Jump to ratings and reviews
Rate this book

Di Tanah Lada

Rate this book
Salva, sering disapa Ava. Namun, Papanya ingin menamainya Saliva, yang berarti ludah, sebab mengganggapnya tidak berguna. Dari kamus pemberian Kakek Kia, Ava mencari setiap makna dari kata-kata yang ditemukan sehari-hari. Ketika keluarga Ava pindah ke Rusun Nero setelah Kakek Kia meninggal, Ava berjumpa dengan P-anak Lelaki yang pandai bermain gitar. perjumpaan Ava dengan P, dan petualangan keduanya akan membawa pembaca ke banyak pojok gelap dan muara yang mengejutkan

Pada edisi kali ini, novel Di Tanah Lada dilengkapi dengan sebuah catatan, banyak ilustrasi, dan satu kemungkinan akhir cerita lain.

290 pages, Paperback

First published October 19, 2015

688 people are currently reading
5983 people want to read

About the author

Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

38 books1,412 followers

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
3,597 (41%)
4 stars
3,506 (40%)
3 stars
1,236 (14%)
2 stars
184 (2%)
1 star
44 (<1%)
Displaying 1 - 30 of 2,282 reviews
Profile Image for Reymigius.
117 reviews37 followers
June 7, 2017
Buku ini mengangkat kisah tentang isu kekerasan dalam rumah tangga yang diceritakan melalui kacamata seorang anak perempuan berusia enam tahun bernama Ava. Berawal dari kepindahan keluarganya ke Rusun Nero, Ava bertemu seorang bocah lelaki berusia sepuluh tahun bernama P. Mereka lalu berbincang-bincang, menemukan fakta bahwa mereka ternyata memiliki nasib yang sama, kemudian berteman dan melakukan sebuah petualangan.

Well, sejujurnya yang membuat saya tertarik membaca buku ini adalah gelar pemenang sayembara DKJ yang disandangnya--bukan nukilannya yang justru baru kubaca setelah buku ini sampai di tangan. Memang sih sebelumnya sudah banyak yang mengatakan buku ini mirip dengan Le Petit Prince, tapi sebatas itulah pengetahuanku. Setelah kubaca sendiri bukunya, yah, not even close. Buku ini rasanya lebih mirip dengan The Boy in Stripped Pajamas karya John Boyne ketimbang novel Antoine de Saint-Exupéry yang satu itu.

Membanding-bandingkan terkadang memang bukanlah hal yang bijak, tapi tokoh Ava dan Bruno memang memiliki banyak kesamaan. Gaya bertuturnya, sikap naif dan polosnya, kemampuan deduksi dan silogismenya; semuanya terasa begitu identik. Belum lagi hubungan antara Ava dan P yang mengingatkanku pada hubungan Bruno dan Shmuel, meski dalam novel ini hubungan kedua protagonis memiliki intensitas yang lebih romantis. Tetap saja, kentara sekali Ziggy memperoleh pengaruh yang cukup kuat dari gaya menulis Boyne.

Tapi jangan salah paham, meski tidak terasa tulen (setidaknya bagiku), bukan berarti aku akan mementahkan novel ini begitu saja. Kuakui ada cukup banyak dialog maupun monolog di novel ini yang berhasil membuatku tersentuh, terpelatuk, senyum-senyum sendiri, etc. Melalui sudut pandang tokoh-tokohnya yang anak kecil, punchline-punchline yang ditulis Ziggy mengena sekali bagi pembaca dewasa. Ziggy jelas jenius dalam hal ini.

Meski demikian, ada hal yang lumayan mengganggu soal karakterisasi para tokoh Di Tanah Lada. Ava dan P memang memiliki latar belakang keluarga yang serupa, tapi perlu dicatat bahwa mereka dibesarkan di lingkungan yang berbeda dan memiliki usia yang terpaut empat tahun lamanya. Berdasarkan ilustrasi barusan, bukankah harusnya mereka memiliki karakter yang terdiferensiasi? Logika sederhana ini malah tidak diterapkan oleh Ziggy, karena Ava dan P, sayangnya, terdengar persis satu sama lain.

Yah... di awal cerita memang ada yang membedakan suara mereka (itu pun sekedar persoalan semantik yang temeh). Akan tetapi, makin ke sini, Ava dan P bagai pinang dibelah dua. Dalihnya mungkin adalah karena mereka sama-sama saling mempengaruhi karakter satu sama lain... tapi apakah hal demikian bisa terjadi secepat itu, hanya dalam kurun waktu kurang dari seminggu? Hal seperti ini menurut saya esensial: bukan hanya karena pembaca akan menjadi sulit membedakan suara kedua tokoh, tapi juga karena cerita akan terasa jauh dan menjadi kurang realistis.

Bukan hanya tokoh anak-anaknya, saya juga menemukan masalah pada karakterisasi sejumlah tokoh dewasa dalam novel ini. Ava dan P, terlepas dari hal-hal di atas, memiliki kedalaman karakter. Berbeda dengan tokoh-tokoh dewasanya, yang rasanya kok dangkal sekali. Kita ambil contoh Papanya Ava, yang dibikin ujug-ujug kejam dengan motif yang minim sekali. Ya, Ziggy menjelaskan bahwa dia punya masa lalu. Tapi seperti apa tepatnya? Mengapa dia bisa sampai sejahat itu?? dsb. He basically pops up in this book just to do dirty things to Ava and her mom, one-dimensionally and single-layeredly, then fade away in the middle of the book like he wasn't even there. Pathetic.

Contoh lainnya adalah Ibunya Ava, whose I don't really understand. Dia seperti tidak memiliki standing-point di tengah-tengah konflik yang terjadi di keluarganya, seperti sebongkah ranting di tengah badai, di mana di satu sisi dia digambarkan sebagai induk singa yang senantiasa siaga melindungi anaknya, tapi di sisi lain dia tetap mempertahankan suaminya yang mahajahat. Pergolakan batin seperti apa sih yang menyebabkan dia mengambil sikap seperti itu? Hal ini seharusnya lebih dieksplorasi lagi oleh penulis.

AND FINALLY. LET ME TALK ABOUT THE MAJOR ISSUE OF THIS BOOK : THE ENDING.

(The following paragraphs definitely contains spoiler so get the fuck outta here if you haven't read it yet. I just can't talk about this shit without spoiling one or two sequences that happened there so yeah, unless you want it, I think you should GO. HUSH HUSH. I WARNED YOU.)

(And oh, there's also a MAJOR spoiler from The Boy in the Stripped Pajamas RIGHT AFTER THIS so please, be careful, cause YOU'VE BEEN INFORMED.)

*cough*

*cough cough*

*cough*

Jika kamu sudah membaca atau menonton The Boy in the Stripped Pajamas, kamu pasti masih ingat bahwa di endingnya Bruno secara tidak sengaja masuk ke dalam ruang gas di Kamp Auschwitz bersama Shmuel dan mereka pun meninggal secara mengenaskan. Di cerita itu, mereka melambangkan keluguan anak kecil dalam bentuknya yang paling utuh di hadapan kekejaman dunia nyata.

...then there's this book I just finished called Di Tanah Lada where a 6yo girl and a 10yo boy commit a fucking suicide for the sake of reincarnation and eternal happiness like WHAT THE ACTUAL FUCK. HOW COULD YOU. ARE YOU INSANE ZIGGY.

Banyak pembaca Di Tanah Lada yang mempermasalahkan kemampuan Ava dalam mengingat isi kamus, yang katanya sih kelewat cerdas untuk anak seusia dia. Hm, menurutku sih tidak. Toh di luar sana pun banyak anak di bawah usia lima yang berbakat menghafal seisi Al-Qur'an, which is sesuatu yang bahkan orang dewasa pun akan sulit melakukannya.

Yang aku permasalahkan di sini justru kemampuan Ava dan P dalam menalar hal-hal abstrak seperti kebahagiaan hakiki, kebersatuan abadi, kehidupan setelah mati, dan reinkarnasi. Anak-anak seusia mereka seharusnya belum punya cukup field of experiences dan frame of references untuk menjangkau dan meyakini sepenuhnya hal-hal immateri seperti itu. Jangankan hal-hal tadi: apabila ditanya mengenai nasionalisme atau patriotisme pun, yang mana merupakan salah satu materi ajar di sekolah dasar, anak-anak seusia mereka pasti akan kebingungan atau menjawabnya dengan seadanya atau menjawabnya dalam tatar praktikal seperti "nasionalisme itu upacara bendera" dan "patriotisme itu bela negara". Belum ada pijakan bagi anak-anak seusia mereka untuk berpikir secara lebih mengakar dan filosofis.

...then there's this book I just finished called Di Tanah Lada where a 6yo girl and a 10yo boy commit a fucking suicide for the sake of reincarnation and eternal happiness like WHAT THE ACTUAL FUCK. HOW COULD YOU. ARE YOU INSANE ZIGGY. (2)

Sebenarnya Ziggy punya kesempatan di sepuluh halaman terakhir untuk menggerakkan cerita ini ke akhir yang lebih baik (dan jauh lebih masuk akal), but why the hell she took the dark path smh. It ruined EVERYTHING and was very unneeded and unnecessary and symbolize nothing but sadness. Horrible.
Profile Image for bakanekonomama.
573 reviews85 followers
November 22, 2016
Salah satu gaya bercerita yang tidak terlalu saya sukai adalah gaya bercerita dari sudut pandang orang pertama. Apalagi jika kemudian si penulis terlalu berlebihan dalam mengeksplor isi hati si tokoh utamanya, sehingga membuat saya gregetan dan ingin melempar bukunya. Ini misalnya seperti ketika saya membaca Mockingjay atau novel-novel Metropop yang terlalu cantik-tampan-jelita atau terlalu bling-bling. Namun, saya tidak memiliki masalah jika meskipun si penulis bercerita dengan sudut pandang orang pertama tapi dia berlaku sebagai pengamat sekitarnya, seperti dalam tetralogi Laskar Pelangi.

