Berisi 16 cerpen pilihan yang terbit di harian Kompas pada tahun 2000.
Dua Tengkorak Kepala karya Motinggo Busye, cerpen terbaik Anjing! karya Herlino Soleman Santan Durian karya Hamsad Rangkuti Lebaran ini, Saya Harus Pulang karya Umar Kayam Usaha Beras Jrangking karya Prasetyo Hadi Darmon karya Harris Effendi Thahar Salma yang Terkasih karya Ratna Indraswari Ibrahim Mawar, Mawar karya Yanusa Nugroho Metropolitan Sakai karya Abel Tasman Seusai Revolusi karya Jujur Prananto Telepon Dari Aceh karya Seno Gumira Aji Darma Bulan Angka 11 karya Arie MP Tamba Wanita yang Ditelan Malam karya Bre Redana Ruang Belakan karya Nenden Lilis A Dua Orang Sahabat karya AA Navis Laba-laba karya Gus tf Sakai
Melalui buku kumpulan cerpen Dua Tengkorak Kepala, pembaca seolah bisa ikut merasakan suasana carut-marut di dunia sosial & politik Indonesia era akhir 90-an sampai awal 2000-an. Terima kasih pada kritik sosial kental yang dapat pembaca rasakan dalam ke-16 cerpen di buku 200 halaman ini. Beberapa cerpen sayangnya terlalu fokus pada kritik yang ingin dia ungkapkan sampai lupa bahwa dirinya adalah cerpen yang seharusnya asyik untuk dibaca, bukan laporan membosankan yang mengajarkan apa yang baik dan apa yang buruk kepada pembaca. Aku sendiri memang bukan penggemar cerpen-cerpen bernada "penuh ceramah". Akan tetapi, Dua Tengkorak Kepala tetaplah merupakan bacaan menarik karena memberikanku insight tentang mengapa beberapa cerpen penuh kritik sosial lebih enak untuk dibaca daripada beberapa cerpen lain.
Volume ini benar-benar terasa genre realisme sosial khas Kompas. Dari judul cerpen terpilih, "Dua Tengkorak Kepala", hidup di tengah keterhimpitan ala "Usaha Beras Jrangking", hingga ringkasan hidup dua sahabat perempuan di "Salma yang Terkasih". Saya merasa cerpen-cerpen dalam antologi ini solid, tapi memang tidak ada yang menhentak. Mungkin relatif mudah terlupakan, tapi justru itu menariknya, saya bisa menikmati kembali hidup yang "gini-gini saja". Menikmati kembali gosip (atau fitnah) di "Ruang Belakang", menyaksikan ironi parenting di "Anjing!", atau menemani mahasiswa aktivis "ndakik-ndakik" ala "Darmon" atau "Seusai Revolusi".
Kumpulan Cerpen Kompas tahun 2000 dengan judul Dua Tengkorak Kepala adalah kumpulan cerpen yang penuh dengan cerita unik dan bermakna. Terdiri dari 16 cerpen dari para cerpenis terkenal dan dua ulasan dari kritikus sastra (Goenawan Mohamad dan Budiarto Danujaya), menjadikan buku ini adalah sebuah warna tersendiri dan sebuah harta karun yang memuat pesan yang "nyinyir" sekaligus kompleks. Walaupun disajikan dalam hanya beberapa lembar saja setiap cerpennya, saya banyak belajar tentang pesan moralitas, kepekaan sosial dan lain- lain.
Terdapat beberapa cerpen yang saya sukai pada buku ini. Beberapa di antaranya adalah Lebaran Ini Saya Harus Pulang karya Umar Kayam tentang keinginan Nem, seorang ART, yang ingin sekali pulang ke kampung halaman setelah bertahun tidak pulang walaupun kepulangannya tidak membuat nelangsa kehidupannya hilang. Beberapa harta kepunyaannya (sapi, sawah) mungkin telah habis dijual keluarganya untuk bertahan hidup dari kesengsaraan, tetapi tidak membuat Nem ngilu. Di akhir cerpen bahkan ajaibnya pengarang menyihir pembaca dengan menggambarkan sosok Nem yang penuh kesederhanaan dan penuh penerimaan kepada nyeri kehidupan.
Telepon dari Aceh karya Seno Gumira Ajidarma juga menjadi salah cerpen favorit. Seorang koruptor yang hatinya sudah padam digambarkan benar- benar bobrok dan bejat disebabkan kemewahan hidup sebagai seorang koruptor perlu dilanggengkan. Menjadi koruptor juga menjadi buta akan isu kemanusiaan. Bahkan untuk isu terkecil pun, yaitu kematian salah satu keluarganya yang tidak juga membuat dia melunakkan hati. Kompleksitas tabiat manusia banyak ditelanjangi pada cerpen ini.
Cerpen- cerpen lain yang menarik, antara lain Darmon karya Harris Effendi Thahar, Dua Tengkorak Kepala karya Motinggo Busye, Anjing! karya Herlino Soleman, dan beberapa yang tak sempat disebutkan juga mewarnai buku ini. Pada dasarnya, kumpulan cerpen Kompas selalu menyajikan karya sastra koran terbaik dan terpilih kepada pembaca; bukan hanya untuk memberikan warna pada khazanah sastra itu sendiri, tetapi juga memberikan makna yang dalam untuk dijadikan preferensi pola pikir bagi pembaca yang belajar.
