Aduh, nasib yang ganas, yang buas, yang tak menaruh iba-kasihan! Alangkah sampai hatimu merebut apung - apung dari orang, yang baru hendak menyeberang lautan yang penuh gelora, memadamkan suluh orang yang hendak menempuh rimba yang leba dalam gelap-gulita! Aduh, nasib yang kejam, mengapa engkau merendah yang telah rendah, mematahkan yang telah terkulai? Dunia ini penuh keajaiban dan keheranan! Disini tak berhenti orang yang dirundung azab-sengsara, disana orang seolah-olah diturut oleh kemujuran, keuntungan, kesejahteraan dan kemuliaan.
Sutan Takdir Alisjahbana (STA) menamatkan HKS di Bandung (1928), meraih Mr. dari Sekolah Tinggi di Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari UI (1979) dan Universiti Sains, Penang, Malaysia (1987). Diberi nama Takdir karena jari tangannya hanya ada 4.
Pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933), kemudian mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-1948), guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), dan guru besar & Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).
Huaaa.. Betapa saya ingin lebih terbiasa membaca bahasa indonesia klasik seperti dalam novel ini. Dan jadi teringat betapa sulitnya mencari novel2 klasik indonesia ketika sedang butuh2nya di jaman SMP. Di pelajaran bahasa indonesia kan sering disebut2 tuh novel2 klasik Indonesia. Sebagai bookaholic (ya dari jaman smp juga saya udah menderita sindrom bookaholic) rasanya ngga mantep kalo ngga baca buku2 tenar itu. Tapi kemana pun dicari di toko2 buku di Bandung ketika itu, wujudnya ngga pernah saya temuin.
Kalo sekarang sih udah banyak yang diterbitin ulang dan beredar di toko2 buku umum. Koleksi novel klasik saya kebanyakan dibeli di satu-satunya toko buku yang ada di kota Indramayu, beberapa tahun yang lalu waktu saya tinggal disana.
Tentang isi buku Tak Putus Dirundung Malang ini sendiri. Duh, isinya betul2 cocok dengan judulnya. Alkisah seorang bapak dua anak bernama Syahbuddin pada saat itu tinggal di hulu sungai Ketahun dalam keadaan yang memprihatinkan. Beberapa waktu sebelumnya Syahbuddin adalah seseorang yang memiliki hidup yang termasuk lengkap. Beliau memiliki rumah di Negeri Ketahun, beliau memiliki keluarga kecil yang bahagia dengan istri dan dua orang anaknya.
Sampai suatu saat api melalap rumah Syahbuddin. Setelah itu cobaan demi cobaan datang bergantian menimpa keluarganya. Istri Syahbuddin meninggal, kemudian mereka jatuh bangkrut dan harus pindah ke sebuah daerah sepi di hulu sungai Ketahun. Disana Syahbuddin bekerja keras mengerjakan apa saja demi menghidupi kedua anaknya, Mansur si anak sulung dan adiknya Laminah.
Karena bekerja terlalu keras akhirnya Syahbuddin jatuh sakit. Hari demi hari semakin parah, dan pada suatu malam Syahbuddin menghembuskan nafas terakhirnya. Meninggalkan Mansur dan Laminah menjadi sepasang anak yatim piatu.
Dan siapa yang ngga akan kagum dengan bahasa indah S. Takdir Alisjahbana seperti ini :
“Waktu adalah sebagai raksasa yang besar, yang tak kunjung-kunjung berhenti berjalan, masuk rimba keluar rimba, masuk padang keluar padang. Disini menyeberang lautan, disana mendaki gunung menuruni lurah, tak pernah payah, tak dapat diusik, ditahan atau diganggu.
Pekertinya tak tentu; ada kalanya ia ganas; kejam; bersalah tak bersalah dirusaknya, dihancurkannya. Tapi ada pula masanya ia pengasih pengiba, halus dan lembut sebagai seorang Ibu. Apa yang dengan kejam dihancurkannya diribanya denan tangannya yang besar itu sehingga sempurna kembali.
