kebanyakan nonton sinetron. *zoom out* *zoom out*
Apapun akan dilakukan Hana agar hubungan Eddie dan Galila berakhir. Walau bagaimanapun Eddie harus menikah dengan Yunita, calon menantu pilihannya yang sederajat dengan keluarga Silitonga.
Dari kebencian Davina akan kariernya dan Hana akan hubungan dengan anaknya, masa lalu Galila terkuak, karier keartisannya mulai terancam, hubungannya dengan Eddie pun mulai kandas.
“Kita mulai di suatu titik, bukan berarti kita akan berakhir di titik yang sama,” – Eddie. (page 86)
“Tidak ada yang terlalu cepat atau terlalu lambat saat kamu merasa telah bertemu dengan orang yang tepat. Yang kamu tahu hanyalah kamu ingin cepat-cepat menghabiskan hidupmu bersamanya,” – Eddie (page 210)
Lalu, masa lalu seperti apa yang dimaksud? Semua ada benang merahnya dengan nama Galila yang tanpa nama belakang. Kenapa bisa begitu? Baca saja novelnya : ) **
Kalau orang di daerah timur Indonesia kebanyakan orang-orangnya pasti punya nama belakang, seperti marga gitu. Jadi, saat Galila tidak memakai nama belakang, semua orang mempertanyakannya. Inilah salah satu yang saya suka dari novel ini, unsur budayanya cukup kental ditambah juga dengan unsur agama. Seperti yang kita tahu kalau di Ambon itu pernah ada kerusuhan meskipun dalam novel ini ceritanya fiktif.
Novel ini benar-benar membawa angin segar bagi saya, banyak quotes bagus dan pesan moralnya juga dapat^^
Mengenai Tokoh Tokoh-tokoh yang tidak saya suka: Davina, Hana, dan orangtua Galila. Kalau Davina dan Hana sudah jelas karena mereka tokoh antagonis, sedangkan orangtua Galila yang buat saya tidak suka karena ke mana mereka sampai Galila sudah terkenal pun tidak pernah muncul, mereka sudah menelantarkan Galila sampai Galila… *sinyal hilang* hiks, nyesek banget ngebayangin masa lalu Galila yang… ya ampun, nih cerita kok gini banget sih!!! *jleb* *jleb*
Endingnya pun menurut saya tidak terlalu menyelesaikan, tapi happy endinglah : ) *eh, ini bukan spoiler, kan?*
Di luar segi cerita Cover novelnya bagus dengan penggambaran tokoh Galila yang tenang, ditambah gulungan ombak dan piringan terpecah yang harus disusun untuk menyelesaikan pecahan masa lalu yang masih menggantung. Ada beberapa typo yang saya temukan: 1. Tegah, seharusnya Tengah (page 91) 2. Menghancukan, seharusnya Menghancurkan (page 94) 3. Probabiltasnya, seharunya Probabilitasnya (page 120) 4. Meiliki, seharusnya Memiliki (page 135) 5. Hubungannnya, seharusnya Hubungannya (page163) 6. Kecang , seharusnya Kencang (page 271)
Terlepas dari itu semua, novel ini bagus… Tulisan Jessica Huwae enak sekali dibaca, tidak kagok meskipun menggunakan sudut pandang orang ketiga, diksi dan analoginya juga cermat. Kayaknya bikin nagih buat baca bukunya yang lain, atau nunggu karya penulis selanjutnya : )
Quotes yang saya suka: “Tradisi memang kadang dilakukan bukan karena manusia sungguh-sungguh percaya, namun kaena ada janji dan pengharapan akan masa depan yang tersimpan di dalamnya.” (page 25)
“Manusia kadang memang jadi lebih jujur saat detik-detik perpisahan datang menjelang.” (page 31)
“Bila salah potong rambut, menyesal hanya sebulan. Bila kau salah makan, perutmu hanya sakit satu atau dua jam. Tapi bila kau salah pilih jodoh, seumur hidup kau tinggal dalam duka dan penyesalan.” (page 112)
“Dalam keadaan kepepet, manusia memang kadang bisa berpikir lebih terang dan kreatif.” (page 139)
“Saat masih muda, kamu harus berani melakukan satu hal gila yang akan membuatmu mengingatnya sampai kamu tua nanti. Itu akan jadi pengingat bahwa kamu pernah hidup,” Koh Kong (page 292)
“Semua orang punya potensi, yang mereka butuhkan hanya kesempatan.” (page 294)
“Hidup, sepahit apa pun, harus tetap punya mimpi. Setiap orang harus punya sesuatu untuk dia kejar setiap hari. Masalah akhirnya tercapai atau tidak, itu urusan nanti…” Koh Kong (page 295)
“Keinginan kadang lahir dari rasa tidak puas. Dan tidak puas adalah sumber maalah.” (page 297)
Judul: Galila Penulis: Jessica Huwae Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Halaman: 331 halaman Terbitan: Maret 2014
"Galila."
"Hanya Galila?"
"Tanpa nama belakang."
