Juara 1 Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2023
Di hamparan tanah matrilineal pedalaman Sumatra, seorang lelaki asing dituntut mengikuti tradisi maskulin berburu babi. Tradisi itu kemudian menuntun si lelaki kepada obsesi dan kegilaan; melemparkannya kepada situasi asing dan baru; menjumpai mitos yang dikultuskan masyarakat setempat; dan menguak peristiwa pembantaian di masa silam. Di antara gegar budaya dan kegagalan beradaptasi, si lelaki juga berupaya menjawab dilema dari makna cinta yang sesungguhnya.
Saya mencoba menahan dan menamatkan novel ini, padahal benar ketika selesai prolog saya sudah tidak menyukainya (secara personal). Tetapi, saya harus menamatkan dan ingin tahu sebagus apa yang telah membuat juri mendapuknya sebagai pemenang sayembara novel DKJ ini. Jujur, ketika menutup halaman (dan ketika di tengah-tengah) saya lagsung bertanya: “Beneran ini yang menang sayembara? Apakah juri salah baca? Atau juri salah nomor dokumen? Seperti inikah kualitasnya?”
Bahkan saya berpikir penulisnya sedang hijrah sastra, orang yang baru selesai ikut workshop menulis dan dibanjiri rekomendasi buku sastra, sehingga semua-mua tumpah buku ini: pembunuhan, isu lokalitas, isu lgbt, isu 65, adegan sex! Namun, benarlah semuanya jelek sekali.
Ada beberapa poin:
1. Banyak hal tampak dirahasiakan dan sayangnya tidak dijelaskan sampai akhir: sosok Dokter Darti yang menurutku menarik harus diceritakan, sayangnya nggak. Kemudian tokoh aku menyebut dua sejarah tanpa sekali pun itu dibahas lagi. (lah emang kita akan tahu apa itu dua sejarahnya?)
…dan hal itu mengingatkanku kembali kepada masa lalu. Kepada dua masa lalu.(hal.31)
Saya sampai menandai hal ini dengan teks: menarik untuk ditagih. Sayangnya sama sekali nggak ada itu ini disebut. Hasrat untuk menyimpan rahasia seperti ini dikira pembaca bisa membaca isi kepala penulis kali ya… bahkan termasuk kalimat ayah mertuanya duduk di kursi empuk (asooooy, kenapa sih nggak disebut saja anggota DPR) —> bikin emosi untuk tidak dijelaskan secara terbuka. Sok iye dengan rahasia-rahasia. 2. Semua seperti kejutan dan intens untuk membuat plot twist: Adegan antara Leman dan Mak Utiah di bathtub rasanya hadir sekadar sebagai elemen kejut. Rasanya sedih sekali adegan queer menjadi seperti ini belaka. Kemudian lolosnya pembongkaran siapa di baik kematian Mak Utiah juga hadeeeeeeeeeeh. 3. Berburu babinya nggak ada dijelaskan lebih. 4. Agak aneh dengan blurb: tanah matrelinieal (tapi sama sekali ini nggak dibahas soal matrilineal dalam novel, seperti tidak penting itu disebut sebagai blurb). 5. Adegan seks antara tokoh aku dan istrinya: JELEEEEEEK! Sumpah ya, saya tidak menyukai adegan seks seperti ini. Nggak ada esensi anda menjelaskan sedetail itu dan sepanjang itu. Sama sekali nggak ada yang menarik dari segi bahasa. Malah sia-sia dan bikin male-gaze-nya kerasa. 6. Ada kejanggalan di halaman 149: katanya tokoh aku dijemput polisi. Tapi adegan selanjutnya kok beda… 7. Paya Nie jauh lebih baik.
Aku tidak menyukai novel ini. Penulisnya sangat berhasrat menyimpan rahasia-rahasia daripada menyajikan tulisan yang komprehensif. Menyinggung lgbt, isu 65, lokalitas tampak sekadar ingin dianggap sebagai “sastra”. Selesai membaca, saya berpikir apa kiranya yang bisa diolah kalau menghadapi teks seperti ini: sejarah dokter darti dan istri tokoh aku menarik dikulik, berburu babi dipanjangin, sejarah tokoh leman dikuatin (atau ya dibuat dua POV). Dan yang penting: please kalau bikin tokoh lgbt tidak setimpang ini doooong. Saya justru meragukan komentar juri sayembara novel DKJ: Kualitas kekriyaan yang tinggi, serta kepaduan dan keutuhan narasi menjadi kekuatan terbesar dari Tersesat Setelah Terlahir Kembali–satu hal yang membuat naskah ini menonjol dibandingkan semua naskah yang kami baca.
Saya jelas tidak menemukan kekriyaan tinggi dalam novel ini. Satu-satunya yang menarik bagi saya:
…memberi sebongkah roti tawar berisi belasan peniti. (hal.139)
Penafian: Saya menulis review panjang ini di HP jadi maaf kalau ada saltik.