Buku ini sebenarnya ada di kategori kedua. Meskipun Salva adalah penutur cerita, tapi perasaannya tidak mendominasi isi cerita. Hanya pikirannya saja yang bermain di sini. Itu adalah nilai lebih, karena saya melihat Ava adalah seorang pengamat yang sangat baik. Sayangnya, dalam berbagai kesempatan, saya kehilangan jejak bahwa Ava adalah seorang anak kecil berusia enam tahun yang begitu dimanja ibunya (karena dia tidak bisa makan dan mandi sendiri), tapi saya justru merasa sedang berhadapan dengan orang yang sudah lebih besar dari Ava.

Walaupun saya sempat merasakan kesulitan dalam menyelami karakter Ava, tapi sesungguhnya saya menyukai cerita ini. Karakter favorit saya adalah P dan Mas Alri. Saya tidak bisa menyukai Ava secara penuh, karena kesulitan untuk menyelami karakternya itu. Saya juga tidak terlalu menyukai Ibu Ava, yang begitu tabah (?) menerima penganiayaan dari suaminya, bahkan sejak sebelum Ava lahir. Entah apa yang ada di benak perempuan itu sehingga mempertahankan pernikahannya selama itu? Sedangkan sejak awal mengandung Ava, sudah jelas sekali bahwa suaminya tidak menginginkan anak mereka dan menganggap Ava bukan anaknya. Itu bisa terlihat dari si suami yang mau menamai anaknya Saliva karena menganggapnya tidak berguna. Jelas sekali kan, kalau tidak ada cinta bahkan kepada si jabang bayi yang baru lahir itu? Dan setelah beberapa tahun berjalan, seharusnya si Mama semakin memahami itu. Tapi ia memilih untuk bertahan.

Mungkin benar apa yang dikatakan P (kalau nggak salah), bahwa dulu si Mama tinggal di rumah bagus dan segala kebutuhannya terpenuhi, meskipun suaminya tidak menyayangi dia dan anaknya jadi sayang kalau bercerai. Sedangkan sekarang, mereka sudah tidak punya apa-apa lagi. Sudah tinggal di rusun jelek, uang menipis, ditambah lagi dengan kelakuan suaminya yang semakin gila judi. Jadi, sudah tidak ada lagi yang pantas buat diperjuangkan dan dipertahankan, kan? Saya jadi ingat, ada seorang perempuan yang tidak mau cerai dari suaminya karena ia tidak mau "turun jabatan", dari yang tadinya biasa pakai mobil jadi harus jalan kaki, dari makan daging setiap hari jadi harus makan dagingnya seminggu sekali. Atau seorang teman yang memikirkan untuk kembali ke suaminya karena setelah mereka cerai, si suami jadi sering menghujaninya dengan perhatian dan uang dan hadiah (padahal ketika mereka menikah si suami sering selingkuh dan nggak begitu peduli sama istrinya). Lalu seorang teman yang sering menjadi tempat konsultasi rumah tangga berkata, "Saya nggak bisa maksa mereka cerai, karena saya nggak bisa ngasih mereka mobil dan uang." Rupanya faktor ekonomi memang sangat berpengaruh dalam membolak-balikkan perasaan, ya? Soalnya, cinta saja memang nggak cukup buat ngasih makan, sih. Harus ada rangga yang juga berjuang menjual puisi, foto, dan kopi di negeri orang.... #halah

Tadinya saya mau memberikan tiga bintang untuk cerita ini, tapi urung setelah saya menamatkan bukunya. Cara penulis mengakhiri cerita ini membuat saya kecewa, karena setelah dibawa dalam sebuah perjalanan yang berbatu dan berduri di awal, lalu menemukan secercah harapan yang kemudian harapan itu semakin besar, tapi ketika ada di persimpangan jalan antara cahaya dan kegelapan, penulis memilih akhir yang gelap untuk menamatkan ceritanya. Ketika pembaca mulai memiliki "faith in humanity", tiba-tiba dijorogin ke dunia tempat kita jadi "lost faith in humanity". Jadi, ya, begitulah. Dua bintang saja untuk kisah Salt dan Pepper yang menggunakan bahasa yang indah dan terangkai dengan sangat baik ini.
Profile Image for Akaigita.
Author 6 books237 followers
May 16, 2021
Aku menangis karena orang dewasa tidak mengerti apa-apa. - hlm. 92


Aku tahu buku ini tahun 2015, tapi baru sempat/menyempatkan diri/mendapatkan kesempatan untuk membacanya sekarang, tahun 2018. Kisah ini dimulai dengan kematian Kakek Kia, kakeknya Ava yang baik hati dan membekalinya dengan sebuah kamus (Bahasa Indonesia). Kepergian sang kakek mengubah hidup Ava habis-habisan. Ia kini harus tinggal di Rusun Nero yang gelap, banyak kecoa, banyak hantu, dan bisa roboh kapan saja. Namun, di tempat itulah ia bertemu P, anak cowok yang berusia 4 tahun lebih tua darinya dan selalu membawa-bawa gitar. P hanya bisa bernyanyi satu lagu berjudul "Me", yang rupanya oh rupanya....

Perjalanan hidup dua bocah ini miris banget. Hati hamba yang cuma tinggal seiprit pun digerus-gerus sampai habis dibuatnya. P yang di awal tampak seperti karakter kuat dan pengayom bagi Ava, perlahan-lahan menunjukkan kerentanan dirinya.

"Kalau kamu bereinkarnasi jadi hewan, kamu mau jadi hewan apa?"
"Hmm," gumamnya. "Badak bercula satu."
"Kenapa?"
"Soalnya, dia kuat. Kata Mas Alri, dia nggak bisa luka. Soalnya, kulitnya tebal sekali. Ditusuk tombak juga nggak akan sakit. Terus, dia kuat. Kalau dia sundul tank, tanknya bisa rusak." Dia bilang, "Dan, mereka dilindungi. Di tempat... apa yang namanya? Pagar, atau apa, begitu? Pokoknya, mereka dilindungi. Katanya, mereka dilindungi karena sisanya cuma sedikit. KAlau lahir lagi, aku mau dilindungi juga. Soalnya, sekarang, nggak ada yang melindungi aku."

- hlm. 216

Meskipun dituturkan oleh anak berumur 6 tahun (Ava), cerita ini jelas bukan untuk anak-anak. Cerita ini ditujukan buat orang dewasa. Enggak cuma untuk para orang tua, tetapi juga saudaranya orang tua, orang yang pura-pura enggak jadi orang tua, dan calon orang tua juga. Jangan berani-berani bikin anak deh kalau enggak tahu cara ngurusinnya, kalau cuma buat si anak menderita.

Buku ini juga bikin aku bersyukur karena punya orang tua yang (kelewat) perhatian. Setidaknya, aku punya jaminan bakal ada yang teriak-teriak nyariin kalau sudah satu jam aku boker tapi belum keluar-keluar dari kamar mandi.

Aku bilang ke Kakek Kia, sulit sekali menemukan "kebenaran" dalam kamus. Lalu, dia tampak sedikit sedih. Dan, kata Kakek Kia, "Lebih sulit lagi menemukannya di dunia nyata." - hlm.210


Aku suka bagaimana penulis merangkai hal-hal sederhana yang ditemui protagonis cerita ini menjadi analogi hal-hal yang lebih besar. Kamus yang selalu dibawa Ava ke mana-mana adalah senjata efektif untuk menyampaikan sindiran tersirat, tapi di sisi lain juga jadi sumber tawa yang mewarnai buku ini di paruh awal cerita (karena di paruh akhir aku cuma bisa nangis kejer).
Profile Image for Ayesa.
69 reviews3 followers
May 22, 2024
Lumayan, cuma endingnya terkesan pasrah. Selain itu, Ava digambarkan terlalu dewasa. Pemikiran Ava dan P terlihat sangat matang untuk ukuran anak-anak.
62 reviews2 followers
June 17, 2022
Tadinya mau kasih rate 5. Sumpah bagus banget sampai ke 3/4 buku. Soal kamus itu contohnya. Aku gak nyangka membaca kamus bisa jadi semengasyikkan itu. Mencari arti dari suatu arti. Arti pangkat dua kali ya. Dan celotehan Ava itu, benar-benar tipikal anak yg menyerap segala apa yg didengar dan dilihatnya. Ada kalanya memang agak berlebihan, tapi itu sedikit banget dan gak mengganggu. Sayang, masuk ke halaman 200-an karakter Ava dan P mendadak menjelma jadi sosok dewasa yg gak pada tempatnya dan malah mengurangi nilai cerita yg udah dibangun dengan baik. Untuk judulnya juga rasanya kurang pas. Di tanah ladanya cuma di akhir cerita dan keberadaan mereka di sana benar-benar ugh. Mending dikasih judul Salt dan Pepper, atau Salt Tambah Pepper, He—Boy P, atau semacamnya. Untuk yg terakhir itu, karena menurutku tokoh utamanya adalah P, sedangkan Ava di sini hanya mengambil peran sebagai tokoh pencerita. Terus untuk endingnya, ekspresi bahagia Ava dan P saat melakukan ‘itu’ terkesan membenarkan perbuatan mereka. Padahal alasan untuk ‘itu’ udah gak ada—udah dihempas ke samping. Ending alternatif udah tersedia. Dalam kepalaku aku langsung kasih rate 3,5. Maaf sekali, ya. Mudah-mudahan para pembaca buku ini berada dalam keadaan mental stabil sehingga gak terpengaruh untuk mencontoh.
Profile Image for Annisa Anggiana.
282 reviews53 followers
February 22, 2017
Ya Gustiii.. Ini cerita sedih banget yak! Dan kenapa pula saya suka sama cerita-cerita sedih macem gini.

Maaf reviewnya dibuka seperti ini karena saya sesungguhnya masih baper.

Kenyataan memang seringkali jauh dari indahnya cerita dalam dongeng. Namun di mata seorang anak 6 tahun seperti Ava, anak perempuan yang menjadi tokoh utama dalam cerita ini, bisa jadi kepahitan dan kegetiran tersebut diceritakan sebagai kondisi biasa. Hal itulah yang membuat membaca buku ini membawa efek geram.

