Jump to ratings and reviews
Rate this book

People Like Us

Rate this book
Akan kuceritakan sebuah kisah untukmu.
Tentang Amy, gadis yang tak punya banyak pilihan dalam hidupnya.
Serta Ben, pemuda yang selalu dihantui masa lalu.

Sepanjang cerita ini, kau akan dibawa mengunjungi potongan-potongan kehidupan mereka.
Tentang impian mereka,
tentang cinta pertama,
tentang persahabatan,
tentang keluarga,
juga tentang... kehilangan.

Mereka akan melalui petualangan-petualangan kecil, sebelum salah satu dari mereka harus mengucapkan selamat tinggal.

Mungkin, kau sudah tahu bagaimana cerita ini akan tamat.

Aku tidak peduli.
Aku hanya berharap kau membacanya sampai halaman terakhir.

Kalau begitu, kita mulai dari mana?

330 pages, Paperback

First published June 1, 2014

9 people are currently reading
143 people want to read

About the author

Yosephine Monica

1 book8 followers

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
69 (32%)
4 stars
78 (36%)
3 stars
52 (24%)
2 stars
14 (6%)
1 star
2 (<1%)
Displaying 1 - 30 of 53 reviews
Profile Image for Zelie.
Author 2 books13 followers
October 1, 2014
Mana yang lebih menyakitkan, dilupakan atau diabaikan?

Tentu saja kalian akan menggelengkan kepala kuat-kuat sambil mengeryitkan kening. ‘Mana ada yang lebih enak di antara kedua pilihan tersebut?’

Benar. Maka silahkan bayangkan bagaimana perasaan Amy saat dia bertemu lagi dengan Ben yang ternyata tidak mengingatnya. Bahkan menganggap dia sebagai pengganggu!

Amy pertama kali bertemu dengan Ben saat sedang mengikuti kursus musik. Mereka memang tidak saling mengenal. Amy tahu siapa Ben, sedangkan Ben tidak tahu siapa dia.

Ben pindah dari tempat kursus bahkan sebelum Amy memiliki keberanian untuk berkenalan dengan Ben. Teman-teman Ben pun tak ada yang tahu kemana Ben pindah. Amy sudah kehilangan harapan, saat itu.

Secara kebetulan, mereka bertemu lagi di sekolah sekitar satu setengah tahun sejak Amy kehilangan jejak Ben. Dan kali ini, Ben malah sudah keburu membenci Amy. Padahal, mereka masih saja belum ‘berkenalan’ secara resmi!

Amy tidak mengerti apa yang sudah dia perbuat sehingga Ben begitu tidak suka padanya. Ben sendiri tidak mengerti kenapa dia merasa begitu kesal pada Amy.

Semua karena Amy ketahuan menyukai Ben. Cowok itu merasa terganggu dan merasa Amy tak lebih dari stalker. Padahal, Amy tidak berniat seperti itu. Ia hanya sedang berusaha mengumpulkan keberanian untuk menyapa Ben.

Sebagai seorang cewek, saya sangat gemas dengan Ben yang menurut saya ‘berasa keren banget padahal mah dia gak ada apa-apanya, HUH!’ *bukan curcol, percayalah

Tapi di sisi lain, mengingat saya punya beberapa teman cowok, saya ngerti juga gimana rikuhnya Ben. Cuma, ayolah, Ben! Tuh cewek kan gak ngirimin kamu lagu lewat radio atau taruh surat di loker seperti..ah, sudahlah, tidak perlu dibahas :|

Sampai akhirnya, Amy terkena penyakit yang bisa saja mengancam nyawanya. Teman Ben dan juga teman Amy memintanya agar memberikan kesempatan pada Amy. Yang akhirnya Ben berikan, dengan setengah hati. Dia datang mengunjungi Amy, berusaha bersikap biasa kepada Amy.

Pertanyaannya, apakah itu cukup? Apa Amy dan Ben bisa memulai lagi dari awal dan memperbaiki semuanya?

♥~

Gak nyangka kalau buku ini ditulis oleh seorang remaja seperti saya (siul-siul)

Bercerita dari POV ketiga, saya menikmati cerita ini. Banyak yang ingin saya tanyakan ke penulis, tentang proses pembuatan buku. Saya terkejut dengan "kedewasaan" yang dimiliki oleh pengarang.

Kelemahan sekaligus kekuatan buku ini adalah saya merasa sedang didongengi oleh orangtua saya. Tentang cinta pertama ayah/ibu saya. Lalu kenapa menjadi kelemahan? Karena dia membahas mengenai Justin Bieber di sini XD Ya, mungkin nanti kalau anak saya yang membaca buku ini, akan terasa "tua"-nya.

Membaca cerita Ben dan Amy membuat saya teringat betapa kita sering sibuk dengan perasaan kita sendiri. Merasa berbeda dengan orang lain padahal kita sendiri yang tak mau menjadi sama.

Saya senang Ben memutuskan membuka diri, berteman dengan Amy sebagai permulaan. Itu sebuah keputusan yang sangat baik dan saya yakin sangat disyukuri pula oleh Ben.

Dan pernahkah kau merasakan hal itu? Ketika kau terlibat dalam perbincangan menyenangkan dengan seseorang, kau tidak sadar berapa lama waktu yang kalian habiskan bersama, yang kau sadari hanyalah perasaan nyaman saat melihat sosok yang di sebelahmu bercerita penuh antusias sambil tersenyum. Rasanya kau bukanlah bagian dari dunia dan dunia bukanlah tempat yang rumit dan kacau.

...
Kadang kau hanya perlu satu orang dan rasanya kau sudah bisa menggapai seluruh dunia dengannya ― page 259


Saya suka dengan pola interaksi antara Ben dan Amy. Kadang sebal dengan gaya Ben yang ‘kamu-naksir-sama-aku-jadi-seneng-aja-deh-aku-baik-sama-kamu’. Dan sama seperti Ben, sebenarnya saya heran kenapa Amy bisa naksir sama Ben. Amy punya jawaban yang bagus sekali untuk pertanyaan itu.

“Hanya karena kau punya banyak sekali kekurangan, bukan berarti kau tak layak dicintai.” ― page 251

Amy yang adalah seorang penulis dengan spesialisasi ‘tidak memiliki akhir cerita’, menjadi tokoh favorit saya dalam buku ini. Saya merasa bersimpati pada dia yang tegar dan tulus dalam menyayangi Ben.

Saya salut dengan ketabahan dia. Kalau saya sih, saya akan berhenti naksir Ben yang malah menganggap saya stalker ._.

Toh, semua berakhir manis buat Amy :)

Pernah mendengar lagu If I Die Young dari The Band Perry?

Saya pertama kali mendengar lagu tersebut di Glee, saat episode mengenang Finn. Ternyata cocok juga untuk menggambarkan novel People Like Us :)

Amy ‘menjemput’ kematian dengan senang hati. Dia percaya bahwa dia sudah memiliki semua yang terbaik dan tidak ada yang perlu disesali.

Aku ingin dikenang, aku ingin dicintai. Tapi aku juga ingin kalian melanjutkan hidup.

