Suatu pagi, Munarto, seorang pematung terkenal sekaligus orang terkaya di Desa Ledok Awu, ditemukan mati. Di pondok kerjanya, sedang memahat patung batu yang tak punya tubuh selain bagian kaki, bersimbah darahnya sendiri.
Pertanyaan "Siapa?" hanya akan memunculkan segerombolan tersangka. Meski bergantung nafkah padanya, ada terlalu banyak penduduk desa yang menginginkan kematiannya. Dendam terhadap keluarga Munarto telah menjadi warisan turun-temurun. Jadi, yang bisa ditanyakan adalah "Mengapa?"
Dari setumpuk alasan yang ada, mana yang akhirnya membuat lelaki itu kehilangan nyawa?
"Saya mengagumi kepiawaian Chandra Bientang meramu kisah dengan unsur kedaerahan yang kental. Bersiaplah untuk disergap oleh rangkaian muslihat yang mencengangkan. -Abi Ardianda, penulis Kelab dalam Swalayan dan Laila Tak Pulang.
"Chandra Bientang telah menggarap seni tersendiri dalam menuliskan ceritanya." -Kurnia Effendi, sastrawan senior.
Chandra Bientang was born in Jakarta on February 17, 1989 and she has lived in Bekasi, Muntilan, and Bogor, before returning to Jakarta. She studied philosophy at the University of Indonesia, enrolling in 2007 and graduating in 2013.
She published her first novel in 2019, an urban thriller entitled Dua Dini Hari, with Noura Publishing (Mizan Group). In that same year, her short story Anak Kucing Leti (Leti's Kitten) was selected for the Emerging Writers Program at the Ubud Writers & Readers Festival, organized by the Mudra Swari Saraswati Foundation. It was then translated into English and published at the festival, along with other Emerging Writers and established Indonesian authors in the book Karma: A Bilingual Anthology of Indonesian Writings.
Her works focus on current social issues. Her novel Dua Dini Hari is about the murders of street children in Jakarta, highlighting the injustices and inequalities of a system that does not often humanize street children and marginalized people. Her short story Anak Kucing Leti tells the story of an abortion midwife's daughter who finds solace in her kitten. The story was inspired by Chandra’s frustration over the stereotypes and stigmas that still plague women, especially in Indonesia.
She accepted 2022 IKAPI Awards for "Rookie of the Year" at the opening of Indonesia International Book Fair (IIBF).
Seorang pematung terkenal di Desa Ledok Awu, Munarto, ditemukan tewas bersimbah darah. Dia dibunuh dengan cara ditusuk di bagian punggungnya. Dua orang polisi yang sedang menyelidiki kasus di desa itu ditugaskan untuk mengamankan TKP sambil menunggu kedatangan tim dari Magelang. Namun cerita-cerita yang mereka dengar, juga penjelasan dari Pak Belot, Kepala Desa membuat keduanya bersepakat untuk memecahkan kasus itu.
Di desa itu juga, ada dua orang penduduk yang dijauhi oleh masyarakat lainnya. Mbah Turkiyem dan Mbah Ruminem. Keduanya dianggap sebagai dukun yang membuat masyarakat menjadi resah. Namun diam-diam, ada saja warga yang selalu mendatangi Mbah Tur. Seperti Maya dan Lasmi yang baru saja kehilangan bayi mereka. Selain itu, ada dua tamu pendatang dari kota, Arsenio dan Sami yang sedang mencari rumah untuk produksi syuting. Secara kebetulan (atau tidak) Arsenio terlihat berbincang seru dengan Munarto pada malam sebelum pematung itu terbunuh. Siapa pembunuh Munarto dan mengapa dia harus mati? Itulah misteri yang akan dikuak dari novel Batu Berkaki ini.
