Jump to ratings and reviews
Rate this book

Amba

Rate this book
Tahun 2006: Amba pergi ke Pulau Buru. Ia mencari orang yang dikasihinya, yang memberinya seorang anak di luar nikah. Laki-laki itu Bhisma, dokter lulusan Leipzig, Jerman Timur, yang hilang karena ditangkap pemerintah Orde Baru dan dibuang ke Pulau Buru. Ketika kamp tahanan politik itu dibubarkan dan para tapol dipulangkan, Bhisma tetap tak kembali.

Novel berlatar sejarah ini mengisahkan cinta dan hidup Amba, anak seorang guru di sebuah kota kecil Jawa Tengah.

“Aku dibesarkan di Kadipura. Aku tumbuh dalam keluarga pembaca kitab-kitab tua.”

Tapi ia meninggalkan kotanya. Di Kediri ia bertemu Bhisma. Percintaan mereka terputus dengan tiba-tiba di sekitar Peristiwa G30S di Yogyakarta. Dalam sebuah serbuan, Bhisma hilang selama-lamanya. Baru di Pulau Buru, Amba tahu kenapa Bhisma tak kembali.

578 pages, Paperback

First published January 1, 2012

2983 people are currently reading
7955 people want to read

About the author

Laksmi Pamuntjak

20 books254 followers
Laksmi Pamuntjak is a bilingual Indonesian novelist, poet, food writer, journalist and co-founder of Aksara Bookstore. She works as an art and food consultant and writes for numerous local and international publications including opinion articles for the Guardian.

She is the author of two collections of poetry (one of which, Ellipsis, appeared in the 2005 Herald UK Books of the Year pages); a treatise on the relationship between man and violence based on the Iliad; a collection of short stories based on paintings; five editions of the best-selling and award-winning Jakarta Good Food Guide; two translations of the works of Indonesian poet and essayist Goenawan Mohamad; and two bestselling novels.

Amba/The Question of Red, Pamuntjak’s first novel, won Germany’s LiBeraturpreis in 2016, was short-listed for the 2012 Khatulistiwa Literary Award, appeared on the Frankfurter Allgemeine Zeitung’s Top 8 list of the best books of the Frankfurt Book Fair 2015, and was named best work of fiction from Asia, America, Latin America, and the Caribbean translated into German on the Weltempfaenger (Receivers of the World) list. The novel is a modern take on the Hindu epic Mahabharata set against the backdrop of the Indonesian mass killings of 1965 and the Buru penal colony, and has been translated into English, German (Alle Farben Rot, 2015) and Dutch (Amba of De Kleur Van Rood, 2015). It also appeared in De Bild's Top 10 Books of the Frankfurt Book Fair 2015, and the ORF Kultur Top 10 List for November 2015.

Pamuntjak was selected as the Indonesian representative for Poetry Parnassus at the 2012 London Olympics. Her prose and poetry have been published in many international literary journals. She currently divides her time between Berlin and Jakarta.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
1,106 (27%)
4 stars
1,586 (39%)
3 stars
980 (24%)
2 stars
271 (6%)
1 star
86 (2%)
Displaying 1 - 30 of 668 reviews
Profile Image for Uci .
617 reviews123 followers
January 9, 2013
Menurut saya ini bukan kisah cinta berlatar tragedi, tapi tragedi berlatar kisah cinta. Kisah cinta Amba dan Bhisma hanya sebagai pengantar untuk menggiring pembaca memasuki hari-hari mencekam di bulan September 1965, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi dari sudut pandang orang-orang yang tak sepenuhnya mengerti. Mengenal Pulau Buru yang begitu terkenal namun begitu asing. Dan di Buru semua penantian selesai. Di Buru kami hidup untuk mati.

Selain tema besar G30S dan Pulau Buru, Amba juga mengingatkan tentang konflik yang terpendam di negeri ini. Konflik antara Islam dan Kristen, atau antara NU dan Muhammadiyah yang sama-sama Islam. "Kami" dan "Mereka" yang kadang tak jelas batasnya.

Saya berterima kasih karena berkat novel-novel dengan riset serius semacam ini, saya jadi sedikit tahu tentang sejarah. Mungkin seperti banyak orang, saya malas untuk mengingat. Padahal G30S termasuk sejarah paling kelam dan paling berdarah yang dialami bangsa ini. Sampai kapan akan terus menjadi rahasia?

...seorang teman suka mengatakan bahwa sejarah adalah langkah seorang raksasa yang tak punya hati. (hal.444)

Mengenai segitiga Salwa-Amba-Bhisma...apakah cukup menjelaskan takdir mereka hanya karena nama mereka pernah tertera dalam kisah Mahabarata, dan dengan demikian mereka tidak akan bisa mengelak dari kisah yang sudah digariskan?

Mungkin saya mengharapkan kisah cinta yang lebih masuk akal. Tapi seperti ucapan di awal, saya menganggap ini bukan cerita cinta, melainkan pengingat akan sejarah.
12 reviews1 follower
July 17, 2019
I really loved Amba. She was a charming, smart, strong-independent woman.... at least until Bima came. Then she turned into some horny teenager who forgot all her dreams and ambitions. Bima was all she could think about.

The plot was a bit dragging after 3-4 chapters. The dialogues were repetitive. Amba missed Bima, then they met and fucked. Bima left her but then met her again because he was horny loved her too much, they fucked again, yada yada blahblahblah.

After they got separated by the Communist Party rebellion (or something like that, I forgot), I couldn't care less. I got bored, skipped some pages, got bored again.

Remember when I said I loved Amba? Well, I hate her now. She's an annoying drama queen who loves toying people, especially men because she knows she's hot and men can't wait to get into her pants.
Profile Image for ✨Bean's Books✨.
648 reviews6 followers
January 16, 2019
Fascinating.
In 1960s Indonesia, a world being shaped by revolution, Amba is hell-bent on carving her own path through life. A path away from the unfortunate essence of her name (being that of a tragic Indonesian princess). Life begins to play tricks on her when she comes in contact with not one but two suitors. One of which offers her stability the other one carnal pleasure. How can one decide between the two? Amba has her work cut out for her as politics and religion come into play. She may even find out more about herself along the way.
Okay so first off a warning, the writing in this book is very choppy and I wholeheartedly believe that that is due to it being translated from Indonesian to English. But once you get past the first couple of chapters the writing just kind of seems to grow on you and you get past it. there are some portions of the book that seem to repeat itself over and over again. there is also a lot of backstory for characters who seem non consequential to the main plot. As English is my first language, a lot of the names of people and places in this book are a little hard for me to follow. But again after a few chapters of reading you find that you can get past it.
It's interesting to watch another country's revolution through their eyes. The rise and fall of Communism was a huge point in history in every country it touched. And this place the central scene throughout this book. There were however a lot of lighthearted instances in this book. Parts of it actually reminded me of My Big Fat Greek Wedding in the family dynamics that are portrayed. Not to lump one group with the other but it reminded me of the same lightheartedness and familiarity with the scene that you feel while watching that film.
I learned something while reading this book that I did not know before: Like Judaism, you can be only "partly Muslim" and still practice local tradition and customs older than the 14th century. I had no idea that this was even possible. But you learn something new everyday and definitely learn new things while reading.
All technicalities aside this book was a great read. One that I would definitely recommend to anyone who can get past the choppy writing style of the translated work.
Profile Image for John Ferry Sihotang.
27 reviews47 followers
wish-list
December 2, 2012
Saya tertarik ingin membaca novel ini karena ulasan tuan Bambang Sugiharto, seorang ahli Posmodernisme dan Estetika di Indonesia.


Amba: Enigma Batin Manusia dan Kekonyolan Ideologi

Oleh Bambang Sugiharto*

Di pulau Buru, laut seperti seorang ibu: dalam dan menunggu. ...Tapi, sesekali, sesuatu bisa terjadi di pulau ini—sesuatu yang begitu khas dan sulit diabaikan—dan orang hanya bisa membicarakannya sambil berbisik, seperti angin di atas batu yang terus-menerus membalun dan menghilang melalui makam orang-orang tak dikenal....”