Berusaha mengubur masa lalu dengan meniti karier hingga menjadi diva negeri ini, Galila justru dipaksa menghadapi kenangan itu lagi tepat ketika hidupnya mulai bahagia: Prestasi gemilang, nama tersohor, dan Eddie, pria yang ia cintai, akan menikahinya.
Ia pun kembali ke pulau asalnya jauh di timur Indonesia. Menyelami lagi jejak masa silam yang membentuk dirinya sekarang. Menengok kampung halaman yang sempat luluh lantak akibat kerusuhan antar agama. Bertanya pada diri sendiri, apakah perempuan tanpa nama belakang dan masa lalu seperti dirinya masih memiliki masa depan?
Review
getSCOOP
Buku Galila ini agak spesial buat saya. Soalnya ini pertama kalinya saya baca novel Indonesia, yang diterbitkan penerbit besar, lewat bentuk digital. Sebelumnya sih sudah pernah baca e-book Indonesia, tapi yang sifatnya indie, alias terbitan sendiri.
Saya dapat kesempatan untuk mengikuti program reviewgetSCOOP. Pihak getSCOOP memberi saya kesempatan untuk memilih 1 buku elektronik secara gratis, membaca, lalu mengulasnya. Buku "Galila" inilah yang saya pilih.
"getSCOOP" adalah program penyedia e-book pada mobile gadget. Lewat gadget iOS/Android/Windows Mobile kita bisa membeli dan membaca buku dan majalah. Programnya sudah cukup enak dipakai. Untuk membaca buku/majalahnya cukup diunduh sekali, selanjutnya bisa dibaca tanpa koneksi internet.
Kalau buat saya, keunggulan getSCOOP adalah harga bukunya yang lebih murah dari buku fisik. Contohnya buku Galila ini. Harganya di Scoop cuma Rp39.200. Bandingkan dengan harga buku fisiknya yang mencapai Rp 62.000. Keunggulan lainnya adalah pilihan pembayaran lewat transfer bank. Buat orang yang tidak punya kartu kredit seperti saya, pilihan ini jelas sangat membantu.
Kekurangannya ada di program untuk membaca e-book-nya. Program tidak memiliki sistem pencarian kata/kalimat dan fitur untuk mewarnai kalimat (highlight kalimat). Kekurangan lainnya: masih ada penerbit yang belum bekerja sama dengan getSCOOP, jadi masih ada buku yang belum bisa dibeli lewat tokonya. Btw, saya memakai aplikasi versi 4.0.2.
Secara keseluruhan sih saya cukup puas dengan fitur getSCOOP. Bua tyang tertarik bisa cek www.getSCOOP.com.
Review Novel
Butuh sedikit kesabaran untuk membaca novel ini. Gaya penceritaannya yang tell membuat saya sedikit bosan membaca sekitar 100 halaman pertama. Apalagi di situ memang belum masuk ke dalam konflik cerita, jadilah kita cuma membaca kegiatan sehari-hari Galila.
Cerita mulai menarik setelah Galila bertemu dengan Eddie, seorang pengusaha muda yang sebenarnya merasa terkekang, walaupun dia memiliki harta dan karir yang terlihat cemerlang (walau dua-duanya adalah "pemberian" kedua orang tuanya). Bagi Eddie sendiri, Galila adalah orang yang mampu membuatnya merasa terlepas dari kekang itu.
Masalah datang karena orang tua Eddie, khususnya Hana, mama Eddie, tidak setuju anaknya menikah dengan orang yang bukan berasal dari suku Batak. Bagi mamanya yang memegang erat adat, pernikahan Eddie baru akan dinilai baik dan pantas kalau Eddie menikahi seorang gadis Batak.
Konflik antara Galila dan Hana membuat Hana menyuruh orang untuk mengorek masa lalu Galila. Saat masa lalunya terungkap, Galila harus sekali lagi mengunjungi masa lalunya dan menghadapi semuanya.
Masa lalu Galila sendiri cukup tertebak buat saya. Hanya saja cara Jessica Huwae merangkai beberapa cara pendekatan lain memberi napas baru pada plotnya.
Paling sedih sih membaca saat Galila harus kembali ke Ambon yang porak poranda karena perang saudara. Soalnya saya juga mengalaminya dulu. Ya, gara-gara konflik di Ambon itu juga saya jadi pindah ke Makassar sih. Untungnya keluarga yang ada di sana selamat semua.
Secara keseluruhan, saya suka pada karakter, konflik, dan akhir ceritanya. Gaya bercerita yang lambat di awal, untungnya, terbayar di belakang. Sayang nih ceritanya kurang panjang. Padahal kan pengin baca kelanjutan akhir ceritanya.
"Bagaimana bila kita memulai kembali - mengulang kembali semuanya secara wajar?"
Perempuan itu mengangguk ringan. Kabut kesedihan telah tersapu lenyap dari wajahnya.
"Namaku Edward Silitonga, kamu bisa memanggilku Eddie." Edide mengulurkan tangan.
"Galila," sambutnya.
"Hanya Galila?"
"Tanpa nama belakang."