"Berjalan mundur untuk tahu segalanya". Sebuah judul pengantar untuk novel ini ternyata menjadi kunci untuk membaca novel ini. Jika dibaca seperti biasa, kita akan diajak menyelami peristiwa Ledok awu dalam alur mundur. Tapi tidak seperti alur mundur kilasan/flashback yang biasa dijumpai, novel ini memang bercerita dalam rentang waktu terbalik. Dimulai dari hari Kamis, Rabu, Selasa hingga Senin. Dalam empat hari itu, pembaca dibawa menyelami kkisah-kisah yang ada di Ledok Awu. Dari cara bercerita seperti ini saja, novel ini sudah mendapat poin plus dari saya.
Kisah misterinya juga tersusun dengan rapi. Tidak usah menebak-nebak, cukup dibaca dengan baik, pahami setiap peristiwa, hingga akhirnya misteri itu terkuak. Btw, kalau kamu ada waktu lebih setelah membaca novel ini, cobalah dibaca dari belakang (Senin-Selasa-Rabu-Kamis). Mungkin sensasinya berbeda.
Ini mungkin akan menjadi salah satu novel thriller lokal favoritku di tahun 2024. What a book! Aku perlu standing ovation kepada penulisnya, sebab tulisan ini begitu rapi, terstruktur, dan sistematis.
Actual rating: 4.5⭐️
Berkisah tentang seorang seniman batu bernama Munarto yang ditemukan tewas di rumahnya di Ledok Awu—sebuah desa di kaki Gunung Merbabu. Perihal pembunuhan ini bukan lagi atas "siapa", tetapi "mengapa". Dan misteri-misteri lain di desa itu pun terkuak satu per satu.
Novel yang memadukan mitos, klenik, dan juga polemik serta intrik khas pedesaan. Karena kisahnya berlatar tahun sekarang, maka internet dan ponsel pintar sudah digunakan. Meski tetap saja tak bisa lepas sepenuhnya dengan hal-hal yang [disinyalir] gaib.
"Tiap kali ada masalah, ada malapetaka, orang-orang menyalahkan makhluk-makhluk gaib karena tak ada yang bisa membuktikan benar atau tidaknya. Orang-orang hanya bisa percaya, tapi justru itu. Percaya itu berbahaya. Itu yang saya takutkan. Orang-orang bisa berbuat apa saja kalau sudah percaya!" —Kundari, p. 213
🌻 fav Hal yang aku sukai dari novel ini adalah penceritaannya. Biasanya alurnya maju, maju-mundur, nah kalau ini mundur. Awalnya ku kira setiap bab dibagi menjadi kamis, rabu, selasa, dan senin, hanyalah pembagi waktu yang tidak linier. Namun, ternyata itu memang harinya setiap kejadian. "Lho berarti udah ketebak siapa pelakunya?" Tidak semudah itu, haha. Di awal pasti akan ngerasa cramming sebab banyak tokohnya, masalahnya pun nggak cuma pembunuhan Munarto (sesuai di blurp). Lalu, perlahan tapi pasti, semua tokoh itu saling terkait. Saling bertemu. Saling ada benang merahnya.
Dan aku juga suka diksinya. Setiap paragraf dan ungkapannya cantik. Aku bahkan banyak mencatat kutipan-kutipannya.
📍 spoiler Sebenarnya aku ingin menggenapinya menjadi 5 bintang penuh, tetapi ada hal yang masih mengganjal untukku, yaitu kematian bayi nurika. Ini kenapa [redacted] melakukannya, entah itu sengaja atau tidak, itu nggak dieksplor lebih lanjut. Lalu, nasib [redacted] di hari "kamis". Ya, mungkin karena ciri khas penulis, ya, yang suka menggantung dan pasti ada protagonis yang tidak selamat di akhir.
meskipun awalnya aku gak langsung dapat kesan JEDUARRR kek waktu aku baca “Dua Dini Hari,” tapi makin dilahap tiap halamannya makin renyah pula rasa puas yg aku dapatin! Kak Chandra berhasil banget sih masukin konflik-konflik yang biasanya masih terjadi di daerah perdesaan serta kepercayaan-kepercayaan mereka terhadap takhayul & hal-hal mistis meskipun ini novel judulnya fiksi thriller! KUDOS 🩷🩷🩷
yg bikin novel ini paling menarik tuh cara berceritanya mundur! di awal langsung dikasih adegan pembunuhannya dan seterusnya dikupas sampe tuntas keterkaitan tiap karakternya yg BANYAK banget itu (ciri khas kak Chandra keknya ini ya…) tapi tetep rapih dan cakep cara penyampaiannya!