Ketika sebuah buku sudah ditempel label juara, mau tidak mau pembaca akan membangun ekspektasi sendiri. Apalagi jika buku itu lahir dari Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), yang karya-karya pemenang sebelumnya seperti Orang-orang Oetimu dan Kereta Semar Lembu benar-benar memenuhi harapan. Namun, Tersesat Setelah Terlahir Kembali justru mengundang pertanyaan: apakah novel ini layak menyandang gelar yang sama?
Salah satu masalah utama novel ini, yang jarang dibahas, adalah kesulitan membuat sinopsis yang baik. Sinopsis seharusnya menjadi pintu masuk yang jujur ke dalam cerita, tetapi kalimat pembuka sinopsis ini justru menciptakan ekspektasi yang menyesatkan: "Di hamparan tanah matrilineal pedalaman Sumatra, seorang lelaki asing dituntut mengikuti tradisi maskulin berburu babi." Kata "hamparan tanah" membayangkan setting yang luas dan epik, tetapi kenyataannya, seperti diungkapkan dalam pertanggungjawaban juri DKJ, "Tersesat Setelah Terlahir Kembali secara konsisten menggawangi ceritanya dengan berpusat pada tokoh utama dan beberapa tokoh sampingan yang tinggal di satu wilayah yang berdekatan." Settingnya tidak seluas yang dibayangkan, dan adegan berburu babi pun terasa dipaksakan karena terasa singkat. Adegan ini sebenarnya bisa dihilangkan tanpa mengganggu alur cerita jika hanya diceritakan di depan dan hilang begitu saja. Sangat disayangkan karena menurut saya adegan ini menarik 😭
Kata "matrilineal" dalam sinopsis juga menciptakan ekspektasi yang tidak terpenuhi. Saya membayangkan akan ada intrik seputar perempuan dan sistem matrilineal, tetapi nyatanya, semua karakter perempuan dalam novel ini—istri tokoh aku (yang bahkan tidak diberi nama), Dokter Darti, dan Ibu Mertua—hanya menjadi tempelan. Mereka tidak memiliki agency atau karakter yang utuh. Male gaze terasa sangat kental, seolah-olah perempuan hanya ada untuk melayani narasi maskulin tokoh utama. Padahal, tema matrilineal bisa menjadi peluang untuk mengeksplorasi dinamika gender yang lebih kaya, tetapi sayangnya, peluang ini diabaikan.
Masalah lain adalah fetishisasi pengalaman queer melalui karakter Leman dan Mak Utiah. Hubungan mereka hanya dijadikan plot twist, tanpa diberi ruang untuk berkembang. Tokoh aku, yang awalnya terlihat adil karena menerima hubungan mereka, justru memperkuat stereotip dengan tidak memberikan agency pada Mak Utiah. Bahkan, ada bagian di mana narasi tiba-tiba beralih ke sudut pandang orang ketiga untuk menceritakan kisah Leman (yang sangat maskulin), tetapi hubungannya dengan Mak Utiah tidak dieksplorasi lebih dalam. Terasa disayangkan karena peralihan Leman dari tentara menjadi suami Dokter Darti lantas menjadi bersama Mak Utiah akan jadi menarik. Tapi semua tidak dijelaskan, karena itulah cerita ini menjadi terasa fetishizing. Sama seperti hubungan tokoh aku dan istrinya, yang hanya digambarkan secara dangkal: "Pokoknya tokoh aku cinta banget sama istrinya, percaya saja."
Novel ini juga menghadirkan beberapa peristiwa yang dibiarkan menggantung, seperti "pembantaian di masa silam" sampai "Dua Masa Lalu." Apakah ini mimpi tokoh aku? Atau bagian dari narasi yang sengaja tidak dijelaskan? Ketidakjelasan ini diperparah oleh ketidakkonsistenan sudut pandang. Meski menggunakan narasi orang pertama, penulis beberapa kali "terpleset" ke sudut pandang orang ketiga maha tahu, yang membuat cerita terasa tidak utuh.
Pertanyaan terbesar adalah: di mana letak "kualitas kekriyaan yang tinggi, serta kepaduan dan keutuhan narasi" yang disebutkan dalam pertanggungjawaban juri DKJ? Sebagai pembaca, saya justru menemukan ketidakpaduan dalam alur, karakter-karakter yang tidak berkembang, dan plotline yang dibiarkan menggantung.
Secara keseluruhan, novel ini masih layak dibaca, tetapi ia jauh dari sempurna. Beberapa puluh halaman tambahan mungkin bisa menyelamatkannya, memberikan ruang untuk mengembangkan karakter sekunder dan merapikan alur cerita. Namun, dalam bentuknya yang sekarang, Tersesat Setelah Terlahir Kembali hanya menjadi contoh bagaimana sebuah karya bisa jadi tidak padu meski menyandang gelar juara.
I started this book with such high hopes. It won the Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta award, after all. The cover was gorgeous, and the premise hooked me immediately. But oh my god, what a disappointment. They say, ‘don’t judge a book by its cover’ for a reason.