Kejutan. Ternyata di akhir buku ada review tajam, jujur, dan sangat detail dari Mpu Filsafat Politik: Budiarto Danujaya. Keren bangeeet. Beberapa cerpen disebut langsung, yang suka dan tak suka, berikut kenapa-nya. Intinya, ada stereotipe yang terlalu mainstream di sebagian besar sastra koran dalam hal ini cerpen. Kurang riset, kurang kaya. Cerpen favorit saya "Seusai Revolusi" termasuk yang dinilai kurang matang oleh beliau. Selalu menarik membaca review seorang ahli, tapi tetap sebagai seorang awam, semata-mata menikmati cerpen hanya pakai 'rasa', tentu preferensi adalah sebuan kebebasan. Dan saat membaca cerpen satu ini, rasanya sangat 'tune-in', nampol, dan lama bertahan citarasanya.
Semua cerpen di buku ini ceritanya baik. Namun tidak semua bisa dinikmati oleh saya pribadi dengan baik. Ada yang terlalu panjang, cenderung membosankan. Beberapa cerita saya skimming tanpa dibaca lebih lanjut.
Membacanya dari belakang ke depan (cerpen yang dikomentari oleh Goenawan Mohamad) seperti Laba-laba, Dua Orang Sahabat. Kemudian dilanjutkan dari Cerpen pembuka. Dua Tengkorak Kepala karya Motinggo Busye menghadirkan kisah tragis bersetting sumatra utara yang khas. Ada judul Usaha Beras Jrangking karya Prasetyohadi yang entah bagaimana bisa begitu dekat dengan pembaca. Ya, cerita seputar nasi aking yang menjadi pengganti beras di kala musim kemarau. Juga "Telepon dari Aceh" oleh Seno Gumira yang cukup telak menyinggung para koruptor, sang penulis terkesan ingin memuntahkan kemarahannya lewat cerpen ini. Semoga tulisan ini tidak hanya berakhir di koran dan buku kumcer tersebut. Tentu saja tulisan ini masih layak dibaca di tahun 2014. Setelah 14 tahun pun masih fresh untuk dinikmati. Soal korupsi yang masih belum habis di Indonesia.
Semua cerita di dalam kumpulan cerpen ini adalah favorit gue. Ngga mengherankan sih, soalnya ini kan kumpulan cerpen. Jadi yang dipilih adalah cerpen-cerpen terbaik, walopun gue bukan fans berat dari Seno Gumira Ajidarma ataupun Bre Redana yang cerpen-cerpennya sering muncul di Kompas.
Tapi cerpen yang paling berkesan buat gue adalah tentang keluarga koruptor. Duh Gusti, gue lupa judul dan penulisnya. Dan.. gue males nyari bukunya. Pasti buku ini ada di tumpukan buku-buku yang udah di debuin deh.. nanti bersin ah..
Kenapa gue suka? Karena gue pernah ngebahas cerita itu di mata pelajaran Bahasa Indonesia. Hahahaha... Abisnya cerita itu ditulis dengan gaya bahasa yang enak dibaca, tapi sinis abis hahaha..
Nanti kalo bukunya ketemu, gue akan nulis deh, judul cerpen dan nama penulisnya siapa.
Siapa yang berani menganggap remeh kualitas cerpen pilihan Kompas ?
Rasanya nggak ada.
Karena Kompas punya sejuta kriteria dan penilaian, tentunya ajang ini no korupsi coy..hehe Seluruh cerpen di sini tentunya memiliki semacam value, bahwa karya literasi tidak hanya tentang keindahan kata-kata tetapi juga misi cerita.
Ada banyak judul yang ditulis indah, yang menurut saya paling berkesan adalah "Telepon dari Aceh". Penulis memaparkan tentang seorang koruptor yang betapa tak punya hati. Ia bahkan menganggap korupsi adalah salah satu bentuk menyanyangi keluarganya.
"Biar saja saya korupsi. Ini bukan supaya saya bisa jadi kaya raya, tetapi supaya kehidupan anak cucu saya terjami. Saya korupsi demi mereka" -- mungkin ini salah satu yang ingin diungkapkan penulis melalui cerpennya.
Cerpen dengan judul "Dua tengkorak Kepala" emang pantes jadi juara satu di cerpen pilihan Kompas thn 2000, tapi cerpen2 yang lainnya di buku ini gk kalah bagusnya kok. Emang sulit menentukan yang the best dari kumpulan cerpen terbaik ini, salut buat para juri yang sudah memilih "Dua tengkorak kepala" jadi juaranya.
Saya paling suka cerpen karangan SGA berjudul 'Telepon dari Aceh', latar belakang di rumah seorang koruptor dan berisi perbincangan keluarga koruptor tersebut pada suatu malam. Ditulis dengan sangat bersahaja namun emosional. Berkesan sekali.
beli baru2 ini pas kompas gramedia fair di gramed expo suroboyo, lumayanlah cuman 10rb hehehe... dunt buy d book by its cover, price of course...hahahaha
Selain cerpen yang dijadikan judul "Dua Tengkorak Kepala" yang berkisah tentang DOM dan GAM di Aceh, satu lagi cerpen yang nempel adalah "Santan Durian"