OH YA! THE writing style as always KECE POLLL!!! cocok banget sama seleraku~
karena ini alurnya mundur, aku beberapa kali sempat kebingungan dan harus baca ulang bagian-bagian tertentu di bab-bab sebelumnya buat lebih paham … tapi ya ITU, itu yg bikin bukunya berkesan buat aku karena aku tuh se-excited itu ngikutin tiap detailnya><
akar dari konflik di dalam buku ini tuh ya karena keserakahan manusia sih, gak bisa dipungkiri kalo manusia itu gak akan pernah ada puasnya😔
paling kasihan sebenernya sama Arsenio … dia emang berbuat salah, tapi dapet hukumannya bukan karena perbuatannya itu tapi karena manipulasi lain yg keknya kalo ditarik kesimpulan tuh ya itulah karma atas perbuatannya … kalo kalian percaya karma sih.
Ini cerita misteri/thriller dengan struktur yang menarik! Bukannya bergerak maju, justru setiap bab mundur ke satu hari sebelumnya, sampai akhirnya seluruh misteri terpecahkan. Ditambah latar tempat yang digambarkan dengan mendetail dan penuh keakraban—dalam pengertian, terasa sekali penulisnya sangat mengenali hal-hal yang ia gambarkan—dan dialog yang terasa wajar, membaca buku ini enak sekali rasanya. Hanya saja, makin ke belakang tensi cerita justru bagi saya makin menurun, dan akhirnya malah antiklimaks. Ketika terjawab siapa pelaku sebenarnya, saya kok malah merasa "oh ya sudah" saja. Selain itu, kok rasanya ada beberapa hal yang menggantung... tapi mungkin bila saya baca ulang buku ini, hal-hal tersebut sebenarnya ada jawabnya. Bagaimana pun juga, buku ini sepertinya akan menjadi salah satu rekomendasi saya bila ada yang ingin membaca buku misteri berbahasa Indonesia.
Beruntung sekali aku bisa ikutan PO buku ini hohoho. Malah, aku juga punya versi digital di Rakata. Jadi, jujur aja waktu baca aku gonta-ganti antara fisik dan digital.
Oke. Dari awal sebenarnya aku udah nyangka cerita ini termasuk tipe unsolved mystery (salah satunya karena memiliki alur mundur). Di sisi lain, walau berlatar di pedesaan, novel ini bukan amateur sleuth. Uniknya lagi, menurutku buku ini sangat imbang antara who-dunnit dan why-dunnit.
Tak menyangka dapat pengalaman baru dari buku ini. Aku terbiasa suka mengintip akhir sebuah novel kemudian membaca dari awal lagi. Buku ini ajaibnya bisa dibaca dari arah depan dan belakang. Btw aku tahu karena sudah baca ulasan buku ini. Awalnya ragu, emang iya bisa begitu. Ternyata… oke aku menyerah wahai penulis 😊👍 ini novel pertama dari penulis yg kubaca. Apakah memang sudah ciri khasnya? Aku tak tahu jadi kemungkinan aku akan baca bukunya yang lain.
Meskipun sudah menerka tapi tetap tak menyangka endingnya, lebih kayak “apa yg terjadi?” Dan aku merasa membutuhkan lebih banyak lembar berikutnya.