Ya, perempuan itu bernama Galila, tanpa nama belakang atau yang lazim disebut marga. Tentu saja aneh bila seorang anak tak punya marga, apalagi yang notabene berasal dari Maluku seperti Galila. Tapi karena kepergian ayahnya yang menorehkan luka bagi dia dan ibunya, maka nama belakang itupun terhapus demi menghapus luka yang ditinggalkan.
Pepatah mengatakan hidup bisa berubah dalam satu kedipan mata. Atau secepat membalikkan telapak tangan. Dan bahwa waktu adalah daya yang mengubah segalanya. Peluang, keberuntungan termasuk garis hidup seseorang. (hlm. 35)
Meninggalkan masa lalu yang kelam, Galila merapat ke ibukota mencoba peruntungannya dengan mengikuti kontes menyanyi. Tak disangka dia ternyata menjadi juara dan akhirnya ikut menyelami kehidupan ibukota sebagai artis. Meski begitu dia tetap menutup rapat kisah masa lalunya itu dan bergerak menata hidupnya yang sudah tampak bersinar cemerlang di depan sana.
Hingga kemudian pertemuannya dengan Eddie, pria yang membuatnya jatuh cinta dan akhirnya membentuk keberaniannya untuk memperjuangkan kisah cintanya kali ini.
Diceritakan dengan alur maju mundur, dan dikemas dalam cerita kisah cinta beda suku menambah apik kisah dalam buku ini. Satu dengan suku Batak yang tentu saja disajikan beberapa hal khas Sumatera sana, sementara yang satunya adat Maluku dengan latar daerah pesisir pantai yang indah serta bau rempah-rempah seperti cengkeh yang khas. Ah, tentu saja saya agak asing dengan yang berlatar Batak, namun lain halnya kalau dengan yang berlatar Ambon. Meski bukanlah orang Ambon, namun membaca buku ini saya bisa menggambarkan tempat-tempat maupun latar yang diceritakan dengan jelas dalam pikiran saya. Saparua, Masohi, Pantai Natsepa, Pelabuhan Tulehu, ikan asar, sagu, aroma cengkeh bahkan logat ose dan beta serta hal-hal lainnya lekat dalam pikiran saya. Meski sepertinya hanya mengambil sedikit saja porsi dalam buku ini, seperti halnya kisah kembalinya Galila ke Ambon yang hanya diceritakan dalam dua bab terakhir.
Oh ya, ketika sepenggal kisah tentang Greta, saya yang pelupa ini tiba-tiba merasa deja vu.
"Ah, ini saya pernah baca, di mana ya?" batin saya.
Dan dengan berpikir keras, saya baru menyadari betapa bodohnya saya. Tentu saja, saya pernah membaca kisah tersebut di buku Jessica Huwae yang lain yakni di "Skenario remang- remang". Hehe... Rupanya novel ini adalah pengembangan dari salah satu cerita pendek dalam kumpulan cerita karya Jessica dalam buku tersebut. *toyor diri sendiri...
Baiklah, lupakan itu, intinya novel ini ingin menyampaikan bahwa setiap orang tentu saja punya rahasia masa lalu maupun kehidupan pribadi yang tak perlu untuk diberitakan ke seluruh dunia, serta bagaimana setiap orang berhak untuk memperjuangkan cintanya. Oh ya, tak lupa pula saya juga salut untuk sang tokoh antagonis, ibunya Eddie yang keukeuh untuk mencarikan jodoh yang terbaik bagi anaknya sesuai dengan tuntutan adat dan tradisi mereka. Meski untuk bagian ini saya merasa agak kesinetronan-kesinetronan... (halaaah bahasa apa pula ini...?) Dan kemudian ada banyak pesan moral yang diselipkan, terutama dengan banyaknya penggalan-penggalan ayat Alkitab dalam novel ini. Dan terakhir tentang issue kerusuhan Ambon yang sempat di angkat. Ah, itu memang masa lalu yang kelam. Saya sendiri tak mampu membayangkan bagaimana hal seperti itu dulu bisa terjadi. Tapi memang hal itu benar adanya, saya sendiri kerap meringis miris saat mendengar ceritanya dari suami yang mengalami sendiri hal tersebut. Yah, mudah-mudahan kita bisa belajar lebih banyak lagi dari peristiwa tersebut agar kita tak lagi mudah terprovokasi oleh hal-hal yang remeh hingga menimbulkan bencana besar.
Oh ya, dan yang paling terkhir, saya lalu dengan penasaran bertanya : "Apa kabarnya Greta? Koh Kong? Dan bahkan Yunita?"
Sepertinya saya sudah salah mengira buku ini. Saya sedang tersirap keindahan sampul, misteriusnya judul, dan melangitnya komentar penulis favorit saya Maggie Tiojakin akan novel Galila ini. Tetapi saya toh tidak menyesal menjadikannya sebagai kawan malam minggu.
Kalau kalian sudah sering nonton FTV tentang keluarga kaya yang tidak setuju anak laki-lakinya yang bakal melanjutkan trah keluarga terhormatnya mencintai seorang gadis biasa saja, maka kalian akan dengan mudah membaca novel ini. Premis permasalahannya sudah biasa terjadi. Bahkan Sitti Nurbaya, Karmila sudah memulainya terlebih dahulu.