Seperti yang sudah sangat sering saya dengar (dan sekaligus saya percaya), kematian itu tidaklah menyakitkan bagi yang menjalani. Masalahnya adalah yang ditinggalkan. Sudah siapkah kita kehilangan yang kita sayang, meski tahu bahwa itu adalah yang terbaik untuk mereka?

Menurut saya, kita tidak akan pernah merasa siap kehilangan.

Begitulah manusia. Mereka punya terlalu banyak hal yang ingin dikatakan pada seseorang yang telah melangkah pergi.
Profile Image for Yovano N..
239 reviews14 followers
July 30, 2014

Bisa juga dibaca di sini: http://kandangbaca.blogspot.com/2014/...

Amelia Collins (Amy) adalah gadis 15 tahun yang biasa-biasa saja. Akan tetapi, dia cukup terkenal di antara teman-temannya karena dua hal. Pertama, ia dikenal karena gemar menulis cerita fiksi yang ia posting di blog pribadinya. Cerita karangannya bagus, namun semuanya tak memiliki ending sehingga membuat orang-orang penasaran. Kedua, karena ia menyukai Benjamin Miller. Berawal dari pengakuan Amy kepada teman-teman dekatnya bahwa ia menyukai cowok itu, dan berakhir dengan tersebarnya berita tersebut ke seluruh sekolah. Ya, Amy memang menyukai Ben sejak lama, tepatnya ketika mereka berusia 12 tahun, saat masih di middle school. Amy dan Ben berada di kelas musik yang sama, namun Ben terlalu cuek untuk sekadar melirik Amy. Kenyataannya, Ben memang berusaha untuk menghindari dunia.

Benjamin Miller (Ben). Untuk ukuran anak muda seusianya, ia sudah mengalami berbagai kejadian pahit. Mulai dari ditinggal sang ayah karena kanker, hingga menjadi anggota keluarga yang paling tidak dianggap di rumahnya, membuat cowok itu cenderung sinis. Ia punya mimpi menjadi penulis, tapi karena kemampuannya merangkai kata tidak begitu bagus, ditambah lagi anggota keluarganya tidak mendukung, maka Ben membunuh impiannya itu dan mengalihkannya ke olah raga, tepatnya sepak bola (dan untungnya, Ben memang berbakat di bidang itu). Ben terlalu sibuk menenggelamkan dirinya dalam pikirannya sendiri, sehingga kabar bahwa Amy menyukainya hanya dianggap angin lalu olehnya. Malah, saat bertemu dengan Amy di high school, ia sama sekali tidak mengenal mengenal Amy, dan menganggap cewek itu penguntit (emang bener sih, gelagat Amy emang kayak stalker *LOL*).

Sayang sekali, cerita remaja yang awalnya terkesan ceria ini berubah kelam sejak negara api menyerang Amy didiagnosis mengidap limfoma (kanker limfa), membuat gadis itu harus meninggalkan sekolah. Teman-teman Amy yang mengetahui perasaannya terhadap Ben memaksa Ben untuk menjenguk Amy di rumah sakit, tanpa sepengetahuan cewek itu. Ben sebenarnya ogah. Ia tidak ingin terlibat hal apapun yang berhubungan dengan gadis penguntit itu. Tapi toh Ben akhirnya mengalah juga setelah merasa terdesak. Ia memutuskan untuk menemui Amy.

Amy tidak tahu bahwa Ben akan mengunjunginya. Alhasil, pertemuan mereka di ruang tempat Amy dirawat sangat canggung. Tapi ternyata itu adalah awal yang baru bagi mereka. Setelah Ben membaca cerita-cerita yang ditulis Amy, impian lama cowok itu untuk menjadi penulis kembali muncul. Ia bahkan membertahu mimpinya itu kepada Amy. Tentu saja Amy mendukung impian Ben. Gadis itu mengerti betul apa yang dirasakan Ben. Di lain pihak, Ben merasa telah menemukan seseorang yang mengerti dirinya. Berkat menulis, keduanya menjadi teman dekat. Mereka berdua sama-sama tahu bahwa Amy menyukai Ben. Namun, hubungan sebagai teman ternyata jauh lebih nyaman bagi mereka. Atau... tidak? :P

People Like Us adalah karya debut Yosephine Monica, cewek 17 tahun (kelahiran 1997) setelah memenangi kompetisi menulis bertajuk 100 Days of Romance yang diselenggarakan oleh Penerbit Haru tahun 2013 lalu. Saya bisa melihat mengapa karya ini keluar sebagai pemenang. Selain kisahnya yang cukup menggungah emosi, penulis cukup mahir dalam merangkai kalimat sehinga terasa enak dibaca. People Like Us adalah sebuah kisah remaja dan ditulis juga oleh remaja, namun itu tak lantas membuat novel ini menjadi novel cinta-cintaan ala eibiji yang terkesan dangkal. Konflik yang dibangun oleh penulis cukup apik, penulis berhasil menuntun pembaca menuju klimaks yang meski sejak awal telah diketahui oleh pembaca, namun tetap saja bikin nyesek! (Ugh, hatiku tersayat-sayat. *ngetik ripiu sambil elus dada* *dadanya Pamela Anderson* #HEH).

Novel ini ditulis dengan menggunakan sudut padang orang ketiga, dengan Amy dan Ben sebagai tokoh utama. Sudut pandang cerita disajikan bergantian antara Amy dan Ben, sehingga pembaca mendapatkan informasi secara utuh terhadap cerita. Saya pribadi sebenarnya lebih menyukai cerita dari sudut pandang orang pertama, sebab informasi yang terbatas hanya pada apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan oleh tokoh utama, selain membuat pembaca merasa lebih dekat dengan sang tokoh, juga membuat pembaca diberi kebebasan untuk berimajinasi. Namun untuk novel ini, saya rasa penulis sudah melakukan tugasnya dengan baik.

Saya menyukai tokoh Amy. Meski pendiam dan tidak banyak omong, namun pada saat-saat tertentu gadis itu mampu mengungkapkan isi kepala secara blak-blakan. Saya juga mengagumi cara penulis mengembangkan karakter Ben. Terlihat sekali perbedaan karakter Ben sebelum dan sesudah bertemu Amy. Amy tak hanya sukses mengubah kepribadian Ben, tapi juga sukses menyentuh seluruh aspek kehidupan Ben. Tak hanya Amy dan Ben. Karakter-karakter lain dalam novel ini juga menarik. Antara lain Timothy (kakak Ben), Madge (adik Ben), Andrea (kakak Amy), dan Lana (sahabat Andrea yang keturunan Cina-Amerika yang punya sifat control freak dan keras kepala. Sesungguhnya Lana adalah karakter favorit saya nomor 1 di novel ini. Kedua Ben, ketiga Amy #dibahas).

Oh ya, novel ini berlatar negeri bule (persisnya, Boston) dengan karakter-karakternya yang orang bule juga. Membaca novel ini memberi kesan bahwa ini adalah novel terjemahan. Hanya saja, saya masih menemukan beberapa dialog yang rasanya kok kurang pas ya kalau diucapkan oleh orang bule. Juga, selama membaca novel ini, mau tidak mau saya membandingkannya dengan The Fault in Our Stars-nya John Green, walau kabarnya novel ini terinspirasi dari pengalaman temannya (siapa pun temannya itu, semoga diberi kekuatan dan kesembuhan. Amin).