Begitulah novel Amba dibuka penulisnya, Laksmi Pamuntjak, penyair dan salah seorang penulis esai paling andal negeri ini. Novel ini adalah cerita tentang seorang perempuan bernama Amba yang mencari Bhisma, kekasihnya, setelah 40 tahun berpisah akibat ditahannya Bhisma sebagai tahanan politik di Pulau Buru. Dan, di Pulau Buru itu, Bhisma ditemukan telah meninggal.

Kendati alur utama ceritanya sederhana, novel setebal hampir 500 halaman ini dibentuk dan ditata sedemikian rupa sehingga menawarkan berlapis-lapis kemungkinan makna yang sangat kaya, berkaitan dengan signifikansi kemelut politik tahun 1965, transisi Indonesia pada awal modernitasnya, aneka ironi dan absurditas ideologi, misteri dan kerumitan cinta, hingga kepiawaian memainkan bahasa Indonesia.

Tradisi, ideologi, dan individu

Berjajaran, dan kadang bertabrakan, dengan kisah tentang Amba-Bhisma-Salwa versi Mahabharata, tokoh-tokoh utama dalam novel ini diberi nama serupa, tetapi dengan alur kisah yang konteksnya berbeda: Indonesia seputar 1965.

Amba, Bhisma, dan Salwa pada novel ini adalah orang-orang yang dibesarkan ketika Indonesia dicabik-cabik aneka pertentangan penuh paranoia, ketidakpastian, dan kekerasan antarkelompok (BTI, Pemuda Rakyat, Lekra, Pemuda Marhaenis, kelompok-kelompok agama, dan sebagainya).

Sebagai anak cerdas yang tumbuh dalam aneka benturan itu, Amba hidup dengan aspirasi berbeda dari ayahnya, seorang kepala sekolah yang senantiasa mengandalkan kearifan ala Serat Centhini, Wedhatama, dan bermacam puisi Jawa. Amba belajar Sastra Inggris di UGM dan menjadi pribadi yang berbeda, pribadi yang ”menata pikiran dan dunianya dalam bahasa lain, bukan bahasa bapaknya”.

Sementara tunangannya, Salwa, adalah seseorang yang meniti karier sebagai tenaga pengajar bidang pendidikan di UGM juga. Kendati ayahnya orang Muhammadiyah dan ibunya keturunan NU, Salwa sendiri tak mengikatkan diri secara khusus pada agama ataupun politik. Ia membangun dirinya sendiri sebagai seorang terpelajar yang mengabdi pada dunia pendidikan.

Namun, akhirnya, ternyata Amba mengalami cinta yang sesungguhnya bukan kepada Salwa, melainkan Bhisma, dokter muda lulusan Universitas Karl Marx, Leipzig, Jerman Timur, yang saat itu bekerja di sebuah rumah sakit di Kediri. Sebenarnya Bhisma adalah ”anak Menteng”, tetapi pengalaman di Eropa membuatnya bersimpati pada gerakan kiri, gerakan kaum tertindas. Sayang, pada 1965, ia ditangkap di Yogyakarta, lantas dibuang ke Pulau Buru. Dan, di pulau itu, ia hidup sebagai ”Resi”, penyembuh di antara penduduk, sampai meninggalnya. Dari Bhisma ini, Amba sempat mendapatkan seorang anak, Srikandi. Namun, setelah Bhisma ditangkap, Amba menikah dengan Adalhard Eilers, seorang Amerika yang menghabiskan sisa hidupnya di Indonesia.

Tokoh-tokoh utama novel ini memang individu-individu yang akhirnya keluar dari kerangka akar-akar tradisional awalnya, lantas membentuk sendiri kehidupan masing-masing setelah terbentur dan terseret-seret aneka kemelut zaman yang serba tak terduga arahnya. Mereka adalah orang-orang yang akhirnya tak rela membiarkan diri terpenjara dalam segala sekat identitas ideologis yang stereotip dan berani hidup dalam kesunyian reflektivitas kritis mereka sendiri, sambil sekaligus membiarkan hidup mereka dipanggang oleh sesuatu yang bernama cinta, dalam segala enigma, ambiguitas, dan misterinya. Pribadi-pribadi yang soliter dan marjinal, tetapi yang tahu betul apa yang mereka anggap berharga. Sosok mereka mengingatkan kita pada kaum eksistensialis, yang meyakini bahwa hidup adalah proyek pribadi: tegangan mendebarkan antara kebebasan dan keberanian menanggung konsekuensi.

Artikulasi tak lazim

Yang membuat novel Amba bukan sekadar epik sejarah ataupun roman biasa adalah gaya penuturannya, kedalaman pelukisan psikologi para karakternya, reflektivitasnya yang filosofis dan erudit, kecermatan pemerian latar, suasana dan duduk perkara, yang menunjukkan riset mendalam, serta struktur pengemasannya yang eksperimental.

Hal yang langsung menonjol adalah keterampilannya dalam mengeksplorasi kekuatan bahasa Indonesia. Keseluruhan tuturannya tidak saja puitik dalam arti berenda-renda, tetapi terutama puitik dalam arti mampu mengartikulasikan situasi-situasi batin konkret yang sebetulnya tak terartikulasikan, melukiskan adegan-adegan yang sesungguhnya tak terlukiskan, dan dengan cara itu setiap adegan sekaligus ditarik ke dimensi makna lebih dalam.

Ada keterampilan luar biasa dalam mengeksplorasi diksi dan memainkan kemungkinan-kemungkinan semantik di sana. Tengoklah frasa macam ini, misalnya: ”Samuel meletakkan tangannya pada lengan perempuan itu. Lengan yang seperti bukan lengan, melainkan sesuatu yang kering, sesuatu yang datang dari sebuah paceklik”.

Di antara halaman-halaman novel ini bertebaran serpih-serpih perenungan filosofis yang sesungguhnya pelik dan mendalam, tetapi dituturkan dengan ringan dan segar. Dalam sebuah dialog imajiner antara Bhisma dan anaknya yang tak ia kenal, misalnya, si anak berkata: ”Aku masuk dunia seni”…”Aku mencoba menjelajah celah yang retak antara kata dan benda”.

Dari sisi arsitektur-bentuknya, novel ini pun unik. Hubungan intertekstual antara kisah Mahabharata dan alur novel dieksplisitkan dengan meletakkan kutipan-kutipan tertentu dari kitab Parva pada awal setiap ”buku” (bab). Sementara alur cerita ditata dalam bentuk selang-seling antara narasi, tulisan surat-surat, monolog interior yang dicetak miring, dan sesekali kutipan-kutipan Serat Centhini.

Ada, memang, bagian-bagian tertentu yang terasa agak kedodoran (redundant), seperti bagian masa kecil Amba yang agak terlalu panjang, atau juga bagian-bagian monolog interior tertentu yang sering kali kabur maknanya, meskipun kadang terdengar indah bagai musik. Namun, ini sebenarnya tak seberapa mengganggu.

Sudah banyak memang novel yang bercerita tentang tragedi tahun 1965 dengan bermacam konsekuensi psikososialnya. Namun, tak berlebihan rasanya jika dikatakan bahwa dari sisi kematangan penguasaan bahan, erudisi, dan kedalaman visi kemanusiaan, serta kepiawaian olah bentuknya, Amba adalah novel bertaraf world class. Di Indonesia sendiri, kiranya ini adalah salah satu puncak baru dalam pencapaian sastra kita. Semoga versi bahasa Inggris dari novel ini tak harus menunggu terlalu lama untuk dapat disambut dunia.