Sungguh, isi dunia ini semua permainannya, disepakragakannya sekehendak hati; sebentar dihembuskannya ke udara dan seketika lagi dihempaskannya pula ke bumi.”
Mansur dan Laminah dititipkan pada bibi (adik perempuan Syabuddin) dan pamannya, Jepisah dan Madang. Pada mulanya Madang memperlakukan Mansur dan Laminah dengan baik. Namun periode itu berlangsung hanya sekejap. Madang kemudian memperlakukan Mansur dan Laminah dengan teramat buruk. Memaksa mereka berdua bekerja keras, bahkan tak jarang Madang memukul Laminah.
Sampai suatu hari Laminah secara tidak sengaja menyebabkan anak Jepisah dan Madang, Marzuki terluka karena menginjak pisau yang secara tidak sengaja diletakkan Laminah. Madang murka dan memukul Laminah di kepala hingga pingsan. Beruntung Mansur pulang tepat waktu dan segera mengungsikan Laminah ke tempat tetangga.
Laminah akhirnya tersadar. Lalu kedua kakak beradik itu memutuskan untuk pergi ke Bengkulu mengadu nasib. Tidak ada lagi yang dapat membuat mereka bertahan di Ketahun. Tiba di Bengkulu beruntung mereka menemukan pekerjaan dengan majikan yang baik di sebuah toko roti. Kakak adik itu akhirnya merasakan sepenggal hidup yang stabil. Namun akankah nasib berbaik hati pada mereka berdua. Ataukah mereka hanya diberikan waktu istirahat sesaat sebelum menghadapi kesusahan lainnya?
Huhu, saya gemas membaca betapa tidak berdaya nya Mansur dan Laminah menghadapi nasib. Ingin rasanya mengirimkan bala bantuan ke dalam buku untuk mencegah Mansur dan Laminah masuk dari satu kemalangan ke kemalangan lainnya. Dan saya bertambah gemas sama endingnya. Kenapa harus menyerah pada nasib? Kenapa tidak bangkit dan melawan?
“Apakah gunanya kita menyusah-nyusahkan hati. Asal sabut terapung, asal batu tenggelam. Takkan nasib itu diubah dengan air mata.”
Jleb.
Naaah who am I to judge something that I have no experience with? What I am saying is that there’s always a choice when fate knock us down.Either we give up or we rise and give ourself another try. Even though that the second option is not the easiest way. Once again, the choice is ours.
“Dunia terus berputar pada sumbunya. Sedikitpun tiada terasa olehnya kehilangan yang kecil, yang ‘tak sebesar tuma’.”
Baca buku ini karena direkomendasikan sama penjual buku di Pasar Kenari and twas a good decision! Perbendaharaan bahasa dibuku ini kaya sekali dan indah. Jujur, indah sekali. Alisjahbana berhasil mengajak pembacanya untuk ikut berkelana dan merasakan kemalangan tiada putus yang didera Mansur. Pun demikian ketika membaca bagian kehidupan Laminah. Dimana posisi perempuan ketika itu dapat dikatakan tidak berdaya dan tiada memiliki sedikit pun kuasa atas hak dan pilihan hidupnya.
Saya benar-benar merasakan kesedihan mendalam ketika membaca keluhan Mansur yang mengatakan "Ya, Allah, ya Tuhanku, apabilakah Engkau pulangkan aku ke asalku? Mengapakah maka Engkau azab lagi aku lama-lama di neraka hidup ini? Bukankah telah lama kuserahkan jiwaku kepadamu dan apakah lagi Engkau tunggu-tunggu; aku telah lama rela."