First, let’s talk about that awkward queer scene. It was so badly done it nearly made me bump my rating to 2/5 out of sheer pity. But no. Then came the sex scene. Who in their right mind wrote this atrocity? I can confidently say this is the worst sex scene I’ve ever read, even smut in AO3 fanfics written by 14 year olds is so much better than this. Probably worse than Icebreaker sex scene too. 🫤
The plot is another disaster. I know it’s supposed to be a mystery, but the entire story is just confusing for no reason. It’s like the author forgot they were supposed to make it engaging. Everything’s so vague and half baked, like they couldn’t decide what to focus on. Scenes that should’ve been tense just... sit there. Clues go nowhere. And don’t get me started on the characters. Zero depth, zero backstory, just cardboard cutouts moving through the plot. But the main character? Someone needs to lock this dude in a psychiatric ward. He’s not complex or interesting, just a straight up creepy pervert with zero redeeming qualities. Bro took the word ‘crazy’ literally. 😭🙏🏻
The only slightly decent thing was the language and dictionary aspects, and even that was barely worth 1 star. The rest? A solid 0.5.
After much deliberation, 1.5/5 feels right. Not bad enough to be truly memorable, not good enough to be worth anyone’s time. Hard pass. 😬✋🏻
2,5/5 jujur banyak gak ngertinya. bahkan di tengah baca, bolak-balik lihat belakang sampul untuk mastiin, “ini bakal nyeritain apa sih?”
“tanah matrilinieal” ternyata cuma untuk merujuk ke Sumatera Barat, bukan karena ada ikatan atau narasi mendalam yang hendak dijelaskan. “berburu babi” juga cuma untuk plot, yang jujur gak ngerti ada di situ untuk apa:( bahkan walaupun tanpa adegan berburu babi, kalau mau cerita soal Leman-Mak Utiah, masih bisa aja 😭 “menguak pembantaian di masa silam” cuma tempelan sejarah tok. gak ada yang dikuak, cuma disebut sambil lalu. gak dijelaskan konflik batinnya, atau terus apa setelah itu?
tokoh-tokoh yang banyak disebut (Dokter Darti, Bernawi?) juga gak dijelaskan lebih lanjut. bahkan kematian istri (yang katanya dicintai) itu selesai dalam 2 paragraf. padahal katanya “berupaya menjawab dilema dan makna cinta”. asli sampul belakang bukunya kaya marketing overclaim click bait.
tapi masih bisa menikmati buku ini karena gaya menulis & menarasikannya detail, dan pake sudut pandang pertama. tetep menarik dibaca kalo penasaran karya DKJ.
Buku ini memberikan pengalaman yang kusuka ketika menamatkannya: gumaman "wtf did i just read?"
Sebelum membaca aku sudah baca beberapa review yang kasih beberapa spoiler: adegan bathtub dan skizofrenia dua di antaranya. Aku juga menandai bagian-bagian yang dipertanyakan review-review sebelumnya. Dan di akhir aku juga ikut-ikutan tersesat. Kurasa hal demikian juga terjadi pada para dewan juri Sayembara DKJ 2023.
Tapi pembacaan, pada buku apa pun, sebenarnya tak semestinya berhenti di sana saja. Dan novel ini, adalah tipe yang mendesak untuk mendiskusikan apa sebenarnya yang ingin disampaikannya. Aku membandingkan beberapa hal yang kudapatkan dari review lain, kemudian menyambungkannya dengan pendapat pribadi. Aku jatuh pada fase benci-suka-benci-suka-benci hingga memutuskan bahwa aku cukup suka. Cukup, karena ada beberapa hal yang mengurangi kesukaanku dan membuatku memutuskan mengurangi satu rating.
Untuk memahami cerita ini, peran prolog-epilog dan pemahaman atas tanda yang berusaha disampaikannya menjadi penting. Pada dua bagian itu, tokoh Aku menyebutkan bahwa ia menghabiskan waktu dengan menulis cerita. Lantas apa yang dituliskannya? Ya, cerita tokoh Aku-Leman-Mak Utiah yang terbentang dari bab 1-13. Dan ini menjadi kunci.
Cerita yang dikisahkan pada bab 1-13 terasa seperti mimpi buruk yang tak ada habisnya. Setamat cerita, aku jadi menyangsikan, apakah cerita itu benar-benar berasal dari pengalaman aku? Apa cerita itu kenyataan konkret yang benar-benar terjadi? Tapi, dari prolog maupun epilog tak ada indikasi yang mengatakan demikian. Ada beberapa detail yang tersambung dengan cerita itu, tapi lebih banyak yang kabur. Dan ini membuatku berkesimpulan bahwa cerita yang ditulis oleh tokoh Aku telah mengalami distoris. Pengalaman nyata dan tak nyata telah berpilin hingga mengaburkan batasan antara keduanya.