Galila adalah seorang diva penyanyi yang berasal dari Indonesia TImur, Saparua, dua jam dari Ambon. Dia melejit sukses sebagai penyanyi bahkan mengalahkan saingannya seniornya, lantaran kisah sinderella yang disukai masyarakat indonesia saat Galila mengikuti kontes Indonesia Mencari Diva. Di antara gelimang kesuksesan dia selalu menutup rahasia masa lampau dan berhati-hati dengan persoalan hati.
Lalu muncullah tokoh Edie, lelaki pengusaha anak emas dari Jackson, yang berketurunan Batak. Galila Dan Edie salng jatuh cinta. Tetapi ada penghalang utama yaitu ibunya Hana, yang tidak setuju. Menurut Hana, Galila tidak sebibit-sebobot-sebebet dengan keluaraganya. Hana menjuluki Galila perempuan bermental kuli (hal.177). Selain itu Hana bermaksud agar Edie menikah dengan wanita BAtak, sehingga garis marganya akan tetap terjaga.Berhubung Edie adalah anak lelaki satu-satunya.
Bila salah potong rambut, menyesal hanya sebulan. Bila kau salah makan, perutmu hanya sakit satu atau dua jam. Tapi bila kau salah pilih jodoh, seumur hodp kau tinggal dalam duka dan penyesalan. (hal.112)
Sedang Edie selalu beranggapan bahwa keglamoran hanya bahagia material. Dan Edie selalu menganggap cinta adalah murni kebahagia. Dan sikap ibunya adalah bentuk dari pengotakan akan luasnya makna kebahagiaan. Pada Waktu tertentu, manusia memang bisa menciptakan tuhan kecil dalam dirinya. Menentukan suka atau tidak suka tanpa memberi ruang bagi logika dan perbantahan. (hal. 144)
Dan bagi Edie Galila adalah sebentuk kebahagiaan yang selama ini aku cari dan akan terus aku perjuangkan. Kebahagiaan kita adalah cita-cita. (hal.162)Maka melajulah rencana pernikahan Edie dengan Galila tanpa restu orang tua.
Tetapi itu gagal? Mengapa? Karena Edie tiba-tiba tahu rahasia besar yang selama ini disembunyikan Galila. Galila dengan seorang lelaki pengajar paduan suara di SMA-nya dulu, Marco.
Sebenarnya alur ceritanya biasa saja. Banyak hal yang sudah sering kita baca. Bahkan premis yang dipergunakan pun tidak lepas dari kebiasaan pada umumnya. Hanya saja Batak dan Ambon memang baru? Tetapi apa benar Batak dan Ambon betul disinggung benar? Kurasa juga tidak. Andai Galila diganti dengan orang Jawa asli, misal seorang Pariyem (ingat novel Linus Suryadi AG) yang sudah pernah dihamili tuannya dan melahirkan pun ini tidak jadi soal. Karena local wisdom yang sepetinya dijanjikan penulis tidak tersaji dengan spektakular. Konflik utamanya adalah Galila saat sudah di Jakarta. Terlebih alur di awal-awal yang sangat lambat.
Mohon maaf, dua bintang bukan berarti jelek. Tetapi dua bintang berkaitan dengan selera.
Namanya Galila, tanpa nama belakang. Asalnya dari Pulau Saparua, Ambon. Lazimnya di sana nama seorang anak dilengkapi dengan marga ayahnya. Bukan berarti Galila tidak mempunyai ayah, hanya saja ibunya ingin menghilangkan jejak ayahnya yang berkhianat pada keluarga. Dipangkaslah nama belakang Galila.
Kehidupan Galila berikutnya tidak berjalan mulus, tapi Galila memang punya hoki besar. Dengan mengikuti kontes adu bakat menyanyi Indonesia Mencari Diva, Galila berhasil menjadi biduan terkenal. Namun Galila membuat dirinya menjadi sosok yang myaris misterius, dia menutup rapat-rapat kehidupan masa lalunya. Galila juga sangat selektif dalam memilih orang terdekat dengannya. Hanya Magda, manajernya, yang dekat dengannya. Padahal sebagai seorang diva, tidak sedikit pria yang berusaha mendekatinya.
Salah satunya adalah Eddie Silitonga, putra seorang pengusaha terkenal. Sayangnya, Eddie yang berasal dari keluarga Batak dengan adat yang kental. Orang tuanya berharap besar padanya sebagai satu-satunya penerus marga di keluarga mereka. Hidup Eddie sudah diatur bak skenario, mulai dari pekerjaan hingga ke jodohnya. Sebagai orang Batak, Eddie seharusnya menikah dengan pariban-nya yang sudah diketahui bibit, bebet dan bobotnya. Galila yang asal-usulnya tidak jelas tentu saja tidak masuk hitungan.