*Bambang Sugiharto Guru Besar Estetika; Mengajar di Unpar dan ITB, Bandung

Sumber: Kompas Cetak, Minggu, 11 November 2012
Profile Image for Widyanto Gunadi.
107 reviews39 followers
April 24, 2021
Amba, or The Question of Red as it's known in English, is an epic tale of love and loss. However, it's also something grander. It's a single substantial testament to a dark period in our longtime history as a nation. When humanity succumbed to its lowest point as fellow men kill one another, in the name of differing ideologies and religions, in the process of searching and forming an ultimately befitting and applicable model of government for a brighter future. By clearly taking inspiration from the mythos of Mahabharata, one of India's greatest folklores, the saga follows the titular character's journey of finding light about her inexplicably missing lover, a man named Bhisma, who is a doctor and a significant member of the Communist party. With a political theme centered around the tumultuous era of communism in 1960s Indonesia, the book manages to elaborate what most local history classes in high schools across the country might not dare to delve into in-depth. Further, it succeeded in doing so while trying to give a voice over the voiceless, namely, the oppressed and sorely misjudged people of the Communist group, ones exiled to Buru Island at the time. It means the author attempted justice, hopeful that Indonesians who read it will gain a fresh perspective on the matter. Consequentially, so as not to single-handedly accuse and dismiss communist people, their fellow countrymen, as pure evil and well-deserving of punishment, torture, and the death penalty for holding a different view on the world that surround them. Language-wise, this highfalutin, seamless mixture of truth and fiction, has an overall aureate and so purple a prose ideal for telling a timeless romance, but not so much for conveying some of the more historical, matter-of-fact portions of the story. What I mean is, Mrs. Pamuntjak should consider alternating her writing styles, between the lyric and the dry, to accommodate a better understanding of the factual bits of background information, as well as the contextual settings of the story. Avoiding, therefore, the danger of the impressionistic trap of pretentiousness and self-aggrandizement. Unlike many, however, I would also like to give props to the author and this book where it's due. Few have complained about the book's length, stating that it's too long and meandering. I, on the contrary, think that it's a proper decision to make the book rather be on the thicker side as far as page number counts. Extensive research spells an equally expansive output, after all. Besides, the minute elucidations of the text's political elements are very helpful and enlightening for readers who have no prior knowledge or are still unfamiliar with any Indonesian history. I guess there's no problem with being meticulous where it's necessary, which, in this case, it is. All in all, Amba is a great historical fiction debut novel from Laksmi Pamuntjak and a fine homage to Pramoedya Ananta Toer's stupendous and monumental Buru tetralogy.
Profile Image for Fatoni M.
367 reviews81 followers
August 13, 2021
Buku ini adalah buku ketiga fiksi sejarah yang punya latar peristiwa G30S/PKI yang aku baca--dua buku lainnya adalah Ronggeng Dukuh Paruk dan Cantik itu Luka. Dibandingkan 2 buku lainnya, latar di buku ini sangat detail sehingga aku sarankan kalian untuk kenalan dulu dengan PKI dan peristiwa G30S/PKI, khususnya tragedi setelahnya; kalian bisa baca rangkumannya di Wikipedia. Selain itu, aku sarankan juga kalian kenalan dengan kisah Mahabharata, khususnya cerita yang menyangkut Amba, Bhisma, dan Salwa. Kedua hal tadi jadi subjek penting di buku ini soalnya.

Laksmi Pamuntjak setelah aku kepoin ternyata juga penyair, pantas saja gaya tulisannya bagus banget. Gaya dia mirip Ahmad Tohari dalam mendeskripskan perasaan tokohnya, panjang dan serius. Namun, Mbak Laksmi punya kiasan-kiasan yang lebih cantik--andai dia juga detail dalam mendeskripsikan latar, aku bakal betah banget bacanya.

Premis buku ini diawali oleh Amba yang datang ke Pulau Buru untuk mencari seseorang bernama Bhisma. Yap, Pulau Buru yang itu, tempat pembuangan para tahanan politik pasca peristiwa G30S/PKI. Ketika aku mulai bingung karena diterjukan begitu saja di sebuah peristiwa, akhirnya penulis membawaku falshback: menceritakan Amba dan siapa Bhisma dan bagaimana relasi mereka sampai nanti bagian terakhir buku, mengembalikanku kembali ke masa sekarang. Pada intinya, alur utama cerita ini soal romansa, dengan berlatar sejarah, dan dengan bumbu soal memilih takdir sendiri, cinta, dosa, dan penebusan.

Sayang sekali, aku benci Amba, hahaha. Aku tidak akan menyebut detail apa yang dia lakukan, tapi dia tipe orang yang punya banyak anugerah dan nasib baik, tapi dia kemudian membuang semuanya. Menyebalkan. Hahaha.

Selain aspek penokohan Amba, aku suka semuanya dari buku ini, khususnya menyangkut latar sejarahnya. Aku ikut merasakan ketegangan selama detik-detik menjelang peristiwa 30 September 1965, bagaimana H+1 orang-orang hanya tau peristiwa itu lewat radio, dan mereka sama sekali tidak sadar bahwa beberapa bulan ke depan, horor pembantaian akan sampai ke pelosok-pelosok Jawa. Di sini diceritakan pula keadaan selama masa pengasingan di Pulau Buru--walaupun nggak melulu gelap, tapi kerasa banget sengsaranya.

Aku amat sangat rekomendasikan buku ini untuk kamu yang suka fiksi sejarah, kisah cinta yang tidak selalu suci, dan gaya tulisan yang begitu indah.
Profile Image for Pepero.
84 reviews16 followers
January 27, 2023
I plan on giving this book one star, but I love the writing style and prose so much that I can't bring myself to give it less than 2 stars.

There is a 7-part story in this book, each with its own sub-chapter. In the first book, we met Amba, a 62-year-old woman who decided to go to Pulau Buru to find out about her long-lost lover (Bhisma).

The story alternated between the past and present, as we learned more about Amba's history. As a child, she always believed that being pretty was pointless, but I think she may have been jealous of her sister's beauty.

Sometimes she would say how shameful it was that her beautiful sisters loved men so much. She even once called one of them a whore for it.

It was ironic since if we read the book, it would have shown the reason she loved Bhisma is because he gave her the sexual life she never got from her current fiancee, Salwa.

I find myself increasingly frustrated with Amba. She's a self-centered woman who thinks she's better than any other woman despite being too reliant on Bhima. This made things really bad between her and Bhima.

And it's uterlly ridiculous how all men just fall in love with her right away.
Also the way most of the women character just fit the mysoginist concept really dissapoint me
Profile Image for Vidi.
97 reviews
March 3, 2013
Saya percaya bahwa semua orang pasti akan memiliki, paling tidak, sebuah puncak dalam kehidupannya. Seorang juara olimpiade, misalnya, merasa puncak kehidupannya adalah ketika ia menaiki podium untuk menerima medali emasnya. For one moment in his life, he was on the top of the world. Walaupun sekarang ia hanyalah seorang pria biasa, paling tidak, ia akan selalu mengenang saat itu sebagi puncak dalam kehidupannya. Seorang pengusaha sukses, misalnya, selalu mengenang ketika ia di saat remajanya pernah menjuarai kejuaraan bulutangkis tingkat kelurahan. Tidak menjadi soal bahwa ia sekarang seorang yang sukses dan berkelimpahan, ia merasa saat itulah hal yang paling membanggakan terjadi dalam hidupnya. Puncak kehidupan bisa saja terjadi ketika seseorang menemukan cinta sejati dalam hidupnya. Cinta yang akan terjadi satu kali saja dalam hidupnya. Tak menjadi soal apakah cinta itu akan memiliki atau tidak. Hanya saat itu yang menjadi soal, masa lalu dan masa depan menjadi tidak relevan. Lalu apa yang terjadi bila seseorang terenggut dari masa itu, saat ia merasakan puncak kehidupannya. Inilah yang terjadi pada Amba.

Amba dipaksa untuk kehilangan Bhisma ketika cinta mereka sedang mekar-mekarnya. Bhisma ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru karena dianggap terlibat dengan komunisme. Saat itulah kehidupan Amba seakan terhenti pada masa itu. Amba merasa selamanya akan terperangkap. Kemudian Amba merasa harus menyelesaikan semua hal yang tertunda itu. Ia memerlukan sebuah penutup. Tetapi bila Anda mengharapkan sebuah kisah cinta yang mendayu-dayu maka bersiaplah untuk kecewa. Kisah cinta ini begitu tegas, begitu lugas sekaligus begitu kuat.