Kemudian muncul wacana tentang skizofrenia. Ciri-ciri skizofrenia ini tampil ketika beberapa kali tokoh aku mengalami halusinasi dan delusi seperti melihat sosok Leman ketika sedang bercinta dan mendengar bisikan-bisikan. Kemudian kepribadian tokoh aku yang rapuh dan berubah-ubah, perasaan teralienasi, turut menjadi indikasi. Dan ini yang paling penting: keberadaan tokoh Leman. Leman ini menurutku, juga termasuk delusi tokoh Aku. Leman ini adalah bagian dari dirinya sendiri. Tokoh Leman adalah bayangan hitam, yang awalnya menggentarkan tokoh Aku. Hingga terkuak bahwa ia adalah sosok yang rapuh, ini mencerminkan bahwa ia sebenarnya adalah bayangan hitam yang berisikan bagian rapuh dalam dirinya. Leman dan tokoh Aku adalah tokoh yang saling mirroring. Sama-sama sumando, sama-sama beristri dokter. Rumah mewah adalah manifestasi kemewahan yang tak mampu dimiliki oleh tokoh aku namun dimiliki oleh dirinya yang lain.
Setelah menyambungkan kisah di luar prolog-epilog dengan skizofrenia itulah semua cukup masuk akal. Cerita yang dituliskan tokoh aku, adalah cerita dari kepala seorang skizofrenia. Yang batas-batas logikanya melebur. Hal ini semakin jelas ketika pada epilog, tokoh aku bercerita dengan font miring semua, seperti bisikan-bisikan yang didengar tokoh aku di bab-bab sebelumnya.
Meski menawarkan pengalaman yang seru. Ada beberapa hal yang bagiku merusak dalam novel ini. Salah satu yang paling utamanya adalah ini: bathtub. Penggunaan bathtub dalam cerita ini terasa out of nowhere dan mengurangi nuansa cerita. Aku sampai searching apakah rumah jengki menggunakan bathtub dan tak ada yang menyebutkan demikian. Apalagi jika ditilik, budaya mandi di Indonesia belum terpengaruh oleh bathtub ketika rumah jengki sedang populer-populernya. Sementara itu tokoh aku secara sadar menggunakan istilah bathtub. Nah loh?
Yang lain adalah inkonsistensi penggunaan kata ganti. Ketika berbicara, penggunaan kata ganti orang pertama: saya dan aku, berganti-gantian timbul. Awalnya aku abai saja, namun, waktu sampai di halaman 45, di bagian dialog tokoh wanita, keningku makin mengerut. Penggunaan kata ganti orang pertama ini sebenarnya bisa saja kalau dengan tujuan tertentu. Namun, jika penggunaannya terasa tanpa tujuan apa-apa, seperti yang terdapat pada novel ini, sama sekali salah! Bayangkan, tokoh wanita di halaman 45 itu menggunakan kata ganti aku dan saya dalam satu kalimat! Aneh banget. Apalagi kalau membayangkan yang digunakan bukan saya-aku, tapi saya-gue. Inkonsistensi semacam ini makin tak termaafkan!
Sudah dulu, capek. Nanti kalau masih ada yang mau disambung bakal disambung.
Dengan ide cerita yang menjanjikan, menurut saya eksekusinya begitu berantakan. Ada beberapa cerita yang tidak membantu menjelaskan plot atau alur cerita, beberapa plot menimbulkan pertanyaan pribadi yang mengganggu (Cth: Selama tinggal di rumah Leman, tidak ada 'kah warga lain yang menegur atau penasaran?), dan saya sangat terganggu sekali melihat penggunaan kata "acuh" tidak sesuai dengan peruntukkannya. Terbalik antara "tidak acuh" dan "acuh".
Antara saya yang gagal menangkap makna dari novel ini atau memang selera DKJ yang bertentangan dengan selera saya. Tapi, Juara 1 Sayembara Novel DKJ 2023? Saya gagal menemukan jawabannya kenapa novel ini bisa layak terpilih. Tidak terlalu buruk, tapi terpilih menjadi Juara 1 adalah pertanyaan besar untuk novel ini.
Saya memulai membaca novel ini dengan usaha penuh untuk tidak membandingkan dengan karya orang lain, supaya saya benar-benar mencerna proses cerita. Mungkin satu kesalahan yang saya buat yaitu membaca review-review dari pembaca lain yang lebih dulu selesai membaca buku ini. Tapi, saya tetap berusaha untuk mengabaikan dan kembali ke tujuan awal untuk tidak membandingkan dan cukup menikmati alur cerita yang ada.
Jika dibilang buku ini jelek, seharusnya tidak juga karena oleh para ahli sastra buku ini dipilih sebagai pemenang Sayembara Novel DKJ tahun 2023. Namun, penilaian pribadi saya semata dari sudut pandang pembaca awam yang pandangan mengenai sastra dan penulisan novel sangat begitu minim. Jadi yang saya rasakan setelah selesai membaca novel ini adalah ketidak mengertian tentang apa maksud dan makna dari cerita yang dituliskan di novel ini. Apakah saya tersesat seperti judulnya? Jika iya, penulis berhasil membuat seorang pembaca sampai pada titik itu.
