Sumpah, puisi ini kayak DM di IG pas lo lagi mager di tengah Senopati. Ayo pulang, sayang, bunyinya, tapi kayak ada kode di baliknya. Onty Bardjie nge-set kita di bioskop, tapi bukan XXI glamor—ini bioskop yang lampunya remang-remang, kursinya bau apek, dan popcorn-nya lebih banyak di sela kursi daripada di mulut lo.
Baris periksa kembali barang bawaan ini warning level 100. Tapi nggak cuma soal charger yang ketinggalan atau botol minum lucu lo. Ini tentang barang bawaan yang lebih berat: kenangan, luka lama, cinta yang udah expired tapi lo bawa terus kayak tas Hermes fake.
Dan kita adalah film yang sebentar lagi turun layar? Mati gue. Onty nge-tap in langsung ke rasa insecure semua orang Jaksel yang takut jadi irrelevant. Film itu hidup kita, dan layar itu realita—cepet banget fade to black-nya. Nggak ada sequel, nggak ada “After Credit Scene.”
Velodrom punya selera, sih, naruh Onty Bardjie di katalog mereka. Ini bukan puisi buat cowok-cowok workout di SCBD; ini buat lo yang tahu rasanya remuk pas lampu bioskop nyala, dan lo sadar: semua drama tadi nggak bakal terulang.
Sejak menetap di Jakarta, pandanganku soal kehidupan perkotaan banyak bergeser. Padahal, sebelumnya juga tinggal di kota. Di tahun pertama aku membaca Cerita-Cerita Jakarta. Banyak cerita di dalamnya yg membuatku merasa dekat dan relevan. Pun merasa semakin asing. Yg jelas aku berusaha mengenal kota ini salah satunya mulai dari buku itu.
Buku ini juga begitu, sedikit banyak membantuku mengeluarkan semua perasaan yg udah di ujung lidah tapi enggak kesebut-sebut setelah 3 tahun hidup di sini. Terutama karena terlalu lelah dengan pekerjaan, ketidakpastian hidup, dan tentu saja berita ttg negara (WOW) yg tiap hari ada aja ya Allah gusti yg bikin capek bangeett??? Bisa diem ga lu?! Kayak, seakan2 nggak ada waktu buat diem bengong dan ekspresif apalagi birahi. Tapi Bardjan kayak nawarin, atau ngingetin, buat "eh kayaknya melow enak tapi menikmatinya juga enak?"
Beberapa kontennya mungkin akan terdengar eksplisit dan fulgar, tapi percayalah jika membacanya pelan-pelan bukan itu satu-satunya yg berusaha Bardjan sampaikan; tumpahkan. Harus baca!
int. kamar tidur. dengung daikin. kamera cctv karton di atas lemari dgn poster "remember allah watching you 24 hours", karya seni napi eks-teroris hadiah dr teman.
pasutri m & a, dlm tahun ke-15 pernikahan mereka.
m: eh nya, buku puisi bardjan yg baru bagus deh.
a: [staring at laptop, daftar my submissions submittable, in-progress, received, declined, declined] hm?
m: iya bagus deh, sedih banget.
a: [menutup laptop]
m: so i think it's more about jakarta, how cruel this city is? she says "punggung", kayak ninin, and "gairah" a lot...
m: ... finally makes sense to me, this punggung thing, like they keep seeing, maybe mrk merasa selalu dipunggungi sama kota ini? and all the sex, yg ternyata ga semua puisi ada sexnya, it's like a last ditch attempt to... menghidupkan kembali gairah? utk tetap hidup?
m: tapi dia jg berempati sama punggung² yg memunggungi dia itu nya, ada satu line, bentar... [picks up book, adjusts reading lamp, searches for glasses, drops glasses on face, thinks of sticking the temple tip into his eye], "punggungmu yang mendadak poof! musnah tanpa sisa".
m: i like the sound, the repeated scenes of macet di jalan, jalan² di jalan, ada satu yg ttg dia jalan di blok m sambil minum soju abis dikasih sp or something, trus ½ mengharap maybe org akan ngeliat dia dan kasian? so saaaddd. so yeah, i think it's more abt capitalism?
m: kayak di the maid gitu nya, banyak itung²an kekurangan duitnya, ada satu yg i guess maybe like a sequel to ninin's Banyak yang Harus Diingat tapi yang Dilupakan Biasanya Lebih Banyak dan Penting?, and yr one yg tentang ke mall trus bingung mau beli apa?