Sebuah kisah cinta yang menggetarkan yang dilatarbelakangi pada suatu masa yang paling gelap dalam sejarah bangsa ini. Suatu masa yang demikian gelap. Suatu misteri yang mengantarkan sebuah partai komunis terbesar ketiga di dunia pada saat itu, setelah Partai Komunis Rusia dan Partai Komunis China, pada jurang kehancuran. Bagaimana mungkin sebuah partai yang demikian perkasa dapat runtuh dalam waktu hanya beberapa minggu saja. Kisah ini juga mengingatkan kita bahwa komunis bukan berarti PKI. Condong ke kiri juga bukan selalu berarti komunis. Seseorang yang idealis yang menganggap jurang kesenjangan antara kaya dan miskin adalah sesuatu kesalahan sistem juga bukan berarti komunis. Yang jelas sebuah partai yang dianggap bersalah atas sebuah kudeta bukan berarti ideologinya juga salah. Yang pasti, memaksakan sebuah ideologi adalah sebuah kesalahan.

Amba, Sebuah Novel. Saya lebih setuju untuk menyebut buku ini sebagai roman. Penokohan karakter cerita ini begitu dalam. Tokoh Amba diceritakan secara lengkap sejak dari anak-anak hingga dewasa. Kisah ini lebih merupakan kisah hidup Amba daripada sekedar penggalan kehidupan Amba. Mungkin embel-embel 'sebuah novel' hanyalah direkatkan untuk lebih menegaskan bahwa kisah ini hanyalah fiksi sebagai akibat paranoia terhadap tuduhan subversif warisan masa lalu.

Laksmi Pamuntjak menceritakan kisah ini menggunakan sudut pandang orang ketiga, sebagai penutur yang serba tahu. Tetapi saya merasa jika saja cerita ini dikisahkan menggunakan sudut pandang orang pertama akan lebih menarik.

Secara garis besar, buku ini adalah sebuah karya yang patut untuk diapresiasi. Paling tidak dari keberanian Laksmi Pamuntjak mengambil latar belakang cerita di tahun '65 dan riset yang demikian kental terasa. Sangat patut disimak.
Profile Image for Zulfy Rahendra.
284 reviews76 followers
March 26, 2013
Wahai lelaki-lelaki tangguh..
Tahukah kalian seberapa besar kami, para wanita lemah dan tak berdaya ini, dapat mencintai. Seberapa lama kami sanggup menunggu, menggantungkan hidup hanya pada harapan. Seberapa kuat kami akan bertahan dan setia. Seberapa besar pengorbanan kami hanya untuk melihat kalian ada, nyata. Dan betapa kami tak akan pernah melupakan. Tahukah? Tahukah?? *hadeehh, pembukaan aja udah galau*

Adalah Amba, yang akan menunjukkannya. Amba, 20 tahun, mencintai Bhisma. Amba, 60 tahun, mencari kebenaran tentang Bhisma. Selama rentang waktu hidupnya sebelum ia “menemukan” Bhisma, Amba terjebak, ga bisa move on kalo kata anak sekarang mah, dan selamanya terkurung dalam kenangannya bersama Bhisma. 40 tahun lebih (40 taun loh!! Kurang setia apa yang namanya perempuan??!! Yah tergantung cewenya juga sihh) Amba menunggu Bhisma, bahkan jika Bhisma hanya tinggal setitik kabar. Amba mencari Bhisma, mencari tahu kenapa Bhisma tak kembali. Lalu akhirnya Amba menemukan Bhisma. Di Pulau Buru.

Well, baiklah. Novel ini emang kisah cinta. Tapi syukurlah, ini bukan roman yang menye-menye. Bagaimana Amba menjadi wanita setegar, sekeras, dan sesinis itu. Bagaimana Bhisma sampe dibawa ke Pulau Buru. Pencarian Amba ke Pulau Buru, yang akhirnya memberinya surat-surat tak terkirim yang Bhisma tulis selama menjadi tapol di Pulau Buru. Balutan sejarahnya kental sekali. Menceritakan nyaris dengan rinci dan sarat bahasa politik (yang saya ga ngerti) kisah tentang bagaimana “orang-orang komunis” ini ditangkap, pandangan-pandangan mereka, apa yang terjadi di Pulau Buru selama tempat itu dijadikan “pulau buangan”, menjadikan novel ini layak banget dibilang luar biasa. Ditambah diksi yang keren (tapi buat saya, yang lemah ini, cukup melelahkan), wajar lah kalo Amba dipuji banyak kalangan. Walaupun buat saya, tokoh Bhisma ini kok kayaknya sempurna sekali. Nyaris tidak manusiawi.

Yang saya tau tentang Pulau Buru hanya satu. Tempat pembuangan. Penjara para tahanan politik, penjara untuk mereka yang (atau cuma dikira, atau malah cuma sedikit berhubungan sama) komunis. Saya sama sekali ga tau dimana lokasi geografisnya, disana ada apa aja, keadaan penduduknya gimana, bahkan apa yang dilakukan para buangan itu dulu disana. Dulu saya kira Pulau Buru itu kayak Alcatraz atau Nusakambangan gitu (yang dua terakhir juga ga tau detilnya siihh..) Lugu sekali bukan? *perbedaan lugu dan bodoh memang hanya setipis rambut pi..* Saya juga tau Pulau Buru dari kata-kata “Tetralogi Buru”nya Pramoedya Ananta Toer yang terkenal itu. Dinamai “Tetralogi Buru” karena memang Pram nulis semua buku itu disana. Tapi setelah baca Bumi Manusia, saya tetep ga dapet gambaran tentang kayak gimana Pulau Buru. Orang Minke ga dibuang kesana kok. Dan akhirnya.... kebuntuan saya tentang Pulau Buru dipecahkan dengan dipinjamkannya buku ini kepada saya! Sungguh beruntung bukan? *tidakkah anda kenal internet dan mesin pencari, dek upi? Dan tidakkah anda ingin sekali-kali ngemodal buat beli buku bagus kayak begini?*

Sulit sekali, buat saya, untuk tidak membandingkan novel Amba dengan Pulang. Walaupun ceritanya beda banget sebenernya (Pulang: kisah tentang tapol yang terusir dari negeri sendiri, Amba: kisah tentang tapol yang dipenjara di negeri sendiri), tapi banyak unsur-unsur pendukung lain yang sama. Latar belakang sejarah yang digunakannya sama, ditambah pendekatan cerita di kedua novel ini yang dihubungkan dengan epos Mahabrata. Utamanya sih karena jarak saya membaca kedua novel ini hampir deketan juga. Gimana ngga ngebandingin coba? Dan terus terang, saya lebih suka Pulang. Temen saya bilang, Pulang sebenernya novel pop, yang jadi terkesan berat karena unsur sejarahnya. Buat saya, mengenalkan sejarah dengan novel pop seperti itu justru yang paling kena, menyenangkan dan gampang diterima. Amba ini terasa berat sekali. Belum lagi unsur-unsur wayangnya. Di Pulang, penulis menceritakan kisah Mahabrata nyaris secara tersurat, detil, dikasih paragraf sendiri. Di Amba lain lagi. Sama seperti segala hal yang ada di buku ini, kisah tentang seorang Amba yang dicampakkan dua pria, yaitu Bhisma dan Salwa (pada kisah wayang) ga dijelaskan secara gamblang *tidakkah kalian pikir kebetulannya agak kelewatan? Nama tokoh cerita ini sama tokoh di kisah wayang terlalu sama? Jadi aja “takdir”nya juga dibikin sama. Eh, apa ini emang sengaja?*. Dan buat saya itu agak menyulitkan, karena saya yang emang ga tau sedikit pun sama kisah perwayangan. Sehingga, membaca Amba terasa bagaikan perjuangan berat nan melelahkan bagaikan mendaki Himalaya #halah.

Amba adalah novel yang engga to the point dengan diksi tingkat tinggi. Saya perlu “menerjemahkan” kalimat-kalimat dan puisi-puisi yang ada dalam buku ini sebelum bener-bener sampe pada maksud yang sebenarnya *lelah! Lelah!!*. Saya kira, novel sejenis Amba ini adalah novel yang pemahaman dan penerimaannya bisa jadi beda-beda pada tiap orang. Kita yang harus pinter-pinter nangkep makna dari apa yang ditulis pengarang. Ditambah kenyataan bahwa novel Amba ini mengandung informasi sejarah dan politik yang jauh lebih padat daripada Pulang. Lebih padat, tapi ga dijelaskan dengan detil, seakan penulis menganggap semua pembaca adalah orang yang expert sejarah dan paham sekali soal politik dunia. Itulah satu-satunya alasan kenapa saya kurang klik sama novel ini. Dan lagi-lagi, kesalahan ada pada diri hamba yang hina ini. Kesalahannya adalah saya sama sekali buta tentang perkembangan politik pada masa itu, jadi aja baca ini kayak melewatkan banyak hal. Ada missing part-nya gitu. Bukan karena ceritanya, tapi karena pengetahuan saya yang minim. Sebenernya, kalo saya rajin dan niat pengen nambah ilmu sekaligus membaca ini dengan pemahaman maksimal, informasi-informasi itu bisa saya dapetin (minimal dan semurah-murahnya) di internet. Tapi berhubung saya malesnya udah setingkat Patrick-nya Spongebob, jadi yahhhh..... ya udah lah ya. Ga usah dibahas.

