Jump to ratings and reviews
Rate this book

Kereta-Api yang Berangkat Pagi Hari

Rate this book
"Roman pertama yang ditulis Kuntowijoyo menjelang usia 23 ini dapat dianggap sebagai realis, sekaligus historis, tetapi pemuda yang kelak melontarkan kredo “Maklumat Sastra Profetik”, berhasil menghindari sentimentalisme heroik, sehingga Kereta-Api yang Berangkat Pagi Hari tidak menjadi cerita yang mengisahkan ‘revolusi fisik’ secara sepihak. Selain adegan memasang kawat dinamit untuk meledakkan jembatan, berikut ledakannya, tiada adegan laga sepanjang roman ini, selain konflik pribadi para peran sendiri.

Dalam konteks masa terbit, meski roman ini berkisah tentang situasi 1949, relevan pula sebagai tanggapan situasi penuh konflik 1965-1966."
— Seno Gumira Ajidarma

"Sampai di sini saja saya sudah sangat girang. Apalagi jika akhirnya Kereta-Api yang Berangkat Pagi Hari yang selama ini dianggap hilang itu benar-benar bisa dibangkitkan dari obskuritasnya. Itu pasti akan jadi hadiah besar bagi sastra Indonesia. Dan, untuk saya pribadi, mitos besar itu barangkali akan segera menjadi sejarah.”— Mahfud Ikhwan

132 pages, Paperback

Published January 1, 2025

3 people are currently reading
36 people want to read

About the author

Kuntowijoyo

39 books133 followers
Kuntowijoyo was born at Sanden, Bantul, Yogyakarta. He graduated from UGM as historian and received his post-graduated at American History by The University of Connecticut in year 1974, and gained his Ph.D. of history from Columbia University in year 1980.

His father was a puppet master (dalang) and he lived under deep religious and art circumstances. He easily fond of art and writings and became a good friend of Arifin C. Noer, Syu'bah Asa, Ikranegara, Chaerul Umam, and Salim Said.

His first work was "Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari".

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
6 (25%)
4 stars
12 (50%)
3 stars
5 (20%)
2 stars
0 (0%)
1 star
1 (4%)
Displaying 1 - 9 of 9 reviews
Profile Image for Teguh.
Author 10 books333 followers
January 19, 2025
Sebenarnya memang tak ada bedanya, apakah ada perang atau tidak, orang selalu terancam oleh kematian yang gampang saja datangnya. Di mana saja ada kemungkinan untuk mati. Dan betapa cepat orang menyesuaikan diri dengan keadaan. Mereka tak pernah terkejut oleh kabar-kabar kematian. (hal.51)



Ketika isu akan ada novel Pak Kunto (yang sering disebut sebagai mitos lantas ditemukan dan berhasil direstorasi) akan terbit jelas tertarik. Makin tertarik ketika mendengar cerita di balik naskah ini. Naskah pertama yang ditulis Pak Kunto ketika berusia awal 20-an, dan terbit sebagai cerita bersambung di majalah Djihad. Menariknya adalah naskah ini akan direstorasi dari artefak (meminjam istilah SGA di catatan editor buku ini) yang tersimpan di microfilm. JELAS SAYA GEMBIRA, senang akan menjadi bagian pembac artefak yang sudah rapi dan “bisa dibaca umum.”

Ceritanya sangat Pak Kunto: perkampungan dengan “pemantik persoalan” yang tampak biasa, namun sejatinya menyimpan layer persoalan masyarakat lapisan bawah. Suatu pagi telegram datang untuk Kakek Dulgapar: sayangnya Kakek Dulgapar telah wafat dalam peristiwa peledakan jembatan, telegram itu mengabarkan kalau anaknya, Rahman, akan pulang setelah bertahun-tahun tidak pulang. Kampung jelas kaget.

Latar perang menonjol, dengan simbol peradaban yang menuju kemajuan berupa kereta api dan pabrik gula. Desa itu ceritanya menjadi ujung pemberhentian kereta api. Jelaslah ini bukan sekadar cerita sempalan perang semata. Kondisi masyarakat pedesaan pascaperang, kemajuan yang disaksikan Rahman pasca meninggalkan kampung lama, juga bagaimana pertentangan kelas itu mulai muncul. Misalkan bagaimana anak perempuan Pak Asad yang diam-diam ingin dilamar oleh Letnan Harun, sedangkan Letnan Harun adalah orang di balik peledakan jembatan yang menewaskan Kakek Dulgapar--yang pernah berjanji kepada Pak Asad untuk saling mengawinkan anak perempuan Pak Asad dan Rahman, bujang Kakek Dulgapar. Semua desa itu berubah: namun ada ironi yang mungkin ini keindahan yang ingin dipotret. Ada yang tidak berubah meski pasca perang dan sedikit kemajuan memasuki kampung itu: yakni sikap gotong royong masyarakat kampung dan rasanya keguyuban.