Secara keseluruhan, saya menyukai novel ini. Saya kagum dengan kepiawaian penulis dalam merangkai kata dan alur cerita. Usia penulis masih belia tapi telah mampu menulis cerita sebaik ini, benar-benar patut diacungi jempol. Saya yakin di masa yang akan datang penulis dapat menghasilkan karya yang jauh lebih baik lagi. Saya sangat menantikan karya-karya Yosephine Monica selanjutnya. :)
Profile Image for Daniel.
1,179 reviews851 followers
February 4, 2016
Saya percaya bahwa umur belia bukanlah salah satu hal yang bisa digunakan untuk menjadi pertahanan seseorang apabila buku yang diterbitkannya sudah terbit. Begitu satu buku sudah terbit, buku tersebut sudah menjadi milik publik. "Tapi, kan, yang nulis umurnya masih insert young age here!" bukanlah sebuah alasan yang dapat diterima.

People Like Us ini membuat saya terkejut. Bukan karena penulisnya yang masih berusia tujuh belas tahun, melainkan karena buku ini melampaui harapan saya. Ceritanya, seperti yang narator berulang kali tekankan, sendiri merupakan klise. Orang-orang banyak menyebutnya dengan sick-lit yang menceritakan kisah seseorang yang menderita penyakit parah.

Beberapa orang mengeluhkan mengenai gaya bahasanya bertele-tele, yang memang saya amini, terutama pada bagian awal. Saya merasa buku ini seperti diseret dengan sangat lambat, dengan gaya bahasa yang puitis yang memang biasanya bukan cangkir teh saya. Namun, semua itu berubah setelah buku ini melampaui klimaksnya di pertengahan buku. Saya menikmati kata demi kata yang ditulis, dan saya juga menikmati dialog-dialog yang tokoh-tokohnya ucapkan.

Mumpung lagi ngomongin dialog, saya juga merasa dialog-dialog pada bagian cerita terasa sangat kaku dan membosankan. Namun, sekali lagi hal itu berubah ketika cerita sudah mencapai bagian klimaks. Yosephine Monica jago sekali dalam membangun chemistry antara Ben dan Amy melalui dialog. Chemistry tersebut terbentuk melalui dialog mereka berdua yang cerdas dan lucu, tetapi memang terlihat sekali bahwa keduanya saling nyambung. Ini hal yang bagus.

Beberapa keluhan saya mungkin latar Amerika-nya yang terasa kurang gereget. Beberapa bagian memang sudah terasa seperti Amerika Serikat, tetapi ada bagian yang kurang.

Sepertinya begitu saja. Tiga setengah bintang, tapi saya bulatkan ke bawah.
Profile Image for Pricillia A.W..
Author 10 books84 followers
July 25, 2014
Well, karena aku tipikal orang yang suka dengan plot lambat dalam sebuah novel, makanya aku menjadikan PLU ini sebagai "novel of the year" versi Pricil. Alur ceritanya manis dan menyentuh. Kisah remaja yang sangat khas (cinta sebelah pihak), yang rasanya membuat efek kedekatan tersendiri saat membacanya. Yosephine sangat piawai menggiring pembaca dalam novel debutnya ini. Menyaksikan perubahan karakter secara perlahan. Menambahkan bumbu sick-lit sebagai sentuhan akhir yang bikin perasaan melambung terharu. Interaksi antara karakter juga diberi garis yang jelas. Antara Ben-Amy, Amy dan teman-teman Ben, Amy dan Madge, Amy-Andrea, Ben-Timothy, dan lain-lain.
Konflik interen keluarga yang diangkat juga terasa begitu dekat. Aku rasa sih, sebagian remaja pernah mengalami hal-hal seperti yang dialami Ben.
Sepanjang cerita juga dibubuhkan qoutes khas penulis yang manis sekaligus menyentuh.
Kekurangannya adalah, penulis yang terburu-buru begitu mendekati akhir cerita. Padahal sebelumnya digiriang sangat smooth sejak awal.
Tapi closingnya memang menegjutkan dengan pembeberan identitas "pencerita" yang nongol sejak Prolog.
Good job, Yosephine. Kamu berhasil bikin aku nangis tengah malam saat membaca bab-bab terakhir. Aku menunggu karyamu lagi berikutnya yaa:))
Profile Image for Nining Sriningsih.
361 reviews38 followers
October 20, 2019
*baca di Gramedia Digital
=)

"hanya karena kau punya banyak sekali kekurangan, bukan berarti kau tak layak dicintai." Hal 253

"kau tahu, hanya karena ada orang-orang kejam di dunia, bukan berarti yg kita tinggalin ini adalah tempat yg kejam." Hal 276

huff, baca ini tuch simple, nggak perlu banyak mikir sebenar'y..
tapi yaaaach, kurang tertantang baca'y, ehmm kurang seru..
udah ketebak sich ending'y ..
agak sedih sich, tapi setelah itu datar q baca'y..
:D
Profile Image for liez.
180 reviews20 followers
January 11, 2016
3,5 bintang karena bab2 terakhirnya yang mengingatkan aku pada seseorang. Aku suka endingnya.
---
Amelia Collins menyukai Benjamin Miller. Amy menyukai Ben sejak middle school tapi tidak pernah benar-benar berbicara dengan Ben. Satu-satunya pembicaraan yang pernah mereka lakukan adalah saat perayaan natal di kursus musik mereka, setelah itu Ben pindah dan mereka tak pernah bertemu lagi.

Lebih dari setengah tahun setelah Amy kehilangan Jejak Ben, secara tak sengaja anak lelaki itu mendaftar di high school yang sama dengan Amy. Amy bertemu Ben namun tak sekalipun Amy menghampiri Ben untuk sekedar menyapa atau berbasa basi tentang kursus musik mereka dahulu. Amy tak bisa melakukan apa-apa untuk memperjuangkan perasaannya. Amy hanya mampu berada disekitar Ben hingga seantero sekolah mengetahui bahwa Amy menyukai Ben dan Amy tak mampu berbuat banyak untuk meredam berita tentang perasaannya yag terlanjur beredar.

Ben menjauhi gadis itu dan segala sesuatu tentangnya. Ben yang selalu memikirkan banyak hal dan terkadang sinis menganggap Amy seorang penguntit hingga suatu hal menimpa Amy membuat segala sesuatu tentang mereka berubah.

Saya sudah lama mendengar tentang buku ini, apalagi saat Penerbit Haru mengadakan Meet and Greet di Medan dan Yosephine, penulis People like us juga menghadiri event tersebut. Dari M&G tersebut saya baru mengetahui bahwa Yosephine berasal dari Medan. Ketika seseorang menanyakan tentang review buku, Yosephine bercerita belum ada orang Medan yang mereview bukunya. Saat mendengar hal tersebut saya dan mak Put memutuskan untuk membaca bukunya walau buku ini baru selesai dibaca beberapa bulan kemudian. FYI, buku ini lumayan susah di cari di Gramedia Medan.