Reading this book did hurt me a lot 💔
Sayang sekali ya buku karangan beliau semakin sulit untuk didapatkan dan hanya bisa ditemui di pedagang buku bekas. Seandainya karangannya dapat dicetak ulang agar rakyat Indonesia tau kalau kita sesungguhnya memiliki banyakkk sekali sastrawan yang jenius dan 'gila' dalam membuat rangkaian cerita :")
Sesuai dengan tajuknya, "Tak Putus Dirundung Malang", musibah demi musibah menimpa kedua-dua orang adik beradik, Mansur si abang dan Laminah si adik. Dibesarkan tanpa belaian seorang ibu dan kehilangan ayah, Syahbuddin pada usia yang begitu kecil. Kemudian, mereka berdua dibesarkan oleh bapa saudara, Madang dan ibu saudara bernama Jepisah. Pada awalnya, semua baik-baik belaka hinggalah kemudian, saban hari mereka dilalui dengan menerima pekerjaan ganas Madang, "melekatkan tangan atau rotan pada badan kedua anak itu".
Meskipun mendapat perlindungan daripada andung Saripah dan datuk Halim, mereka dua beradik masih kekal dengan keputusan untuk meninggalkan Ketahun dan berhijrah ke Bengkulu demi melarikan diri daripada bapa saudara mereka yang celaka. Pabila tiba di Bengkulu untuk memulakan kehidupan baru, mereka ditimpa musibah demi musibah lagi. Kelurusan hati kedua adik beradik ini dalam menghadapi sepak terajang dunia yang kejam ini juga menyuburkan lagi musibah yang ada:
"Sampai sekarang dipandangnya keramahan yang timbul dari perasaan persaudaraan. Tiada se-kali2 terpikir olehnya bahwa dibelakang sopan-santun dan kebaikan itu berdiri singa yang ganas dengan kukunya yang runcing dan saingnya yang tajam, yang setiap waktu menantikan saat yang baik akan menerkam mangsanya." (h. 101)
Begitulah sehingga ke akhir novel Sutan Takdir ini, tragedi demi tragedi dipersembahkan—tragedi dan manusia itu berpisah tiada. Sekurang-kurangnya inilah yang difahami oleh sebahagian besar pemikir Barat dan para sastrawan.
Novel ini bercerita tentang nasib seseorang yang tak pernah berhenti dirundung azab-sengsara.
Berawal dari terbakarnya rumah Syahbudin. Kebakaran yang menjadikannya miskin. Syahbudin tinggal bersama 2 anaknya Mansyur dan Laminah.
Syahbudin meninggal karena sakit, Mansyur dan Laminah diasuh oleh pamannya yang tidak memiliki hati nurani berbagai caci maki dan pukulan diterima Mansyur dan Laminah tiap hari. Akhirnya mereka pergi mengadu nasib di negeri seberang, Bengkulu, dengan harapan dapat menemukan nasib yang lebih ramah pada mereka.
Disana mereka tinggal disebuah toko roti tempat mereka bekerja. Tak lama kemudian mereka keluar karena tak terasa lagi kenyamanan oleh Laminah tinggal di toko tersebut. Sekeluarnya Mansyur dan Laminah dari toko roti, Mansyur mendapat pekerjaan ditoko orang Cina. Namun sayang nasib sial tak pernah jauh dari mereka, Mansyur dipenjara karena dituduh mencuri uang orang. Sungguh kalut hati Laminah pada nasib yang menimpa kakaknya. Laminah bertambah kalut dan hancur setelah pertemuannya dengan Darwis, hingga dia tak mampu lagi berdiri menghadapi segala petaka yang selalu menghampirinya dan dia menyerah pada permainan nasibnya.