Novel Galila ini mengangkat kisah seorang perempuan yang berusaha meraih masa depannya tanpa harus dibayang-bayangi masa lalu. Ide ceritanya sebenarnya bukan hal yang baru, tapi penuturan ceritanya membuat novel ini menarik untuk diikuti. Saat membacanya saya merasa novel ini perpaduan antara Metropop dan Chrom, dua genre andalan Gramedia. Metropop karena ada unsur gemerlap kehidupan artis yang dijalani oleh Galila, Chrom karena di dalam novel ini sarat dengan kutipan ayat-ayat dari Alkitab meski Galila sendiri tidak begitu mengindahkan Tuhan. Saya juga suka dengan adanya unsur adat Batak dan Ambon yang menjadi latar dalam novel ini, tentang bagaimana masing-masing adat tersebut berusaha dipertahankan di tengah kehidupan modern. Meski kadang menyebalkan juga ketika kehidupan manusia diatur oleh adat yang sebenarnya adalah ciptaan manusia itu sendiri.
Saya nyaris tidak menemuka typo dalam novel ini. Dengan alur maju-mundur, kisah Galila berasa penuh misteri hingga akhirnya terkuak di halaman akhir. Saya merekemondasikan novel ini untuk dibaca sebagai bacaan ringan namun berbobot.
Akhirnya kelar juga baca novel ini secara dicicil. Awal-awal baca langsung dejavu sama novel lawasnya Mariane Katopo yg judulnya Raumanen. Cinta beda suku antara pemuda batak dan pemudi sulawesi. Dikisahkan Galila, seorang diva terkenal yg agak misterius mengenai kehidupan pribadinya. Lalu dia jatuh cinta pada pengusaha muda kaya raya bernama Eddie. Hubungan mereka tidak mulus begitu saja. Ibu Eddie yg kolot memegang teguh adat bahwa orang batak haruslah berjodoh dengan orang batak juga yg jadi kendala. Berbagai cara dilakukan oleh ibu Eddie untuk memisahkan mereka terutama mengetahui masa lalu Galila yg tidak jelas. Tiga bintang aja deh untuk novel pertama Jessica Huwae yg saya baca. Why? Because idk why but I don't like Galila personally. Ga suka aja, ga ada alasan tertentu. Lebih suka Yunita yg lebih classy dan pendiam. Memang masa lalu adalah hal yg tidak bisa kita hindari atau hapus begitu saja. Karena itu adalah bagian dari hidup kita. Tapi masa lalu Galila yg menurut saya kelam, sangat wajar untuk memantik kekhawatiran ibu Eddie untuk melarang anaknya bergaul dengan Galila. Entah mengapa saya jadi mendukung peran antagonis pada sebuah lakon, hahaha. Mengenai konflik ditata cukup bagus tapi endingnya gimana yes? Happy ending tapi kurang jelas. Keluarga Eddie akhirnya bagaimana? Mendukung Eddie kah untuk hidup bersama Galila? Atau tetap tidak terima? Overall saya suka konflik yg bertemakan budaya pada novel ini. Tapi yah kembali lagi, 3 stars just because I don't like Galila :)
Finished the book in 2 weeks, while the actual reading time is 4 days. Had the book since last year and realized that my name is in the thank you list. Thank you Jess, i love you.. And i still owe you to read Javier, but soon.
This is the third novel that i have read from Jessie. As a novelist, i think Jessie has grown and writing more literatures than novels. And i'm glad she did.
Galila is being written beautifully. The wordings are like poetry and there are beautiful poems too. Lots of beautiful quotes all over the book, which makes it enjoyable to read with a stinging pang in the heart once in a while. Jessie also managed to be descriptive yet simple without brand-whoring like most writers are nowdays.
However, i found Galila's storyline is too telenovelic and cliche. I was worried the book turned into local version of NottingHill. The first 2/3 of the novel is slow paced and typical.
But Jessie turned the play in the last part of the book. Galila's character, albeit becomes extreme, is being digged deeper and it's the most interesting part of the book. If only it is moved to p. 150, the book would have been more interesting.
All in all, the book is enjoyable to read. Jessie likes her open ending and it usually sounds in a hopeful side. I think this book also a movie potential, so i hope Jessie will write the script and sell it wisely.
Please keep on improving and Jessie is in the right track. I sense that Javier would be more serious and darker than Galila. And i'm curious in her next projects.
An easy reading with a twist. Membuat kita tenggelam dalam ceritanya. Menariknya, novel ini tidak hanya menceritakan sisi sulit saat Galila menjadi diva, namun juga masa lalu Galila sebagai anak pesisir Ambon yang banyak ditimpa ketidakberuntungan. Konflik yang disajikan juga cukup menarik: gegar budaya, kejadian masa lalu, dan calon ibu mertua yang terang-terangan membencinya. Penulis cukup detail saat menggambarkan situasi Galila disetiap waktunya.
Ini buku Jessica Huwae pertama yang saya baca dan tampaknya, saya akan mencari buku2 lainnya.
Fave Quotes: "Setiap orang seharusnya pernah membuat kesalahan masa muda, setidaknya sekali dalam hidupnya. Kalau nggak, mereka nggak akan pernah merasakan bahwa mereka pernah hidup." (hal 55)
“Aku cuma mau bilang kamu adalah sebentuk kebahagiaan yang selama ini aku cari dan akan terus aku perjuangkan. Kebahagiaan adalah cita-cita.” (hal 162)
"Jangan berhenti mencintaiku karena hal-hal yang berada di luar kendaliku, Gal. Pasti nanti ada jalannya"
Saya lihat Galila dijual oleh salah satu jastip buku langganan. Saya pun membelinya karena saya ingat, saya pernah baca buku Jessica Huwae yang lain yaitu 'soulmate.com' dan ya ampun, saya suka banget. Berangkat pada alasan itu saya putuskan membeli Galila.