Membaca buku ini seperti mendengarkan seseorang bercerita. Apalagi ketika saya menemukan semacam prolog yang mengawali setiap Bab dan perpindahan narasi. Saya tidak terlalu menyukai peletakan prolog singkat tersebut, membuat saya seperti dituntun harus kemana saya berfikir. Hingga di bab terakhir saya baru mengetahui, kegunaan prolog singkat tersebut dan tetap membuat saya kurang nyaman :D

Kisah yang ditulis oleh Yosephine bukan sesuatu yang baru. Saat saya membaca buku ini saya teringat dengan The Fault in Our Stars yang diakui penulis sebagai salah satu inspirasinya. Tapi saya menyukai gaya menulisnya Yosephine walau tidak terlalu detail dengan setting yang digunakan. Saya menyukai bagian Ending buku ini, mengingatkan saya pada seorang sahabat saya yang berjuang dengan kanker. Walau kanker mengalahkannya, sahabat saya tersebut menang dihati kami semua. Kepergian sahabat saya meninggalkan banyak kenangan dan pelajaran. Saya memahami apa yang dirasakan Ben, Lana dan orang-orang yang Amy tinggalkan. Karena titik terberat di mana seseorang pergi adalah bagaimana orang-orang yang ditinggalkan merelakan dirinya, memaknai hidup dan menjalani realitas. Saya menangis pada bab ini, saat saya mengingat Amy saya seperti melihat sahabat saya yang pribadinya lebih ceria dari Amy dan optimis menjalani hidup, ketika saya mengingat Ben, saya seperti berkaca pada saat saya kehilangan sahabat saya #maafkan saya yang tiba-tiba curhat. Ben sangat beruntung bisa sedekat itu dengan Amy yang ternyata jauh dari perkiraan buruk Ben. Amy membawa banyak dampak dan perubahan positif bagi Ben dan memang seseorang akan merasa kehilangan saat kita sadar ada jarak yang terbentang jauh yang tidak dapat kita sebrangi sesegera mungkin sesuka hati.

"Kau tahu, aku sangat kagum padamu. Kau bisa menyentuh dan mengubah kehidupan orang-orang, meski kau sudah tak ada lagi disini sekarang, itu hal yang keren."


Ini agak aneh. Amy seperti musim panas yang cerah. Ketika dia ada di sana, tak banyak orang yang akan menoleh ke arahnya dan memperhatikannya. Namum ketika dia pergi, semua orang mendadak menginginkannya kembali.


Begitulah manusia. Mereka punya terlalu banyak hal yang ingin dikatakan pada seseorang yang telah melangkah pergi.

Review di blog
Profile Image for Ratri Anugrah.
126 reviews8 followers
December 5, 2014
Sudah pernah baca buku The Fault in Our Stars karya John Green? Yap, cerita yang diusung oleh Yosephine Monica tidak berbeda jauh. Genre-nya sama. Tapi menurutku, buku ini jauh lebih baik (sorry to say) karena feeling yang aku rasain setelah membaca buku ini lebih dapet, daripada TFiOS yang terasa flat-flat aja. Menitikkan setetes air mata pun enggak. Next time aku bakal bikin review buku biru itu deh. But don't get your hope high soalnya buat nulis review aja aku males banget he he he.

So let's talk about the story. People Like Us bercerita tentang Amelia Collins, gadis berumur 15 tahun yang termasuk anak 'standar'; tidak cantik, tidak jelek, tidak pintar, dan tidak bodoh. Dia sangat suka menulis. Bisa dibilang tulisan di blognya populer di sekolah. Tapi, Amy, panggilan akrabnya, nggak cuma dikenal sebagai penulis handal. Dia juga dikenal sebagai penguntit Benjamin Miller, seorang bintang sepak bola sekolah. Sebenarnya, kecintaan Amy pada Ben nggak berawal saat di high school saja. She'd known him for several years ago. Hanya saja, Ben sama sekali nggak ingat akan sosok Amy.

But faith has its own way. Amy divonis kanker. Lana, sahabatnya, membujuk Ben agar menjenguk Amy sesekali di rumah sakit. Awalnya sih Ben males banget. Siapa sih yang mau menjenguk stalker sendiri? Gengsi, Bro! Tapi, pandangan Amy tentang dunia, termasuk pandangan Amy tentang Ben yang ternyata suka menulis, membuat Ben terpesona.

Baca selengkapnya di http://imawesomenerd.blogspot.com/201...
Profile Image for Stefanie Sugia.
731 reviews178 followers
June 17, 2014
"Di tahun pertama Amy di high school, Amy bukan lagi gadis kecil yang selalu memimpikan anak lelaki yang telah pergi. Kini, anak lelaki itu datang kembali tepat di hadapannya... Namun, cerita ini masih sama. Pemuda itu masih sulit diraih oleh Amy, dan Amy masih seorang gadis yang tak bisa melakukan apa-apa untuk memperjuangkan keinginannnya - perasaannya."

Siswa-siswi di sekolah mengenal seorang gadis bernama Amelia Collins, atau lebih sering disebut Amy, karena dua hal: pertama karena karya tulisnya yang cukup populer, dan yang kedua adalah karena fakta bahwa ia menyukai siswa bernama Benjamin Miller. Amy memiliki kisah yang panjang dengan Ben; keduanya bertemu di sebuah tempat kursus musik sewaktu masih berusia dua belas tahun - dan singkatnya, Amy menemukan cinta pertamanya pada diri Ben. Akan tetapi tiba-tiba Ben menghilang selama beberapa tahun, dan Amy kembali bertemu dengannya di St. Paul High School. Akan tetapi Amy harus dikecewakan karena Ben sama sekali tidak mengingatnya - bahkan cenderung tidak suka dengan Amy yang seperti seorang penguntit. Namun, jalan hidup keduanya akan berubah seiring dengan berjalannya kisah ini; cerita tentang sebuah awal yang juga adalah akhir...

Baca review selengkapnya di:
http://www.thebookielooker.com/2014/0...
Profile Image for Ruru.
47 reviews4 followers
August 5, 2014
Novel yang 'ringan', tapi juga berisi. Klise, tapi tetap menarik.

Endingnya mungkin ketebak. Temanya banyak yang tulis. Tapi penggambarannya oke. Lambat, tapi juga lompat-lompat, nggak bikin saya bosan.

Kalau harus menggambarkan novel ini dengan satu kata, rasanya saya akan pilih kata "manis". Bukan sedih. Ada sih sedihnya, tapi ini bukan novel yang bikin nangis sepanjang cerita--seperti dugaan saya sebelumnya.

Baca novel ini bikin saya senyum terus. Senyum geli, senyum getir, senyum lembut. Kayaknya hampir semua senyum keluar deh. Hehehehe....

Review lebih lengkap akan menyusul di blog.


Anyway, kalimat favorit (entah kenapa):
"Wow. Mengejutkan. Kau orang yang klise itu."


