Jump to ratings and reviews
Rate this book

Partitur Dua Musim: The Moments That Bring Me Back to You

Rate this book
Delapan tahun lalu, si kembar Laroux pindah ke Montréal karena dua buah biola bernilai tinggi. Tapi kehidupan mereka berubah dengan kehadiran M. Barnabé. Sosok itu mengejutkan The Red dengan dua permintaan yang di luar dugaan. Salah satunya adalah permintaan untuk sebuah simfoni dengan harga sangat tinggi.

Simfoni pun berujung pada cinta seorang perancang terkenal dan Monique Barnabé pada dua musisi muda itu dan membuka identitas Scarlet sebagai seorang aseksual. Merasa cintanya ditolak, si perancang busana pun mengincar Crimson yang memang menantikan momen itu.

Tapi siapa sebenarnya sosok M. Barnabé? Ada sesuatu yang disembunyikannya dan obsesi untuk mendapatkan dua biola milik si kembar.

348 pages, Paperback

First published April 1, 2014

3 people are currently reading
17 people want to read

About the author

Farrahnanda

9 books21 followers
they say curiosity kills the cat but cats have 9 lives so get curious, ou have about 9 chances.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
8 (23%)
4 stars
15 (44%)
3 stars
8 (23%)
2 stars
3 (8%)
1 star
0 (0%)
Displaying 1 - 14 of 14 reviews
Profile Image for Frida.
201 reviews16 followers
March 14, 2017
Judul Buku : Partitur Dua Musim

“Aku tidak pernah melihatnya muncul di video. Makanya, dulu kupikir Scarlet adalah nama lain. Kalian hanya satu orang. Kau berpura-pura menggunakan nama Scarlet saat menjadi komposer.” (halaman 129 – 130)

Scarlet dan Crimson Laroux memang bukanlah satu orang.

Melainkan, mereka adalah dua orang laki-laki kembar. Salah satunya, yang berambut merah bara bernama Crimson, sedangkan lainnya adalah Scarlet—yang berambut merah darah. Agak membingungkan, lantaran warna rambut mereka berlawanan dengan nama mereka.

Lantas, apa istimewanya dua kembar asal Perancis itu?

Scarlet, pengidap sindrom Asperger, adalah komposer musik klasik berbakat. Ia bisa menghabiskan waktu semalam penuh tanpa tidur jika sedang menyelesaikan sebuah lagu, violin sonata, misalnya. Tapi, sindrom yang ia derita itu membuatnya enggan tampil di depan umum. Ia juga tidak suka dengan sentuhan. Oleh karena itu, Crimson-lah yang memainkan lagu-lagu karyanya dengan piano, merekamnya, dan mengunggah videonya ke Youtube, dengan nama sebutan “The Red”. Sedangkan audionya diunggah ke i-Tunes. Dari hasil penjualan lagu-lagu itulah mereka mendapat penghasilan.

Karier mereka berjalan seperti biasa, hingga sebuah tawaran fantastis datang. Monsieur Barnabe meminta mereka membuatkan sebuah simfoni untuk perayaan ulang tahun putrinya. Tawaran itu fantastis tidak hanya karena mereka belum pernah membuat simfoni sebelumnya. Tidak. Yang sangat tidak biasa adalah jumlah bayaran yang dia tawarkan. 500 ribu dollar Kanada!

Setelah mengiyakan tawaran M. Barnabe, Crimson baru sadar bahwa mereka butuh orkestra untuk memainkan simfoni itu nantinya. Apakah Scarlet bisa menyelesaikan simfoni itu dalam waktu kurang dari satu bulan? Apakah nantinya mereka akan mendapatkan bantuan orkestra untuk memainkannya?

Tibalah hari perayaan ulang tahun Monique Barnabe. Di pesta itu, si Kembar Laroux bertemu dengan Elena Dvorakova, desainer kostum pesta mereka. Gadis eksentrik itu jatuh cinta pada Scarlet sejak pandangan pertama. Namun, karena kelainan yang diidapnya, Scarlet sulit untuk bisa membalas perasaan gadis itu. Sementara itu, Crimson menjalin hubungan dengan Monique, gadis yang sepuluh tahun lebih muda daripada dia. Tapi, sebenarnya, Crimson lebih menyukai Elena, dan terlibat hubungan aneh dengannya. Ketika hubungan gelap itu ketahuan oleh Scarlet, kekacauan tak terhindarkan!