Galila bercerita tentang seorang penyanyi Indonesia, yang memulai karirnya dari ajang pencarian bakat dan alih-alih menjadi one hit wonder, Galila sukses menjelma jadi rising star. Di sinilah konfliknya dimulai. Masa kini Galila berbenturan dengan masa lalunya. Galila yang sekarang sukses ternyata memiliki parut luka di batinnya hasil kehidupan di masa lampau. Unsolved business yang harus ia selesaikan sebelum ia membuka lembaran baru di hidupnya.
Buku ini sama sekali nggak jelek. Bagus. Saya berhasil menamatkannya. Tapi saya nggak dapat perasaan semacam terkesan seperti yang saya dapat ketika membaca 'soulmate.com'. Tipikal paragraf panjang yang entah kenapa saya rasa sedikit menjemukan. Apakah timing saya membaca buku ini saja yang kurang pas? Entahlah. Tetap lebih suka 'soulmate.com'.
kirain bakal disuguhi cerita tentang papua atau ambon. ternyata cuma sekilas ceritanya. novelnya sendiri bercerita tentang seorang penyanyi bernama galila. sebagai seorang diva, galila erat menyimpan masa lalunya. pertemuannya dengan eddy menghidupkan kembali rasa cinta yang pernah hilang dari diri galila. sayangnya hubungannya tersebut tak.berjalan lancar. sebagai seorang berdarah batak, eddy diharapkan menikah dengan gadis sesuku. sang ibu yang tak setuju dengan hubungan eddy dan.galila mengirim orang untuk mengetahui masa lalu galila. di saat yang hampir bersamaan, saingan galila dalam dunia tarik suara juga melakukan hal sama untuk menjatuhkan galila. di saat pada akhirnya rahasia masa lalu galila terbongkar, apakah eddie akan tetap menerimanya?
Suka dengan penuturannya..! Meski aku bukan tipe pembaca yang suka dengan narasi yang panjang-panjang, tetapi narasi di sini panjang dengan diksi yang mengalir asyik. Konflik antarbudaya dan keluarga, juga kilasan masa lalu yang membentuk Galila menjadi seorang diva seperti sekarang juga menyenangkan untuk disimak. :) Agak sedikit kecewa tentang endingnya, menurutku waktu dia pulang ke Ambon terlalu singkat diceritakan, tetapi selebihnya suka banget karena perjalanan ceritanya sangat enak untuk disimak. Resensi lengkap: http://dinoybooksreview.wordpress.com...
Hehehe. Thanks a lot Kak Jessica Huwae untuk buntelannya! ^^
"Kebahagiaan itu bukan sesuatu yang statis. Dia harus dicari dan ditemukan terus menerus. Diusahakan. Diperjuangkan. Komitmen."
novel kedua kak jessica yang aku baca setelah soulmate.com,, novel ini becerita tentang seorang wanita sukses yang memiliki masa lalu yang kelam. Adalah Galila, seorang artis, memiliki kekasih dari keluarga kaya raya yang menjunjung tinggi adat istiadat dan garis keturunan. Hubungan Galila dan Eddie pun akhirnya ditentang oleh keluarga besar silitong. Dalam proses memperjuangkan cinta mereka inilah akhirnya masa lalu Galila terkuak. suka banget sma gaya penulisan kak jessica dinovel ini. sederhana dan tidak berlebihan, tidak memaksakan. :D
saya baca novel ini sepotong-sepotong, karena itu dua minggu lebih, baru selesai. hehehe.
dapat buku ini dari LitBox-nya Ika Natassa. sempat di-skip karena ada teman di grup Readers Hangout yang bilang sedih baca Galila. at that time, I'm not in the mood for sad story. So I skip this novel for months. Dan bila saya bisa ngomel ke diri saya beberapa bulan yang lalu, pasti saya akan bilang : Ih, bodooohh! sia2 aja kan skip baca berbulan-bulan kalo ternyata buku ini bisa bikin kamu lupa waktu pas lagi nungguin perpanjangan stnk kemarin! hihihihi :p Good work,Mbak Jessica Huwae!
Jessica sepertinya mulai jadi penulis yang serius (dalam soal eksplorasi topik) sejak vakum bertahun-tahun, mungkin karena dimatangkan hidup, mungkin juga karena sudah tidak tertarik menulis chiclit. Akan tetapi karena saya bisa menikmati kedua-duanya, nggak masalah sih. Galila ini masih ngepop juga kok, walaupun unsur daerahnya lumayan kental. Apalagi ngangkat indonesia timur yang jarang terekspos. jadi penasaran pengen ke tanah kelahirannya Galila.