Hahaha....
Profile Image for Naomi Chen.
228 reviews14 followers
August 13, 2014
The author, Yosephine Monica is freshgrad's highschool student, but she's quite incredible author. I admit this novel has own favorable site, even the theme is quite common such as sicklit. She can tell the reader about both side of main characters in third PoV, and even there's no "whoa" secret revealed, she can make simple meaning conversation that understandable. Well, I recommend this novel especially for teenagers who love melancholic type story.
52 reviews
July 2, 2014
Yg bkin aku suka sama novel ini bukan karena alur ceritanya. Tapi cara penulisan kak Yosephine. Bener2 menghanyutkan. Good job, kak^^
Profile Image for Poetess.
9 reviews1 follower
May 5, 2020
"Apakah menyukai seseorang butuh alasan?" (hlm. 250)


Meski penulis menekankan bahwa cerita ini biasa saja dan endingnya sudah tertebak, aku justru merasa tambah penasaran. Aku ingin tahu memangnya seperti apa kisah yang mudah ditebak itu, apa bisa membuatku bosan dan meninggalkan buku ini sebelum sampai ke ending atau justru sebaliknya?

Dan saat memasuki cerita, aku dibuat kaget dengan gaya bahasanya yang kaku, puitis dan sedikit mengayun. Dan menurutku membuat gaya bahasa seperti itu cukup sulit, tapi penulis yang konon saat menulisnya masih berusia belasan tahun ini membuatku mengacungkan dua jempol sekaligus. Ngomong-ngomong gaya bahasa seperti ini jadi mengingatkanku dengan penulis Annisa Ihsani yang menulis ‘A untuk Amanda’ .


"Kadang kau tidak butuh petualangan di hutan yang mendebarkan atau perjalanan menuju belahan dunia lain untuk merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Kadang kau hanya perlu satu orang dan rasanya kau sudah bisa menggapai seluruh dunia dengannya. "(hlm. 259)


Novel ini mengambil dua sudut pandang, yaitu Amy dan Ben. Dari dua sudut pandang yang disuguhkan aku jadi mengenal sosok Amy dan Ben lebih cepat. Alur cerita yang katanya lambat tidak begitu terasa lambat karena aku bisa membacanya dengan cepat, saking serunya tiba-tiba saja aku sudah di pertengahan halaman. Semua kejadian yang aku baca terserap dengan sangat mudah dan membuat ketagihan. Rasanya dalam beberapa lembar saja aku sudah banyak mendapat bayangan kejadian dan kisah mereka. Bagaimana bisa kisah sebanyak itu dituangkan hanya dalam beberapa lembar saja? Dan anehnya terasa seru dan tidak rancu.

Selain gaya bahasa dan alur, karakter tokohnya juga asik dan punya ciri khas masing-masing. Amy yang ramah, tabah pemalu dan optimis. Ben yang memiliki sifat dingin dan sinis namun kesepian. Karakter keduanya sangat bertolak belakang. Dan aku berharap sambil membayangkan bahwa cerita ini bukan cerita sedih melainkan cerita romatis ala remaja yang bahagia, karena dengan begitu pasti Amy bisa mengajak Ben main kesana kemari dengan gembira, membiarkan Ben merasakan hal baru dan hal-hal seru lainnya sambil diselingi canda tawa. Akan tetapi novel ini tentang si tokoh utama yang sakit dan memiliki sifat optimis.

Tapi tenang saja, meski novel ini sudah diklaim menyedihkan bahkan sebelum aku membacanya, novel ini bukan menceritakan kesedihan dan keputusasaan Amy, justru sebaliknya, Amy begitu tabah dan optimis. Amy yang mencoba membuat semuanya tampak baik-baik saja dan menganggap bahwa sakit bukanlah akhir dari segalanya mampu menyentuh hatiku saat membacanya. Meskipun terkadang, terselip ucapan Amy yang menyiratkan kesedihan, semua itu langsung berubah menjadi tidak menyedihkan lagi karena ada Ben yang semakin dekat dengan Amy dan mulai memberikan perhatian-perhatian kecil.

Ketimbang teringat dengan novel ‘The Fault in Our Stars’ aku lebih teringat ke film ‘A Walk Remember’ yang aku tonton sambil banjir air mata. Aaaa semuanya menebarkan aura sedih, optimis sekaligus romantis.

selengkapnya disini : https://poetessszia.blogspot.com/2020...
Profile Image for AF.
40 reviews7 followers
June 4, 2017
Covernya cantik, aku suka covernya. Nggak bosen ngelihatnya.
Ceritanya ringan dan alurnya cukup lambat. Cocok dibaca buat yang suka dengan alur lambat.
Saya kira (iya, hanya pemikiran saya saja :D) cover sama isi ceritanya cocok, maksud saya kalau dilihat dari alur dan banyaknya halaman. Nggak perlu terburu-buru untuk membaca ceritanya sampai selesai, karena memang dari awal endingnya udah bisa ketebak. Yeah, just enjoy the story!

Tentang Amy dan Ben yang punya banyak kesamaan.
Salah satunya, tentang impian mereka yang ingin menjadi penulis.
Amy yang suka menulis tapi tidak pernah menyelesaikan ceritanya.

"Kenapa tidak ada yang tamat? Semuanya menggantung..." (P.96)
"Aku membiarkan pembaca menentukan sendiri akhirnya. Senang atau sedih, terserah saja." (P.97)

Tentang cinta pertama mereka,

(Oh, dan ngomong-ngomong, aku lupa satu hal. Cinta pertamaku bukanlah kau, kau adalah cinta keduaku. Cinta pertamaku adalah diriku sendiri) - P. 316.

tentang persahabatan,
tentang keluarga,
juga tentang... kehilangan.

3.5/5

Profile Image for Fadila setsuji hirazawa.
350 reviews4 followers
June 15, 2020
"...Dan mati itu tidak akan gampang jika kau tau kau punya sesuatu yang layak untuk dipertahankan dalam hidup" Hal. 164⁣
.
.
.
Novel yang menurut saya berhasil menggali serta mendeskripsikan emosi-emosi dari tokoh dalam novel. Walaupun saya merasa akan ada satu atau dua orang yang tidak begitu simpatik bahkan setelah membaca alasan dari salah satu tokoh yang bahkan ingin satu tokoh dalam novel ini untuk lenyap saja,masih dapat tolerir dengan perilaku tidak suka yang terang-terangan diperlihatkan si tokoh,karena? Saya berharap kalian mampu membayangkan ketidaknyamanan juga rasa tidak senang ketika merasa di'ikuti' oleh orang yang tidak kalian sukai

Dan beberapa bagian dalam novel ini lebih seperti pantulan dari apa yang saya pernah lakukan dimasanya,yang tanpa sadar jadi mirip hantu dalam hidup selama beberapa tahun. ⁣
Meskipun beberapa orang dapat dengan mudah menebak akhir cerita,namun proses hingga cerita ini menemui akhir adalah bagian yang seru,cukup mengharukan dan membuat kita harus berpikir ulang mengenai konsep 'benci' dalam kepala kita masing-masing
Profile Image for Ade Putri.
216 reviews
February 13, 2015
Tidak ada yang spesial dari Amelia Collins atau biasa dipanggil Amy. Gadis lima belas tahun yang serba standar. Jaringan pertemanannyapun tidak luas. Hanya ada dua yang selalu bisa diingat darinya, kesukaannya menulis yang ia tuangkan lewat blog pribadinya, meski aneh karena ceritanya tidak pernah diselesaikan.

