Semua yang Bersifat Sementara Hanya Metafora merupakan buku kumpulan cerpen pertama Ibe S. Palogai. Kumcer ini memuat 10 cerita pendek yang ditulis dalam rentang 2023–2024, kecuali cerpen Singkat dan Manis dan Lawatan. Setiap cerita dalam buku ini menelusuri sisi-sisi kehidupan manusia yang kompleks, namun begitu nyata, dan kilas balik ke masa lalu yang sarat kenangan serta mengajak kita untuk menyusuri ingatan tokoh-tokohnya yang sarat makna.
Melalui gaya bahasa yang liris sekaligus sarat dengan nilai-nilai lokal yang kaya dan penuh makna, Ibe mengajak kita untuk menyelami kehidupan masyarakat Bugis, sekaligus membawa kita pada berbagai lapisan makna, menembus batas antara realitas dan simbolisme. Dalam cerita-ceritanya, Ibe menghadirkan karakter yang tampak akrab, namun sering kali mendapati dirinya berhadapan dengan dilema atau peristiwa yang memaksa mereka menafsirkan ulang makna hidup.
Karya ini tidak hanya menawarkan cerita, tetapi juga refleksi bagi pembaca untuk merenungi bagaimana waktu dan peristiwa mengubah kita, sekaligus menyadarkan bahwa dalam kefanaan tersebut ada kebijaksanaan tersirat. Semua yang Bersifat Sementara Hanya Metafora mengajak pembaca untuk melihat bahwa yang paling penting dalam hidup sering kali justru terletak pada yang tak kasatmata dan bersifat sementara.
Sebenarnya buku ini agak membingungkan. Sembilan dari sepuluh tulisan dalam buku kumpulan cerita ini amat terasa sebagai catatan pribadi hidup penulisnya. Jadi, aku kira, buku ini semacam kumpulan kisah hidup begitu. Namun, pada bagian akhir, dia menceritakan sesuatu yang lebih mirip fiksi daripada fakta. Maka, aku pun bertanya-tanya: ini sebenarnya buku (tentang) apa, ya?
Kalau menyitir dari pengantar di bagian belakang, buku memuat cerita pendek. Jadi, anggap saja bahwa semua cerita dalam buku ini memang fiksi. Bahwa ada kemiripan dengan cerita di dunia nyata, ya, anggap saja memang begitu niat penulisnya. Dan, dia berhasil dengan baik menarasikan kisah hidup yang amat personal itu menjadi sesuatu yang amat puitik.
Di situlah menariknya buku ini. Selain kemampuan menyajikan cerita personal yang terasa begitu berwarna dalam permainan kata-kata, dia juga berhasil mengaburkan antara imajinasi atau fakta. Bukankah itu salah satu bukti bagaimana penulisnya telah berhasil menyampaikan cerita, tak lagi terasa batas di antara keduanya.
Kumpuluan cerpen yang menyajikan perpaduan apik antara bahasa sastra yang indah dan nuansa lokal Bugis yang kental
#lintangbookreview
Baru belasan halaman membaca buku ini, aku udah ‘amaze’ berkali-kali dengan tema dan narasi yang digunakan Kak Ibe untuk menyampaikan makna dari setiap ceritanya. Setelah beberpa waktu lalu habis membaca buku puisi terbarunya.. aku senang sekali bisa lanjut baca buku kumpulan cerpen pertama beliau.
Buku ini berisikan sepuluh cerita pendek yang bersudut pandang orang pertama serta kisah yang saling terkait, mengupas masa lalu dan pencarian jati diri seorang pemuda. Kisah-kisahnya mengajak kita merenung tentang kompleksitas menjadi seseorang yang tumbuh dewasa, lewat nostalgia yang menjadi benang merah dan mengungkap bagaimana pengalaman masa lalu membentuk kepribadian seseorang.
Pembaca akan menemukan perbedaan pandangan antara anak-anak dan orang dewasa dalam melihat dunia di cerpen “Cerita yang Tidak Mapan”. Menemukan suka duka jatuh cinta, di umur berapapun dan di fase hidup manapun.. yang akan tetap membekas di cerpen “Lonceng”. Dan menapak-tilasi sejarah Kerajan Gowa dan Bone yang dipadukan dengan kontemplasi masa kini di cerpen “Waktu Telah Rusak”, serta rangkaian cerpen lainnya yang mengundang pembaca untuk merenungkan arti kehidupan.