”Kita baru lahir dari perang.”(hal.98)


Ceritanya memang tampak begitu saja. Tapi kalian HARUS membacanya sebab ini adalah naskah yang seperti artefak dan bisa dibaca umum. Bagaimana kita bisa membaca usaha kerasa tim penerbitan dan mencoba menghadirkan naskah yang utuh, tapi yaaa tetap ada yang rumpang dan hal itu dijelaskan dalam catatan kaki pada setiap kerumpangan itu. Menarik dan kita apresiasi tertinggi kepada seluruh kerabat kerja: bahkan tampilan bukunya snagat mewaaaaah.
Profile Image for Alfin Rizal.
Author 10 books50 followers
January 22, 2025
Dulu waktu belajar menulis di Radiobuku Jogja, memang pernah dengar cerita kalau ada novel pertamanya Pak Kunto yang hilang tak terselamatkan. Novel itu ditulis ketika usia Pak Kunto menjelang 23, dan dimuat dalam format cerbung (cerita bersambung) di sebuah koran harian Dhihad pada 1966. Jadi, begitu lihat poster rencana penerbitan novel Pak Kunto yang konon tak terselamatkan itu, rasanya bersemangat sekali untuk membaca dan memilikinya.

Prolog yang ditulis SGA menggambarkan proses restorasi naskah ini. Bahwa memang ada sejumlah kata yang tak terbaca dan beberapa bagian kemungkinan hilang. Namun, tim tiak hendak mengisi atau menyempurnakan gubahan Pak Kunto atas nama kenyamanan konsumen pasar. Katanya, intervensi yang bisa dilakukan hanyalah koreksi ejaan, saltik, atau penyesuaian tanda baca. Setuju. Toh secara umum tetap bisa dibaca/pahami alur, konflik, dan penokohannya.

Sebuah telegram datang untuk Dulgapar yang sudah mati. Telegram itu dari Rahman, anak Dulgapar yang akan pulang—setelah bertahun-tahun tak pulang. Karena pegawai pos tak mau kembali membawa telegram itu lagi, diterimalah telegram itu oleh Asad, tetangga serta sahabat lama Dulgapar. Mereka berencana berbesan dengan mengawinkan anak mereka satu-satunya. Lalu berkilas baliklah cerita itu ketika perang masih terjadi, sebelum kematian Dulgapar hingga kepulangan Rahman yang agak dramatis.

Waktu yang dirujuk di novel ini mungkin tahun 1945-1949. Tempatnya di sekitaran Ngawonggo, Ceper, Klaten, dekat Surakarta. Citraan tahun segitu kuat sekali di novel ini. Tahun-tahun setelah kemerdekaan. “Orang telah biasa berteriak merdeka pada siapa saja.” (hlm. 76)

Hal yang juga kurasakan di novel ini, setidaknya untukku, ialah bagaimana Pak Kunto juga ingin menunjukkan cara orang kampung menghadapi kehilangan dan segala jenis kesedihan yang menimpa: Gotong royong dan saling bercerita. Misalnya ketika Rahman mendapati rumahnya tinggal retuntuhan dan baru sadar kalau bapaknya telah mati, orang kampung segera bergotong-royong membangunkan rumah untuk Rahman. “Rumah yang pagi tadi saja adalah reruntuhan, malam ini adalah rumah yang sebenarnya di mana manusia dapat hidup dalam dengan damai.” (hlm.117)

Selain itu, kuacungi jempol buat pengemasannya. Baik tampilan luar maupun dalam. Ilustrasi-ilustrasinya pun dahsyat!
Profile Image for sekar banjaran aji.
164 reviews15 followers
January 31, 2025
Kereta Api Berangkat di Pagi Hari by Kuntowidjojo

Sebenenarnya aku lebih familiar dengan Umar Kayam dibanding Kuntowidjojo tapi waktu kabar naskah mitos ini bisa direstorasi maka aku tanpa pikir panjang ikut PO di @bukuakik

Aku yakin sebenarnya kalau aku tidak dalam kepungan gadget dan deadline sepertinya aku bisa lebih cepat membaca karya ini. Karya ini begitu unik karena ibarat menonton film dokumenter, Kunto berusaha menjelaskan duduk masalahnya sepotong-sepotong dengan detail. Masa perang paska kemerdekaan juga asing buatku jadi aku begitu menikmatinya masuk terjerembab di masa yang begitu romantis sebagai bangsa.