Benjamin Miller adalah pria pertama yang Amy sukai sejak ia berumur dua belas tahun. Tidak mengerti apa yang Amy sukai dari Ben, seorang pria jangkung yang amat pendiam. Itu sebabnya mereka berdua juga tidak pernah berbincang meski satu kelas dalam kursus musik. Hanya sekali yang Amy ingat, saat Ben mengucapkan Natal padanya. Setelah itu, Ben menghilang.

Dari 500 murid di high school ini – dan 267 siswa – kenapa harus dia yang dipilih Amelia Collins sebagai orang yang disukai? (hlm. 90)

Secara tak sengaja, Ben mendaftar di high school yang sama dengan Amy. Dan di sinilah semua kisah bermula. Meski Ben sudah tahu sejak lama Amy menyukainya, tapi itu malah menimbulkan kebenciannya pada Amy. Ia merasa Amy seperti penguntit yang terus mengikuti dirinya. Tapi semenjak Amy divonis kanker, Ben melunak. Berkat Lana, sahabat Amy, Ben mau menjenguknya.

Pertemuan intensnya dengan Amy membuat Ben memiliki pandangan baru tentang gadis itu. Kesukaan yang sama pada bidang menulis dan Amy yang selalu bijak dan tidak pernah memandang Ben rendah seperti yang selama ini dilakukan oleh orang-orang sekitarnya. Lantas apakah kini Ben membalas cinta Amy? Sayangnya tidak semudah itu. Kita masih harus menunggu kisah selanjutnya.

-x-

Kalau saja seorang teman tak merekomendasikannya, mungkin saya tidak akan melirik novel ini. “Keren banget, nggak percaya novel ini ditulis sama anak berumur 17 tahun! Bahasanya terasa seperti bukan ditulis seorang anak remaja.” Kurang lebih begitu. Dan tak pikir panjang, novel ini menjadi wishlist. Alhamdulillah pas sekali saat seorang teman yang lain menjualnya.

Apa yang saya rasakan setelah menikmatinya? Rupanya apa yang dikatakan teman saya lalu benar. Sulit dipercaya dengan penggunaan bahasa yang hmm penulis cukup pandai merangkainya. Pandai menyiratkan makna yang ingin disampaikan. Lebih-lebih makna kehidupan. Meski memang cerita terksesan klise, tapi tidak mengurangi kenikmatan membacanya. Dan sayapun larut dalam kisah Amy dan Ben.

Wajar pula jika novel ini memenangkan 100 Days of Romance yang diadakan Penerbit Haru 2013 lalu. Dengan sudut pandang orang ketiga dan tentu saja tokoh utamanya Amy dan Ben. Orang-orang sekitar yang turut melengkapi cerita keduanya juga semakin melengkapi novel yang ditulis oleh gadis yang berasal dari Medan ini.

Hanya ada dua typo. Ditulis tanpa spasi, pada halaman 108 bagikepada dan 181 apayang. Selebihnya, nyaris tidak ada kesalahan.

Seperti yang saya bilang, penulis pandai menyiratkan makna atau pesan moral. Beberapa yang saya suka:

Seharusnya anaklah yang memegang tangan orangtuanya. Karena jika orangtua memegang tangan anaknya, ada banyak sekali kemungkinan anak itu melepaskan genggaman orangtuanya. Dan ketika anak yang memegang tangan orangtuanya, kecil kemungkinan kehilangan akan terjadi. Orangtua takkan semudah itu melepaskan harta terbaik mereka. (hlm. 65)

Untuk menulis sebuah cerita baru, jangan terpaku pada hal yang membuatmu terinspirasi. Bisa-bisa kau terkesan menjiplak cerita itu dan orang-orang menganggapmu plagiator. (hlm. 119)

Kita seharusnya melakukan sesuatu bukan karena imbalan yang akan kita dapatkan setelah itu, melainkan karena kita memang benar-benar ingin melakukannya. (hlm. 130)

“Hidup itu seharusnya terus melihat ke depan, bukan hanya menoleh ke belakang.” (hlm. 142)

“… Hidup takkan sesulit itu jika kau melakukannya dengan sepenuh hati. Dan mati itu tidak akan gampang jika kau tahu kau punya sesuatu yang layak untuk dipertahankan dalam hidup.” (hlm. 164)

“… Kadang para penulis hanya mengisi kertas kosong dengan kalimat-kalimat penuh kebohongan yang tidak dipercayainya sama sekali.” (hlm. 175)

“… Tidak enak rasanya bertengkar dengan orang yang paling dekat denganmu.” (hlm. 177)

Meski kita membenci sekolah, tapi kita lebih benci lagi jika sudah lulus dari sana dan tak bisa kembali. (hlm. 199)

“Senapan memberimu kesempatan, tapi pikirkankah yang memengaruhimu untuk menarik pelatuk.” (hlm. 242)

“Kadang kau harus keluar dari zona nyamanmu dan bertarung.” (hlm. 247)

“Kau tahu, hanya karena ada orang-orang kejam di dunia, bukan berarti dunia yang kau tinggali ini adalah tempat yang kejam.” (hlm. 274)

“Kau tidak bisa meyalahkan siapapun untuk ini semua. Kau tidak bisa menghentikan dunia yang berputar, kau tak bisa memarahi burung-burung yang terbang melewati atas kepalamu. Kadang itu hanyalah takdir, atau kebetulan. Kadang, hal-hal seperti ini disalahartikan sebagai cobaan, padahal sebenarnya itu hanyalah pelajaran. Dan kadnag, yang harus kau lakukan hanyalah melepaskan. Kadang, melepaskan itu sama gampangnya seperti tertidur. Sama gampangnya seperti mati.” (hlm. 275)

“Jika aku bisa memaafkan, kenapa aku harus membenci? Kadang kau harus bisa memaafkan seseorang, meskipun orang itu tak tahu bahwa dia bersalah padamu.” (hlm. 281)

Ah ya, saya juga suka setiap pembuka bab ini. Jika biasanya novel dari bab satu ke bab selanjutnya disajikan secara langsung, namun di sini kita akan diajak untuk memasuki kisah apa yang akan diceritakan nantinya. Seperti:

Aku ingin jujur sekarang, aku harap kau tidak marah. Akan kuberitahu yang sebenarnya: cerita ini belum dimulai.

Paragraf-paragraf panjang sebelumnya hanyalah pembuka, sekedar menunjukkan sekilas sejarah tokoh utama perempuan kita, meski aku tahu itu semua belum cukup.

Namun aku tidak mau semuanya berjalan lebih lama lagi. Jadi sebaiknya kuceritakan yang penting-penting saja, sebelum kita benar-benar memasuki cerita aslinya.

Sudah siap?
Profile Image for Noer Anggadila.
83 reviews
September 28, 2019
Ben, frontal banget anaknya, gila! dan masih gak percaya Ben bisa, bisa apa hayo??? wkwkwk
Kesan pertamaku berubah setelah baca bukunya, beneran deh. Padahal di awal udah kaya 'ah nanti ajalah bacanya' tapi pas udah mulai baca gak gitu
Profile Image for Annakumo.
20 reviews
January 3, 2020
cerita yang sederhana, klise, bisa ditebak. Namun aku sangat suka dengan gaya penulisannya, lambat dan tidak terkesan terburu buru. Begitu nyaman saat membaca buku ini. Terimakasih untuk cerita yang indah ini
Profile Image for Dhea Safira.
Author 8 books2 followers
August 13, 2017
Emm... Alurnya terlalu lambat. Somehow bikin bosan. Tapi sebenarnya ceritanya bagus, gaya tulisannya luwes dan manis.

