Jump to ratings and reviews
Rate this book

Setelah Revolusi Tak Ada Lagi

Rate this book
Dalam buku ini, yang menghimpun tulisan-tulisannya selama 33 tahun, ia juga membicarakan Pramoedya, Kayam, Nurcholish Madjid, Soedjatmoko, Katib Anom, Putu Wijaya, Saini K.M., Sapardi Djoko Damono, Sutan Takdir Alisjahbana, Subagio Sastrowardojo, Amir Hamzah, Trisno Sumardjo, Sjahrir. Semuanya disorotinya dengan perangkat kritik sastra, yang digunakannya dengan kemahiran tak tertera. Ia memanfaatkan mereka sebagai mikrofon untuk bertanya, buka menjawab. Ia menjadikan mereka kendaraan untuk mencari, bukan menemukan.

(dicuplik dari PDAT)

481 pages, Paperback

First published January 1, 2001

10 people are currently reading
148 people want to read

About the author

Goenawan Mohamad

110 books506 followers
Ia seorang jurnalis dan sastrawan yang kritis dan berwawasan luas. Tanpa lelah, ia memperjuangkan kebebasan berbicara dan berpikir melalui berbagai tulisan dan organisasi yang didirikan-nya. Tulisannya banyak mengangkat tema HAM, agama, demokrasi, korupsi, dan sebagainya. Seminggu sekali menulis kolom “Catatan Pinggir” di Majalah Tempo.

Pendiri dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah Berita Tempo kelahiran Karangasem Batang, Pekalongan, Jawa Tengah, 29 Juli 1941, ini pada masa mudanya lebih dikenal sebagai seorang penyair. Ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan 1964 yang mengakibatkannya dilarang menulis di berbagai media umum.

Ia juga pernah menjadi Nieman fellow di Universitas Harvard dan menerima penghargaan Louis Lyons Award untuk kategori Consience in Journalism dari Nieman Foundation, 1997. Secara teratur, selain menulis kolom Catatan Pinggir, ia juga menulis kolom untuk harian Mainichi Shimbun (Tokyo).

Ia menulis sejak berusia 17 tahun, dan dua tahun kemudian menerjemahkan puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson. Sejak di kelas VI SD, ia mengaku menyenangi acara puisi siaran RRI. Kemudian, kakaknya yang dokter (Kartono Mohamad, mantan Ketua Umum PB IDI) ketika itu berlangganan majalah Kisah, asuhan H.B. Jassin. “Mbakyu saya juga ada yang menulis, entah di harian apa, di zaman Jepang,” tutur Goenawan.

Pada 1971, Goenawan bersama rekan-rekannya mendirikan Majalah Mingguan Tempo, sebuah majalah yang mengusung karakter jurnalisme majalah Time. Di sana ia banyak menulis kolom tentang agenda-agenda politik di Indonesia. Jiwa kritisnya membawanya untuk mengkritik rezim Soeharto yang pada waktu itu menekan pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Tempo dianggap sebagai oposisi yang merugikan kepentingan pemerintah sehingga dihentikan penerbitannya pada 1994.

Goenawan Mohamad kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), asosiasi jurnalis independen pertama di Indonesia. Ia juga turut mendirikan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang bekerja mendokumentasikan kekerasan terhadap dunia pers Indonesia. ISAI juga memberikan pelatihan bagi para jurnalis tentang bagaimana membuat surat kabar yang profesional dan berbobot. Goenawan juga melakukan reorientasi terhadap majalah mingguan D&R, dari tabloid menjadi majalah politik.

Ketika Majalah Tempo kembali terbit setelah Pak Harto diturunkan pada 1998, berbagai perubahan dilakukan seperti perubahan jumlah halaman namun tetap mempertahankan mutunya. Tidak lama kemudian, Tempo memperluas usahanya dengan menerbitkan surat kabar harian bernama Koran Tempo.