Pertama kali baca karya Mbak Bientang dan jujur ini overwhelmed. Aku nggak bisa bilang suka sama buku ini. Ceritanya kompleks, nggak cuma membahas tentang kematian seorang pematung terkenal (Munarto). Namun juga ada banyak misteri pelengkap lainnya yang menambah rasa penasaran yang semakin menjadi-jadi.
Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut: - kematian dua bayi secara misterius (kejadian ini sudah berlangsung lama, cuma yang recently memang dua ini). klunya gigi, abu di sekujur mayat, dan kain oranye - duo Ruminem dan Turkiyem yang nyentrik, serta hubungannya dengan Sarmin dan Mbok Im - para pendatang Desa Ledok Awu yang mencurigakan: Arsenio yang seorang pendaki mencari obsidian & Sima pembuat film - kekejian Pak Belot (kepala desa) - misteri Perkebunan Mardi - batu berkaki buatan Munarto - gua persembunyian yang tidak diketahui banyak oleh penduduk desa - limbah minyak bumi berbahaya - pembunuhan ayah & kakek Munarto
Buku ini diceritakan dengan menggunakan alur mundur, yang ber-setting-kan empat hari saja (Kamis, Rabu, Selasa, Senin). Chapter-nya panjang-panjang, belum lagi diksinya yang kaya, membuatku perlu meluangkan waktu sekaligus memanggil fokus agar bisa tersedot ke dalam cerita. Tiap buka bab baru, terasa seperti masuk ke dalam cerita baru, “sulit” untuk terbiasa apalagi membaca cepat.
Ada yang bilang, buku ini sebaiknya dibaca 2x supaya dapat memahami konteks secara utuh. Kalau ada waktu, akan coba baca dari belakang ke depan. Jujur saja, dari rangkaian misteri yang ditebar, masih ada banyak hal yang membingungkan, alhasil sulit ditarik benang merahnya.
Gokillll juga!! Bab akhir itu wah bgtt. Klimaks nya bener2 bisa bikin otak gue men-summary kejadian di bab 1 hingga tamat. Flashback demi flashback bermunculan, scr bertahap. Rantai konflik A dan si X, C dan si Y - terhubung satu sama lain (meskipun babak akhir ada yg berasa sekali "kebetulan2" belaka yg dibuat).
Jujur, baca suratnya, gue justru sedih sekaligus marah tapi ngerasa iba juga :((
Jujur awalnya agak bingung sama alur yang mundur dan banyak karakter yang diperkenalkan. Tapi, lama-kelamaan enjoy karena tiap karakter perlahan dibuka rahasianya dan endingnya ... 🤯🤯🤯
babak pertama tuh gue ngebatin, hah? cepet banget terungkapnya. babak 2 dst make alur mundur sebelum kejadian pembunuhan. semua terkonsep dengan rapi. tanpa ada pertanyaan mengganjal. gue juga suka di sini mengangkat unsur mistis+urband legend siluman ular. setting pedesaannya kuat banget. semua tokoh bermain cantik. punya motivasi masing2 jadi pelaku. chandra bintang naik level lagi. gue yakin nih nopel otw menang lagi di spa awards🔥🔥🔥
Dimulai dengan 'hah ini ada apa sih sebenernya' tapi lambat laun semua plotnya dipreteli dengan sejelas-jelasnya, semua kejadian dan semua detil ada alasannya, dan ditutup dengan baik sekali. Ini lumayan bikin ingat sama And There Were None-nya Agatha Christie walaupun sebenarnya sama sekali beda, dari plot, alur dan cara berceritanya. Tapi sama memuaskannya di akhir.
Novel misteri yang bener2 ga biasa dan kayanya jarang di Indonesia ya. Biasanya alurnya maju / maju mundur sampe misterinya ke ungkap semua , ini alurnya mundur. Sempet bingung karena tokohnya banyak dan ga kebiasa dengan alur yang mundur (kaya kita udah tau nih besoknya kejadian apa tp dipaksa liat yang hari kemarin), tapi ternyata fun dan pelan2 satu satu misteri di desa itu kebongkar. Terus juga peasaran kalo alurnya mundur gini reveal pelakunya gimana dan ternyata tidak terduga .