Gimanapun, saya rasa saya butuh sekali novel-novel seperti ini. Dengan mental males level advance dan tingkat kepedulian terhadap sejarah setingkat kepedulian saya terhadap cowo-kurang-tampan-kurang-pintar-kurang-ajar, novel seperti Amba ini terasa sangat informatif, menambah wawasan dan sangat mencerahkan. Aihhh...
Profile Image for Missy J.
629 reviews107 followers
December 24, 2023
description
1956 painting by S. Sudjojono

Finally tackled this big book (670 pages) by Laksmi Pamuntjak. It was my first time to read a work by this author and I'm quite impressed by what I read and the author's research skills. The idea behind the story of "Amba" is creative. Pamuntjak took a story from the Mahabharata of the tragic love triangle of Amba, Salwa and Bhisma and set it during the tumultuous years of the 60s in Indonesia. At that time a staged coup d'etat led to the massacre of anyone associated with the left, and Bhisma and Amba were forever separated from each other. I thought this idea was very creative and resulted in a well-crafted novel.

I'm not familiar with the Mahabharata, so this was a great way to learn about the tragic story of Amba. The book starts out with a big mystery - a woman from Jakarta is trying to find traces of her former "maybe-dead" lover, who was imprisoned many, many years ago in the notorious Buru Island (the great Indonesian author Pramoedya Ananta Toer was also imprisoned there hence his four greatest works are called the "Buru Tetralogy"). As a reader, I was intrigued right from the beginning; what happened to this woman and who are these characters.

The protagonist's name fulfills and follows the tragedy of Amba in the Mahabharata. We already know that Amba will not end up with Salwa, the man her parents like, nor Bhisma, the man Amba adores. However, there are a few twists in the story that keep it fresh; the third man, a German-American, her daughter Srikandi, who only shows up at the end of the novel, Samuel, the Ambonese son left behind by his parents who moved to the Netherlands, the religious war in the 90s in Maluku that reflects how easily violence springs up in this archipelago like unexpected volcano eruptions.

A few things that I did not like about this novel: it's a really huge book and I thought some parts could've been edited out. "Amba" is a story that swings between the past (60s) and the present (mostly year 2006). The story told in the past was excellent and evocative, but some parts in the present were boring. Maybe the author wanted to show how sensitive the state is when it comes to the incident of 1965 or how bureaucracy in Indonesia is a real pain in the .... All I know is that those parts were rather slow.

In summary, "Amba" depicts the confusion and pain surrounding the 1965 incident with vividness while also tying it together with other elements in Indonesian history - the Mahabharata, the religious war in Maluku, the present times. Sometimes this felt too ambitious and the main message got lost. It's a book that wants to come to terms with what happened and how do we move on if we never talk about it?

Profile Image for Bobbi.
218 reviews24 followers
September 23, 2018
Dnf at 74%. The prose in this book earned it an extra star for me, but I just couldn't get over the stark statement of the myth at the beginning. I felt like it spoiled the entire plot of the book, and afterwards, it just dragged. This was exacerbated by the its length. While a book based on the Mahabharata is a wonderful concept, it just wasn't realized correctly. It missed the mark for me. I also didn't feel like the author was able to make me care about the communist uprising. There wasn't any serious tension about how it might affect the characters, because the story was already lain out for me at the beginning. No matter what happened at war, I knew it would end the same. I felt apathetic towards the events of the book, and I couldn't get into it. I wouldn't recommend it.
Profile Image for Teguh.
Author 10 books335 followers
November 30, 2013
Sedikit kecewa. Ekspektasi saya ketinggian mungkin yaaaaa
Profile Image for Widyanto Gunadi.
107 reviews39 followers
April 24, 2021
Amba, or The Question of Red as it's known in English, is an epic tale of love and loss. However, it's also something grander. It's a single substantial testament to a dark period in our longtime history as a nation. When humanity succumbed to its lowest point as fellow men kill one another, in the name of differing ideologies and religions, in the process of searching and forming an ultimately befitting and applicable model of government for a brighter future. By clearly taking inspiration from the mythos of Mahabharata, one of India's greatest folklores, the saga follows the titular character's journey of finding light about her inexplicably missing lover, a man named Bhisma, who is a doctor and a significant member of the Communist party. With a political theme centered around the tumultuous era of communism in 1960s Indonesia, the book manages to elaborate what most local history classes in high schools across the country might not dare to delve into in-depth. Further, it succeeded in doing so while trying to give a voice over the voiceless, namely, the oppressed and sorely misjudged people of the Communist group, ones exiled to Buru Island at the time. It means the author attempted justice, hopeful that Indonesians who read it will gain a fresh perspective on the matter. Consequentially, so as not to single-handedly accuse and dismiss communist people, their fellow countrymen, as pure evil and well-deserving of punishment, torture, and the death penalty for holding a different view on the world that surround them. Language-wise, this highfalutin, seamless mixture of truth and fiction, has an overall aureate and so purple a prose ideal for telling a timeless romance, but not so much for conveying some of the more historical, matter-of-fact portions of the story. What I mean is, Mrs. Pamuntjak should consider alternating her writing styles, between the lyric and the dry, to accommodate a better understanding of the factual bits of background information, as well as the contextual settings of the story. Avoiding, therefore, the danger of the impressionistic trap of pretentiousness and self-aggrandizement. Unlike many, however, I would also like to give props to the author and this book where it's due. Few have complained about the book's length, stating that it's too long and meandering. I, on the contrary, think that it's a proper decision to make the book rather be on the thicker side as far as page number counts. Extensive research spells an equally expansive output, after all. Besides, the minute elucidations of the text's political elements are very helpful and enlightening for readers who have no prior knowledge or are still unfamiliar with any Indonesian history. I guess there's no problem with being meticulous where it's necessary, which, in this case, it is. All in all, Amba is a great historical fiction debut novel from Laksmi Pamuntjak and a fine homage to Pramoedya Ananta Toer's stupendous and monumental Buru tetralogy.
Profile Image for Nisa'a Avionimia.
10 reviews1 follower
January 17, 2013
Sebelum Amba saya tidak mengenal Laksmi Pmuntjak, jadi saya memilih Amba bukan karena reputasi penulisnya yang (ternyata) bagus, semata-mata karena temanya G30S. Untuk saya, si generasi yang hanya tahu PKI itu jahat, tukang makar, tema G30S sungguh sangat menarik. Maka saya berterima kasih atas terbitnya Amba karena dengan membaca Amba ada sedikit pencerahan tentang apa yang terjadi akhir tahun 1960an di Indonesia. Latar yang menarik yang diceritakan dengan detil-detil yang baru bagi generasi saya menjadi bagian yang paling menarik dalam novel ini. Saya tidak terlalu terikat dengan karakter Amba, juga pada kisah percintaannya dengan Bhisma. Padahal itulah yang menjadi bagian utama dari novel ini. Karakter Amba memang lain, cenderung aneh, dan karena keanehannya pula ia berhak atas kisah percintaan yang juga lain, aneh. Namun penuturan karakter Amba yang sedari kecil aneh tidak menghubungkan saya atau saya menjadi maklum atas pilihan lelaki Amba. Sampai sekarang saya masih bingung kenapa Amba memilih Bhisma. Kesannya hanya kepuasan bercinta. Bagi saya novel ini selesai ketika Bhisma terpisah dari Amba karena setelah itu alurnya anti klimaks. Sehingga saya ingin cepat-cepat terlepas dari novel ini. Saya lebih suka bagian surat-surat Bhisma yang seperti memoarnya di Pulau Buru, ini sejarah baru, menarik.
Pemilihan kata penulis sungguh kaya dan dapat membuat deskripsi latar begitu berenda-renda. Tentu ini memanjakan mata dan pikiran pembaca. Namun ada saat kata-katanya terlalu berenda tidak selevel dengan logika saya sehingga saya harus membaca ulang paragraf berenda itu dan berakhir dengan kebingungan. Maksud penulis tidak sampai pada saya.
Satu lagi yang saya kurang suka dari novel ini adalah penulis tidak menyediakan terjemahan untuk kalimat-kalimat dalam bahasa Jawa, Belanda, dan Jerman. Sedikit, tapi mengganggu.
Namun dengan kekurangan-kekurangan yang saya sebutkan di atas, secara keseluruhan saya menyukai novel ini. Latar yang menarik, kisah cinta yang pelik, karakter yang aneh. In bukan novel sembarangan.
Profile Image for Triz.
19 reviews1 follower
July 7, 2022
Sorry udah keburu eneg sama karakter Amba yang kayak bocah horny setelah ketemu Bhisma. I ain’t gonna hear my man talk about other girl while we’re HAVING SEX.
Profile Image for Calzean.
2,770 reviews1 follower
February 27, 2019
I liked the way the author provided the story told in The Mahabharata about the love triangle of Amba, Salwa and Bhisma then provided a parallel story mainly based in the 1960s during the Suharto coup and the purge of the Communists (and anyone Suharto didn't like). She also tells of the prison island of Buru, the 12000 sent there and of the survivors through a series of letters written by the modern day Bhisma to his Amba. She also covers the Christian/Muslim fighting in the Maluka Islands starting in 1999. I think the author has done a great job to help the reader ignorant of this period of Indonesian history to understand what happened.
These historical backdrops work well to the love story led by the independent-minded Amba, the handsome Bhisma and the gentle Salwa who really is treated poorly by Amba.
Profile Image for Tirta.
252 reviews38 followers
February 27, 2014
Review originally posted at I Prefer Reading.

