Buku ini mengubak cerita tentang pranata mangsa, budaya petani Jawa yang kini memudar. Dikembangkan dari katalog terbitan Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), Pranata Mangsa tidak sekadar mengulas penghitungan musim, hama padi, dan alat pertanian tradisional, namun juga kisah Dewi Sri dalam beberapa cerita rakyat. Cerita pendek, humor, dan puisi pun ikut dipadu di dalamnya, dikemas apik dengan gambar menarik hingga menghadirkan kembali keharmonisan alam dan manusia yang terkikis zaman.
Pranata mangsa telah ribuan tahun digunakan dan dikembangkan oleh masyarakat pertanian di Jawa sebagai pedoman dalam bertani dan mengolah lahan. Metode ini menggunakan tanda-tanda alam untuk menentukan kapan hendak mulai menanam padi, kapan memanen padi, kapan saatnya menanam palawija, kapan saatnya memanen umbi-umbian dan buah-buahan. Pedomannya murni didasarkan pada isyarat alam seperti kemunculan serangga tertentu (tonggeret, upas, cacing, ulat, burung), turunnya hujan, penuhnya sumber-sumber air, dan dipadukan dengan tanda-tanda astronomis seperti kemunculan bintang tertentu di langit.
Tidak hanya dalam bertani, pranata mangsa ternyata juga menjadi paduan manusia Jawa tradisional zaman kuno dalam menjalani hidup. Mirip seperti zodiak di Barat dan shio di Tiongkok, satu tahun dalam tradisi Jawa dibagi menjadi 4 masa yang masing-masing dibagi menjadi beberapa masa atau wektu sehingga total ada 12 masa atau wektu dalam satu tahun. Masing-masing wektu punya ciri khas masing-masing yang dikaitkan dengan musim atau mongso. Karakter alamiah dari tiap mongso ini yang kemudian mempengaruhi psikologis manusia Jawa.
Ketika musim panen, misalnya padi dan pangan berlimpah sehingga dikatakan itulah waktu untuk berbahagia dan agar jangan lupa bersyukur. Saat masa menunggu panen dikatakan sebagai waktu beristirahat sekaligus berkarya. Ada pula mongso prihatin yakni ketika mendekati puncak kemarau dan air menipis disertai suhu udara yang panas menyengat. Orang akan cenderung mudah marah dalam kondisi bulan-bulan seperti ini. Tetapi pranata mangsa mengingatkan bahwa setelah mongso yang panas dan sedikit air, akan diikuti dengan masa panen padi yang berlimpah. Jika mau sedikit bersabar dan tetap nrimo, akan ada panen (berkah) yang melimpah setelahnya.
Sayangnya penjelasan tentang pranoto mongso hanya dipaparkan dalam separuh buku ini. Sisanya adalah kumpulan cerita rakyat bertema padi dari berbagai daerah di Indonesia. Ada juga sedikit pembahasan tentang hama tanaman padi, yang menurut saya kurang relevan diletakkan di buku ini karena ini buku tentang budaya penanaman dan bukan buku tentang menanam padi. Seharsnya bisa diganti dengan misalnya tradisi-tradisi unik saat menanam padi di pedesaan Jawa atau di Indonesia, budaya Subak di Bali, atau tradisi-tradisi menanam padi lain yang saya yakin ada begitu banyak di negeri ini.
Tapi, buku ini dicetak dengan kertas luks dan gambar-gambarnya bagus. Buku ini sekaligus mengingatkan kita betapa perubahan iklim telah menjadikan alam tidak bisa ditebak sehingga tidak lagi bisa dijadikan satu-satunya pedoman lagi dalam bercocok tanam. Tradisi pranata mangsa sayangnya sudah mulai ditinggalkan bahkan cenderung dilupakan. Padahal ia adalah salah satu bentuk local genius yang sepatutnya dilestarikan.
Buku singkat yang menjadi semacam pengantar untuk mengenal petani Jawa membagi waktu dalam setahun matahari menjadi 12 mangsa. Sebenarnya aku lebih tertarik ke bahasan-bahasan itu. Sedang cerpen-cerpen yang dimuat di situ, yang menarik bagiku adalah rupa-rupa cerita rakyat mengenai asal usul padi. Bahkan asal-usul Dewi Sri pun beda-beda.
Buku yang hanya berisi sekitar 80 hlm ini, sangat menarik, karena ringan dan padat isi. Setelah saya selesai membacanya, saya merasa sebagai mahasiswa (calon sarjana) kalah jauh dengan petani yg ilmunya pranata mangsa. Para petani belajar dari alam sedang kami yg mahasiswa belajar di bangku pendidikan. Spiritualitas petani dengan bumi dibangun atas dasar cinta, tapi kami para mahasiswa jaman sekarang beberapa malah menganggap rendah petani, dan kurang menghargai bumi. Jadi lebih beradab mana, antara petani yg dianggap bodoh dgn cendekiawan yg bergelar macam2 itu?