Walaupun aku tidak merasakan ada plot twist yang mengejutkan sehingga cerbung ini layak ditunggu di Majalah Djihad tapi aku selalu mempertanyakan POV orang ketiga yang selalu muncul. Apa sih maksudnya Kunto ini?

Over all cetakan yang keren banget siapapun yang mengerjakan ini buku keren
Saranku kalau nggak terlalu suka naskah kuno jangan beli tapi kalau mau koleksi silakan hajar, sepengetahuanku tinggal dikit sisa cetaknya coba tanya admin buku akik

#WhatSekarReads #WhatSekarReads2025 #Kuntowijoyo
Profile Image for Satrio Nugroho.
13 reviews
May 9, 2025
Just finished Kereta Api Berangkat Pagi Hari by Kuntowijoyo. A novel about war during the Dutch occupation, with love and hate intertwined in between. It’s a light read and, to be honest, not that impactful for me. If I were to compare it to Umar Kayam’s Sri Sumarah (which explores a similar theme), Umar Kayam’s work resonated with me more.

But what I really admire is how Seno Gumira Ajidarma managed to bring this “mythos” novel back to life. Originally published in Harian Djihad by an obscure publisher, it’s now been made accessible for more readers. There’s something deeply moving about a lost archive being revived. I think it’s a must have for anyone who wants to hold a piece of history take its second breath.
Profile Image for Ann. .
56 reviews
April 12, 2025
Saya tak terlalu tahu siapa itu Sang Penulis, maupun kisah asal muasal dari cerita ini. Orang-orang bilang bahwa buku ini berasal dari naskah lama yang bisa diperlihatkan kembali.

Secara cerita, ini ya... biasa saja, ketebak, dan tidak terlalu mengait minat saya. Mungkin saya nya aja seperti nya yang kurang memahami maksud dari cerita buku ini karena banyak review yang mengatakan bahwa buku ini sangat bermakna.

Dari keseluruhan, menurut saya, yang menaikkan buku ini adalah makna. Bagi saya yang tak paham maknanya, tentu saya tak paham dan merasa... begitulah.

Intinya saya tidak suka. Adios.
Profile Image for ninis.
41 reviews2 followers
October 21, 2025
Pribadiku tidak mengenal Kuntowijaya. Ku ambil buku ini karena tertarik dengan covernya yang sangat minimalis ini, juga kabar 100 tahun nya pada sebuah event buku di Jogja. Kabarnya, naskah lama yang kemudian diterbitkan kembali dalam bentuk sebaik mungkin.
Roman ini ditulis ketika penulis berumur 23 tahun, menceritakan latar pasca-kemerdekaan, peperangan, persahabatan, dan kehilangan. Aku membaca cepat karena aku cukup asing dengan karya sastra terdahulu dengan bahasa yang membingungkan untukku. Ada sorotan penting yang kudapat, bagaimana orang-orang desa, mengelukan atas kehilangan atau duka seseorang melalui bergotong royong dan berbagi cerita.
Profile Image for Ariana Dyah.
5 reviews
September 21, 2025
This book honestly gave me mixed feelings. It's not exactly my favorite, but that doesn’t mean I didn’t enjoy it either. The plot's decent (not super mind-blowing or anything), but weirdly, once I started reading, I couldn’t stop. It kind of pulled me in without me realizing.

Aside from that, the book does a pretty good job of capturing the reality of life in the 60s, like a father holding on to the hope that his son will come home, people who have to push aside their grief after losing someone, and those trying to rebuild their lives after the war.
15 reviews
August 27, 2025
Aku kurang mendapatkan sesuatu di dalamnya. Seakan hanya cerita, klimaks pun biasa saja. Banyak membuatku mengantuk. Mungkin memang bukan jodohnya saja denganku.

Bagian menariknya adalah buku ini sebenarnya tercecer dalam beberapa bagian di koran lampau yang dimana setiap bagiannya di rilis terpisah dan tak berurutan. Sehingga terbitnya buku ini secara utuh dalam satu kesatuan merupakan hasil dari proses panjang
Profile Image for Dimas Anggada.
37 reviews
February 1, 2025
Satu hal yang paling spesial di samping cerita dari roman ini adalah: cerita ini sempat menghilang dari peredaran, hampir jadi mitos, namun akhirnya berhasil dibangkitkan kembali dari kuburan arsip.
Displaying 1 - 9 of 9 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.