Ibu Amba yang baik,
Sudah sejak lama saya berkeinginan membaca kisah Ibu, yang telah banyak dipuja-puja berbagai penikmat sastra tanah air sebelumnya. Kisah Ibu punya beberapa elemen penting dari sejarah negeri kita yang selalu membuat saya tertarik: Peristiwa Gerakan 30 September dan Pulau Buru. Ditambah lagi dengan 'selipan' kisah perwayangannya dan penyebutan bahwa Ibu adalah mahasiswa jurusan Sastra Inggris. Namun, baru di awal tahun ini akhirnya saya bisa membacanya, dan jujur saja, saya cukup terhentak meski baru sampai pada beberapa halaman pertama. Ibu mengalami percobaan pembunuhan di sebuah pulau jauh nan asing di sana, Pulau Buru, oleh seorang perempuan asli yang menusuk perut Ibu beberapa kali, namun Ibu malah ingin mencabut tuntutan atas perempuan itu karena Ibu merasa ia tidak bersalah? Aneh sekali, pikir saya. Entah memang hati Ibu begitu mulianya, atau ada hal lain yang tidak saya ketahui.

Ibu Amba yang baik,
Kemudian cerita bergulir ke awal mula, akar dari seluruh peristiwa dalam hidup Ibu. Darimana Ibu berasal (Kadipura), keluarga seperti apa yang membesarkan seorang Amba (Bapak seorang kepala sekolah yang arif, Ibu yang setia, dan dua adik kembar cantik calon-calon kembang desa, Ambika dan Ambalika), pribadi Amba remaja yang jelas kecerdasannya jauh melampaui umur sebenarnya, yang berkeinginan untuk memberontak dari tradisi, dari cerita Wayang yang berada di balik nama 'Amba' sendiri, dan keinginannya untuk studi Sastra Inggris di UGM, Yogya. Hingga ia akhirnya berkenalan dengan Dr Bhisma Rashad, hingga ia akhirnya menyeleweng dari sebuah hubungan yang begitu tulus dan memuliakan pemberian Salwa, hingga akhirnya ia memutuskan lari ke Jakarta, hingga akhirnya Ibu harus membesarkan anak tanpa kehadiran Ayah biologisnya...

Ibu Amba yang baik,
Sejujurnya kalau saya boleh bertanya, dorongan sebesar apa yang membuat Ibu sampai mau menyia-nyiakan cinta seorang Salwani Munir yang sudah sangat cukup? Mungkin bagi kita definisi cukup itu berbeda ya, Bu. Tapi dari apa yang saya baca, bahwa laki-laki yang dipilihkan oleh orangtua Ibu ini adalah seseorang yang berpendidikan, tegas, sayang dan dekat dengan keluarga Ibu, bahkan menganggap mereka sebagai keluarganya sendiri... Salwa juga sudah sangat menghormati posisi Ibu sebagai wanita, ia mencintai dengan tulus dan penuh pengertian, ia bahkan menghargai keinginan Ibu untuk tidak menikah sebelum sarjana, dan akhirnya mau berpisah selama ia tinggal di Surabaya dan Ibu tetap di Yogya. Tapi kemudian, apa yang Ibu lakukan, di Kediri, Bu? Sungguh, yang seperti Salwani Munir itu pun belum cukup? Di titik ini, jujur, sulit sekali bagi saya untuk bisa bersimpati dengan Ibu. Dorongan sebesar apa yang membuat Ibu bisa memalingkan rasa hingga sebegitu rupa?

Ibu Amba yang baik,
Cinta Ibu pada seorang Bhisma Rashad, bagi saya, adalah cinta yang tidak jelas sebab-musababnya. Mungkin bagi beberapa orang, justru yang seperti itulah cinta sebenarnya, tapi saya sungguh sangat heran, apa yang begitu spesial dari laki-laki ini, Bu? Yang membuat Ibu rela menunggu bertahun-tahun, bahkan berani untuk datang ke Buru setelah berdekade-dekade lamanya tanpa kabar, petunjuk, atau apapun itu. Benar ia sebegitu menariknya, Bu? Apakah karena fisiknya, yang tinggi menjulang, rambutnya yang kecokelatan? Apakah karena profesinya, sebagai dokter, penolong berbagai jiwa manusia? Apakah jalan pikirannya, yang membuatnya banyak memiliki kenalan dan akhirnya terlibat banyak dalam kegiatan golongan kiri, hingga akhirnya ia ikut ditangkap dan diasingkan? Orang bilang bermain-main dengan 'bahaya' memang kadang lebih menyenangkan daripada hidup lempeng-lempeng saja. Saya rasanya hampir tidak pernah menemukan sesuatu yang bisa menjelaskan apa tepatnya yang membuat Ibu begitu jatuh cintanya pada seorang Bhisma Rashad ini, kecuali bahwa ialah sosok yang membuat Ibu 'merasa hidup, sehidup-hidupnya'. Benar sesepele itu? Meskipun ia tidak pernah memperlakukan Ibu sebagai sosok yang spesial, bahkan memperkenalkan pada rekan-rekannya pun nama Ibu disebut begitu saja tanpa embel apa-apa, tapi kebetulan ia membuat Ibu merasa 'hidup', begitu?

Ibu Amba yang baik,
Maafkan kalau saya lancang, tetapi kadang saya pun bertanya-tanya sendiri, apa sebenarnya yang begitu spesial dari seorang Amba, hingga banyak laki-laki dengan mudahnya bisa tertarik pada Ibu? Rasanya mudah sekali bagi Ibu menarik perhatian dan mendapat cinta dari banyak pihak. Salwa, Bhisma, Adalhaerd, lalu Samuel.... Ketika usia Ibu tidak lagi muda, bahkan! Tetap saja!
Laki-laki itu, Bhisma, pernah mengatakan, "Wajahmu mengandung kesedihan sebuah kota," Lalu saya bertanya-tanya, apa kesedihan sebegitu agungnya? Sebegitu memesonakannya-kah ia, bagi yang melihatnya? Apakah mungkin itu jawaban mengapa orang seringkali berlama-lama melibatkan diri di dalamnya, sengaja tak ingin keluar, justru terus bersukarela menggulatkan diri dalam kesedihan itu sendiri, mengulang-ngulang masa yang telah lewat, menanti sesuatu yang tak pasti....