Novel Batu Berkaki adalah novel yang harus dibaca minimal dua kali. Pertama dari depan, kedua dari belakang. 🥲
Pengalaman membaca Batu Berkaki (seperti buku-buku Chandra Bientang lainnya) sangat menyenangkan. Awalnya cuma mau baca beberapa bab saja, tapi eh loh … apaa??? Lanjut terus, susah berhenti.
Ceritanya memikat, plotnya rapi, banyak twist di sana-sini. Membacanya seperti membaca novel S Mara Gd, kisah kriminal di desa kecil.
Batu Berkaki dituturkan oleh banyak tokoh, pembaca diajak menyelami sebenarnya ada apa di Ledok Awu? Bayi-bayi meninggal, tuan tanah yang terbunuh dan desas-desus para penduduk.
Di penghujung cerita, kejutannya membuat saya terpana dan berkeinginan membaca lagi novel ini dari belakang.
Batu Berkaki karya Chandra Bientang merupakan sebuah novel yang menceritakan misteri meninggalnya seorang pemahat patung sekaligus tuan tanah pemilik perkebunan bernama Munarto. Cerita dalam novel ini ditulis dengan alur mundur yang konsisten (buat saya sangat cocok dengan genre thriller) sehingga pembaca tidak begitu sulit merunutkan cerita. Hal lain yang menarik dalam novel ini adalah adanya unsur lokalitas yang juga cukup mendominasi, sehingga menambah kuatnya cerita yang disuguhkan.
Mungkin, buat saya yang agak sedikit sy kurang suka yaitu banyaknya karakter yang ada dalam cerita namun beberapa hanya muncul tanpa memberikan kesan. Padahal, jika dalam konteks novel, ruang eksplorasi tersedia cukup luas. Namun, secara keseluruhan novel ini sangat seru untuk dibaca.
Bagusss Yg bikin unik dari buku ini urutan alurnya mundur dibagi 4 hari, dari kamis ke senin. Awalnya lumayan overwhelmed karena banyak tokoh & terlalu banyak masalah yg entah benang merahnya apa, tapi nanti lama-lama bakal terungkap satu persatu. Vibes pedesaan yg masih kental hal mistis jadi berasa genre horror mystery😭 Padahal aku kurang suka baca genre horror. Sempet bosan di pertengahan karena bingung ceritanya mau dibawa kemana.
Cuma di buku ini aku menunggu-nunggu hari senin :)
Kurang cocok buat yg anti long chapter (adalah aku).
Jujur saja, aku baru mendengar tentang Chandra Bientang saat berita kematiannya ramai di kalangan teman-teman bookish Instagram. Dan kalaupun sebelumnya aku dengar, kemungkinan besar aku tidak akan tertarik membaca bukunya. Aku bukan pecinta novel misteri, terutama novel lokal. Menurutku, novel misteri seringkali hanya seru di bagian awal saja, makin ke belakang makin melempem, bahkan ditutup dengan ‘hah cuma gini doang?!’. Ditambah, novel misteri lokal biasanya menggunakan gaya bahasa yang terlalu pop (?), terlalu Jaksel (aku mau omong apaan sih ini).
Aaaanyway, jadi aku baru tertarik dengan Batu Berkaki karena mbak Gracetioso yang habis-habisan ‘menjual’ buku ini di story Instagramnya, sebagai courtesy untuk almarhumah sang penulis. Dan aku kali ini sungguh tidak tertipu: Batu Berkaki ternyata sebuah masterpiece novel misteri. Sejak dua bab pertama, aku jatuh cinta dengan gaya penuturan yang digunakan Chandra. Dia bergaya ‘nyastra’ yang tetap nyaman dibaca, tidak berbunga-bunga maupun berbelit-belit, tetap diselingi celetukan-celetukan lucu dan dialek lokal yang khas, tidak memusingkan walau berganti-ganti sudut pandang dengan tokoh yang beragam. Hebatnya lagi, walau tokohnya banyak, mereka memiliki gaya bercerita dan karakternya masing-masing.