Ava memiliki sepasang Papa dan Mama. Papanya suka marah-marah dan memukul Mamanya. Bagi Ava, Papanya itu menakutkan seperti hantu. Ava berasumsi semua Papa itu jahat. Asumsi Ava bertambah kuat ketika ia bersama orang tuanya harus pindah ke sebuah Rusun bersama Rusun Nero. Papanya membawa mereka pindah kesana karena baru menerima warisan dan ingin tinggal lebih dekat ke tempat perjudian.

Di sana Ava bertemu dengan seorang anak lelaki berumur 10 tahun yang bernama P (iya namanya hanya huruf P) yang juga tinggal di Rusun Nero. Pertemuan mereka terjadi di warung makan, Ava-seorang anak berumur 6 tahun diberi uang dan disuruh mencari makan sendiri di luar oleh Papanya. Ava yang memesan ayam goreng kebingungan karena ia belum bisa makan ayam goreng sendiri. Di saat itulah P yang juga sedang ada di warung makan membantu dengan menyuapi Ava makan.

P lalu mengantar Ava kembali ke unitnya, apa cerita unitnya terkunci, Papa dan Mamanya pergi keluar tanpa membawa atau mencari Ava dan menguncinya di luar. Mulai geram? Saya sih di bagian ini sudah mulai geram. Dari narasi-narasi Ava & P berikutnya kita jadi tahu kalo ternyata Papa P juga jahat dan sering memukulnya. Ava dan P lalu menyimpulkan bahwa semua Papa di dunia ini jahat. Beruntung P mempunyai teman di Rusun yaitu Mas Alri dan Kak Suri.

Bagaimana dengan Mama Ava? Mama Ava sesungguhnya bukan orang yang jahat. Mama Ava hanya teramat sangat takut kepada Papa Ava. Mama Ava, ketika sibuk dengan perasaannya sendiri kadang melupakan keberadaan Ava. Menurut P sih mamanya Ava juga jahat, namun jahat yang berbeda dengan Papa Ava. Bagaimana menurut saya? Menurut saya Mamanya Ava bisa berusaha lebih baik kalau dia mau. Tapi dia tidak berusaha, dan disitulah letak permasalahannya. Disitulah Ava menerima collateral damage dari kekacauan kedua orang tuanya.

P tidak punya Mama. Mama P meninggalkan P dengan papanya ketika ia masih bayi. P dibesarkan oleh Papanya. Di usia yang 10 ini Papa P juga sudah tidak ambil pusing akan keberadaan P, bahkan cenderung marah besar yang berujung pada kekerasan jika ia melihat P. P tidak punya kasur, ia tidur di dalam kotak kardus besar di dalam unit Papanya.

Sudah geram? Di bagian ini saya sudah mulai ingin menangis, tapi saya tidak bisa berhenti membaca buku ini. Saya khawatir dengan Ava dan P.

Alur cerita berakselerasi ketika Papa dan Mama Ava bertengkar dan Papa Ava mencoba mengurung Ava di dalam koper besar, terjadi keributan hebat di unit Rusun mereka, para tetangga akhirnya ikut campur, Mama Ava membawa Ava kabur dan menginap di Hotel. Tapi kondisi tersebut tidak menghalangi Ava dan P untuk bermain bersama.

Suatu ketika Ibu Ava ketiduran dan tidak awas akan keberadaan Ava. Ava berakhir di Rusun lagi karena ia sangat suka bermain dengan P. Namun sialnya ketika Ava dan P sedang bermain di Unit P, Papa P datang. Ava yang sedang menengok kardus tempat P tidur ketakutan. P mencoba melindungi Ava dengan menyembunyikannya dalam kardus, Ava yang mendengar suara pukulan2 mengerikan akhirnya berteriak keluar dari kardus sambil memukul Papa P dengan gitar. Ternyata P dipukul di bagian tangan oleh Ayahnya dengan menggunakan setrika panas.

Dari titik inilah kisah pelarian Ava dan P bermulai. Dari titik ini kita bisa melihat upaya setengah-setengah orang dewasa untuk membantu sepasang anak berusia 6 dan 10 tahun dan dibuat panas dingin karenanya.

Ava adalah seorang anak perempuan pintar yang selalu membawa kamus kemana-mana untuk melihat arti kata-kata yang ia dengar. P adalah seorang anak laki-laki yang kuat namun lembut hatinya walaupun kehidupannya sangat sulit. Mereka berdua percaya bahwa hanya melalui reinkarnasi mereka bisa hidup bahagia walaupun mereka hanya punya ide samar-samar tentang bahagia. Ava ingin menjadi penguin di kehidupan selanjutnya. P ingin menjadi badak bercula satu.

Mereka tidak sepantasnya menjalani semua yang mereka jalani.

Mereka seharusnya mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Mereka seharusnya bisa percaya bahwa di kehidupan ini mereka bisa bahagia.

Mereka seharusnya tahu bahwa tidak semua Papa jahat dan tidak semua Mama tidak berdaya.

Para orang dewasa seharusnya bisa berbuat lebih dari ini.

Hidup ini tidak adil. Saya benci bahwa terkadang hidup ini tidak adil bahkan terhadap anak kecil sekalipun.

Suatu waktu saya pergi ke pusat perbelanjaan Grosir di Jakarta, di bilik kamar mandi saya mendengar kemarahan seorang Ibu kepada anak perempuannya hanya karena anak perempuannya secara tidak sengaja menyiram baju Ibunya dengan air. Kata-kata kasar Ibunya masih terngiang2 dengan jelas di ingatan saya “Anjing kamu! Baju Mama jadi basah, dasar anak ngga ada guna, Anjing!” lalu saya mendengar suara pukulan, kemudian suara anak perempuan menangis.

Darah saya mengalir cepat ke kepala, tangan saya terasa dingin, saya buru-buru membereskan baju dan keluar bilik kamar mandi, ketika saya keluar bilik sang Ibu sudah bergerak menyeret tangan anaknya keluar dengan terburu-buru. Anak itu menoleh ke belakang, matanya yang menangis menatap mata saya. Mereka bertemu seorang laki-laki yang mungkin ayahnya lalu berjalan menjauh. Saya mematung, tangan saya masih terasa beku. Saya bersalah karena tidak bisa melakukan apa-apa. Saya seharusnya bisa berbuat lebih baik dari sekedar mematung.

Buku ini terasa seperti momen itu.

Hidup ini tidak adil.

5 dari 5 bintang dari saya untuk buku ini.
Profile Image for Pauline Destinugrainy.
Author 1 book265 followers
November 24, 2015
Tanah Lada [kb.] : Tanah yang menumbuhkan kebahagiaan (hal.217)

Salva adalah seorang anak kecil yang pintar. Di usianya yang ketiga, Kakek Kia (kakeknya) memberikan sebuah kamus bahasa Indonesia padanya agar dia bisa berbahasa dengan baik dan benar. Sejak itu, Salva selalu mencari arti dari kata-kata yang didengarnya di kamus untuk menambah kekayaan pengetahuannya.

Salva tinggal bersama Papa dan Mamanya. Papanya orang jahat, dia selalu memarahi Salva dan memukulnya dengan sisir. Papanya tidak suka padanya. Mamanya adalah seorang perempuan yang baik, senyumnya menawan, dan sayang padanya. Di benak kecil Salva tertanam, semua papa adalah orang jahat dan semua mama adalah orang baik.

Tetapi pikirannya berubah saat bertemu dengan P, seorang anak laki-laki berumur 10 tahun yang tinggal du rumah susun Nero. Salva dibawah kesana oleh papanya, karena rusun itu dekat dengan rumah judi. Papanya menghabiskan semua uangnya untuk berjudi. P juga mempunyai papa yang jahat, sementara P tidak mengenal mamanya. Kata P mamanya pergi ketika dia masih kecil. Berarti semua mama itu tidak peduli anaknya. Yah kadang-kadang mamanya Salva juga begitu, dia melupakan Salva beberapa waktu. Bersama P, Salva mulai mengenal orang-orang baru di rusun. Ada kak Suri yang cantik, ada mas Alwi yang pintar menyanyi. Ada juga Bu Ratna pemegang kunci rumah susun.

Di Tanah Lada adalah novel tentang kehidupan anak yang mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari orang tua. Dari sudut pandang Salva yang berumur 6 tahun, kita bisa melihat bagaimana mereka menghadapi hari-hari penuh ketakutan. Mereka sampai bermimpi ingin menuju ke bintang dimana hanya ada kedamaian di sana.

Yang menarik dari novel ini adalah cara bertuturnya yang benar-benar seperti anak kecil yang bercerita. Kadang tidak runtut, ada tambahan sana-sini, seperti anak yang meracau. Akibatnya, pembaca akan benar-benar dibawa mengalami hari-hari seperti Salva. Hanya saja, Salva terlalu pintar untuk anak seusianya, sehingga seringkali kosakatanya seperti orang tua. Tapi jangan kuatir, anda akan menikmatinya. Saya rasa novel ini memang layak jadi pemenang, karena menulis secara konsisten dari rapi dari sudut pandang seorang anak kecil itu tidaklah mudah.

Saya sempat bertanya-tanya, Tanah Lada itu di mana? Setelah googling, ternyata Tanah Lada itu adalah Lampung. Memang ada sedikit tentang Lampung yang disinggung dalam novel ini, itupun hanya sebatas tujuan pelarian Salva dan P. Selebihnya tidak diulas. Jadi jangan berharap banyak ada ulasan tentang Lampung di sini, karena Tanah Lada bagi Salva bukanlah kota Lampung. Tanah Lada adalah rumah Nenek Isma, tempatnya bisa menemukan kebahagiaan di bawah bintang-bintang.