Belum lagi, M. Barnabe seolah menyimpan sebuah rahasia. Bagaimana ia bisa begitu mengenal si Kembar Laroux, padahal belum pernah bertemu mereka sebelumnya. Bagaimana M. Barnabe mengetahui sebuah “dosa” yang pernah si Kembar lakukan delapan tahun lalu—berkaitan dengan dua buah biola Stradivarius?

***

Sinopsis yang tertulis di sampul belakang berhasil membuat saya penasaran. Apalagi dikompor-kompori oleh sebuah testimoni yang berkata, “Saya selalu benci pada kisah-kisah yang tak tuntas, tapi memang begitulah sejatinya sebuah kisah. Dan Farrahnanda berhasil membuat saya semakin benci pada kenyataan tersebut.”

Wah, saya langsung deg-degan. Novel yang akan saya baca ini—tidak tuntas? How can it be?

Pertama-tama, saya hendak memuji sang penulis atas kegigihannya dalam melakukan riset. Dapat dibaca pada lembar ucapan terima kasihnya yang dipenuhi ucapan terima kasih untuk orang-orang—mulai dari dokter, hingga orang Ceko—yang telah berjasa memberinya informasi terkait materi untuk menulis novel ini. Sungguh, patut diacungi empat jempol (bentar, saya mau copot kaus kaki dulu. Ups, maaf, bau, hehehe), bahwasanya penulis mampu menggambarkan berbagai pengetahuan musik, sindrom Asperger, penyakit bipolar, dengan baik. Saat membaca bagian sudut pandang Scarlet, pemikiran-pemikirannya yang hampir selalu seputar musik, terasa sangat meyakinkan. Juga kelakuan anehnya akibat pengaruh sindrom Asperger, juga dapat tergambarkan dengan baik.

Kemudian, saat membaca bagian sudut pandang Elena, dengan mood-nya yang berubah-ubah, suara-suara aneh yang merecoki pikirannya, tingkah anehnya, sudah menggambarkan “seorang gadis penderita bipolar”. Ditambah lagi dengan sifat kepedeannya yang bikin saya berdecak, antara miris dan pengin tertawa. Juga ada adegan—yang bagi saya lucu—di halaman 69, saat Elena tiba-tiba melompati sofa dan merasa bagai seorang atlet, hingga orang-orang di sekitarnya menatapnya heran. Sumpah, nih orang nggak jelas banget! Hahaha.

“Ah, dengan begini, sebentar lagi pasti Channel akan melirik desainku. Kemudian, diikuti sejumlah brand ternama lainnya. Siapa yang tidak terpikat pada gaun seindah ini? Semua akan terpesona!” – Elena (halaman 59)

“Mereka semua tertegun. Pasti kaget sekali karena darah seni yang kumiliki begitu luar biasa!” – Elena (halaman 69) à adegan lucu

“Ah, tidak usah memuji. Kehebatanku memang begini, di luar rata-rata manusia.” – Elena (halaman 131)

Kedua, gaya bahasa yang digunakan penulis sudah pas dan konsisten. Pas, dalam artian, gaya bahasa seperti itu sesuai untuk realita cerita yang ber-setting luar negeri, dan ber-tokoh-kan orang-orang bule. Jadi kayak berasa baca buku terjemahan gitu. Konsisten, dalam artian, pembaca tidak akan tiba-tiba mendapat percakapan yang mengandung kata-kata gaul semacam, “eh, gayamu nggak banget, deh!”.