3.5 stars actually. Seperti yang saya katakan sebelumnya, pada saat menikmati novel ini dan saya sampai di bagian tengah, Galila terasa seperti senbei. Seakan tak memiliki rasa di dalam kepadatannya, tapi pada saat yang sama, begitu memahami seni rasa dalam cerita yg ditawarkan oleh Huwae ini, kita tidak akan bisa berhenti.
Meski demikian, saya tidak bisa memberikan penilaian utuh 4 bintang untuk novel ini.
sudut pandangnya nggak cuma dari galila aja, tapi ada beberapa tokoh lain yang juga dilihatkan sudut pandangnya, meskipun bukan tokoh utama, tapi itu bukan masalah. trus cerita-cerita galila di masa lalu, tuh aduh bikin ngilu banget. tapi ya.. aku merasa penutupannya kurang, karena aku masih penasaran di beberapa bagian, salah satunya tentang keluarga eddie, pengen aja gitu lihat hana dibukakan matanya:"
Di awal beli Galila ini sebenernya biasa saja, alias tidak terlalu bersemangat seperti saat akan membeli buku seperti biasanya karena ada pikiran "Duh, mba Jes, kok cerpen ini sih yang dinovelkan di antara sekian cerita di Skenario remang-remang". Tetep dibeli juga karena mba Jessica Huwae yang nulis dan pada saat itu memang butuh penghiburan banget, baru pindah ke lain pulau untuk mengikuti suami.
Bacanya pun asal, cuma nyomot beberapa halaman, tetapi pas buka di halaman yang menceritakan asal muasal Galila sampai akhirnya perjuangannya bekerja di sebuah toko yang pemilik tokonya seorang Cina yang bijak sekali (saya suka kalimat-kalimat dari Koh Kong ini) akhirnya di hari yang sama memulai membaca dari awal buku :)
Secara umum Galila menceritakan seorang gadis dari pulau kecil dengan kesulitan hidup dan prosesnya dalam meraih mimpi termasuk karier maupun jodohnya di kota besar. Meskipun ada yang mengatakan bahwa ini versi Cinderella, kok saya kurang setuju ya, karena Cinderella berakhir pada saat dia menikah dengan pangeran, sedangkan Galila berakhir saat Eddie sang calon pangeran memutuskan akan memperjuangkan cinta mereka. Jadi, kemungkinan besar ceritanya masih bisa berkembang kemana-mana. Mba Jessica mau ngadain lomba bikin fans fiction ga ya, kalau ada saya mau ikutan :D
Secara khusus, hal yang membuat saya akhirnya berulang kali membaca dan sampai merasakan empati yang cenderung berlebihan pada Galila sebagai seorang individu (seandainya Galila itu nyata dan adalah kehebatan mba Jessica untuk menghidupkan para tokohnya) adalah kesamaan kami yang berhubungan dengan pria Batak beserta keluarga dan adat yang melingkupinya.
Saya sampai nangis dan ngenes banget di bagian yang menceritakan bagaimana usaha ibu Eddie memisahkan Galila hanya karena perbedaan budaya dan gengsi keluarga. Saya sempat mengalami itu waktu masih pacaran sama suami, suami dipilihkan sama bidan yang meskipun lebih tua tetapi datang dari budaya Batak yang sama :D Setelah pindah di kota tempat suami berada, di lingkungan dimana mulai mengikuti setiap acara dan terlibat dengan orang-orang tua yang 'mengerikan' berbeda sekali dengan "orang tua" dengan budaya dimana saya dibesarkan dan harus menahan "sakit hati" mendengar maupun melihat sikap yang pada saat itu belum familiar bagi saya, membuat saya sangat menghayati perbedaan budaya yang meliputi Galila dan Eddie ini. Bahkan pada saat riweh-riwehnya mempersiapkan acara adat pemberian marga dan sampai acara resepsi terlaksana, saya masih mengingat Galila. Semoga Eddie mampu menjaga dan memperjuangkan Galila sama seperti suami saya memberikan rasa aman dan melindungi saya dari 'sakit'nya perbedaan budaya.
Jadi, sudah tau kan kenapa buku ini layak baca banget? Selain dari alur dan tata kalimat yang mampu menyedot perasaan dan memainkan pikiran pembacanya. Mba Jessica bisa memperkenalkan sedikit tambahan budaya Ambon dan Batak bagi pembacanya yang tentu saja berasal dari berbagai budaya di Indonesia.
Sekarang saya sedang memperjuangkan pernikahan beda budaya saya, masih panjang perjalanan, tetapi nasihat dari Koh Kong akan saya ingat selalu "Ada masa depan dalam setiap hal yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh."
GALILA. Nama ini mungkin terdengar aneh di telinga. Apalagi hanya satu kata itu saja, tanpa embel-embel di belakangnya. Galila, gadis yang berasal dari Indonesia bagian timur, tepatnya kota Saparua, yang berjarak dua jam dari Ambon. Gadis yang pernah ditinggal mati ayahnya, ditelantarkan ibunya, dan pernah hamil di luar nikah. Ia pernah hidup di bawah tekanan ibu pacarnya, lantas kemudian bayinya lahir. Tapi, hidup bayi itu tak lama. Dan, penderitaannya berlanjut kembali. Meski begitu, Galila tetap menyimpan mimpinya untuk pergi ke Jakarta, kota yang ia juluki “Kota Harapan”. Tangan Tuhan memberinya kesempatan dalam suatu audisi pencarian bakat, “Indonesia Mencari Diva”, namanya. Berkat suntikan semangat dari Koh Kong—pemilik toko di mana Galila bekerja—Galila berani keluar dari zona nyamannya dan mencoba mengikuti kontes tersebut.