Pengarang tidak memberikan penjelasan secara rinci tentang akhir hidup para tokoh. Seperti kematian Syahbudin disini tidak dijelaskan bagaimana dia mendapat penyakit yang menyebabkan dia meninggal. Dan alasan Laminah menjatuhkan dirinya kelaut juga tidak begitu jelas.”Berhari-hari ia memikirkan, apakah sebabnya maka Laminah sampai jatuh kelaut…. tetapi sia-sia belaka. Hanya Malik yang tahu akan hal itu, tetapi ia tak pernah membuka mulutnya, sebab takut ia akan terbawa-bawa. Dengan demikian rahasia kegaiban yang sedih itu selama-lamanya tersembunyi, tak diketahui manusia.” (hlm 121). Sedangkan pada Mansyur sendiri tidak diketahui secara pasti penyebab dia jatuh kelaut. “Tetapi bagaimanapun juga mereka mencoba menerka-nerka, masalah itu tinggal gelap juga, gelap untuk selama-lamanya. Tidak ada yang tau asal mulanya dia jatuh kelaut.” (hlm 126)
Banyak moral baik yang terkandung dalam novel ini, seperti untuk mendapatkan sesuatu kita inginkan kita harus tegar dalam menghadapi segala cobaan. Tidak boleh pasrah begitu saja pada nasib yang telah digariskan untuk kita. Novel ini dapat dibaca oleh semua kalangan tentu saja dengan harapan dapat memberikan motivasi pada sipembaca supaya terus berusaha untuk mendapatkan kesentosaan dalam hidup.
Buku ini bagus sekali untuk dibaca oleh semua kalangan karena mengandung banyak amanah yang terkandung dalam hidup yang dapat menjadi pelajaran.
Kisah di buku ini sungguh malang benar.. Nyesak bacanya Hiks. Tapi emosinya emang dapet banget, alur ceritanya juga menarik, membuat kita pengen baca sampai selesai.. Pengen kasih bintang 3 karna kemelaratan cerita, tapi bintang 4 untuk kekuatan karakter, alur cerita, dan setting. Benar2 mengaduk2 emosi :')
Yah, 'kemalangan' saya pribadi tidak ada satu persennya dibandingkan yang menimpa tokoh kakak-beradik di novel ini, sih. Alkisah, Mansyur dan Laminah, sepasang anak dari daerah Ketahun, Bengkulu, sudah harus berjibaku untuk bertahan hidup di usia belia. Setelah berturut-turut ditinggal ibu lalu ayah mereka, keduanya terombang-ambing badai kehidupan berupa paman yang kejam, perantauan ke kota besar yang asing, serta kesialan yang datang bertubi-tubi. Novelnya relatif pendek, hanya 104 halaman, tapi perjalanan Mansyur dan Laminah terasa begitu panjang dan melelahkan.
Bahasa yang digunakan di sini sarat dengan kosa kata dan nuansa khas rumpun Melayu, namun masih tetap mudah dimengerti. Sedikit banyak, membangkitkan rasa rindu saya kepada gaya ngomong orang Sumatera dan almarhumah nenek saya pada khususnya. Di novel ini, Sutan Takdir Alisjahbana menunjukkan kepiawaiannya dalam merangkai diksi yang indah serta dialog yang alami apa adanya. Gaya bahasanya klasik, penuh perumpamaan dan penuturan yang begitu ekspresif tentang apa yang dialami para tokohnya.
Soal ceritanya sendiri, polanya kurang lebih begini:
1. Sengsara 2. Dapat sedikit rezeki 3. Jatuh lagi, sengsara lagi 4. Dapat sedikit rezeki 5. Jatuh lagi, sengsara lagi
Begitulah, jelas tidak saya rekomendasikan untuk yang sedang ingin bacaan menyenangkan atau menumbuhkan motivasi. Kadang saya sendiri pun lelah melihat pola repetitif bertumpuknya penderitaan untuk dipikul tokohnya, apalagi di akhir cerita ketika . Namun, memang beginilah ciri karya sastra; refleksi jujur bahwa dunia itu seringkali tidak adil, bahwa kerja keras seringkali tidak berbalas sepadan, dan bahwa kita bisa saja gagal melindungi orang yang paling kita cintai. Itulah adanya Tak Putus Dirundung Malang, sebuah narasi tragedi yang dituturkan dengan indah.