Saya merasa ide cerita yang ingin disampaikan penulis terlalu banyak, tidak dikembangkan secara maksimal dan menjadi tumpang tindih. Bahkan ditengah-tengah proses membaca saya bertanya : Ini mau dibawa kemana sebenarnya? Dan setelah selesai, saya mendapati "ooh" yang menggantung tidak menemukan titik temunya. Bahkan untuk menulis ulasan ini, saya mendiamkan otak saya berpikir cukup lama untuk menimbang bagaimana saya harus menyampaikan pendapat atas perasaan saya seusai membaca.
Seandainya saja saya boleh memberikan saran (dari sisi pembaca awam), daripada terlalu banyak yang akan disampaikan namun tidak maksimal. Mungkin boleh satu saja isu yang jadi bahasan utama, selanjutnya boleh diturunkan ke detail-detail kecil yang bisa memberikan dukungan terhadap isu utama. Untuk teknis dan gaya kepenulisan serta teori-teori yang mendukung cerita dalam novel ini sudah banyak disampaikan pembaca lain yang lebih capable. Saya murni hanya mengomentari novel ini berdasarkan pengalaman baca. Sehingga pendapat saya bersifat personal dan bisa saja akan berbeda dengan pembaca yang lain.
Bila Kau Terobsesi pada Rumah Tua dan Orang Gila yang Menghuninya Oleh Ragdi F. Daye
“Kau memang memimpikannya. Jangan berpura-pura bodoh tidak mengingatnya; suara tembakan, desing peluru, orang-orang tertawa dan menangis, derap langkah kaki yang berlari ketakutan, anjing-anjing yang menggonggong. Tentu saja kau juga memimpikan wajah lelaki itu. Kepala bertanduk rusa. Mata cekung yang tajam. Tulang pipi yang menonjol.”
Judul novel ini sangat menggoda, “Tersesat Setelah Dilahirkan Kembali”. Tersesat adalah sebuah kondisi yang menakutkan, kehilangan arah sehingga melenceng dari tujuan, berhadapan dengan marabahaya, dan bisa saja tidak kembali dalam keadaan selamat. Namun ganjilnya, tersesat juga mempunyai daya pukau begitu kuat, menarik-narik jiwa madar untuk menentang arus, mengabaikan tegah, dan terjebak di dalam kesalahan berulang—sengaja tersesat! Terlahir kembali juga merupakan frasa yang seksi; begitu banyak persona yang ingin terlahir kembali, sebut saja terlahir kembali setelah tersesat dalam kesalahan yang tak terampuni, misalnya.
Bagaimana saya tak akan tertarik membuka halaman demi halaman buku ini? Blurb di sampul belakang buku tak kalah merayu: Di hamparan tanah matrilineal pedalaman Sumatra, seorang lelaki asing dituntut mengikuti tradisi maskulin berburu babi. Tradisi itu kemudian menuntun si lelaki kepada obsesi dan kegilaan; melemparkannya kepada situasi asing dan baru; menjumpai mitos yang dikultuskan masyarakat setempat; dan menguak peristiwa pembantaian di masa silam. Di antara gegar budaya dan kegagalan beradaptasi, si lelaki juga berupaya menjawab dilema dari makna cinta yang sesungguhnya. Tak cuma blurb yang keren, foto profil dan bionarasi singkat sang pengarang juga sangat paten: Yoga Zen adalah penulis yang lahir di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Naskah novel pertamanya, Tersesat Setelah Terlahir Kembali, memenangi Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2023.
Ada tiga hal yang menurut saya pesona kunci dari novel bersampul biru pudar dengan ilustrasi samar wajah manusia tirus kerempeng menyerupai tengkorak ini: rumah jengki yang eksotik, anjing pemburu babi, dan gejala skizofrenia pada tokoh (-tokoh) cerita. Ketiga hal ini saling berpilin, berjalin, berpulun-pulun hingga menjadi tragedi bathtub berdarah di bab sembilan.
Rumah Jengki adalah gaya arsitektur modernis yang berkembang di Indonesia pada akhir 1950-an hingga awal 1960-an, menggantikan dominasi desain kolonial Belanda. Dipengaruhi oleh arsitektur Amerika pascaperang, gaya ini mencerminkan semangat kebebasan rakyat Indonesia. Ciri khasnya meliputi bentuk asimetris, sudut tajam, atap unik, serta fasad dan jendela dengan desain tidak konvensional. Rumah Jengki menolak bentuk geometris khas arsitektur kolonial dan menjadi simbol perubahan serta kebangkitan identitas nasional dalam desain bangunan.