Just not my cup of tea, but well written actually ^^
Profile Image for Fitra Aulianty.
154 reviews4 followers
November 22, 2018
Paling suka deskripsinya, detail tapi enak aja dibaca, ringan juga sih. Terus juga kayak baca buku terjemahan.
Profile Image for ima.
102 reviews3 followers
June 17, 2015
Review :
Amelia Collins. Terkenal karena dua hal: 1) suka menuliskan fiksi tanpa akhir; dan 2) jatuh cinta pada Benjamin Miller, teman seangkatan.
Amy mengenal Ben ketika berumur duabelas tahun. Percakapan pertamanya dengan laki-laki itu terjadi ketika malam Natal. Tapi sejak saat itu, Ben menghilang. Benar-benar menghilang. Bahkan teman satu kursus musiknya pun tak ada yang tahu.

Lalu, saat masuk sekolah menengah, Amy bertemu kembali dengan Ben. Tak dinyana, Ben sama sekali lupa pada Amy. Tak ingat kalau mereka pernah bertukar ucapan selamat Natal. Dan kabar akan Amy menyukainya pun terdengar. Ben membenci Amy. Ben menganggap Amy sebagai pengganggu–penguntit. Karena dimanapun ia berada, Amy selalu ada di sekitarnya.

Dan itu menjadi titik balik hubungan antara keduanya, Amy dan Ben.

Dipaksa Lana, Ben akhirnya mau mengunjungi Amy di rumah sakit. Dan pada Amy lah ia sanggup menceritakan keinginannya, menjadi penulis. Dan Amy, yang senang membantu orang lain, akan membantunya untuk menulis sebuah fiksi dengan baik.

Begitulah akhirnya Amy menjadi sangat dekat dengan Ben. Hal-hal yang sebelumnya hanya ia impikan akhirnya benar-benar terjadi. Berduaan, teleponan tengah malam, sms-an. Semuanya membuat Amy senang. Tapi, apakah itu menjadi pertanda kalau Ben menyukainya? Lantas, bagaimana akhir kisah Amy dan Ben? Berakhir bahagia... atau–kau tahu maksudku.

^*^*^*^*^*^*^*^*^*^

Wishlist dari tahun lalu baru kesampaian sekarang :) Tapi, aku bisa tahu mengapa novel karya Yosephine ini bisa menjuara lomba menulis yang diadakan oleh Penerbit Haru. Yah, walaupun aku bukan jurinya, tapi dari segi pembaca novel ini keren!

Temanya sicklit. Tentang Amy yang menderita kanker dan Ben yang masih dihimpit ketakutan dari masa lalu.

Amy, gadis pemalu. Yang kalau boleh aku bilang, mirip denganku. Tidak suka keramaian. Rasa minder yang agak keterlaluan, tapi Amy sangat baik. Begitu disukai teman-teman dekatnya, tapi tidak cukup disukai oleh Benjamin Miller.

Mereka akrab setelah Ben memberitahu keinginannya pada Amy, dan berguru ke gadis itu.

Selain menceritakan kedekatan dua tokoh utama, penulis juga mengulik keluarga Collins dan Miller. Bagaimana interaksi Amy dan kakaknya, Andrea membuatku kepengin punya kakak perempuan seperti Andrea. Layaknya saudara lainnya, mereka juga sering bertengkar. Tapi, mereka sadar kalau mereka saling menyayangi.

Sungguh, itu membuat hatiku terenyuh. Ben, yang pada saat penyakit ayahnya baru terangkat ke permukaan, sangat dekat dengan ayahnya. Bagaimana akhirnya puncak kehidupan Ben diputarbalikkan saat ibunya meminta cerai. Aku tahu itu sangat berat bagi Ms. Miller dan Ben-nya sendiri, tapi memang itu harus dilakukan demi kelanjutan hidup mereka.

Karakter yang aku suka selain dua tokoh utama, tentu saja – adalah Lana, sahabat karib Amy. Mungkin awalnya Ben dekat dengan Amy karena Lana yang sangat menggebu-gebu untuk mendekatkan mereka. Dan Lana, seperti tipikal sahabat selalu mendukung Amy dan berada di belakang Amy untuk memberinya semangat.

Dan, jangan lupakan Margareth Miller. Bocah kecil saudara Ben. Adegan saat Amy sedang terpuruk dan Ben menelponnya, tapi malah Madge yang berbicara, itu sungguh manis. Mungkin – mungkin nih, Ben ingin menghibur Amy, tapi karena dia tidak terbiasa bersikap hangat maka dia meminta Madge untuk menyampaikan kata-kata semangat darinya untuk Amy. Oke, itu hanya khayalanku. Tapi, beneran, itu manis banget Ben!


Profile Image for Rizcha Mawadah.
50 reviews1 follower
March 3, 2016
Judul: People Like Us
Penulis: Yosephine Monica
Penyunting: Tia Widianan
Proofreader: Dini Novita Sari
Design Cover: Angelina Setiani
Penerbit: Penerbit Haru
ISBN: 978-602-7742-35-2
Tahun terbit: Juni 2014 – Cetakan Pertama
Jumlah halaman: 330 halaman
Harga: Rp. 54.000,- (Tapi aku dapet buku ini dengan potongan Rp. 16.200,- ^^)

Merupakan Pemenang 100 Days of Romance Penerbit Haru’s Writing Competition.

Sinopsis:
Akan kuceritakan sebuah kisah untukmu.
Tentang Amy, gadis yang tak punya banyak pilihan dalam hidupnya.
Serta Ben, pemuda yang selalu dihantui masa lalu.

Sepanjang cerita ini, kau akan dibawa mengunjungi potongan-potongan kehidupan mereka.
Tentang impian mereka, tentang cinta pertama, tentang persahabatan, tentang keluarga, juga tentang … kehilangan.

Mereka akan melalui petualangan-petualangan kecil, sebelum salah satu dari mereka harus mengucapkan selamat tinggal.

Mungkin, kau sudah tahu bagaimana cerita ini akan tama.

Aku tidak peduli.
Aku hanya berharap kau membacanya sampai halaman terakhir.

Kalau begitu, kita mulai dari mana?

Review:

image

image

Buku ini didukung dengan cover yang cantik. Musim gugur oranye. Menimbulkan rasa hangat sekaligus dingin. Menimbulkan senyuman bahagia sekaligus pilu. Aaaargh!!! Entah kenapa aku menginginkan lebih banyak untuk buku ini. Lebih banyak moment Amy Ben. Rasanya buku setebal 330 halaman ini tidak cukup meredakan rasa haus akan kisah Amy Ben. :’(

image

Di setiap awal sebelum bab selanjutnya selalu ada kalimat-kalimat sebagai pembuka dengan latar daun maple seperti di cover. Kalau melihatnya sekarang jadi berefek sedih dan rindu. Kyaaa!!! ^^ Aku suka bagian itu, seperti mengatakan pada kita kisah apa yang selanjutnya akan kita baca dan membuat kita sebagai pembaca untuk bersiap-siap sekaligus dibuat penasaran.