Aku menikmati bagaimana cerita ini begitu kaya dengan nuansa budaya Bugis. Latar, peristiwa, dan kebiasaan yang digambarkan terasa dekat dengan kehidupan saya sehari-hari sebagai orang Bugis. Selipan nostalgia dan sejarah membawaku menemukan pengetahuan dan makna baru.
Buku ini tipis, tapi untukku tak bisa kuhabiskan dalam sekali duduk karena aku benar-benar harus mendalami gaya bahasa buku ini yang liris dan puitis. Untungnya, tak ada kata-kata sulit—yang biasa harus aku cari tau dulu artinya, karena penulis menggunakan kata-kata sederhana dan dibingkai sedemikian indah, emosional, dan metafora.
Overall, buku kumcer ini wajib ada di rak bukumu, apalagi kalian penyuka kesusastraan.. karya terbaru Kak Ibe ini jangan dilewatkan, ya
When I peeled its pages, I felt like I had been through someone's diary—someone's personal life, to be exact. It's so intimate, so close, like listening to an old friend share their journey by the riverbank while both of us admire the view and sip cups of our tea.
Turning its pages is full of anticipating stories as I don't know where it will lead me.
Moreover, some places mentioned in this book are unfamiliar, and they are in a faraway land I could call home. I'm most grateful to the author for allowing me to explore a local Sulawesi history rarely mentioned in history textbooks at formal schools.
A few places in the book also remind me of someone I knew.
This is a book of short stories filled with depth in each paragraph. A must read
salah satu buku sastra indonesia yang aku enjoy banget. pemilihan diksinya indah dan beneran tepat banget untuk setiap penggunaannya.
bukunya berisi cerpen tentang kompleksnya hidup manusia, mulai dari hubungan rumit antar ayah dan anak laki-lakinya. sampai tumbuhnya anak hingga ia mengalami life crisis saat pertumbuhan tersebut.
bahasanya baku tapi masih sangat enjoy dan mudah dipahami. overall suka dengan buku ini.
buku ini bikin aku lebih tertarik untuk baca sastra indonesia! :)
Baca diperjalanan pesawat gak sampe sejam dah kelar. Baru kali ini baca kumpulan cerita dari Ibe S. Palogai. Anehnya malah gak ada cerita yang berjudul sama dengan judul buku ini. Walau begitu aku melihat buku ini sebagai ungkapan banyak proses hidup penulis, dari kecil hingga dewasa. Tentu saja yang paling disuka judul pertama yaitu Aliran Kelahiran dan kedua, Aku Memasukinya dengan Senjata Api.
Buku ini berisi kumpulan cerpen sastra yang kaya akan gaya bahasa dan kosakata baru. Menceritakan tentang perjalanan hidup penulis dari kecil sampai besar, tapi karena ini kumpulan cerpen, jadi alurnya cepat dan terkesan patah dari satu cerita ke cerita lain. Cerita yg kusuka yang awal, di masa dia kecil. Ada yang sedih juga, yang menjelaskan hubungan antara anak laki-laki dan ayahnya. Lumayan untuk menghilangkan reading slump selama beberapa hari ke belakang
Cerita di 1 lini waktu tapi bercabang ke cerita lain & lainnya. Cerita yg ga fokus jadi membingungkan sebenarnya ini lagi bahas apa. Kupikir ini prosa/ puisi/ semacamnya tapi sampai akhir ternyata masih satu kesatuan cerita. Sekitar 4-5 halaman terakhir saya baca skimming. Susunan kalimatnya secara keseluruhan memang wah! tapi ternyata agak 'lelah' bacanya. Mungkin bukan genre saya 🙂 2,9/5⭐️
not slices of life. this book is more fractured (in a good way). mundane memories and "mini"-histories are woven together, reminding us (or me, at least) how the little things we often forget could be immensely impactful.
sebenernya emang cerpen biasa. tapi yang dongkrak itu diksi yang dipakai dan makna setiap bab dapet. jadi, kalau ada yang bilang "ga paham alurnya" ya karena ini cerpen, kumpulan cerita.
membaca buku ini seperti sedang mengintip buku diari seseorang ataupun isi kepalanya. rasanya seperti menjelajah pada kenangan dan segala pemikirannya. rasanya familiar dan unfamiliar sekaligus. makin ke belakang kita kayak lagi dikasih tahu rahasia terdalam keluarganya. 98 halaman isinya penuh narasi dan minim dialog. memakai pov orang pertama makanya kerasa kayak mengintip.
cocok buat killing time, baca setengah jam doang.. bacanya kayak lg baca kumpulan diary org random ya gitu sih nothing special, bagus bagus aja but not my cup of tea yea cheers