Ini karya pertama Ziggy yang saya baca. Saya pernah mengatakan ingin membandingkan tulisan Ziggy dengan tulisan Ginger Elyse Shelley(pseudonym-nya Ziggy). Agak sulit karena di buku Dear Miss Tuddelsitu genrenya historical romance, sementara Di Tanah Lada ini adalah realistic fiction. Tapi keduanya punya kesamaan: kerapian dan kemampuan penulis mengajak pembaca menjiwai tokoh yang ditulisnya.

Yang pasti kamu tidak akan menyesal membaca novel ini. Karena novel semacam ini masih langka di Indonesia :)
Profile Image for Eugene .
67 reviews3 followers
October 28, 2022
Sorry I was a bit late for reviewing this book. First of all, I was expecting more about this book. Someone said this book is hella sad, I could feel that it was pretty painful to just read a little 6 y.o girl perspective about her abusive father and her life gets even tough day by day. But I didn't even cry a single bit, hmm I thought I felt numb already cause something is a bit off and quite non-sense for most of the part. Let's elaborate it. How on earth a mother didn't give a shit her daughter was missing? How could she be so reckless? Salva is her only child, like how?

The ending itself is so... I might say, it was really all over the place. I know people said the author's writing is somehow unique but I just didn't get what she meant in the ending. How could a small child like Pepper think of a way to k1ll himself by drowning himself at the bottom of the ocean and even inviting Salva? This book is somewhere else but I do appreciate how the author can successfully build the book's setting
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Yoyovochka.
307 reviews7 followers
January 16, 2023
Ulasan ini bersifat subjektif ya. Jadi, saya mohon diabaikan saja kalau memang kalian suka gaya tulisan dan buku-buku Ziggy.

Pertama-tama, saya mau bilang saya suka beberapa kutipan di buku ini menjelang bab-bab akhir:
"Mungkin, kamu nggak perlu Papa yang baik untuk bisa bahagia" - kutipan yang ada benarnya, dan ada juga salahnya. Saya sendiri lahir di keluarga yang tipenya nggak jauh-jauh sama Ava dan sulit sekali keluar dari jerat untuk tidak terjebak dalam hubungan beracun seperti yang mungkin mama saya punya dan mencari sosok beracun seperti bapak saya misalnya. Jadi, menurut saya, punya Papa yang baik itu menunjang sekali kebahagiaan karena biasanya kamu bakalan terhindar dari memilih pasangan beracun di masa depan.

Kedua, ada banyak sekali lubang yang membuat saya bertanya-tanya. Di sini Ava digambarkan berusia 6 tahun, cerdas, cerdik, pintar dengan tata bahasa dan kamusnya yang tebal. Tapiiii dia nggak bisa makan sendiri. Serius? Andaikan saya nggak pernah berumur 6 tahun, mungkin saya nggak akan protes, tapi sayangnya saya pernah berumur 6 tahun dan saya sudah bisa makan sendiri saat itu.

Kalau memang dibilang Mama Ava nggak terlalu peduli sama Ava, kurasa Ava sudah jauh lebih mandiri dan bisa makan sendiri - tipe-tipe anak yang orang tuanya sibuk atau nggak sempat ngurusin adalah anak yang mandiri, tetapi nyatanya di sini berkebalikan. Dan menurut saya malah saling bertentangan banget pernyataannya.

Apa iya anak usia 6 tahun sudah mikir romansa-romansa dan tahu apa itu arti kebahagiaan? Nggak panik saat menceburkan diri? Saya lagi-lagi bertanya-tanya. Dalam keadaan yang masih ketergantungan (bahkan makan sendiri pun nggak bisa), saya rasa saya bakalan cari mama saya terus-terusan, bahkan jika mama saya tukang teriak-teriak misalnya atau jerio-jerit nggak selembut Mamanya si Ava ini.
Serius, gitu, dia rela kabur sama anak nggak yang baru dikenalnya dan lari dari mamanya? Entahlah, mungkin Ava ini memang beda dimensi sama saya.

Semua laki-laki dan bapak-bapak di sini jelek banget perannya. Mungkin memang itu maksud penceritaannya, nggak semua orang kayak jadi orang tua. Tetapi buat saya, balik lagi, deh, memangnya orang tua yang layak itu yang bagaimana? Mungkin dulu saya bakalan menghina-hina semua orang tua, menuntut orang tua buat mengorbankan diri buat anaknya. Namun, berhubung saya sendiri sekarang orang tua, entah kenapa saya bisa memaklumi sedikit permasalahan orang dewasa yang ada di buku ini, meski tindakan Mamanya Ava yang meninggalkan anaknya tanpa kunci itu jelas nggak bisa dimaklumi sama sekali. Atau tindakan bapak-bapak tukang siksa di buku ini yang kejamnya amit-amit dan lucunya, kok, nggak ada polisi, nggak ada dinas sosial, atau nggak ada tetangga yang kayaknya benar-benar peduli amat. Jika ini kejadian di lingkungan saya, saya rasa bakalan diambil itu anaknya sama tetangga daripada disiksa. (Tolong koreksi kalau memang saya salah, siapa tahu memang ada kejadian kayak begini di luaran sana).

Gaya bahasanya menurutku enak. Sayangnya, buku ini bukan buatku. Mungkin saya aja kali ya yang waktu umur 6 tahun idiot banget sampe nggak paham apa itu artinya "kebahagiaan" seperti yang dipahami Ava.

Maaf ya ulasannya jika nggak berkenan dan terkesan sadis.
This entire review has been hidden because of spoilers.
6 reviews1 follower
August 6, 2016
Buat saya, buku ini merupakan bukti bahwa pemilihan sudut pandang dalam penulisan novel adalah salah satu poin terbesar yang menentukan kualitas novel tersebut. Saya betul-betul tidak bisa membayangkan apabila buku ini ditulis dengan sudut pandang orang ketiga. Hasilnya mungkin akan jauh dari kata "istimewa". Seperti misalnya di novel Dan Hujan Pun Berhenti, Farida Susanti menulis dengan campuran sudut pandang orang pertama dan ketiga. Hasilnya adalah sebuah novel remaja overdramatis yang membuat saya memutar bola mata dari awal hingga akhir cerita. Sebagaimana DHPB, melodrama berat memang menjadi warna bagi novel Di Tanah Lada ini. Kisah keduanya mengalir dengan karakter utama yang broken home sebagai perahunya, tapi Ziggy memilih orang pertama sebagai sudut pandangnya dalam bercerita dari awal hingga akhir. Melalui mata karakter bernama Ava yang berumur 6 tahun, Ziggy memproyeksikan intelektualitas dan kemampuan mendongengnya yang brilian ke dalam novel ini. Hasilnya, Di Tanah Lada menjelma menjadi bacaan yang unik, segar, jujur, dan kocak. Sesuatu yang rasanya mustahil diperoleh pembaca apabila Ziggy memilih untuk bercerita dengan sudut pandang orang pertama dari karakter orang dewasa atau sudut pandang orang ketiga.

Tapi, sayangnya semua itu tidak bertahan.

Ziggy memang cermat dan berhati-hati bercerita dari sudut pandang Ava. Walau repetatif, bab-bab awal Di Tanah Lada tetap enak diikuti karena Ziggy banyak menyisipkan humor melalui suara Ava. Hingga melewati separuh novel, Ziggy sepertinya kehilangan daya genggam. Secara perlahan-lahan, dia mulai membisikkan suaranya di antara suara Ava. Bisikan yang kemudian berubah menjadi suara lantang. Hingga pada bab terakhir, saya benar-benar kehilangan suara Ava yang otentik dan unik untuk tujuan yang sangat tidak jelas. Setting waktu dalam ceritanya sama sekali tidak ada time skip jauh yang bisa jadi menyebabkan perubahan suara Ava pada beberapa halaman terakhir. Beda dengan bab terakhir novel Rumah di Seribu Ombak yang setting waktunya maju beberapa tahun dari bab sebelumnya. Jadi, saya merasa ini tidak bisa dimaafkan.

Rasanya seperti Ziggy mengendap pelan-pelan mendekati karakter Ava yang sedang berpidato, membisikkan kata-kata dari dirinya sendiri untuk diulang Ava. Lalu ia merebut mikrofonnya, mendorongnya jatuh dari podium, dan mengambil alih pidato seutuhnya.

Semua itu bermuara kepada klimaks melankolis yang sama sekali tidak mengesankan.

Secara keseluruhan, saya tetap mengagumi kepintaran Ziggy bermain logika dari kacamata anak-anak yang lugu dalam novel pemenang ke-II Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014 ini. Segar dan mengasyikkan. Beda jauh dengan novel yang menduduki satu peringkat dibelakangnya.
Profile Image for Muhammad Rajab Al-mukarrom.
Author 1 book28 followers
October 22, 2015
aku agak kecewa buku ini ternyata tidak terasa sastranya. padahal ini juara kedua sayembara menulis novel dkj. meski begitu apa yang ditawarkan penulis adalah cerita yang cukup menarik. yaitu tentang dunia dan segala kegetiran dan kemasygulan yang terjadi di dalamnya berdasarkan penuturan seorang anak perempuan bernama Ava, berusia enam tahun dan seorang teman--anak laki-laki bernama P--yang dijumpainya di Rusun Nero (tempat tinggal kumuh saat Ava dan keluarganya pindah dari rumah mereka yang lama).

banyak hal-hal janggal di dalam novel ini, di antaranya:

1. penuturan Ava yang kedengarannya seperti banyak tahu kata-kata yang sulit, padahal dia masih kecil. dan tak jarang kata-kata itu tidak dijelaskannya lewat penjelasan di kamus.

2. banyak terjadi kebetulan dan keanehan yang terkadang tidak logis. seperti pengakuan tentang siapa sebenarnya papa dan mamanya P. semuanya terjadi secara tiba-tiba dan tanpa ancang-ancang atau penggambaran yang jelas di pertengahan kisah. aku tidak tahu apakah ini ada hubungannya dengan pemikiran si tokoh utama yang memang masih kecil atau apa, tetapi tentulah itu bukan suatu alasan untuk menghilangkan kelogisan cerita.