Di dalam novel ini—lelaki asing si tokoh cerita yang saking teralienasinya tidak diberi nama oleh pengarang—melihat sebuah rumah mewah berasitektur jengki di kampung halaman istrinya (Kota K) ketika berjalan-jalan membawa anjing peliharaan. Tak hanya rumah jengki itu yang menyedot perhatiannya, seorang lelaki lain—parlente namun dikatakan orang tidak waras—yang menghuni rumah itu seorang diri membuat si lelaki asing terobsesi. Rumah jengki itu sangat mencolok, berdiri megah di dekat pohon beringin yang ‘ditunggui’ makhluk astral Inyiak Rampai. Kehadiran lelaki gila pensiunan tentara bernama Leman yang tinggal di sana menjadi paket lengkap yang membuat si lelaki asing tidak menuruti larangan istrinya. Galibnya anak kecil yang semakin dilarang semakin penasaran.
Berburu babi di Minangkabau merupakan tradisi turun-temurun yang bertujuan untuk memberantas hama babi yang merusak lahan pertanian. Kegiatan ini umumnya dilakukan oleh laki-laki dewasa dan menjadi bagian dari identitas mereka. Dalam pepatah Minang disebutkan, "baburu babi suntiang niniak mamak, pamenan dek nan mudo dalam nagari", yang menunjukkan bahwa berburu babi adalah kebanggaan bagi pemuka adat dan hiburan bagi para pemuda. Selain menjadi ajang kompetisi keterampilan dan keunggulan anjing pemburu, tradisi ini mencerminkan dinamika masyarakat Minangkabau, di mana individu bersaing untuk memperoleh pengakuan, status, dan kedudukan dalam adat. Lebih dari sekadar perburuan, kegiatan ini juga dianggap sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas keseimbangan alam dan perannya dalam kehidupan.
Cerita dalam novel ini tak lepas dari ritual berburu babi, lengkap dengan anjing peburu yang mendapat perhatian dan kasih sayang induk semang melebihi keluarga sendiri. “Kau harus punya anjing, Sayang!” (hal. 6) kata istri si lelaki asing narsis bergaya flamboyan sebelum mereka menikah seolah anjing adalah prasyarat untuk dapat diterima sebagai bagian koloni. Hal ini dipenuhinya dengan memelihara seekor anjing yang dinamai Taro serta anjing pemberian sang mertua benama Poli. Kedua anjing ini kelak memicu konflik yang membuat si lelaki menunjukkan gejala skizofrenia mengalahkan veteran tidak waras di rumah jengki.
Menurut situs holodoc.com, skizofrenia adalah penyakit gangguan kejiwaan kronis yang terjadi ketika pengidapnya mengalami halusinasi, delusi, kekacauan dalam berpikir, dan perubahan sikap. Umumnya, pengidap gangguan kesehatan mental ini menunjukkan gejala psikosis, yaitu kesulitan membedakan antara kenyataan dengan pikiran pada diri sendiri. Salah satunya skizofrenia paranoid yang didominasi gejala delusi dan halusinasi. Perilakunya sering tampak waspada, curiga, dan mungkin bersikap defensif atau agresif.
Berlapis-lapis realitas bersiliweran di kepala si lelaki asing; mengalami déjà vu sewaktu ikut berburu babi, dia seperti mendengar dan melihat objek-objek di masa lalu di daerah perbukitan dan lembah sekitar waduk yang terkait dengan peristiwa pembantaian oleh militer, mimpi-mimpi dan delusi ketika dia menggauli istrinya, suara-suara yang terus berbisik, “Tidak. Kehebatan itu muncul berkat perasaan benci yang begitu kuat. Dan kau sadar bahwa itu cuma bersifat sementara. Setelah kau kembali bergulat dengan kegelisahan. Kilat dan tembakan. Kau coba pejamkan mata dan berusaha keras untuk tidur. Gelap. Wajah itu kembali terbayang dalam kegelapan...” (hal. 89), kilasan-kilasan ingatan yang membentuk paralelisasi kehidupannya dengan sang istri yang berprofesi sebagai dokter dan mati muda dengan kehidupan Leman yang juga memiliki istri dokter, tiba-tiba pulang ke kota kelahiran dengan lelaki yang diakui sebagai suami, lalu mati muda pula tanpa keturunan, serta kehidupan Mak Utiah alias Bernawi yang mengaku pahanya cacat berlubang karena diparok anjing berbulu loreng bernama Sugeng yang identik dengan seseorang.
“Aku merasa seperti mengenal hutan ini, dan setiap tumbuhan yang tumbuh di dalamnya seakan menjadi bagian dari diriku dan hal itu mengingatkanku kembali kepada masa lalu. Kepada dua masa lalu,” (hal 31). Apa yang sesungguhnya terjadi? Anda akan menemukan fakta mengejutkan apabila sampai membaca ke bab sepuluh.