Setelah terbit beberapa tahun, Koran Tempo menuai masalah. Pertengahan bulan Mei 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Timur menghukum Goenawan Mohamad dan Koran Tempo untuk meminta maaf kepada Tomy Winata, (17/5/2004). Pernyataan Goenawan yang dimuat Koran Tempo pada 12-13 Maret 2003 dinilai telah melakukan pencemaran nama baik bos Arta Graha itu.

Goenawan yang biasa dipanggil Goen, mempelajari psikologi di Universitas Indonesia, mempelajari ilmu politik di Belgia dan menjadi Nieman Fellow di Harvard University, Amerika Serikat. Goenawan menikah dengan Widarti Djajadisastra dan memiliki dua anak.

Selama kurang lebih 30 tahun menekuni dunia pers, Goenawan menghasilkan berbagai karya yang sudah diterbitkan di antaranya kumpulan puisi dalam Parikesit (1969) dan Interlude (1971), yang diterjemahkan ke bahasa Belanda, Inggris, Jepang, dan Prancis. Sebagian eseinya terhimpun dalam Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980), dan Catatan Pinggir (1982).

Hingga kini, Goenawan Mohamad banyak menghadiri konferensi baik sebagai pembicara, narasumber maupun peserta. Salah satunya, ia mengikuti konferensi yang diadakan di Gedung Putih pada 2001 dimana Bill Clinton dan Madeleine Albright menjadi tuan rumah.

(from tokohindonesia.com)

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
34 (24%)
4 stars
53 (38%)
3 stars
42 (30%)
2 stars
4 (2%)
1 star
5 (3%)
Displaying 1 - 15 of 15 reviews
Profile Image for Endah.
285 reviews157 followers
January 13, 2009
Saya paling malas membaca buku-buku non fiksi. Tidak menarik, membosankan, serius, dan butuh memilin-milin otak. Tetapi saya terpaksa mengecualikan alasan-alasan tersebut untuk tulisan-tulisan Goenawan Mohamad. Saya tak bisa menahan diri untuk tidak membaca kolom dan esai-esainya. Walaupun rumit, namun karena ia menulis dengan sentuhan sastra, saya malah menikmatinya. Catatan Pinggir-nya - untuk menyebut satu contoh - yang dahsyat itu terlalu sayang untuk dilewatkan.

Selain mengisi secara tetap Catatan Pinggir di majalah berita mingguan Tempo, Goenawan pun banyak menulis esai. Beragam topik disampaikan melalui esai-esainya : budaya, kesenian, sastra, politik, ekonomi...Beberapa esai yang pernah dibuatnya itu, baik berupa makalah seminar, pengantar buku, ataupun tulisan lepas, diterbitkan dalam satu buku dengan judul : Ketika Revolusi Tak Ada Lagi.

Dalam kumpulan esainya ini - berbeda dengan Catatan Pinggir-nya yang singkat, padat, dan berhenti pada saat yang tepat, ketika kita sedang enak mengunyahnya - Goenawan Mohamad (selanjutnya saya sebut GM saja) menguraikan dengan panjang lebar topik yang dibahasnya. Tulisan-tulisan tersebut disusun dan dikelompokkan berdasarkan tema menjadi empat bagian . Bagian pertama berisi tentang agama, kemanusiaan, dan ketuhanan (Ketib Anom & Pintu Menuju Tuhan), kedua tentang filsafat dan ideologi (Camus & Kemajuan Indonesia), ketiga sastra (Penyair & Mata Mereka), dan keempat soal seni (Tentang Seni & Pasar).