3. cerita ini seolah memaksa pembacanya untuk bersimpati kepada keadaan anak-anak kecil yang tiada dosa harus hidup menanggung penderitaan dari kedua orangtua mereka. seperti papa mereka yang jahat dan sebagainya. cerita ini hanya bergairah untuk mengejutkan pembaca dan membuat pembaca terheran-heran dan bikin bingung oleh pemikiran anak-anak kecil.

4. novel ini terlalu sederhana. dan sederhananya bukanlah sederhana yang bikin hati senang, tetapi sederhana yang biasa saja.

aku tidak bisa menemukan alasan yang jelas mengapa novel ini bisa mengalahkan napas mayat dan puya ke puya. namun, memang benar novel ini tidak sebagus kambing dan hujan.

dari novel ini aku suka akhir kisahnya. terasa damai dan tentram. seperti membaca akhir kisah pada novel kambing dan hujan, pun napas mayat. kalau puya ke puya, akhir kisahnya kan tidak ada kesan damai dan tentram melainkan terasa penuh dendam dan itu tidaklah bikin terkesan buatku. bagaimanapun di tanah lada ini lebih mendingan akhir kisahnya daripada puya ke puya. begitulah setidak-tidaknya.

huuuuh... padahal aku sudah menunggu cukup lama kemunculan novel ini. tapi, ya... tidak apa-apa juga.
Profile Image for Syalinna.
77 reviews6 followers
June 10, 2025
Warning! This review contains spoilers so be aware before reading my review. This is also one hell of a messy long rant, so prepare yourself!



Poin-poin di bawah ini aku tulis seiring jalannya aku membaca buku ini, jadi kalau ada yg kesannya diulang-ulang, kurang lengkap, atau berantakan, tolong dimaafkan.

- Gaya penulisan yg kaku & bertele-tele, plus banyak penggunaan titik koma yg janggal dan malah bikin engap baca narasinya. Memang ini diceritakan oleh POV seorang anak kecil, tapi bukan jadi justifikasi cara penulisan yg berantakan & kacau. Penulis sepertinya perlu banyak mengasah lagi kemampuan menulisnya, karena baru chapter 2 aja udah secapek itu baca novelnya gara-gara tata bahasa yg aneh.

- Terlalu banyak kalimat & poin yg diulang. Papa jahat, mama baik. Rasanya di tiap halaman pasti ada kalimat yg membahas ini, apa tidak ada bahasan yg lebih bermakna selain mengulang-ngulang hal yg sama berpuluh atau beratus kali? Padahal udah bawa tema yg berat tapi gaada substansi lain yg bisa didapat selain jual cerita 'sedih'. Di bagian separuh akhir pun hanya mengulang-ngulang membahas kehidupan mereka di keluarga abusive tanpa ada pembahasan lain yg lebih bermakna.

- Susunan plot yg semrawut dan gegabah. Hanya dalam waktu kurang dari seminggu, tokoh utama di buku ini sudah pindah rumah, bertemu dengan 'belahan jiwa'-nya, pisah rumah dengan papanya, kabur dari rumah, berkelana di kota lain, dan berakhir dengan bunuh diri. Inikah cerita yg pantas menjadi pemenang sayembara menulis?

- Alur cerita yg dipaksa 'sedih' padahal tidak masuk akal. Apa coba alasan Ava tiba-tiba mau pergi kabur dari rumah? Kita disuguhin narasi 100 halaman lebih ceritain kalo Papa jahat, Mama baik. Terus tiba-tiba dia merasa kalo Mama nya sebenarnya juga jahat? Gara-gara omongannya si P?? Dan hanya dalam waktu 3 hari??? Ga masuk akal. Anak kecil ga sebodoh itu sampe yg segitunya ga punya pendirian dan ga bisa mikir, mana Ava juga sepanjang cerita diceritain sebagai anak yg 'pintar'. Apa-apaan coba tiba-tiba dia sampe milih ikut kabur alih-alih usahain biar P hidup sama mereka aja? Kelihatan banget sengaja ceritanya mo dibuat sedih gajelas aja padahal jatohnya malah plin plan sama tulisan sendiri.

- Menyangkut poin sebelumnya, pemikiran Ava dan P yg tidak masuk akal. Semua manusia itu membentuk pemikiran mereka berdasarkan berbagai informasi yg mereka dapatkan sehari-hari. Bisa dari keluarga, teman, tontonan, bacaan, pokoknya bisa dari segala jenis media. Lah di novel ini, out of nowhere P kepikiran buat minggat dari rumah dan bahkan bunuh diri, lalu Ava dengan bodohnya juga menurut untuk melakukan itu. Bunuh diri dan kabur itu adalah topik yg berat loh, dan mustahil seorang anak kecil bisa tiba-tiba kepikiran konsep itu kalau tidak pernah dapat influence sama sekali. Even orang dewasa pun yg ga pernah keekspos ke dunia itu juga ga bakal sadar, lah tiba-tiba anak-anak ini menciptakan aja konsep yg tidak pernah dibahas sebelumnya dan seharusnya diluar scope mereka. Penulisan yg malas dan cacat sekali. Malah kurang ajar & ignorant karena segampang itu membawa suicide tanpa tau seberapa berat topik yg diangkat.

- Tokoh Ava dan P yang seperti pinang dibelah dua, alias terlalu mirip dan gaada unik-uniknya. Tiap mereka ngobrol kesannya seperti satu orang yg ngomong sendiri, karena pola pikir mereka sama persis dan hanya saling menguatkan saja. Mereka berasal dari dua tempat yg berbeda dan diasuh secara berbeda pula, terutama Ava yg sudah bersekolah (dan seharusnya banyak terekpos dengan anak-anak dari berbagai jenis latar belakang), tapi anehnya hasil buah pikirannya sama persis dengan P yang hanya tinggal di rusun. Kehidupan mereka seperti terisolisir dan sempit sekali, seperti tidak pernah bertemu orang lain selain keluarga dan orang-orang di Rusun Nero. Padahal nyatanya Ava sudah lebih luas lingkungannya.

- Menyangkut poin sebelumnya, pola pikir Ava dan P yg janggal & tidak konsisten. Di satu sisi mereka seperti teisolisir sekali, hanya tahu kehidupan rumah tangga tidak sehat seperti mereka berdua. Tapi di sisi lain, mereka juga melek akan rumah tangga 'normal' pada umumnya. Contohnya seperti Ava dan P yg menganggap kalau semua papa itu sifatnya pemarah dan pemukul, tapi di satu sisi mereka juga tahu kalau anak-anak tidak seharusnya tidur di koper ataupun di kardus. Kan, kontradiktif, ya? Kalau tahu anak lain tidur di kasur, kok malah tidak tahu kalau anak lain bisa punya papa yg baik? Sampai baru tahunya saat di point out oleh bapak tukang sate. Penokohan yg tidak konsisten & berubah-ubah menyesuaikan narasi, dan ini terjadi berulang kali di sepanjang cerita.

- Romance antara Ava dan P yg sangat menggelikan. Hei, penulis, sadar kah kamu mereka ini masih anak di bawah umur? Masih 6 dan 10 tahun loh, tapi udah bisa bahas cinta lawan jenis begitu dalam seperti orang dewasa. Jujur creepy banget penulis bisa-bisanya sampe masukin kisah cinta gak sehat ke anak di bawah umur. Perlu diinget juga, Ava baru ketemu P ini 3 hari, tapi udah sebegitu kepincutnya sampai berkali-kali berandai jadi suami istri? Even novel romance antar dua orang dewasa aja aku geli dgn konsep insta-love karena cenderung konotasi nya ke arah atraksi seksual, lah ini malah sama anak kecil! Disgusting.

- Karakter yg dangkal dengan masa lalu yg tidak jelas. Ava dan P diceritakan kalau mereka adalah anak 'haram', tapi hanya dibahas sekilas saja masa lalu keluarga mereka. Beberapa tokoh disini juga banyak yg hanya muncul tanpa dieksplor lebih lanjut, seperti Kak Suri yg punya banyak 'teman tidur', Om Ari yg sempat kerja dgn Papa Ava tapi akhirnya berhenti, Tante Lisa yg tidak menolong mama dan Ava lebih cepat, atau pun masa lalu Mas Alri dan Kak Suri hingga akhirnya mengambil keputusan ini. Apa gunanya memunculkan berbagai jenis orang dgn latar belakang berbeda kalau hanya sekedar numpang lewat? Penulis tidak berani atau tidak mampu kah untuk mengulik karakter yg lebih kompleks?

- Terlalu banyak menggunakan analogi dan simbol yg serupa, hingga akhirnya hanya membuat tema yang diangkat menjadi terlalu jenuh. Analogi salt & pepper, reinkarnasi dengan pasangan hidup, kisah cinta penguin yg abadi. Girl ok we get it, intinya mereka itu pasangan sehidup semati abadi, mau ditulis berapa puluh kali agar pembaca paham? Apakah penulis mengira pembaca sebodoh itu? Analogi dan simbol lain mengenai kesengsaraan P juga diungkit berkali-kali sepanjang cerita, hingga sudah hapal pola tulisannya.

- My personal peeve dgn tokoh mama yg tiba-tiba digambarkan jahat karena kadang 'lupa' dengan Ava. Menurutku ini tega sekali. Mamanya Ava bertahun-tahun di abuse oleh suaminya, baik secara fisik maupun emosional. Dia pun selalu berusaha untuk pasang badan setiap kali Ava akan disiksa oleh papanya. Dia adalah ibu yg sangat teguh dan sabar, tapi malah dihukum di cerita ini karena kadang 'lupa' dengan kondisi Ava, di saat dia bertahan untuk diri sendiri pun sudah tergopoh-gopoh. Lagi-lagi yg disalahkan malah korban perempuan, ya? Bukannya malah fokus untuk melindungi korban kekerasan, malah tambah disalahkan lagi di narasi cerita ini. Di chapter terakhir ketika diungkap identitas asli Kak Suri pun, yg disalahkan malah Kak Suri ketimbang orang lain.