Tapi, di sisi lain, konsistensi ini malah menusuk penulis dari belakang. Ia menyebabkan sudut pandang yang berganti-ganti antara tokoh Scarlet, Crimson, dan Elena menjadi kurang berefek. Jika tidak ada keterangan nama orang yang menjadi tokoh “aku” sebelum pergantian sudut pandang, maka kita sulit untuk mengetahui tokoh “aku” ini sebenarnya laki-laki atau perempuan. Bahkan, menurut saya, jalan pikiran Scarlet dan Crimson masih kurang “laki”. Memang, merupakan suatu kesulitan tersendiri ketika seorang penulis menjelma jadi tokoh “aku” yang jenis kelaminnya berbeda dengannya. Tak lain dan tak bukan adalah karena cara pikir laki-laki dan perempuan sangat bertolak belakang. Penulis yang bisa melakukannya dengan lihai, contohnya adalah Moemoe Rizal, yang menjelma jadi tokoh “aku” berjenis kelamin cewek, dalam “Glam Girls”. Atau, Farida Susanty, yang mampu benar-benar bikin tokoh utama cowoknya sangat "cowok", dalam “.... dan Hujan pun Berhenti”.

Ketiga, riset yang dilakukan oleh penulis, seputar setting tempat (Kanada) dan budaya masyarakat di sana, berhasil menghidupkan suasana dalam novel ini. Termasuk juga beberapa jenis masakan khas yang disebut-sebut penulis, seperti ratatouille (eh, jadi teringat tikus besar asal Perancis, yang pintar memasak, hehehe), svickova na smetane, poutine, dan lecsó.

Keempat, ada beberapa hal yang membuat saya tertegun dan bertanya-tanya, “Sebenarnya, ini maksudnya gimana?”

“Apa masih terasa sakit, Crimson?” tanyaku khawatir.

Dia melambaikan tangan. Untuk apa? Aku tidak akan pergi ke mana-mana dengan berbalut bathrobe, kan? Dia tidak menjawab pertanyaanku. (halaman 30)

Nah, ceritanya, Scarlet tidak sengaja menyodok rusuk Crimson, hingga kesakitan. Tapi, dalam petikan dialog di atas, tidak ada korelasi antara kalimat pertama yang dilontarkan Scarlet dengan kalimat berikutnya. Apa hubungan antara “Crimson melambaikan tangan” dan “aku tidak akan pergi ke mana-mana dengan berbalut bathrobe”?

Berikutnya, kalimat yang menunjukkan pemikiran Elena berikut ini.

“Tentu, dia pasti senang aku mengunjunginya. Jam sembilan sore.” – Elena (halaman 106)

Saya merasa ada yang janggal dengan penyebutan “jam sembilan sore”. Mungkin memang di sana, jam sembilan malam itu masih terbilang “sore”. Iyakah—atau tidak? Maaf, jika memang iya, karena saya tidak tahu. Hehehe.

Tak ketinggalan, kalimat berikut ini, yang terasa tidak logis.

“Kuah lecsó membantu tenggorokan yang terasa dehidrasi bisa meluncur ke perut.” – Elena (halaman 265)

Seharusnya, mungkin bisa ditulis seperti ini, “Kuah lecsó membasahi kerongkongan yang sedari tadi dehidrasi, sebelum ia meluncur ke perut.”

Kelima, kadang-kadang penulis menggambarkan suatu kejadian dengan terlalu detail dalam urutan perstiwanya. Seperti yang tertulis pada halaman 267, dengan Scarlet sebagai tokoh “aku”

“Sambungan terputus setelah aku menyahut setuju. Segera, aku mengambil bathrobe baru dari dalam wardrobe, kemudian berjalan turun ke kamar mandi. Saklar di sisi kanan pintu masuk kutekan. Bathrobe yang masih terlipat kuletakkan di atas washtafel, di bawah cermin persegi. Aku menyetel keran air hangat, menyalakan pancuran, menanggalkan pakaian, lalu kuletakkan di keranjang pakaian kotor dekat pintu kamar mandi.....”

Keenam, saya merasa ada satu bagian dari sinopsis di sampul belakang yang tidak sesuai dengan isi cerita, yaitu tentang “Scarlet yang adalah seorang aseksual”. Dalam KBBI, “aseksual” berarti:

(1) tanpa kelamin atau memiliki organ kelamin yang kurang fungsinya; (2) tanpa hubungan kelamin; (3) diproduksi tanpa melalui kegiatan seksual atau berkembang secara berlainan. Nah, di dalam novel ini, sejauh yang saya tangkap adalah Scarlet tidak suka disentuh. Bahkan, pertengkaran hebat yang terjadi antara dirinya dengan Elena adalah akibat Scarlet tidak suka disentuh oleh gadis itu, atau mungkin juga karena ia tidak memiliki ketertarikan seksual dengan orang lain; tapi bukan karena ia aseksual.