Dengan gayanya yang khas, nyastra dan tanpa terasa menggurui, GM dengan asyik mengajak kita berdialog dan menyelami alam pemikiran para tokoh besar dalam menyampaikan pendapat serta gagasan-gagasannya. Maka berkenalanlah kita dengan Derrida, Camus, Sartre, Marx, Nietzsche, Brecht, Pramoedya, Sapardi, Putu Wijaya, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Nurcholis Madjid.....(eh..kok lelaki semua ya?) Tak jarang ia juga mengambil contoh dari tokoh-tokoh fiksi (misalnya Dokter Zhivago). Sungguh amat kaya referensi bacaannya. Kita akan terasa diajak berlayar mengarungi samudra pengetahuan yang maha luas dengan keindahan serta kejaiban yang membuat takjub.

Kendati membuat kening saya berkerut-kerut dalam upaya memahami tulisan-tulisannya di buku ini - begitupun masih sedikit banget yang berhasil benar-benar saya mengerti - namun, tetap ada (bahkan banyak) pelajaran yang bisa saya ambil darinya. Tentu saja, buat saya, lebih gampang memahami Catatan Pinggir-nya yang gurih itu.

Lelaki kelahiran Batang pada 1941 ini, juga dikenal sebagai penyair. Puisi-puisinya telah diterbitkan dalam buku Misalkan Kita di Sarajevo (1998). Ia bersama beberapa kawan senimannya, membangun Komunitas Utan Kayu, yang kini menjadi "besar" (meski terkesan eksklusif), sebagai tempat pusat kegiatan kesenian alternatif di Jakarta. Dari sini lahir sejumlah nama yang meramaikan jagad sastra kita. Salah satunya adalah Ayu Utami.

Menurut saya, GM - selain sebagai panyair - adalah esais dan kolomnis terbaik negeri ini. Perhatian dan komitmennya pada pengembangan sastra dan kesenian diwujudkannya dengan menerbitkan jurnal kebudayan Kalam sambil tetap terus menulis.

Profile Image for Rhesa.
119 reviews
April 7, 2009
Goenawan Mohamad is Indonesia's leading essayist and cultural thinker. Reading him is entering the very geist of literature. He is strongly influenced by Derrida's deconstructionist thinking that leads him to read stuff from Marion. Well people can say anything but in my opinion the root of his thinking is religious.

And since Derrida his is ideological god, no wonder he often entertains the idea of "the unknowing God" as found in neo-platonism or eastern orthodox christian theology. Listen to some of his line

"...Faith, therefore, isn't a conclusion, but rather a commitment. Faith isn't the ending of intellectual process, but an immersion of self in the ongoing-lifelong process of life with all it's dynamics...faith does not only admit the reality of uncertainty, but also accept the fact that the contour of life isn't paved on a straight line, in it, there is doubt, and maybe even, a fall" [p.80-81:]