- Konsep-konsep menarik yg sempat diangkat di awal, lalu dilupakan begitu saja oleh penulis. Contohnya seperti kebiasaan berjudi papanya Ava (bahkan Ava sampai akhir belum paham apa itu berjudi, padahal di awal dia berkali-kali ingin mencari tahu pengertiannya), kehidupan warga di rusun Nero (yg dijelaskan hanya kondisi rumahnya, tapi kehidupan penduduk disana yg tinggal di dekat rumah judi itu tidak pernah dikulik sama sekali), masa lalu Ava dan Kakek Kia (beliau berkali-kali diungkit dalam cerita, tapi hanya sekedar nama saja), dan banyak hal lain yg sebenarnya menarik sekali dan bisa membuat novel ini jadi lebih kompleks. Sayang penulis hanya tertarik menulis tentang Ava dan P saja.

- Detail-detail kecil lainnya yg aneh: di rusun yg seharusnya banyak anak-anak, tapi malah hanya ada mereka berdua anak kecil disana. Orang dewasa disana yg digambarkan sebegitu tidak berguna jadi hanya planga plongo saja setiap mendengar & melihat kelakuan Ava dan P.

- Dan akhirnya sampai ke gong-nya! Chapter terakhir: Sehidup Semati. Dari halaman pertama saja aku langsung merasa seperti baca buku yg benar-benar berbeda. Darimana asalnya ini tiba-tiba Ava inisiatif buat cari tahu arti Tanah Lada? Lalu tiba-tiba berandai kalau dia dikubur disini. Darimana coba mendadak dia bisa kepikiran tentang kubur-mengubur? Aku sampai balik ke halaman sebelumnya buat baca ulang apa ada narasi yg ketinggalan, karena transisi-nya sangat jomplang dan aneh. Dari segi style penulisan pun tiba-tiba berubah menjadi lebih runtun, seperti dinarasikan oleh orang lain.

Chapter terakhir buku ini menunjukkan kalau penulis sebenarnya mampu untuk menulis cerita dan bahasan yg lebih berbobot, dilihat dari gaya penulisan dan pembahasannya yg lebih dalam daripada 200 halaman sebelumnya. Sayangnya, sudah terlalu telat, dan malah jadi kelihatan out of place dibandingkan dengan keseluruhan ceritanya. Narasi Ava yg selama ini kekanak-kanakan tiba-tiba menjadi sangat dewasa dan kompleks, rahasia dari orang tua P juga malah menciptakan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, konklusi akhir yg mereka putuskan dari seluruh perjalanan mereka juga sangat dipaksa hanya sebagai faktor mengejutkan. Chapter terakhir ini sebenarnya indah kalau berdiri sendiri, tapi karena disatukan dengan keseluruhan buku yg amburadul, akhirnya jadi kelihatan aneh dan jadi satu kesatuan yg sangat absurd. Transisi cerita yang sungguh aneh dan tidak jelas tujuannya apa, selain sengaja mengarahkan ceritanya ke akhir yg dibuat-buat tidak bahagia.



Sebenarnya topik yg diangkat buku ini menarik karena membahas tentang child abuse yg diceritakan dari sudut pandang sang anak. Pertemanan antar korban kekerasan juga sebenarnya akan sangat mengharukan kalau dikemas dengan baik. Cuma sayangnya, penulis hanya berfokus untuk buat cerita 'sedih' dan so-called ✨️traumatic✨️ tanpa bahasan yg benar-benar berbobot, sehingga asal main comot saja segala unsur yg terkesan 'dark'.

Alur cerita dan penokohan karakter juga banyak yg tidak konsisten dan tidak masuk akal, sampai aku bertanya-tanya apakah penulis sebenarnya paham betul dengan cerita yg ia tulis ini. Semuanya terasa dangkal sekali, seperti tidak ada rasa cinta terhadap dunia dan tokoh yg ia ciptakan.
Profile Image for Rizky.
1,067 reviews87 followers
September 16, 2016
Wow, aku jatuh cinta dengan tulisan Ziggy. Setelah membaca 3 karyanya, aku rasa aku akan mencari novel karya Ziggy lainnya, karena tulisannya itu menghipnotis dan membuatku terus penasaran untuk membacanya.

Seperti saat membaca Di Tanah Lada, gak menyangka aku akan begitu hanyut dengan kisah Ava. Wow, gak menyangka seorang anak kecil berumur 6 tahun punya pemikiran yang luar biasa seperti Ava. Tapi jujur aku jatuh simpati dengannya dan ingin sekali memeluknya. Bayangkan saja, terlahir di tengah keluarga yang berantakan, katakanlah papanya sering jahat kepadanya, dalam artian sering mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas untuknya, membuat Ava menjadi seorang anak yang benci terhadap papanya sendiri. Bahkan menganggap bahwa semua yang bernama Papa itu pasti jahat :(

Tapi, salut dengan Ava yang punya kemampuan bahasa Indonesia yang jago sekali untuk anak seusianya, yang selalu membawa kamus kemana-mana dan mencari arti kata-kata yang tidak dimengertinya. Kerasnya hidup membuat Ava dewasa daripada usianya, kadang-kadang aku lupa Ava ini hanyalah anak usia 6 tahun yang haus kasih sayang.

Aku setuju banget dengan teman-teman yang sudah membaca novel ini, endingnya itu bikin gigit jari dan nyesek banget. Ah kenapa harus seperti itu???????
Profile Image for Zelviaaa Aris.
60 reviews6 followers
July 25, 2022
Reading this book makes me confused. It has a simple word but also has a deep meaning. This book is about Ava's journey with her friend, P. 

Ava was only a little girl (around 5–6 y.o.) who had an abusive father and a loving mother (but her mother was too scared to fight her father sometimes). One day, Ava and her family have to move in to a flat called "Rusun Nero". 

On those flats, Ava meets P for the first time. Ava and P have something in common: an abusive parent. You will know how a little girl thinks when her father becomes a monster. She believed that every father in the world was a monster and that there was no such thing as a good father.

This book ends with a big twist, enough to make me cry for a second but hurt me for a week (damn). 

Read this book if you want to hurt yourself in a good way.
Profile Image for Stebby Julionatan.
Author 16 books55 followers
January 18, 2016
Tak rugi aku memberinya bintang 5. Kisah Ava dan P dalam buku ini benar-benar miris dan tragis. Logika kita (sebagai dewasa) dijungkirbalikkan. Bravo, Ziggy!

"Jadilah anak kecil barang sebentar lagi. Lebih lama lagi. Bacalah banyak buku tanpa mengerti artinya. Bermainlah tanpa takut sakit. Tonton televisi tanpa takut jadi bodoh. Bermanja-manjalah tanpa takut dibenci. Makanlah tanpa takut gendut. Percayalah tanpa takut kecewa. Sayangilah orang tanpa takut dikhianati. Hanya sekarang (di masa anak-anak) kamu bisa mendapatkan semua itu. Rugi, kalau kamu tidak memanfaatkan saat-saat ini untuk hidup tanpa rasa takut."
Profile Image for Anastasia Cynthia.
286 reviews
June 4, 2016
“Jadi, semua orang adalah satu orang. Kata Mas Alri, makanya setiap kamu melukai orang, kamu melukai diri sendiri juga. Dan, setiap kamu membuat orang senang, kamu membuat kamu sendiri senang.” –Di Tanah Lada, hlm. 141


Hari Rabu tanggal 26 Juni 2013 kakek Kia meninggal. Salva—yang lebih sering dipanggil Ava—sekeluarga pindah ke Rusun Reno. Mama menangis, tapi tidak dengan Papa. Entah gerangan apa yang membuat Papa bahagia. Katanya ia kaya.

Rusun Reno bukan tempat yang elok seperti rumahnya dulu. Anak-anak tangganya berjamur, pintu-pintunya pun nyaris bobrok, tapi bukan itu yang terpenting bagi Papa. Kendati lokasinya di pelosok gang, namun Rusun Reno dekat dengan kasino terkenal. Tempat Papa akan berjudi sepuasnya.

Kakek Kia, papanya Papa, pernah memberi Ava kamus Bahasa Indonesia, sejak itu, Ava yang berumur enam tahun selalu saja mencari kata-kata sukar yang ia temukan di antara pembicaraan Papa dan Mama. Namun, kendati pintar berbahasa Indonesia, Papa selalu saja menganggap Ava seperti ludah—tidak berguna.

Sedari pindah ke Rusun Reno, Ava bertemu dengan P. Namanya tidak banyak memuat huruf, melainkan hanya P. Ava pernah bertanya, apakah P benar-benar tak punya nama lain? Namun, P bilang, Papa P memang tidak ingin memberikan nama untuk anaknya.

Jika Ava tidur di dalam koper; P tidur di permukaan kardus di bawah wastafel. Ava sering menerka, kalau Papa P dan Papa selalu memperlakukan mereka dengan semena-mena, lantas apakah semua Papa di seluruh dunia memang seperti monster?




Lewat pendeskripsian sinopsis yang sangat bersahaja di sampul belakangnya, “Di Tanah Lada” tak ayal mampu membuat pembaca terenyuh. Ceritanya begitu sederhana, mengisahkan seorang anak perempuan berusia enam tahun, yang dianggap tak berguna oleh papanya, kendati ia pandai berbahasa Indonesia. Menyangkut perihal berbahasa Indonesia, saya rasa, topiknya memang cukup menyentil kehidupan sehari-hari yang berseliweran di masyarakat ibukota ataupun kota metropolitan lainnya, yang mana kebiasaan berbahasa Indonesia sudah tergeser maknanya, pun dipilin-pilin menggunakan bahasa asing. Masyarakat kebanyakan berpikir bahwa penggunaan bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris, lebih dipandang intelek dan mengangkat derajat pendidikan seseorang, namun naasnya, dalam bertutur kata sehari-hari pun, kebanyakan orang sering salah mengeja ataupun menggunakan kata yang tidak sesuai dengan konteksnya.