“Aku tidak suka disentuh! Aku tidak suka!” Spontan, aku mendorong wanita itu sampai dia tergeledak. – Scarlet (halaman 136)

Ketujuh, penulis berhasil menanamkan ide cerita yang unik! Saya paling menantikan dan penasaran akan kisah pencurian dua biola Stradivarius. Tapi sayangnya....

Dan, yang bikin saya kesal sekali adalah....poin ketujuh ini....

Di akhir novel, petualangan baru hendak dimulai! Beneran, deh, novel ini harus ada sekuelnya! Ini bukan jenis akhir cerita menggantung yang dapat dimaklumi. Ini bukan “menggantung” lagi namanya, melainkan “benar-benar belum selesai”!

AAAARRRRRGGGGGHHHHHHH!!!! Saking gemasnya, saya pengin bikin sekuelnya sendiri—dengan versi saya! Wkwk!

Bonus:

Video trailer bikinan sang penulis http://www.youtube.com/watch?v=vP9lnf...
Profile Image for Wardah.
925 reviews171 followers
June 12, 2014
Partitur Dua Musim bercerita tentang kembar Laroux yang terkenal dengan nama The Red dalam dunia musik klasik, Crimson dan Scarlet. Keduanya dikontrak membuat dan menampilkan simponi untuk pesta ulang tahun ke-18 anak gadis Monsieur Barnabé, lelaki misterius yang akan membayar jasa mereka 500 dolar. Untungnya mereka bisa mengatasi masalah simponi yang harus dimainkan orkestra itu pada akhirnya.

Di pesta ulang tahun tersebutlah Crimson bertemu dengan Elena Dvorakova, seorang perancang busana terkenal yang memikat hatinya. Akan tetapi, Elena sudah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Scarlet sehingga menolak Crimson mentah-mentah. Crimson pun beralih ke Monique, yang menawarkannya untuk menghabiskan malam berdua. Di sisi lain, Scarlet tidak menolak kehadiran Elena. Sejak saat itu, Crimson mulai menjadi kekasih Monique dan Elena selalu mengejar Scarlet.

Konflik dimulai ketika Scarlet yang mengidap asperger syndrome menepis sentuhan Elena. Elena yang sakit hati akhirnya melampiaskan hasratnya kepada Crimson, mengajak pemuda itu dalam sebuah permainan berbahaya. Sebuah permainan yang mengantarkan Crimson, Scarlet, dan Elena dalam konflik dan rahasia lain. Alasan sebenarnya Monique mendekati Crimson, dosa yang dilakukan si kembar delapan tahun lalu, hingga misteri dibalik biola Stradivarius.

Begitulah cerita Partitur Dua Musim yang ditulis oleh Farrahnanda. Dari awal membaca novel ini, saya sudah membayangkan akan adanya sebuah misteri. Hal-hal yang harus dipecahkan dalam kehidupan penuh dengan musik klasik.

Untuk cerita dan plot sendiri, cukup baik. Saya yakin cerita ini ditulis dengan hati-hati. Terlebih penulis juga telah melakukan riset yang begituuu mendalam dari ucapan terima kasih yang dituliskannya. Dengan ide cerita yang sebenarnya biasa (kisah cinta segitiga), tapi penulis menghidupkan sesuatu yang berbeda (karakter para tokoh, masa lalu mereka, hingga latar belakang musik klasik yang diangkat).

Saya sendiri sangat menikmati kehidupan Scarlet. Saya selalu punya ketertarikan tersendiri pada tokoh yang nerd (well, Scarlet bukan seorang nerd, tapi dia tergolong “aneh” karena menderita asperger syndrome dan saya suka itu). Crimson sendiri bagi saya terasa sangat “biasa” (atau mungkin dia memang didesain seperti itu?). Meski demikian, baik Crimson maupun Scarlet kurang terasa “cowok” dalam penulisan yang dituturkan dari sudut orang pertama ini. (Penulis berganti-ganti antara Scarlet, Crimson, dan Elena dalam menceritakan Partitur Dua Musim.)