Ibu Amba yang baik,
Kisah Ibu ini, bagaimanapun tidak simpatinya, toh tetap bisa membuat saya kagum pada sosok Ibu. Penantian sekian tahun sungguh merupakan wujud keteguhan hati dan kesabaran tiada batas. Memang wanita kadang golongan yang paling misterius dan sulit dimengerti arah hatinya, ya, Bu. Saya agak kecewa, mungkin karena harapan akan sebuah kisah cinta yang benar menggugah tidak sepenuhnya terwujud. Dari sisi historicalpun, rasanya tidak banyak perspektif baru yang bisa didapat, terutama mengenai peristiwa Gerakan 30 September (padahal kisah ini punya potensi untuk menawarkan sudut pandang lain, sudut pandang sebenarnya dari pihak kiri). Untuk kejelasan tentang suasana di pengasingan Pulau Buru, jujur belum saya baca lebih lanjut, sehingga saya belum bisa berkomentar akan itu. Bisa jadi ekspektasi saya memang berlebih. Namun tetap, kisah ini sangat menarik untuk diikuti, penuh dengan rangkaian diksi yang kaya dan cukup membuai dengan kecantikannya, memaksa setiap pembaca untuk menaruh perhatian penuh dan menikmati dunia seorang 'Amba'. Bila harus dibandingkan dengan Pulang karya Laila S. Chudori, sebuah novel yang juga menyinggung peristiwa 1965, Pulang entah kenapa terasa lebih 'pop', dan lebih mudah dimengerti, namun kisah Ibu, tanpa ragu, punya daya tariknya sendiri. Terimakasih telah membuat kepercayaan Saya terhadap fiksi lokal bangkit kembali. Setelah sekian lama, akhirnya saya baca lagi satu karya berkualitas tinggi ciptaan penulis dalam negeri, dan dengan senang hati saya bisa katakan bahwa saya tidak menyesal.

Ibu Amba yang baik,
Kini sudah tiga tahun berlalu semenjak kisah Ibu selesai. Senang rasanya dapat mengenal Ibu, meskipun hanya melalui lembaran-lambaran kertas. Dimanapun Ibu kini berada dan bagaimanapun kondisinya, saya harap, kehidupan selalu menemukan Ibu dalam keadaan baik.
Profile Image for Jeanne.
1,260 reviews99 followers
July 2, 2018
Laksmi Pamuntjak's The Question of Red is nothing if not ambitious. Question of Red is almost 500 pages of epic love story stretching across more than 40 years. It is a mythic story drawn from the Mahabharata, set against the 1960s purge and imprisonment of suspected Communists in Indonesia, considering the roles of fate and free will.

The backstory in brief: Amba, a princess in the Mahabharata, was pledged to King Salwa, who she neither loved nor hated. Princess Amba was kidnapped by the warrior Bhisma, with whom she fell in love. Nonetheless, she asked to be sent home – where she was rejected by King Salwa. This story continued in her next life, when Princess Amba came back as Srikandi, who led to Bhisma's death and downfall.

Some might tell this story with Amba as the heroine, but Amba's name
far from being heroic, still reminds folks of the worst of all fallen women, a woman twice spurned, a woman discarded by not one, but two noble men, and one whose legacy is not defined by her brains or by her skills or by the quality of her heart, but by her burning desire for revenge.
In this modern-day story, a couple name their daughter Amba and arrange her marriage to a good man named Salwa. Why? Perhaps we can retell our stories, perhaps we can exert free will and challenge fate? "How can our names matter? How can they make you other than you, and me other than me?" (p. 163).

Amba and Salwa repeat their previous mistakes in this life and, in attempting to avoid her fate, Amba away, only to meet and fall in love with another Bhisma. Her jealousy gets in the way, and after a brief but torrid affair, she loses him yet again.

Okay, I like everything here: an epic story set against a culture and historical events that I don't know. Why don't I love this book? I think part of my reaction is against the romantic fatalism that is a central feature of this book. Amba wonders of Salwa, "How could this educated man support her wish to gain independence for herself, and yet in the same breath tell her how fortunate she would be to call herself his wife?" (p. 103). But the Ambas also limit themselves. They are strong, independent women, but rather than being early feminists and role models (as they want), both Ambas end up embodying the worst stereotypes of petty women.

Maybe this is an unfair characterization. Both Ambas were women of their time and culture. They define themselves by their men and sacrifice all for their Bhismas, who slip through their fingers because neither Amba can see him as loving them for who they are. Maybe it is me, too: if I were reading this with 20- or 30-year-old eyes, perhaps I would accept the romanticism the modern-day Amba absorbed from childhood.

Part of my complaint is that The Question of Red is a literary romance set against historical events, which take a backseat to the myth. I want to see more of this background – or for that background to be relevant to Amba's story. Perhaps I want Amba to overtake her fate.

Perhaps it is that Question of Red feels overwritten. I've read other reviews of Question of Red which complain about the formality of the language and its length. These reviewers believe that some characters or story lines are unnecessary. Maybe if Question of Red were only 300 pages, its bones would be stronger and clearer.

The edition of Question of Red that I read is a translation from the Indonesian. As I read translations, I always wonder what cadence, metaphors, and allusions have been lost in translation. Question of Red was translated from by the author, but it seems unlikely that Pamuntjak's English has the same idiomatic grace and fluidity as the original Indonesian.

Nonetheless, despite my complaints, there is much to Question of Red that I enjoyed, especially Pamuntjak's discussions of the present rather than Amba's worries about the past or her insecurities about the future. These interludes pick up on Pamuntjak's strengths as a food and arts critic: when only observing, her eyes then are clear and focused.
“We cooks have the highest intelligence, and we have opinions about everything. Why? Because the qualities we have come to know as ‘taste’ and ‘a deft hand in the kitchen’ are essentially courage, and that is the prerequisite to alchemy: a set of nerves so steely and seasoned, which always know how much garlic, how many chilis, how much salt and pepper to put into each dish, at any second, in any situation, in any city, for every mouth, for every type of hunger.” (pp. 80-81)
In the end, though, Pamuntjak is like a competent juggler. She juggles the love story, the myth, the letters among friends and lovers – but the purge and Amba's belated search for Bhisma feel heavy-handed additions.

Sometimes less is more.
Profile Image for Kursi Seimbang.
175 reviews23 followers
September 3, 2021
Butuh waktu lama untuk membaca buku ini hingga selesai. Aku menemukan banyak merah di dalam Amba dan Amba sendiri. Ah, terdengar sedikit konyol karena satu Amba adalah untuk judul buku dan yang satunya adalah untuk karakter Amba di dalam Amba. Intinya, mereka dipenuhi merah.

Karya Laksmi Pamuntjak ini mengisahkan Amba dan Bhisma yang kisahnya menyerupai kisah dua orang dengan nama yang sama di Mahabharata. Aku pribadi memasang ekspektasi tinggi dan berharap banyak atas buku ini. Orang kerap mengelu-elukan tragedinya, tetapi aku kurang mengerti. Membaca Amba memang sering membuat aku merinding, tapi hanya sebatas itu. Aku enggak se-sedih 'itu', dan rasanya seperti ditarik-tarik.

Untuk penokohannya, sebenarnya cukup realistis tapi sepertinya bukan seleraku. Amba adalah sosok yang mengagumkan, Bhisma adalah sosok yang menawan. Hanya saja, hubungan romansa mereka tidak memberi kesan yang dalam ke aku.

Lalu untuk karakter-karakter pendukung, aku suka Manalisa.