“Tapi, Ava, yang lebih penting daripada bertuturkata baik adalah bertutur kata dengan tepat.” –Di Tanah Lada, hlm. 66


“Di Tanah Lada” karangan Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie tidak hanya mengajak pembaca dewasa untuk bertutur kata dengan tepat. Namun, lewat kacamata seorang Salva, pembaca ikut menyelami efek dan dampak permasalahan yang mereka timbulkan. Jika terkadang orangtua berpikir anak-anak mereka dapat dikelabui dengan istilah yang diempiriskan, sayangnya, sebagai seorang anak berusia enam tahun, Salva dapat mengendus permasalahan di antara kedua orangtuanya dengan cara tersendiri.



Baca selengkapnya di: https://janebookienary.wordpress.com/...
Profile Image for MAILA.
481 reviews121 followers
July 4, 2016
Seperti halnya Salva, saya juga pernah dihadiahi kamus saku bahasa inggris berukuran kecil tapi tebal bukan main yang bila dipakai untuk menyambit kepala orang. Saya selalu membawa kamus itu kemana-mana sampai lembar pada halaman huruf "L" banyak yang tidak sengaja robek karena sering saya buka dan akhirnya membuat saya mau tak mau harus hapal beberapa arti kata bahasa inggris yang berawalan huruf L.

Buku ini bagus. Saya suka bagaimana mbak Ziggy mengambil sudut pandang dari sosok anak kecil, Salva. Tapi entah mengapa pada beberapa bagian saya merasa tidak puas bahwa seorang anak berusia 6 tahun bisa mengucapkan beberapa kata bijak dan romantis. Katakanlah mungkin memang ada, tapi berapa persen sih kemungkinannya? Hal inilah yang membuat saya kurang bisa menyukai buku ini dengan seutuhnya.

Hal lainnya, saya kurang suka dengan endingnya. Dan oh, saya juga sebenarnya sudah bisa menebak kok siapa orangtua P, jauh sebelum mereka kabur.
Saya penasaran membaca buku ini karena membaca review mbak Jia, dan seperti halnya mbak Jia, saya juga jadi tertarik untuk memberikan hadiah kamus untuk anak saya nanti,hhe.
Profile Image for Shanya Putri.
345 reviews160 followers
May 9, 2021
Aku benci bahwa aku suka buku ini.

Walaupun di awal terkesan agak membosankan dengan Ava—si tokoh utama yang keseringan baca kamus, tapi lama-kelamaan aku jadi enjoy banget bacanya.

Buku ini dapat membuat aku deg-deg-an saat membacanya.
Aku suka gaya penulisannya. Namun, aku tidak suka dengan kata-kata yang di-capslock, agak berlebihan.
Konflik di dalam cerita ini juga sesuai dengan kenyataan. Yha.
Kehadiran P membuatku iri kepada Ava yang cuma 6 tahun. Sweet banget, gila. /abaikan/

Dan ada beberapa hal menurutku sangat tidak masuk akal.
Si tokoh utama yang hanya berumur 6 tahun tapi pintarnya minta ampun (atau mungkin memang beneran ada, aku aja yang nggak tau). Apa nggak pernah dia memikirkan untuk bermain atau apalah?
Dan dengan adanya hal berbau reinkarnasi, membuat endingnya jadi... nyesek. Ava dan P kan masih anak-anak, tapi kenapa malah mikir gitu?!?! The ending disappoint me, tbh.

Overall, this is a book that I'd like to recommend to everyone I know.
Profile Image for Marina.
2,035 reviews359 followers
June 22, 2016
** Books 150 - 2016 **

3,8 dari 5 bintang!

"Jadilah anak kecil barang sebentar lagi. Lebih lama lagi. Bacalah banyak buku tanpa mengerti artinya. Bermainlah tanpa takut sakit. Tonton televisi tanpa takut jadi bodoh. Bermanja-manjalah tanpa takut dibenci. Makanlah tanpa takut gendut. Percayalah tanpa takut kecewa. Sayangilah orang tanpa takut dikhianati. Hanya sekarang (di masa anak-anak) kamu bisa mendapatkan semua itu. Rugi, kalau kamu tidak memanfaatkan saat-saat ini untuk hidup tanpa rasa takut."


Speechless! Itulah yang saya tangkap setelah membaca buku ini. Luar biasa saya katakan buku ini pantas memenangkan juara kedua Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta di Tahun 2014. Juara pertamanya diraih oleh Novel Kambing & Hujan: Sebuah Roman Mahfud Ikhwan. Saya penasaran karena buku ini sering berseliweran di Newsfeed saya dan setelah saya membaca buku yang membosankan alias The Five Stages of Andrew Brawley jadi kepengen yang ringan, bagus dan kisah middle grade/anak-anak maka saya pilihlah buku ini. Ternyata buku ini diluar ekspektasi saya yaitu BAGUSS! *__*

Salva namanya atau dipanggil Ava. Gadis kecil berusia enam tahun ini dikarunia kecerdasan linguistik yang menonjol dibandingkan anak seusianya. Ia selalu berbicara dengan bahasa yang baku dan membawa kamus miliknya kemana-mana yang merupakan pemberian dari Kakek Kia (Ayah dari Papa Ava) yang sudah meninggal. Ketika ia melihat suatu kata yang ia tidak pahami ia langsung membuka kamusnya untuk mengetahui apa artinya. Setelah kepergian si Kakek Kia, dunia seakan runtuh bagi si kecil Ava karena ia, mama dan papanya memutuskan pindah dari rumahnya sekarang ke rusun Reno. Seperti layaknya Rusun, kondisi didalamnya sangat menyedihkan dimana kumuh dan tidak terawat. Ayah Ava memutuskan pindah ke rusun ini juga karena dekat dengan tempat perjudian yang sering ia ikuti. Si Gadis Kecil ini tahu bahwa ayahnya adalah orang jahat dan tidak menyukainya karena awalnya Ava ingin diberikan nama Saliva atau Ludah tapi sama mamanya diberikan nama Salva. Si gadis kecil mendapatkan nasib yang malang ketika malam pertama disana ia habiskan untuk tidur di dalam kamar mandi karena belum ada kasur dan ayah ibunya bertengkar sampai larut malam. Ya, tidak ada ruang untuk ia menghindar hanya kamar mandi satu-satunya tempat persembunyian yang aman bagi dirinya

Keesokan harinya Ava bertemu dengan seorang pemuda kecil yang bernama P dan mereka langsung menjadi akrab karena merasa satu nasib satu penanggungan. Bersama-sama mereka menemukan apakah arti kehidupan buat mereka dan melakukan petualangan ke tanah lada. yak cukup saya tidak mau memberikan spoiler lebih jauh sehingga sebisa mungkin review ini adalah spoiler free buat yang belum membacanya..

Saya dibuat terkejut dengan endingnya dan jujur saya menyukainya. Dasar pecinta dark-angst garis keras susah ya . Menurut saya buku ini Too darker to be Middle grade/children books. >__<. Overall saya menyukai novel ini apalagi ada unsur sisipan kisah The Egg by Andy Weir dan The Little Prince by Anthony de-saint exuperie. Keduanya adalah buku favorit saya. Poin plus lagi buku ini diambil dari sudut pandang anak-anak ya ingin rasanya saya menganugerahkan 4 bintang. Tetapi ada kelemahan di cerita ini karena saya merasa pemikiran Ava terlalu dewasa untuk anak umur 6 tahun seusianya sehingga saya merasa tidak begitu realistis. Saya sebelumnya membaca All the Ugly and Wonderful Things by Bryn Greenwood disana tokoh utama Wavy, gadis cilik usia 6 tahun yang hidup menggantikan peran ibunya untuk adiknya lebih terasa wajar ketimbang Ava. :)

Jujur saya lebih berharap buku ini yang menjadi juara pertama di Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta di Tahun 2014 :)

HOREEE! Buku di Tanah Lada ini masuk buku ke-150 yang saya baca di tahun ini sehingga sudah terlaksana sudah 50% Reading Goals untuk Novel tahun ini (150 buku dari 300 buku). Mari semangat menyelesaikan 300 Novel sampai penghujung Desember 2016! :3
Profile Image for April Silalahi.
227 reviews213 followers
September 1, 2016
Ava adalah seorang anak kecil yang harus mengalami masa kanak-kanaknya dengan tragis.
Dia memiliki seorang ayah yang jahat. Kehidupannya berubah saat Kakek Kia meninggal.
Ava bersama kedua orangtuanya pindah ke sebuah rusun yang cukup menyeramkan.

Rusunnya jelek, kumuh bahkan cenderung tidak terawat. Ava harus terpaksa tinggal disana. Karena Ayahnya ingin menghambur-hamburkan uang warisan Kakak Ava.

Ava bahkan tidak punya kasur di rusun baru itu. Kehidupan kanak-kanak menjadi terbatas. Menurut Ava, Ayahnya tidak senang kalau Ava dan Ibunya membuang-membuang uangnya.

Bagi Ayahnya, Ava adalah anak yang gak berguna.

Namun, di rusun kumuh itu Ava bertemu dengan seorang anak P. Namanya aneh, setidaknya begitu menurut Ava. Tapi P lah yang menemani Ava saat Ava sedang bersedih dan kesepian.

Ava anak yang cerdas dan harus bersikap normal saat Dia bertemu dengan P.

Lalu bagaimana kelanjutan kehidupan Ava saat Ava mengetahui adanya kesamaan kisah hidup dengan P?

Membaca karya Ziggy memang selalu menyenangkan. Jujur saja, gue membeli novel ini karena ada label juara DKJ.

Dan saat gue membacanya, gue jatuh cinta. Ziggy lihai membaca bagaimana anak seumuran Ava bisa berpikir. Ava yang tidak tau akan banyak hal selalu berusaha belajar. Bahkan sering kali meracau.

Aku merasakan kesedihan saat membalik halaman demi halaman kisah Ava ini.