“Saat masih muda, kamu harus berani melakukan satu hal gila yang akan membuatmu mengingatnya sampai kamu tua nanti. Itu akan jadi pengingat bahwa kamu pernah hidup.” – Koh Kong (halaman 292)
Tak dinyana, Galila berhasil maju ke babak final di Jakarta. Semenjak itulah, kariernya selalu menanjak hingga kini, ia menjadi seorang diva negeri ini. Kesuksesannya itu juga berkat bantuan tangan dingin manajernya, Magda. Selama ini, Galila berusaha untuk tidak memiliki hubungan dengan pria. Tapi, ia tak bisa berkutik ketika ia jatuh cinta terhadap Eddie, ahli waris perusahaan keluarga Batak bermarga Silitonga. Jalan cinta mereka berdua tidak mudah. Selalu ada Hana, ibu Eddie, yang menghalangi, lantaran beliau terlalu memegang teguh prinsip bibit-bobot-bebet. Dalam hal ini, masalah perbedaan suku turut mewarnai.
sudahlah, aku sudah jatuh cinta sama kaka Jessica Huwae sejak di skenario remang - remang, apalagi pas baca ulang soulmate. Kalimatnya tuh mbikin kecanduan, makanya pas libur lebaran kemaren aku sikat habis ini Galila.
Bercerita tentang Galila, nona ambon manise yang mengadu nasib di Jakarta. Dan dalam hitungan beberapa tahun .. dia berhasil menjadi salah satu diva hebat di Tanah air. Aku kebayangnya kok Ruth Sahanaya ya. Tapi kalok Tante Ruth lebih ceria yah dibandingin Galila yang dingin dan jaim mampus.
Kalau mau tahu jalan ceritanya silahkan disimak di review lainnya ya, aku mau ceritain tentang kesanku setelah mbaca buku ini.
Buku ini tidak hanya bercerita tentang glamournya ibu kota, percintaan dan perjuangan diantaranya, tapi juga bercerita tentang lingkungan sosial, budaya dan juga mengenai gejolak yang pernah terjadi di Ambon. Penulis mampu menghadirkan sudut pandang baru mengenai wajah Ambon bagi masyarakat awam model aku.
yang mau bacaan lebih dari sekedar metropop, harus banget baca buku ini :)
“Saat masih muda, kamu harus berani melakukan satu hal gila yang akan membuatmu mengingatnya sampai kamu tua nanti. Itu akan menjadi pengingat bahwa kamu pernah hidup.”
"Manusia kadang memang jadi lebih jujur saat detik-detik perpisahan datang menjelang.” –Hal. 31
“Pengetahuan baru tentang pria yang kemudian diperolehnya: pria bisa begitu saja menghilang. Tanpa pesan. Dan mereka tidak butuh alasan untuk melakukan hal itu.” – Hal. 62
“Bila salah potong rambut, menyesal hanya sebulan. Bila kau salah makan, perutmu hanya sakit satu atau dua jam. Tapi bila kau salah pilih jodoh, seumur hidup kau tinggal dalam duka dan penyesalan.” (page 112)
"Saat tertangkap basah berbohong, perempuan mungkin akan memafkan, tetapi mereka tidak pernah melupakan.” – Hal. 128
“Saat masih muda, kamu harus berani melakukan satu hal gila yang akan membuatmu mengingatnya sampai kamu tua nanti. Itu akan jadi pengingat bahwa kamu pernah hidup.” – Koh Kong (halaman 292)
"Mereka bertemu lagi, begitu dekat namun juga teramat jauh. Sungguh lucu bagaimana hidup bisa membawa pemisahan dalam waktu singkat." Hal.315
Ini buku pertama yang gua baca karya jessica huwae
Alurnya cepat. dengan penulisan yang jelass tentang situasi perasaan dan latar belakang tokoh. Ada beberapa hole di cerita yang tidak tertulis tentang apa yang terjadi sebenarnya tapi dari pemaparan cerita kita bisa tahu atau kira - kira menebak apa yang terjadi pada saat itu sehingga menghasilkan akibat yang terjadi.
Hole ini menurut saya menjadi kekuatan dan kelemahan sendiri dari novel ini. mungkin. maybe.
Saat pertama membaca buku ini, saya langsung suka dengan ceritanya yang ringan namun tepat sasaran. Menjelang pertengahan buku, mulai terasa datar karena tidak ada konflik yang cukup menarik. Di sepertiga bagian terakhir baru terhanyut dalam cerita pahit masa lalu Galila. Penuturan ceritanya pas, tidak berlebihan tapi tetap membawa emosi dan sedikit menyentil isu-isu sosial.