Yoga Zen dengan cerdik menyisipkan berbagai isu sensitif dalam labirin peristiwa novelnya, seperti kekerasan seksual dan pembungkaman di sekolah, pemujaan pada sosok mitologis di negeri berbudaya religius, hakikat cinta perilaku menyimpang, pembantaian massal dalam kemelut politik, dan gangguan kesehatan jiwa yang menjadi ancaman laten masyarakat modern. Rahasia-rahasia yang menempel ke tokoh-tokoh unik; Leman, Mak Utiah, Oho, Dokter Darti, Buya Roes, Haji Muncak, Kapten Sujoso, Siyo Gagok, dan seekor kucing kelabu tua bernama Qor. Benar-benar gila parah! Sungguh wajar rasanya bila nanti Marjin Kiri dengan Aliansi Penerbit Independen Internasional menerjemahkan novel ini. []
Keterangan Buku
Judul Buku : Tersesat Setelah Terlahir Kembali Penulis : Yoga Zen Penerbit : Marjin Kiri Cetakan 1 : Januari 2025 Tebal : iv + 170 hlm; 14 x 20,3 cm
jujur baca buku ini nggak membutuhkan waktu lama, hanya 2 hari sambil nyiapin pameran pengkhianatan reformasi dan HUT ke-12 SMI. meski sebentar, tapi ada kali kubaca bolak-balik tiap ada bagian yang menurutku membingungkan karena emang semembingungkan dan semenggantung itu!
dan ya Allah, aku pikir hanya aku yg merasa tersesat saat baca buku ini. rupanya setelah baca review di goodreads ini aku ketawa bgt..... hampir semua pemberi review juga merasa yang sama!
jujur iya, ada banget ekspektasi baca novel juara sayembara DKJ setelah baca kereta semar lembu-nya zaki yamani dan orang-orang oetimu-nya felix k. nesi, tapi baca buku ini... emang bener-bener bikin aku tersesat! XD
ketika ada yang ngasih bintang 5 di reviewnya, penasaran banget sudut pandang apa yang ia kasih untuk buku ini sehingga bisa memberi bintang yang amat banyak. akan kubaca setelah aku upload review ini.
Heran juga kenapa buku ini buku ini hanya mendapatkan bintang 2,42 di Goodreads. Menurutku, dia berhak mendapat nilai lebih tinggi. Paling tidak 3,5.
Sebab, buku ini menyajikan cerita segar tentang dilema seorang laki-laki muda di dunia matrilineal. Laki-laki yang terjebak dengan situasi baru di lingkungan keluarga istrinya, di mana dia harus tinggal sebagai bagian dari sistem perkawinan yang mengikuti perempuan.
Tradisi memelihara anjing dan berburu mengantarkan tokoh aku pada misteri tentang tetangganya, Leman, seorang pensiunan yang misterius. Ada luka batin di masa lalu Leman sebagai seorang tentara yang terlibat dalam pembantaian orang-orang komunis. Ada juga pergulatan tentang dendam dan cinta.
Aku sih sangat menikmatinya, termasuk membayangkan lebat hutan tempat berburu babi, amis darah di pasar daging, dan gairah percumbuan di ranjang meski hanya satu adegan. Karena itu, aku kasih bintang 4.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Agak kaget pas liat ratingnya yang ternyata di bawah tiga. Terlebih, novelnya ini menjadi pemenang Sayembara Novel DKJ. Aku rasa ada yang unik dari novel ini sehingga juri memutuskan novel ini sebagai pemenangnya.
Kisah di novel ini tidak berfokus pada kegiatan buru babi saja, tapi juga tentang hubungan Aku dengan beberapa karakter di novel ini. Aku rasa, ini yang dihighlight oleh penulis. Sejauh yang aku baca, hubungan yang paling disorot di novel ini adalah hubungan tokoh Aku dengan Leman, Mak Utiah, serta (sedikit tentang) ayah dan ibu mertuanya.
Membaca novel ini seperti dipaksa harus memahami semua cerita dari sudut pandang tokoh Aku. Mungkin awal mula kenapa dia menjadi aneh itu dimulai saat ia mengikuti kegiatan buru babi perdananya. Semua berjalan begitu saja. Tokoh Aku yang awalnya penasaran dengan Leman, malah berubah menjadi membencinya (sampai ingin membunuhnya) karena Leman yang telah membunuh Poli (salah satu anjing kesayangannya). Bagaimana tidak, bagi para pemburu babi, anjing-anjing mereka sudah menjadi bagian dari hidup mereka. Itulah kenapa ayah mertua tokoh Aku sangat marah besar ketika tahu kalau Poli mati.
Saat membaca prolog, tadinya aku pikir ini akan menceritakan tentang Leman. Tapi ternyata mlah menceritakan tokoh Aku. Pada bagian epilog juga tokoh Aku malah mengatakan kalau ia menulis untuk meredam semua kenangan dan mimpi buruknya.
Soal adegan bathtub, jujur saja ini menjadi salah satu plot twist yang membuatku cuma bisa bengong (edan memang). Belum lagi part menuju ending, beneran mindblowing. Maksudku, kok bisa kepikiran sampe ke sana? Tapi sebenarnya saat menuju pertengahan cerita sudah ada hintnya. Terakhir, perihal dokter Darti, menurutku ini salah satu plot hole yang cukup disayangkan. Mungkin karena aku cukup penasaran dengan kisah dokter Darti itu sendiri.