He poses questions and satisfy you with "answers" with question marks he himself puts on. Oh anyway this book is a brilliant collection of his scattered essays in 33 fruitful years of literary endeavour. Enjoy, appreciate and celebrate. l'chaim, to life!
126 reviews14 followers
January 30, 2021
esai2 di sini bener2 kaya dan sarat perenungan2 mendalam. sebagaimana yang tertera di sinopsis maupun di pengantar, nuansa "barat" pada analisis2 pemikiran GM terasa begitu kental. sebagai seorang pengamat sosial, dalam pembukuan 33 tahun kepenulisannya ini GM menunjukkan betapa luas jangkauan perhatiannya. Secara garis besar esai2 di sini membahas perkembangan dan pemikiran sosial di Indonesia, arus pemikiran beberapa tokoh Indonesia dan Barat, serta sastra dan seni rupa. Membacanya membuatku lebih terbuka terhadap pemikiran Nietzsche dan lebih tertarik dengan pemikiran Albert Camus.
Untuk kedalaman penggaliannya saya pikir memang cukup menonjolkan ke-"lain"-an GM dibanding pemikiran tokoh2 yang dimiliki bangsa.
Profile Image for Mujib Burahman.
12 reviews1 follower
August 7, 2007
i have to bought this book twice, somebody borrowed it and never comeback. consist of short writes about famous people like nietsczhe, Brecht, Camus, Habermas, Pram, Ketib Anom, Sapardi and other establish granduer through GM eyes ... its just fascinating. You should read about 'Syahrir di Pantai' i read it 6 times, and review it many many time ...
Profile Image for Shafira Shaberina.
26 reviews
November 26, 2024
bukunya kayanya bagus.. wkwkkw i mean for some parts yang gw baca dan ngerti it was eye opening cuma sisanya kyknya emg knowledge gap aowkaoakakwkka for me it was the references sih, kyk some books u baca tuh ini ngomong apa sih anjir purely karna u cant comprehend the words, tp for me ini tuh the words are crystal clear tp ttp gak ngeh atau ngeh pun kyk kurang gong karna gw gatau referencenya didnt finish the book but might reread it again kapan kapan
Profile Image for Gharonk.
53 reviews2 followers
August 12, 2007
Saya termasuk menyukai tulisa tulisan GM dalam Catatan Pinggir nya majalah Tempo. Di luar itu, buku Setelah Revolusi Tak Ada lagi,berisikan beragam essay yang ditulis GM di beberapa media. Dari semua essay dalam buku ini saya tentu saja menyukai bagian yang membahas tentang Sapardi DJoko Damono di halaman 307 - 331. GM menggambarkan sapardi dalam sudut pandangnya yang khas (menggambarkan SDD sebagai menyatu dengan liriknya pada waktu yang tepat - berbeda misalnya dengan uraian Soetardji Ch Bachrie dalam "Isyarat" yang cenderung menganggap Sapardi sebagai memberi jarak terhadap makna, emosi.
Profile Image for Asdar Munandar.
169 reviews4 followers
February 28, 2016
Buku ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan GM selama 33 tahun.
Buku dengan cita rasa sastra dan filsafah yang kental, memang cukup menguras otak untuk memahami baris-baris tulisan esais terbaik Indonesia ini tapi begitu anda membacanya anda akan tersihir oleh pesona tulisannya.

oh iya, disarankan menyediakan KBBI sebelum membacanya, dijamin anda akan terpuaskan dengan diksinya yang memarik, menggelitik dan unik serta berat.. pake banget malah..



16 reviews3 followers
May 18, 2016
Sebenernya udah mulai baca dari sekian abad yang lalu dan baru sempet nyelesaiin. Dibilang selesaipun nggak, banyak yang agak skimming karena otak jongkok saya yang kurang bisa nangkep. =")))

Tapi saya suka banget tulisan yang "Dari Dunia Superhero" dan juga "Sekadarnya tentang Putu Wijaya". =")))

Bacanya juga lompat-lompat sih. Akan dilanjut sembari ngerjain anuan. :"
88 reviews3 followers
October 15, 2007
Ya ya ya aku suka gunawan mohamad. Terutama waktu dia cerita tentang Sjahrir dan Hatta di Banda Neira
Profile Image for Ahmad.
Author 8 books37 followers
March 27, 2008
Bagi saya, beliau adalah esais Indonesia terbaik saat ini. Nih buku gile, bagus banget. Cocok deh dibaca. Memang agak njelimet, terutama saat masuk di chapter dua. Tapi, asyik kok.
Profile Image for Theresia.
Author 2 books20 followers
July 7, 2008
Indonesian Socrates. Let's just hope Mr. GM won't be ended up being poisoned.
Profile Image for Jiwa Rasa.
407 reviews59 followers
October 26, 2011
Buku ini berupa esei tulisan Goenawan Mohamad yang ditulis di penghujung tahun 60-an. Beliau menulis tentang dunia falsafah dan Indonesia, dunia penyair dan dunia pelukis.
Profile Image for Emon.
42 reviews8 followers
September 23, 2008
Huaaa...tambah berat lagi, dibandingkan dengan Catatan Pinggir. Ampun-ampun deh baca buku ini.
Displaying 1 - 15 of 15 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.