a: BERADA DI SEBUAH MALL PADA SUATU AKHIR PEKAN
m: yeah that one. kl yg punya bardjan judulnya... bentar [picks up book, adjusts reading light], "mana yang harus". "aku teringat biaya mengganti freon ac", mm, eh yg ini lucu nih, "ayang, di antara checkout vinyl baru atau 3-day pass music festival, mana yg lebih membuatku fulfilled secara kultural ya?"
a: lucu...
m: "hidup itu apa sih." hahahaha [tertawa lepas, membanting kaki ke spring bed yg sudah lama tak lagi springy, kinda hurts]. "((a very very long sigh fills the room))" hahaha.
m: like even the sex is, or even its possibility, is always threatened by so many things, stds, gonorrhea, she loves klamidia? the word, check-in jg mahal, kemarin di atelir kita bahas minimum skrg yg decent dikit 700rban? not cheap [air quote] "in this economy", like, [air quote] "checking in" is entering a cocoon that will protect her from all the death outside, like kl di luar rasanya pengen check out aja dari kehidupan ini... ada bbrp puisi yg suicidal, but the cocoon could also be a trap, venus fly trap? gak lucu ya?
a: no.
m: i mean like gimana kl check-innya garing? bentar... [looks for his note in red ink in the book], "eh sorry, kayaknya aku yg kedeketan ya?" sorry, maybe it's not that one. ya gitu deh. intinya like... oh ini ni... eh bukan, mana sih, hrggghh. like, intinya, we all need 2 escape apa itu line yg di all of us strangers, yg dr liriknya frankie goes to hollywood? oh ya, "the claw", escape the claw of this city, all the death by capitalism, but the sex might not be tht great anyway, or like it's great n u get to escape for a bit, but the whole experience is like full of fucking terror! "the night is dark and full of terrors", i love the red woman.
a: jadi "ngentot"-nya juga kayak memaki ya?
m: benerrr. im gonna use that.
a: credit it to me.
m: maybe i'll just do it, a review, like a screenplay. good idea?
a: can.
m: yeah i also like the way she does her references. like there's this bit where she listens to pavement's spit on a stranger which reminds her of a césar vallejo poem, and it's not only that "stranger" rhymes with "remember" at the end of the vallejo line, trus jg like the line is abt vallejo saying he can already remember him dying in paris, diganti jd jakarta sama bardjan, btw, lihat deh ini dia, bisa jg sengaja, pretty sure vallejo says "on a day, his death maksudnya, i can already remember" tp si bardjan ga pake can-nya, so like maybe she's suggesting she's already dead even? anyway, also kan lirik spit on a stranger chorusnya gimana? mm, banyak non-sequitursnya sih si malkmus, but i think there's this frustration abt someone, "however u feeeel...", trus kemudian nanana, "and now i see the long, the short of it and i can make it last"? & the book is sort of abt if only we can see the long & short of it in this city then maybe we can survive it? and not die in a rainstorm like vallejo? rainstorm-nya kan juga pas tuh, jakarta, rainstorm, pas. tp ya, yg lebih menarik lagi, inget ga sih di video clip spit on a stranger kan awal2nya ada scene lg di jalanan di prancis! aku udh cek di http://setlist.fm, pas tur terror twilight mrk 2x ke paris! kan pas banget soalnya kan linenya vallejo "i will die in paris", eh itu td aku udah bilang belum sih? mansplaaaiiiinnn.
a: 🙄
m: i love it kl ada references yg nyambung² bgt di macem² aspek kyk giniii.
m: ... o iya, ini tu puisi yg tadi ada scene dia jalan² sambil minum soju td, ternyata dia ga habis kena sp, tapi abis dipecat, huhu, trus texted her mum dia ga bisa ngirim uang sebanyak biasanya hiks. "berandai² pengemudi mobil yg lewat dr arah berlawanan melihatku menenggak botol itu lalu sedikit merasa kasihan."
a: ikkkk, sediih.
m: i really like the jalanan scenes, there's like both freedom and melancholia in them, dan suka diulang² terus kan, gue suka kl byk hal diulang² terus aja di satu buku, jd kyk lebih anamorphic. "kita lari²an di konblok pejalan kaki & neriakin nama masing²... sampai² pengendara motor yg lewat ngendorin gasnya utk mastiin apakah kita yg kejar²an ini lagi saling menyakiti atau mencintai." 😭 judulnya pas juga lg, malam acid, abis elsitan, beneran jd asem hix.
m: ... lucu sih byk jg bit di mana kesedihan, pathetic state of her, itu diliatnya dr pov driver ojol atau gocar, like maybe they are the ultimate witnesses, witneeesssss!, to our sad life? ada nih yg [opens a page] dia abis nangis di gocar trus "sopir gocar nggak akan berani menegurku. mungkin diam² ia ingin menangis juga." so true.