Setelah menamatkan novel ini dan mengingat kembali beberapa hal yang, aku jadi berasumsi kalau Leman adalah halusinasi tokoh Aku. Karena ada beberapa kesamaan antara Leman dengan tokoh Aku: sama-sama memiliki istri seorang dokter, keduanya mengonsumsi obat yang sama, dan mereka berdua dicap gila. Belum lagi dengan obsesi tokoh Aku untuk membuktikan keberadaan sosok Leman.
Novel yang benar-benar membuatku mikir. Aku rasa aku ikutan tersesat dalam semua cerita tokoh Aku. Apa mungkin tokoh Aku terlahir kembali menjadi sosok Leman? Idk.
"Tersesat Setelah Terlahir Kembali" (TSTK), novel yang mencoba mengusung etnografi Minangkabau. Setidaknya, usai menyelesaikan buku ini, saya–dan pembaca–bakal mendapatkan sejumlah istilah-istilah baru yang ada di sana. Di samping itu, pembaca juga mengenal lebih jauh perihal tradisi tanah Minang, yakni berburu babi, yang identik dengan kehidupan sosial laki-laki di wilayah tersebut.
Tidak cukup memberikan referensi, TSTK turut menyisipkan berbagai isu-isu sensitif, seperti persoalan kesehatan mental yang bisa kita anggap sebagai ancaman untuk kehidupan modern dan serbacepat saat ini; pilihan orientasi seksual yang berbeda dari kebanyakan; pelanggaran HAM berupa pembantaian para terpidana yang diduga komunis; adanya potensi kekerasan seksual dalam dunia pendidikan serta ketakutan para korban untuk bersuara; menyentil kepolisian yang cenderung tak acuh terhadap laporan–bahkan yang setingkat pembunuhan–hingga kepercayaan masyarakat terhadap sosok mistis di daerah yang terkenal kental religiusnya.
Namun, isu-isu sosial yang bisa saya dapatkan itu tergilas dengan banyak hal yang mengganjal. Saya merasa penulis seolah enggan untuk membeberkan kisahnya, menutup-nutupinya hingga memunculkan banyak pertanyaan. Saya pahami jika pembaca tidak mululu dijejali cerita secara gamblang. Terkadang memang memerlukan 1-2 hal yang sengaja ditinggalkan untuk mengajak pembaca berdiskusi atau memberikan akhir terbuka (open ending) agar pembaca melatih interpretasinya.
Namun, dalam novel ini, keseluruhan ceritanya membingungkan, benar-benar membuat pembaca tersesat dalam arti sesungguhnya.
Premis yang ditawarkan cerita ini sebenarnya menurut saya pribadi adalah cukup unik dan penasaran. Meski di awal saya lumayan kesulitan masuk ke dalam cerita. Cerita ini juga mengangkat tradisi dan kekhasan budaya di Sumatra Barat barangkali.
Narasi digambarkan cukup baik dan detail. Hanya saja, entah kenapa masih banyak hal yang janggal dan terkesan tanggung. Seperti untuk apa ada perburuan babi di cerita ini? Rasa-rasanya sekadar lewat semata. Lalu, saya masih tak cukup menangkap niat Mak Utiah melakukan semua ini dan diam-diam tak menyukai si ‘Aku’? Sejujurnya, cerita ini cukup dapat dinikmati terutama terasa tegang saat si ‘Aku’ ingin melancarkan aksinya ke rumah Leman. Namun, di akhir cerita, saya merasa ada beberapa hal terkesan terlalu bergegas, tak cukup mendalam meninggalkan pemahaman yang berarti. Sangat disayangkan, mengingat premis cukup unik dengan tokoh-tokoh yang tak kalah berkarakter unik pula.
Mungkin boleh jadi saya perlu membaca ulang, untuk dapat benar-benar mengerti maksud yang ingin disampaikan cerita ini.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Aku suka tema yang diangkat penulis. POV dari orang dengan gangguan jiwa yang punya daya tilik diri yang rendah. Jadilah dia bercerita tanpa mengenal orientasi waktu, flight of idea, kadang tidak bisa dipercaya. Sayangnya saya hampir tersesat dan sedihnya tidak terlahir kembali
Kalimatnya padu, tiap bab terasa padat, namun beberapa kali ikatan antar bab yang menjadi kendalanya. Bukan tidak ingin menjelaskan, mungkin sebuah kesengajaan yang dilakukan oleh penulis. Tapi, saya menikmati membacanya.
Sulit memberikan penilaian terhadap buku ini tanpa membandingkan dengan buku pemenang Sayembara Novel DKJ sebelumnya. Dengan formula misteri yang disodorkan di prolog, cukup membuat penasaran dan menyelesaikan buku ini hingga akhir. Namun sayang, ada beberapa misteri yang tak terjawab. Apa yang terjadi dengan dokter Darti?, dua masa lalu? , bagaimana dengan bayi yang mati?