Tapi lebih dari semua itu, yang membuat novel ini istimewa bagiku adalah cara sang penulis menyusun kejadian demi kejadian. Melompat-lompat dari satu sudut pandang ke sudut pandang lain tetapi tetap rapi dan runut, secara mundur. Betul sekali, novel ini memiliki plot yang mundur. Sungguh membangkitkan penasaran dengan cara yang bagiku sangat bersahaja, bukan dengan gaya menggurui ‘seandainya aku tahu akan begini, tentu sekarang aku akan begitu’ atau gaya sok tahu ‘tunggu saja, nanti akan terjadi anu-anu’. Alur novel ini mengalir mundur begitu saja, menata setiap kejadian, detail, dan latar belakang setiap karakternya sehingga misteri di bagian depan terjawab satu per satu dengan rapi dan apik.
Seakan segala keunggulan itu belum cukup, misteri dalam novel ini juga ternyata dilatarbelakangi oleh isu yang lebih besar dan berat: kapitalisme, korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan eksploitasi sumber daya desa yang pada dasarnya subur dan damai, semuanya bersumber dari keserakahan manusia.
Pertama kalinya aku memberi lima bintang untuk novel misteri lokal, dan sudah lama sekali sejak aku tidak tidur semalaman demi menyelesaikan sebuah buku.
Menarik sekali membaca cerita dengan alur mundur dan hanya terdiri dari 4 bab besar sesuai urutan mundur dari hari kejadian: Kamis, Rabu, Selasa, Senin.
Pembaca akan bawa bertulang ke Desa Ledok Awu di mana seorang seniman batu terkenal bernama Munarto ditemukan tewas. Tidak ada yang bisa menerka siapa pembunuh sebenarnya, karena turun temurun Munarto dan keluarganya memang tidak disukai penduduk desa —ditambah ia seorang pengusaha yang mungkin banyak musuh dari luar desa.
Polisi tiba dan menggeledah TKP, mendapati beberapa jejak-jejak kecil yang tersisa, dan mengarah pada salah satu dari dua orang anak muda pendatang yang baru tiba di Losmen Dalimah beberapa hari sebelum kejadian. Sima, seorang perempuan dari rumah produksi di Surabaya tiba di Ledok Awu hendak mencari lokasi syuting untuk film berikutnya. Arsenio, seorang pendaki gunung yang baru saja turun dari Merbabu, hendak mencari jalur pendakian alternatif lewat Ledok Awu.
Tapi di hari sebelumnya, pembaca juga diajak untuk memahami sudut pandang Sima dan Arsenio. Semua orang punya alibinya masing-masing. Semuanya saling curiga satu sama lain. Selain itu, berita kematian dua bayi dari penduduk desa juga membangun suasana mencekam, penduduk yakin siluman yang pernah ada beberapa puluh tahun lalu kembali bangkit dari kuburnya dan menyebarkan kutukan serupa seperti dahulu.
Batu Berkaki dituliskan dengan runut dan sangat rapi meski alurnya mundur. Ada banyak scene atau penggambaran nostalgia di dalamnya, dan aku sangat menikmati bagaimana penulisnya menuturkan cara tiap tokoh untuk bernostalgia dengan kenangan mereka masing-masing.
Pada akhirnya, hingga tiba di halaman terakhir, ternyata semua tebakanku salah. Tebakanku mengenai pembunuh Munarto ternyata sangat cetek, karena ada beberapa persoalan yang lebih serius dan berlapis di dalam buku ini.