m: o iya trus yg td kamu bilang ngentot! sbg makian, emang bener, ada puisi yg ttg naik motor di gatsu, it's like what i imagine the anggun priambodo naik honda cub scene di film mouly itu seandainya bukan anggun dan bukan honda cub, so painfully indie, zzz, kl si bardjan ga tau sih motornya apa ga penting jg kontol, anyway dia bilangnya, "semua yg kalah di jakarta memang cuma ingin ngentot saja". trus ini direprise di satu lagi scene jalanan... mm [frustrasi cari halaman], ...
m: "orang jakarta memang berisik di jalanan, honk honk honk honk. itu mereka sedang memarahi kesepian." gitulah nya, kayaknya ada satu lagi line yg supersad, something like jakarta basically like naik gocar dari blok kesedihan satu ke blok kesedihan lain, tp males nyarinya.
Sekali lagi, Bardjan misuh-misuh x meromantisasi hidup lewat puisi yang berani. 💥
Membandingkan dengan buku puisi sebelumnya, Ibu Kota/Air Mata, energi di Check-in/Check-out sepertinya lebih meledak-ledak, ya? (btw, baru sadar judulnya mirip. Buku puisi ketiga bakalan pakai / lagi nggak, ya?)
Kirain, Bardjan yang dulu udah cukup lugas ketika berkisah lewat puisi, tapi yang sekarang malah lebih apa adanya lagi.
Kirain, Bardjan yang dulu udah “mengupas” bagian-bagian terdalam dirinya, eh ternyata ada layer-layer lain yang belum diperlihatkannya.
Kirain, poros cerita Bardjan akan berputar di situ-situ aja, eh nggak taunya ada babak baru yang nggak kalah kompleks! Masih seputar ibukota dan carut-marutnya, mau itu cerita bahagia, cerita sedih, cerita manis, cerita pahit, terasa puisi mengekalkannya.
Kirain, Bardjan masih akan terkungkung dalam bentuk puisi lama seperti dulu, eh bagusnya sekarang malah main terabas sana-sini, bener-bener nunjukkin betapa siapa pun bisa sebebas-bebasnya, sesuka-sukanya berpuisi!
Kirain, buku keduanya ini akan meninggalkan bekas pahit dan sedih seperti karya pertama, nggak taunya sekarang lebih nano-nano, euy. Pengalaman dan perasaan apa pun seolah auto-tervalidasi dan patut dirayakan.
Coba baca tulisan favoritku deh, ada yang kamu suka juga? - makeup sex - blok m(enangis) 2 - ode pasca bercinta - kemiskinan urban - mata zak
Pokoknya, membaca puisi-puisi Bardjan tuh kayak mantengin Komunitas Marah-Marah di X but in a aesthetically pleasing way. 😂 Selalu dinanti!
Percobaan kedua Bardjan buat menyajikan potret-potret usaha bertahan hidup di Jakarta ini disampaikan lewat potret yang lebih jujur dan apa adanya, yang, sesuai judulnya, kebanyakan dilakukan dengan cara bercinta.
Mungkin Bardjan juga sudah capek terus-terusan meratapi kekalahan besar ala Ibu Kota/Air Mata begitu. Makanya, di buku ini ia mulai merayakan kemenangan yang cuma bisa sedikit-sedikit itu.
Tema yang lebih frontal lantas disertai dengan penyampaian yang tidak kalah blak-blakan: diksi dikeluarkan secara ceplas-ceplos sehingga bahasa gaul muda-mudi bisa menyembul dengan entengnya.
Dobrakan itu, ajaibnya, malah menjadikan puisi-puisi dalam check-in/check out mampu mengalirkan rasa-rasa yang lebih kaya alih-alih membuat bergidik.
akan selalu berterima kasih kepada Bardjan, karena tulisannya selalu memompaku untuk menulis. ia seperti merobekku untuk jujur. kalau umurku 30 nanti aku akan buat kaos dengan puisinya yang membahas umur tigapuluh. "tibatiba horoskop berhenti membacaku".
CICO alias check in check out merupakan buku puisi yang sangat luwes, blakblakan, & jujur. kejujuran tadi yang membuatnya menjadi puitis & memotret segalanya dengan seadaadanya. "yang penting kita hidup men"
puisinya tentang umur mendorongku membuat puisi tentang umur juga tetapi duapuluh lima di dalam buku puisiku menidurkan Bahaya.
puisiku yang berjudul kembang api / hotel harapan tua juga terinspirasi dari membaca tulisantulisan Bardjan di X.
akan re-read lagi nanti untuk buat review yang panjang.