Akan tetapi, penulis sudah cukup berhasil memberikan perbedaan menonjol antara Crimson, Scarlet, dan Elena. Meskipun di awal-awal, saya merasakan Scarlet dan Crimson adalah sosok yang sama. Saya sedikit sulit membedakan mana yang Crimson dan mana yang Scarlet jika penulis tidak membubuhkan nama tokoh yang menjadi “aku” dalam novelnya. Tapi, lama-lama keduanya mulai terasa semakin berbeda.

Untuk Elena sendiri, dia sejak awal sangat berbeda. Meledak-ledak dan arogan—terlalu annoying bagi saya hingga saya melepaskan novel ini sejenak, yang akhirnya saya tahu alasan Elena seperti itu. Dia adalah pengidap kelainan bipolar. Cara bercerita Elena yang membuat sakit kepala itu ternyata ketika dia berada di kondisi “maniak”. Lalu, ketika dia memasuki kondisi “depresi”, dia langsung terasa sangat berbeda.

Saya harus memberikan acungan jempol untuk penulis yang sudah berhasil menghidupkan kelainan bipolar dan asperger syndrome dalam tokoh-tokohnya. Menjadikan Partitur Dua Musim sebagai sebuah novel dari sudut berbeda.

Meskipun begitu, ada beberapa hal yang tidak saya mengerti.

1. Kenapa si kembar menjadi The Red jika mereka berusaha menyembunyikan keberadaan mereka (karena peristiwa di Lyon delapan tahun lalu)? Mereka pindah karena ingin bersembunyi dan agar tidak bisa terdeteksi, kan? Lalu, kenapa mereka mencari sumber penghidupan lewat sesuatu yang bisa cukup dikenal luas orang?

2. Ketika Elena begitu terpuruk karena sudah mengecewakan Scarlet, kenapa dia masih “main serong” dengan Crimson? Bukankah hal ini berbeda dengan saat pertama dia menawarkan Crimson sebuah permainan? Saat itu dia begitu penuh hasrat dan well saya cukup bisa memaklumi, tapi yang ini? Duh, saya jadi kelas dengan Elena. :| (Saya tidak terima sebagai penggemar Scarlet!)

3. Sejujurnya peningkatan hubungan Scarlet dan Elena terasa hanya satu pihak, yaitu di pihak Elena. Saya tidak merasakan peningkatan perasaan Scarlet dalam sisi “aku” Scarlet. Segalanya diungkapkan dari sisi Crimson atau Elena. Mesikpun di akhir Scarlet terasa menyayangi Elena, tapi yang penting kan di bagian awalnya. Pertemuan di pesat Monique, kunjungan Elena ke apartemen mereka, dan scene berikutnya tidak menunjukkan kepada saya bagaimana pendapat Scarlet soal Monique. Lalu, tiba-tiba ditanya Scarlet menjawab bahwa Monique begini dan begitu.

Oya, satu hal pasti yang tidak saya suka dari Partitur Dua Musim adalah desain sampulnya. Jelek. Dua orang yang ditampilkan sangat tidak menggambarkan si kembar, terlebih Scarlet. Di sana salah satu menjadi pemain piano dan satunya seorang konduktor. Oke, Crimson memang pemain piano, tetapi Scarlet bukan konduktor. Scarlet seorang komposer.

Ah, bagian sinopsis juga mengganggu. Di bagian sinopsis saya mendapat tulisan “Scarlet adalah seorang aseksual”. Nah, selama saya membaca Partitur Dua Musim, saya sama sekali tidak mendapatkan tanda-tanda yang mengarah ke sana. Pengertian aseksual yang saya dapatkan:

Seorang aseksual adalah orang yang tidak punya ketertarikan seksual sama sekali dalam bentuk apapun, baik terhadap pria maupun wanita.

Nah, Scarlet memang lebih tertarik pada musik, tapi dia menerima kehadiran Elena, kan? Dia juga berdansa dengan Elena, mengantar gadis itu, bahkan membiarkan Elena masuk dalam hidupnya. Meski dalam deskripsi Scarlet tidak menceritakan soal ketertarikannya, sih.