Hmm.. mungkin buku ini cocok dibaca oleh semua kalangan. Agar baik orangtua, pemuda-pemudi bahkan anak remaja dapat aware dengan keadaan sekitarnya. Jangan diam jika ada anak yang sedang kesusahan.

Good job Ziggy. Karyanya luar biasa.
Profile Image for Indah Threez Lestari.
13.4k reviews270 followers
December 26, 2016
887 - 2016

Bintangnya kukurangi karena narasinya terlalu dewasa untuk POV anak-anak. Agak aneh saja gitu. Mendingan dijadikan POV orang ketiga saja sekalian.

Twist endingnya tak terduga sih.

#beli dan baca buku ini karena tergelitik komen teman di grup wa
Profile Image for Rizki Utami.
212 reviews21 followers
August 26, 2017
Warning : Kekerasan dan Bunuh Diri.

Bagi kalian yg nggak masalah dengan tema di atas, aku rekomendasikan untuk baca buku ini. Sedangkan bagi yg kurang suka dengan tema2 tersebut, aku sarankan sih skip saja.

Penulis sendiri menyajikan ceritanya dari POV anak berumur 6 tahun, Ava (karakter utama buku ini). Berhasil? mungkin, karna terkadang dia berpikiran polos dan di beberapa kesempatan jg prmikirannya sangat mendalam. Yang aku sukai dari karakter Ava ini adalah caranya mengambil kesimpulan, unik dan lucu. Bagian endingnya sih yg bikin aku kurang sreg sama buku ini. Hm.. endingnya yg mana dan seperti apa? baca saja sendiri ya.. *no spoiler*
Profile Image for ☆ chu ☆.
95 reviews17 followers
February 25, 2022
huhuhu endingnya knp gitut____t

as always, setiap baca karya Kak Ziggy pasti ada 'ciri khas'nya bgt. unik dan menarik. sebenernya bingung mau nulis review kyk gmn karena love-hate relationship sama buku ini🤔 tapi oke lah buat pesan moral dan tema yg diangkat👍🏼👍🏼
Profile Image for Cep Subhan KM.
343 reviews26 followers
October 28, 2020
A touching novel. It is really sad to be consciously aware about the gap between how the child and adult think. Sometimes, it is irritating since it also shows that the child could easily misunderstand anything. "Misunderstand": we could say that it is based on adult's point of view but I think it doesn't mean it is wrong (and we can argue about it for 1001 nights without satisfying result, so, let's ends it now, 😊). Sad ending surely for me, but, well, once again, it is based on adult's point of view which could imagine about Mas Ari, Mbak Suri, and Ava's mom's feelings. If we put aside those all, we could say that Ava and P are happy, in their own ending, from their own point of view.
Profile Image for teresa .
54 reviews36 followers
January 2, 2024
buku yang unik, ceritanya dikemas dengan sudut pandang bocah usia 6 tahun yang kadang lucu kalau dibaca sekarang oleh saya sebagai orang dewasa. Lucu tetapi lebih banyak sedihnya karena hidup kedua anak ini yang dibuat skeptis dengan adanya sosok "ayah" yang jahat.

Mereka berdua bisa dibilang dewasa untuk umur yang terbilang sangat muda, sebenarnya bukan kemauan mereka untuk dewasa sebelum waktunya, namun mereka "dipaksa" menjadi dewasa karena kehidupan mereka dan bertahan dengan segala rasa sedih dan ketakutan yang mereka punya. Saya sangat tertarik mendalami unsur psikologi di buku ini karena penulis bisa menyajikan unsur tersebut dengan sangat simple walaupun sebenarnya sangat rumit dan kompleks.

Cerita yang berkesan sebagai pembuka awal tahun 2024, well done Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Profile Image for h.
374 reviews149 followers
June 17, 2022
"Kamu mungkin gak punya Papa yang baik, seperti kebanyakan orang. Tapi kamu masih bisa bahagia. Mungkin kamu nggak perlu Papa yang baik untuk bahagia." - Mas Alri.

Perasaanku campur aduk membacanya, painful tepatnya. Sebenarnya aku ketebak endingnya bakal gimana. Tapi tetap aja😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭 apalagi ini pakai sudut pandang anak-anak. Apa sih yg ada di otak anak umur 6 tahun? Pengen bahagia. Belum lagi pikiranya masih polos, terus dikasi tau hal-hal yg sekiranya bikin mereka bahagia pasti mereka bakal pilih jalan itu krn anggap itu yg terbaik😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭

I just read this, and now you dont touch me😭
Profile Image for Mr. Higan.
18 reviews1 follower
December 4, 2025
sedih, unik dari pov anak umur 6 tahun, mengangkat isu yang cukup relate dengan banyak orang, lebih suka ending yang pertama, page-turner bgt, di lengkapi dengan beberapa ilustrasi gambar yang memperdalam cerita, plot cerita bagus, kepolosan anak-anak tergambarkan jelas
1 review3 followers
October 26, 2015
Kritik saya seputar novel ini:
- Menurut saya, judul buku, "Di Tanah Lada", tidak relevan dengan isinya. Judulnya yang terkesan hendak mengusung tema lokalitas--jika Tanah Lada merujuk pada Tanoh Lado sbg sebutan untuk Lampung ataukah jika ada kota lain yang berjulukan serupa?--tidak tergambarkan dlm isi novel. Secara umum, isi novel berkutat pd penggambaran kondisi lingkungan dan kejiwaan seorang anak dari keluarga takrukun. Tanah Lada sebagai setting tempat dimana cerita berlangsung tidak terbangun nuansanya. Jadilah cerita ini seakan terjadi di sebuah kota besar yang memiliki rusun kumuh (Jakarta?) bukan di suatu tempat yang pantas disebut Tanah Lada. Atau apakah Tanah Lada adalah dunia imajinasi si anak? Jika ya, sayang sekali dunia itu tidak terbangun.
2. Penggambaran tokoh utama, seorang anak usia enam tahun, terlalu terkesan superficial atau hanya di permukaan, menurut saya. Penulis berusaha membangun karakter kekanakan dengan menggunakan kalimat dan kata sederhana, dan jika pun ada yg menggunakan kata rumit maka berusaha disiasatinya lewat bantuan kamus. Hasilnya, si tokoh justru semakin tidak terasa kanak-kanak lagi. Mengapa? Sebab si anak enam tahun menjadi terlampau pintar untuk anak seusianya; terlampau menyukai kata dan kamus tanpa ada alasan kuat mengapa dia bertingkah demikian; terlampau aneh untuk anak seusianya yang merasa perlu membuka kamus setiap mendengar kata yang tidak biasa baginya (melupakan bhw anak seusia ini lbh tertarik pd sesuatu yg visual drpd verbal--inilah mengapa buku anak usia TK dan awal SD selalu dibuat penuh warna dan gambar) terlampau kuat ingatannya mengingat kata baru yg baru dilihat artinya di kamus shg bisa segera dipakai dlm percakapan.
3. Masalah utama dlm novel adalah masalah org dewasa; orangtua takrukun. Ketika hal ini dilihat dr sudut pandang seorang anak maka masalah tsb terdistorsi. Jadilah penulis seakan hny hendak menunjukkan simpatinya pd penderitaan si anak, yang krn hny memakai sudut pandang anak tsb menjadi subyektif. Pemecahan masalah yg terkuak dlm cerita hnya terjadi secara tdk langsung atau hny menurut "katanya"; kata Kak A, kata Tante B . Pembaca tdk diberi ruang u mendapat gambaran secara utuh ttg bgm sebenarnya dampak kekurangrukunan keluarga tsb pd si anak. Pembaca tidak bisa melihat bgm sosok si anak secara utuh, kecuali pikiran2nya yang terbatasi oleh kekanak-kanakannya yang "ajaib".
Profile Image for Rido Arbain.
Author 6 books98 followers
December 24, 2016
Sebenarnya agak sulit menyimpulkan premis Di Tanah Lada, tapi kira-kira begini:
Seorang gadis berumur 6 tahun bernama Salva, yang sangat membenci papanya, bertemu dengan bocah laki-laki bernama P, lalu memulai petualangan.

Pertama baca, karakter Salva di sini mengingatkanku ke tokoh bernama Christopher Boone di novel Insiden Anjing. Bedanya, Boone suka meracau karena ia mengidap sindrom asperger, sedangkan Salva di sini meracau karena terlalu mahfuz dengan kamus bahasa Indonesia yang selalu dibawanya ke mana-mana.

Salut buat penulis yang mengambil risiko dengan memakai sudut pandang orang pertama tokoh berumur 6 tahun. Yang baca saja bisa stres, apalagi yang nulis, kan? Tokoh Salva ini kadang bikin jengkel, sekaligus bikin geli dengan tingkah anehnya. Mungkin bisa jadi bacaan yang bikin lelah kalau saja Salva nggak dipertemukan dengan P. Dua tokoh inilah yang kemudian menghadirkan percakapan-percakapan seru khas anak-anak, yang penuh perumpaan aneh dan silogisme semaunya.

Aku suka cara penulis menebar clue untuk menuntun pembaca menuju klimaks cerita, walaupun kejutannya kurang berhasil karena aku gagal terkejut (huhu). Terus, satu lagi, masih ada beberapa narasi yang menurutku 'kelepasan' karena kadang suara yang keluar lebih terdengar Ziggy, bukan Salva.

Omong-omong, ini ada kutipan bagus dari Mas Alri:
"Jadilah anak kecil barang sebentar lagi. Lebih lama lagi," katanya. "Bacalah banyak buku tanpa mengerti artinya. Bermainlah tanpa takut sakit. Tonton televisi tanpa takut jadi bodoh. Bermanja-manjalah tanpa takut dibenci. Makanlah tanpa takut gendut. Percayalah tanpa takut kecewa. Sayangilah orang tanpa takut dikhianati. Hanya sekarang kamu bisa mendapatkan semua itu. Rugi, kalau kamu tidak memanfaatkan saat-saat ini untuk hidup tanpa rasa takut."
Displaying 1 - 30 of 2,282 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.