Selain dendam pribadi, kenangan keluarga, bisik bisik mengenai Siluman dan abu Merbabu yang melindungi bayi-bayi, Batu Berkaki juga mengangkat tema masalah sosial dan kehidupan bermasyarakat di desa Ledok Awu. Bukunya tidak terlalu tebal, bahasanya ringan, dan bisa dinikmati dalam waktu singat.
Lagi-lagi kembali dengan karya spektakuler yang menahbiskan dirinya sebagai salah satu penulis genre crime/mystery/thriller terbaik di Indonesia.
Batu Berkaki ini dituliskan dengan kronologi terbalik, mulai dari Kamis lalu mundur ke Senin. Sepanjang membaca tuh saya bertanya-tanya, "Gimana ya nanti Mbak Chandra Bientang meramu bagian revelation-nya?". Soalnya kan harinya mundur, jadi nggak kebayang gitu gimana mengungkap pembunuhnya. Ternyata... revelation part itu smooth sekali, dan semua pertanyaan terjawab. Pembaca diajak ikut me-rewind waktu, dengan penyajian adegan-adegan dan narasi yang terasa scattered tapi sebetulnya adalah kepingan dari suatu puzzle utuh. Mantap banget.
Saya menyukai dua buku Mbak Chandra Bientang yang lain, Dua Dini Hari dan Sang Peramal. Tapi Batu Berkaki adalah terobosan fenomenal, terutama dari aspek teknik penulisan. Secara teknik, terasa betapa keseluruhan Batu Berkaki ini di-crafting dengan hati-hati, dan sebagai pembaca saya puas sekali dengan eksekusinya. Siapa pembunuh Munarto, misteri di balik kematian bayi, dan berbagai rahasia lainnya... saya nggak bisa berhenti mengagumi teknik penulisannya.
Terasa betul bahwa Batu Berkaki adalah karya dengan effort yang sangat tinggi, dan sekali lagi saya turut berduka karena tidak akan ada lagi novel-novel cerdas seperti ini di genre crime/mystery/thriller lokal.
RIP Mbak Chandra Bientang. Terima kasih sudah menuntaskan dan melahirkan karya terakhirmu yang tak akan terlupakan ini sebelum pergi.
Pertama tama, Rest in Peace buat kak Chandra Bientang. Aku tidak menyangka ketika membaca novel ini dan aku kepo sama penulis, malah aku mendapat berita yang mengejutkan. Semoga kak Chandra beristirahat dalam damai.
Sangat beruntung aku tertarik membeli novel ini setelah membaca blurbnya sewaktu hunting di toko buku. Novel misteri thriller yang dikemas dengan alur mundur ini menggugah rasa penasaranku dan menyelamatkanku dari reading slump yang kualami (sekarang enggak lagi). Settingnya di sebuah desa bernama Ledok Awu, dan berada dekat di gunung Merbabu dan Merapi. Dua tempat yang juga disebut adalah Magelang, dan kecamatan Muntilan. Dari settingnya itu sudah sangat menarik bagiku karena aku yang pernah tinggal di Muntilan untuk bersekolah menjadi terasa seperti ikut masuk ke dalam ceritanya. Cerita mengenai misteri kematian seorang pematung bernama Munarto, ditulis dengan alur mundur, sedikit demi sedikit misteri akan terkuak dan benang merah akan terlihat. Sangat mengasyikkan ketika bisa menghubungkan benang merah sehingga alur cerita sebenarnya semakin jelas. Meskipun ada beberapa hal yang sampai di akhir menjadi tanda tanya. Ada unsur mistis yang samar dan legenda yang diselipkan oleh penulis dan itu menambah daya tarik novel ini. Tidak melulu mengungkap siapa pembunuh Munarto, tetapi dalam novel ini kita bisa melihat dinamika sebuah desa sederhana yang dikuasai oleh tuan tanah, yang menggunakan hal hal tidak benar untuk melanggengkan kekuasaaan dan menindas yang lemah.