Oke, aku akan mulai mereview sebisaku. Semoga yang membaca reviewku bisa tersentuh untuk membaca buku ini juga. Karena pada awalnya aku juga tidak terlalu berminat, tapi setelah membacanya aku bahkan tidak bisa berhenti sampai akhir.

Amy dan Ben. Kisah ini merupakan kisah klise dengan ending yang pasti gampang ditebak. Tapi, penulisnya menggambarkan jalan ceritanya jadi begitu menyenangkan bahkan bisa sambil mengenang masa SMA. Maklum, kisah Amy dan Ben ini dimulai sejak mereka SMP atau Middle School tapi banyak dikisahkan saat SMA atau High School.

Amy dan cintanya pada Ben bisa membuat aku terkagum-kagum. Ben dan rasa tidak sukanya akan cinta Amy padanya yang membuatku gemas. Amy dengan cerita-ceritanya yang tak selesai. Amy dan sakit yang dialaminya. Semua proses itu diceritakan dengan begitu mengagumkan. Bahkan di awal-awal, saat masih diceritakan soal kehidupan mereka masing-masing, soal pertemuan awal mereka, aku merasa sedikit jengah dan bertanya-tanya, mau dibawa ke mana kisah ini nantinya. Aku cukup terkejut ketika awal penyakit Amy datang.

Boleh aku menyebutnya keberuntungan di atas rasa sakit? Karena memang kedekatan Amy dan Ben dimulai saat Amy sakit. Karena cerita Amy yang tidak pernah selesai dan hobi Ben yang tidak pernah tersalurkan kembali, mereka semakin dan semakin dekat. Aku paling suka adegan di mana mereka bertukar pesan. Tahu tidak, mereka seperti hidup di dunia mereka sendiri. Tapi bisa memberikan kesenangan yang sangat besar. Waktu-waktu yang mereka habiskan bersama untuk bertukar pikiran soal sebuah cerita, lebih tepatnya Amy yang mengoreksi isi cerita Ben. Waaaaah, mengingat ketika membaca cerita mereka ini membuat hatiku mengembang bahagia.

Aku menunggu, menunggu konflik yang lebih besar, lebih menyakitkan karena sejauh ini mereka masih bahagia, tertawa-tawa sekalipun ada sekali dua kali batu sandungan kecil yang menghadirkan sedikit rasa sakit. Puncaknya ada pada akhir. Akhir yang sudah bisa ditebak tapi pada akhirnya rasa yang timbul tidak pernah sama dengan endingnya. Aku bahkan banyak tersenyum di akhir. Yah, walaupun nggak jarang harus menangis juga. Terutama ketika Ben bertindak ekstrem kepada keluarganya, hal yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya, benar-benar membuat sesak nafas. :’(

5 of 5 star for this book
Profile Image for Biondy.
Author 9 books234 followers
September 2, 2014
Judul: People Like Us
Penulis: Yosephine Monica
Penerbit: Penerbit Haru
Halaman: 330 halaman
Terbitan: Juni 2014

Akan kuceritakan sebuah kisah untukmu.
Tentang Amy, gadis yang tak punya banyak pilihan dalam hidupnya.
Serta Ben, pemuda yang selalu dihantui masa lalu.

Sepanjang cerita ini, kau akan dibawa mengunjungi potongan-potongan kehidupan mereka.
Tentang impian mereka,
tentang cinta pertama,
tentang persahabatan,
tentang keluarga,
juga tentang... kehilangan.

Mereka akan melalui petualangan-petualangan kecil, sebelum salah satu dari mereka harus mengucapkan selamat tinggal.

Mungkin, kau sudah tahu bagaimana cerita ini akan tamat.

Aku tidak peduli.
Aku hanya berharap kau membacanya sampai halaman terakhir.

Kalau begitu, kita mulai dari mana?

Review

Tertarik untuk baca buku ini setelah melihatnya dalam tur blog yang diadakan Penerbit Haru. Rata-rata ulasannya mengatakan bahwa buku ini bagus, menyentuh, dan ditulis dengan sangat mengesankan. Apalagi jika mengingat ini adalah novel debut seorang penulis muda berusia 17 tahun.

Setelah selesai membaca buku ini, saya setuju dengan ulasan-ulasan itu. Saya sangat terpukau dengan kemampuan menulis Yosephine Monica. Rapi dan mengalir. Sangat enak dibaca.

Ceritanya mungkin sedikit tipikal, tapi tetap seru untuk diikuti. Berkisah tentang Ben, seorang anak laki-laki dengan masalah keluarga. Bukan hanya di rumah, di sekolah pun dia memiliki masalah. Dia dikenal sebagai Ben yang disukai oleh Amy si penulis. Semua desas-desus tentang dirinya dan Amy membuatnya kesal pada cewek itu. Ben merasa Amy adalah seorang penguntit yang mengganggu hidupnya.

Amy adalah seorang gadis pemalu dan biasa-biasa saja. Dia memang dikenal lewat tulisannya, tapi selain itu, tidak banyak orang yang sadar akan eksistensinya. Amy menyukai Ben sejak lama dan berharap bisa bertemu lagi dengan cowok itu. Harapannya menjadi kenyataan saat mereka bertemu lagi di high school, tapi tampaknya Ben tidak mengingatnya dan hubungan mereka tidak terbentuk.

Hubungan Amy dan Ben berubah saat Amy masuk ke rumah sakit. Atas permintaan salah seorang teman Amy, Ben setuju untuk mengunjungi gadis itu. Hubungan mereka kemudian berkembang setelah Ben meminta Amy menjadi mentor menulisnya.

Ben mungkin tokoh favorit saya di novel ini. Dia karakter dengan perubahan yang paling tampak di novel ini. Suka banget sama perubahan yang dia alami dengan keluarganya. Khususnya hubungannya dengan Margaret, adiknya.

Btw, saya tahu bahwa novel ini mengambil latar di luar negeri dan para karakternya juga orang luar, tapi sepanjang membaca novel ini, saya terus-terusan kebayang tokoh ini...



Yeah, Benjamin Miller just screams Rangga of AADC for me.

Ah, AADC. Penulisnya baru 5 tahun waktu filmnya pertama keluar #trivia.

Secara keseluruhan, 3 bintang. Cerita enak untuk diikuti, penulisan rapi, tapi sayang saya tidak sampai merasa sedih bagaimana gitu waktu membaca akhir ceritanya.

Buku ini untuk tantangan baca:
- 2014 Young Adult Reading Challenge
- 2014 New Authors Reading Challenge
Profile Image for Mysbech Saktmm.
38 reviews
March 1, 2017
si Abang angkat tangan, cerita ini sudah terlalu Mainstrem. Tokoh pria dalam novel ini masih dalam pertanyaan besar di kepala Abang(hal yg jrg terjadi dlm dunia nyata_sebegitu mudahnya kah anda membuat keputusan_kecuali jika Anda LA B I L). So apakah pertanyaan besar itu? hmmm.......pikirkan sendiri. Salam hangat
Displaying 1 - 30 of 53 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.