Nemu harta karun ini di perpusda setelah belasan tahun mencari. Di halaman-halaman awal, aku agak kesulitan mencerna bahasanya. Ada banyak peribahasa dan kosakata arkais-cenderung-melayu yg dipakai di buku ini. Yaaa, namanya juga sastra lama 😃 Setelah beberapa puluh halaman, barulah aku bisa membacanya dgn lancar tanpa harus mengeja kata per kata. Ceritanya bagus banget. Sedih dan (pada saat yg bersamaan) bikin gregetan. Aku nangis pas di bagian Minah terjun bebas ke laut 😭
Tak Putus Dirundung Malang adalah serangkaian upaya sepasang kakak-beradik yatim piatu untuk bisa sintas di wilayah Bengkulu.
Sepasang kakak-beradik itu adalah Mansur dan Laminah. Saat mereka masih kecil, ibunya meninggal dalam suatu kebakaran. Saat umur mereka belasan, bapak mereka, Syahbuddin, meninggal karena sakit. Sejak itu mereka berpindah-pindah.
Deus Ex Machina banyak digunakan untuk menggerakkan plot. Hal ini terutama sangat terasa pada awal-awal buku. Pada akhir suatu bab diceritakan bahwa Syahbuddin mesti pergi sementara meninggalkan dua anaknya. Bab selanjutnya tahu-tahu Syahbuddin sudah sakit parah. Lompatan jauh antara peristiwa kepergian Syahbuddin dan kematian Syahbuddin dan penggunaan Deus Ex Machina menimbulkan efek dramatis bagi kesebatangkaraan Mansur dan Laminah. Setelah itu, mereka hanya berdua saja.
Setelah kematian Syahbuddin, plot lebih digerakkan oleh aksi-reaksi tokoh-tokohnya. Mansur dan Laminah pergi dari rumah bibinya, Jepisah, karena tindakan Madang. Mereka mengundurkan diri dari sebuah toko roti karena tindakan Sarmin.
Di antara kakak-beradik itu Laminah lebih sering tertimpa langsung kemalangan dan digambarkan lebih tidak tahan menghadapinya. Ketika dia mengasuh anak Jepisah, musibah yang menimpa sepupunya itu dianggap disebabkan olehnya. Ketika mereka bekerja di toko roti, dialah yang tidak bisa kerasan dengan lingkungan kerjanya. Kesusahan hati Mansur justru lebih sering disebabkan oleh hal-hal yang berkaitan dengan Laminah dan rasa tanggung jawabnya sebagai kakak walaupun menjelang akhir buku Mansur tertimpa langsung kemalangan juga –yang sebenarnya diadakan oleh Deus Ex Machina.
Reaksi mereka atas kemalangan menimbulkan suatu pola. Setelah Mansur meninggal, mereka selalu cenderung ingin langsung menjauhi sumber kemalangan mereka, terlepas dari dilakukan segera atau tidak. Tidak ada sedikit pun isyarat untuk bertahan di tempat dan mengusir atau setidaknya berkonfrontasi sumber kemalangan itu. Hal ini tampak dalam reaksi Mansur saat mengetahui Madang memarahi Laminah atau saat mengetahui kecemasan Laminah atas Sarmin. Reaksi macam ini bisa jadi disebabkan oleh keyakinan mereka atas kemampuan pertahanan dirinya belum sempat matang saat Syahbuddin, sosok yang secara tidak langsung mereka anggap bisa berkonfrontasi dengan kemalangan –misalnya, saat berhadapan dengan saudagar Cina, meninggal. Jadi, cara yang mereka tahu untuk mengatasi kemalangan adalah menjauhinya sama sekali. Kecenderungan inilah yang kemudian berdampak fatal bagi Laminah.