Ah, satu hal lain yang sangat tidak saya suka, ending. Novel ini sejak awal sudah dikatakan memiliki akhir yang menggantung, tetapi ini bukanlah sebuah akhir yang menggantung. Ini akhir yang tanggung! Bagaimana mungkin saya menerima jika sebuah misteri besar baru diungkapkan di akhir cerita dan … lalu novel ini berlabel “tamat”. Duh. -_-

Saya harap aka nada sekuelnya. Karena, saya yakin saya akan lebih menikmati eksplorasi misterinya ketimbang cinta segitiga yang ada di novel ini. Semoga saja akan ada lanjutannya.

Anyway, saya merekomendasikan novel ini buat mereka yang ingin tokoh-tokoh unik! Serta buat mereka yang menikmati cerita berlatar luar negeri (yang ditulis dengan baik). Selamat datang di dunia Scarlet! <3
Profile Image for Dwi Setianto.
69 reviews9 followers
August 13, 2015
Ah lumayan juga, sehari bisa selesai.
Seneng banget buku ini nyebut-nyebut Mozart, Bach, Beethoven, dekaka. Tapi tetep aja aku ga mudeng pas Scarlet menjelaskan musik gubahannya, apalagi pas Elena nyerocos tentang fashion yang sedang dipake atau hasil desainnya -_-
Percakapannya pake bahasa-bahasa Perancis, nama jalan dan tempatnya juga kayak bahasa Perancis, aku kira setting-nya di Perancis, ternyata di Kanada. *ketahuan sotoynya XD*
Emang orang Kanada ngomongnya pake bahasa apa?
Profile Image for Yuu Sasih.
Author 6 books46 followers
November 6, 2014
2,5 bintang.

Premis ceritanya unik, walau eksekusinya terasa overloaded dan jadi nggak fokus--eh tapi saya juga nggak tau fokus ceritanya apa. Review lengkap di blog saya.
Profile Image for Imaniah.
16 reviews
April 7, 2022
I'm still looking forward for the next story, Stradivarius.
Profile Image for Rachma Woerjanto.
15 reviews
January 15, 2016
pinginnya ngasih bintang satu karena ceritanya gak selesaaaaaaaaiiii........................ tapi apa daya, namanya kisah ya biarkan begitu itu aja sepertinya lebih baik :')

untuk ceritanya, penulisannya, penjelasannya, aku suka semuanya.. untuk pengetahuan mengenai musik (saya buta musik), benar-benar keren! suka sama bahasa asingnya... aaaah, pokoknya suka deh.. yang bikin gak suka cuma bagian endingnya :'3

kalau ada rencana bikin jilid 2-nya, aku rela nunggu kak :')
Profile Image for Heruka Heruka.
Author 9 books9 followers
May 14, 2015
3.7 lebih tepatnya. Tadinya mau full 4, cuma gara-gara bagian menjelang endingnya terlalu bertele-tele dan banyak ngomonngin teknik musik ini itu dan drama percintaan tokohnya yang sebenarnya sudah banyak dibahas di bab-bab sebelumnya, jadi rada lambat plotnya. Nggak bikin emosi naik. Beruntung, endingnya bagus dan bikin penasaran.
Profile Image for Deasy.
51 reviews2 followers
May 28, 2015
It's really glamour. Full of awesome settings dan characters but I think I don't get the message you want to share. :) But, anyway, I'm still waiting for your sequel, Far. XD I'm truly anticipate the sequel. Semoga di buku kedua, pesan itu bisa diperjelas dan karakter-karakter yang sudah keren riset dan aplikasinya ini bisa lebih nge-blend dengan cerita.
Profile Image for Mifta Resti.
21 reviews3 followers
November 12, 2015
novel dengan riset sungguhan emang hasilnya beda dari yang cuma asal tulis dari khayalan belaka. baca novel ini nggak cukup sehari dua hari. berasa baca novel terjemahan. Keren alurnya. gaya bahasanya juga asik. Salut buat farah, moga makin sukses ya....
Profile Image for Enzy's Isra.
1 review
October 28, 2014
Novel dengan cerita yang menakjubkan.., masih setia menunggu kelanjutan ceritanya...
Displaying 1 - 14 of 14 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.