Sebuat surat menjadi ending dari novel ini dan pembaca menyimpulkan sendiri. Lhah, berarti ? Lhoh jadi begini ? Itu adalah reaksiku ketika membaca endingnya, wkwk. Menurutku endingnya itu tidak mengungkap siapa pembunuh Munarto secara jelas, seperti hanya mengisyaratkan. Kalau dipikir pikir bisa saja kejadian sebenarnya berbeda, ada beberapa hal yang janggal dan masih menjadi tanda tanya.
Udah ngikuti karya Chandra Bientang sejak Dua Dini Hari. Langsung cocok sama ide, nyinyir kritik sosial dan eksekusi ceritanya. Makanya ga mikir panjang buat baca Batu Berkaki.
Thriller pembunuhan yang banyak menyorot kritik sosial, or I might say, konflik agraria. Metode berceritanya backwards kayak The Borrowed - Chan Ho Kei. Nama kampung, deskripsi kampung mirip Ahmad Tohari. Nyinyir kritik sosial setegas AA Navis. Not to mention, bahasanya elok banget dan in rhyme in many parts. Puzzle misterinya RAPI BANGET. Chandra Bientang memang jagoan meramu kasus yang sekelebat mistis tapi ternyata… sangat logis. Tidak lupa risetnya PATUT DIACUNGI JEMPOL. Matang banget.
Bravo, semoga makin banyak karyanya. Next lagi nungguin antrian “Sang Peramal” ni.
Buku yang kearifan legenda dibawa dalam realita dunia. Manusia serakah yang membawa mala petaka bagi keturunannya. Jadi Munarto itu serba salah ternyata. Dia ingin hidup tenang tapi digerung rasa bersalah dan berakhir mati untuk kesalahan yang bukan karena dirinya sendiri, tapi karena darah yang terus mengalir di dalam tubuhnya. Hidup yang menyedihkan.
Chandra Bintang sukses bikin aku geleng-geleng kepala saking geregetannya sama setiap keburukan tiap karakter. Tidak ada yang benar dalam buku ini. Karena semua orang benar-benar jahat bagi diri mereka sendiri.
May the author has a good place bcs her books always unpredictable 😭🫶
Format bukunya unik sekali, alur waktunya ditulis mundur. Bukunya lebih fokus ke "bagaimana" dan "mengapa" pembunuhan Munarto terjadi, persis seperti kata sinopsis bukunya. Judul "Batu Berkaki" somewhat cocok sama format penulisannya, dimulai dari akhir (kaki). Topik yang diangkat juga sangat menarik, dari siluman dan legenda sampai pencemaran lingkungan dan konflik tanah, all in one. An interesting addition dimana karakter-karakter yang terlibat semuanya terhubung dengan Munarto dan Desa Ledok Awu, masing-masing juga punya tujuan dan rahasia sendiri-sendiri, paths crossing like fate.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Akhirnya nemu lagi novel thriller lokal yang bagus! Suka banget sama ceritanya. Jadi salah 1 buku terbaik yang dibaca di tahun ini.
Awalnya agak bingung & belum dapet feelnya karna alurnya mundur eh ternyata makin dibaca makin seru. Makin penasaran juga jadi nebak siapa yang bunuh Munarto ternyata salah. Wow plot twistnya bikin speachless. Haha.
Liat review orang-orang katanya buku ini bisa dibaca dari belakang. Jadi penasaran & kayaknya layak dicoba.
Literally buku ini alurnya mundur, jarang banget kan. Isu mistis lokal, konflik, intrik, dan kerusakan lingkungan yang diusung secara subtil, bermuara pada sebuah pembunuhan. Satu persatu tabir misteri terkuak. Salah satu urban thriller terbaik. Sungkem!!! RIP, Kak Chandra, gone too soon🥀
Ketika baca bagian awal, rasanya bingung, karena serasa membaca buku dari tengah. Tapi semakin ke belakang, jadi semakin menarik dan membuat penasaran.