Di sisi lain, reaksi mereka atas kenyamanan pun menimbulkan pola yang sama: mereka cenderung menjauhi sumber kenyamanan itu. Mereka sempat ditawari oleh Datuk Halim dan Andung Seripah untuk tinggal di rumahnya. Begitu pun oleh Palik. Di toko roti pun mereka mendapatkan fasilitas yang nyaman sebagai pegawai (tempat tinggal dan makan). Mereka memutuskan untuk menolak bertahan di sana. Walaupun, misalnya, rumah Datuk Halim dekat dengan sumber kemalangan, rumah Madang, dan walaupun di toko roti itu Laminah pernah mengalami suatu kemalangan, tempat-tempat itu, lebih-lebih rumah Palik, adalah tempat yang aman bagi mereka. Hasrat untuk menjauhi sumber kemalangan justru berdampak buruk pada pertimbangan mereka atas tempat-tempat yang nyaman.
Latar cerita ini adalah suatu hal yang patut diperhatikan juga. Di sini digambarkan juga moda transportasi orang-orang di Bengkulu pada tahun ‘20an akhir. Mereka yang tinggal di pinggiran memanfaatkan arus sungai dan menggunakan sampan untuk bepergian. Hanya sesekali ada mobil yang bisa mengangkut banyak orang. Kalau tidak menggunakan dua moda transportasi itu, mereka jalan kaki. Sekedar informasi, Mansur dan Laminah berjalan kaki dari Ketahun ke Selolong yang jaraknya kira-kira 30 KM. Baru setelah itu, mereka naik mobil ke kota Bengkulu.
Latar yang juga bisa jadi menggambarkan keadaan zamannya adalah penggambaran orang Cina dan Jepang. Dalam buku ini tokoh-tokoh yang berbangsa ini (khususnya Cina) digambarkan sebagai seorang saudagar, bahkan di kota Bengkulu toko-toko yang didatangi Mansur dan Laminah untuk mencari kerja dimiliki oleh orang-orang Cina. Rata-rata mereka digambarkan bersikap ketus. Kekecualiannya adalah orang Cina pemilik toko roti yang pada akhirnya mempekerjakan mereka dan orang Jepang yang mempekerjakan Mansur.
Sebagaimana judulnya, buku ini adalah kisah tentang dua remaja yang saking Tak Putus Dirundung Malang sampai-sampai saat menjumpai kenyamanan pun penilaian mereka atasnya menjadi sangat bias. Tak putus dirundung malang bisa menjeratmu dalam lingkaran setan paradigma ‘hidup adalah kemalangan belaka dan tak ada celah sedikit pun untuk keluar’.
Mungkin ini bakalan menjadi "the most depressing" roman yang saya baca tahun 2016 ini. Mulai dari sejak cerita dimulai sampai akhir cerita, novel klasik karya Sutan Takdir Alisjahbana ini diisi dengan kesedihan dan malapetaka yang menimpa hidup Mansur dan Laminah. Dua orang beradik kakak tersebut adalah tokoh sentral dalam novel ini yang mengambil setting di negeri Ketahun, Bengkulu. Mereka adalah dua orang anak yatim piatu sejak masih anak-anak. Sepeninggal ayahnya mereka diasuh oleh bibinya. Namun sayang, dirumah bibinya pun mereka diperlakukan tidak selayaknya anak-anak oleh Madang,suami bibinya. Kepedihan hidup tersebut membuat mereka lari dari rumah bibinya dan merantau ke Kota Bengkulu. Hidup di kota pun mereka tidak menemui mujur yang baik, seperti judul novel ini 'Tak Putus Dirundung Malam'. Secara gaya bahasa saya sangat menikmati membaca novel yang tipis ini, cuma 178 halaman. Bahasa Indonesia lama yang sangat dipengaruhi minang-melayu dengan banyak majas dan metafora membuat saya hanyut dalam penderitaan yang dialami Mansur dan Laminah. Tapi saya tidak menganjurkan buku ini bagi orang yang lagi stress atau depresi, bisa-bisa tambah gila , hehe..