Satu hal yang pasti mengenai Amba, diksinya bukan main indahnya. Bagaimana Laksmi Pamuntjak menyampaikan situasi, kondisi, pemikiran-pemikiran tokohnya, perasaan tokohnya—benar-benar menakjubkan.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Alex.
507 reviews123 followers
May 24, 2017
A very well written book. Quite intricate, round written. The title is very mysterious, the reader has to read more than half of the book to understand the meaning of it. What is red, why red?
A book about love, based somehow on the mitology of Mahabharata, about loss, about hope. About politics and the killing in name of beliefs / religion. About politic prisoners, about colonisation, about life. A very good read, I found out a lot about Indonesia, about its people and culture and history.
Profile Image for Hanif.
110 reviews71 followers
January 20, 2018


Sedari kecil saya tidak suka dengan pelajaran sejarah. Bagi saya sejarah merupakan hal yang membosankan karena di setiap ujian, soal yang keluar selalu tanggal-tanggal peristiwa dan nama-nama tokoh sejarah. Makanya, setiap disuruh belajar mata pelajaran ini, saya selalu muak. Saya masih ingat, dulu ketika saya SMP ada soal dalam mata pelajaran IPS yang menanyakan "Berikut adalah nama-nama jenderal yang terbunuh dalam Lubang Buaya, kecuali ...." Pada waktu itu saya betul-betul tidak menghafalnya, , sehingga saya tidak bisa menjawab soal tersebut. Entah karena saya memang apatis atau karena saya paling lemah menghafal ya (?) Sebetulnya saya suka dengan sejarah, tetapi jika tidak dijuikan dan diceritakan dengan apik. Hehe.

Tumbuh sebagai didikan era Pasca Orde Baru membuat sejarah tahun 65 samar-samar bagi saya. Bahkan pada tahun tersebut orang tua saya masih orok. Yang paling saya tahu adalah, saya selalu dijejali "fakta-fakta" bahwa PKI itu kejam. Itu saja hanya melalui mata pelajaran IPS dan PKn. Kegemaran membaca novel yang tumbuh pada masa SMP dan SMA menuntun saya pada karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan Leila S. Chudori. Meskipun karya yang saya baca adalah sebuah novel fiksi historis, bukan sejarah sebenarnya, tetapi novel-novel tersebutlah yang membuat saya dapat melihat bias-bias sejarah yang disajikan di buku cetak dan LKS mata pelajaran IPS yang saya dapat di sekolah. Apalagi sekarang media sudah mulai berani untuk membuka "rahasia-rahasia sejarah" yang khayalak umum belum tahu mengetahui, seperti di Tirto.

Amba bercerita tentang kisah asmara sang tokoh utama yang dijadikan sebagai judul novel ini sendiri. Yang menarik adalah kisah Amba dibumbui dengan peristiwa tahun 1965. Bagi saya yang telah membaca Pulang, saya melihat beberapa kesamaan dari kedua novel tersebut, seperti latar belakang sejarah dan bagaimana penulis memberikan latar belakang tokoh dari kisah pewayangan—Mahabharata. Saya tidak keberatan, justru itulah yang membuat saya terkesima dengan karakter dalam Amba, Bhisma, Salwa dan Amba sendiri. Saya dibikin deg deg serr dengan cara Bhisma merayu Amba, saya dibikin sedih sekaligus kagum dengan Amba meski kalangkabut mencari kekasihnya yang hilang tetapi tetap memiliki sifat yang kuat, dan saya merasa kasihan dengan kesetiaan Salwa yang dikhianati. Bagaimana Laksmi Pamunjtak mendeskripsikan lokasi-lokasi juga sangat menarik, apalagi pada bagian novel ini yang menceritakan dari sudut pandang Bhisma.

Amba akan membawamu naik-turun melalui kisahnya, tapi kamu harus siap dengan alur penceritaannya yang lamban.

"Sejarah adalah langkah seorang raksasa yang tak punya hati." —Bhisma


“Ya, Kahyangan memang tak adil. Atau bisa adil dalam ketakadilan. Kita bisa mengeluh, mengejek, memaki-maki, memohon, mengelabui, menghujat, berbaik-baik, berteman, bahkan bercinta dengan para dewa, tapi kita telah belajar untuk tidak mengharapkan lebih banyak lagi dari uluran “niat baik” mereka.” —Amba
Profile Image for Ursula.
301 reviews19 followers
December 27, 2013
Banyak sekali orang yang menuliskan ulasan positif mengenai buku ini. Sebuah kisah tentang wanita yang mencari masa lalunya, yang direnggut oleh peristiwa 1965. Amba, yang mencari Bhisma. Dari Yogyakarta, ke Jakarta, lalu ke Pulau Buru.

Klise,kesan pertama yang saya dapatkan saat membaca ringkasan pendek di sampul belakang novel. Kesan yang sama dengan saat saya membaca ringkasan dari Pulang karya Laksmi Pamuntjak. Pribadi, saya menganggap kisah apapun yang melibatkan pergerakan komunisme Indonesia pada tahun 1965 itu sebagai suatu klise yang membosankan. Biasanya yang diceritakan adalah orang-orang yang tidak bersalah, yang tidak tahu apa-apa, tetapi kemudian terkena imbas. Seperti pengasingan, hilang anggota keluarga, kekayaan, status, ataupun orang-orang terkasih. Bagi saya, kisah seperti ini, biasanya daripada mengungkap fakta, tujuannya lebih untuk menarik simpati. Jarang ada kisah seperti ini yang berakhir bahagia.

Secara cerita, saya menilai novel ini medioker. Secara bahasa, saya akui memang penuturan dan permainan katanya bagus. Tetapi seperti apa yang A.S. Laksana pernah tuliskan di ulasannya mengenai Amba ini, rasanya seperti masakan dengan bumbu yang terlalu banyak. Seharusnya bisa lezat, tetapi bumbu yang membuncah membuat lidah lelah. Bahasa yang menghiasi narasi novel, ketimbang memperindah, justru membuat lelah. Rasanya seperti makan bakso, yang seharusnya cukup dengan cuka, kecap manis, dan sambal, tetapi ditambahkan pula madu dan bahan lain yang malah membuat aneh rasanya.

Bagus, terutama bagi mereka yang suka permainan kata berkias semacam di karya-karya Andrea Hirata. Tetapi, bukan buku yang akan saya anjurkan pada orang-orang penikmat sastra. Maaf, tapi ini bukanlah sebuah buku yang wajib dibaca.
Profile Image for Sandie.
1,086 reviews
August 5, 2016
THE QUESTION OF RED is a novel of Indonesia that is replete with metaphors, confusing mixed messages, and a couple of unnecessary characters whose story lines only serve to clutter the narrative.

The story utilizes a Hindu epic as its basis with the modern day tale set in the unsettling days of the Suharto regime. Metaphors abound with color representing various things (RED=violence, blood, communism and the unpredictability of life and BLUE= tranquility and love). Even Bhisma’s color blindness appears to be a metaphor for his inability to see the danger that exists all around him leaving him in a GRAY world.

Also unsettling is Amba’s depiction. Is she the strong, independent rebel that we see in her interactions with her family or is she the weak, wishy-washy and uncertain woman whose zest for life is dulled by what amounts to the worship of the men in her life? This is only one of the “why” questions the reader asks themselves concerning the actions and motivations of certain characters and which the novel does not provide answers to.

The moves between different times is often confusing and the similarity of names does nothing to alleviate the frustration felt while trying to assimilate the plethora of information contained within the pages. If you are someone who reads for pleasure and entertainment then this is definitely not the book for you. Perhaps the problem lies in the mere amount of information contained within the pages or in its translation. Perhaps it could have used more editing. Whatever the problem, just be warned that this read is akin to those heavy tomes you “had to” read in school in order to pass the final.
Profile Image for Hib.
45 reviews6 followers
August 8, 2022
Sebuah cerita yang kompleks memang, menyenggol banyak sejarah kelam Indonesia mulai dari G30 S PKI, pembuangan tampol ke pulau Buru, hingga konflik agama di Maluku tahun 1999 yang memaknai ribuan korban. Mengenai sejarah di dalamnya sangat oke untuk dibahas dengan alur yang maju mundur. Unsur budaya dan kepercayaan Jawa juga sangat kental dibahas di sini.

Tapi jujur saya terganggu dengan cerita cinta Bhisma dan Amba yang seakan bangga untuk menjalin perselingkuhan. Kesetiaan Salwa yang begitu suci dengan pula menjaga kehormatan Amba, harus kalah dengan seorang pria yang baru ditemui Amba di negeri antah berantah itu. Bagaimana sampai akhir buku ini, Salwa tetaplah Salwa yang teguh akan budi luhurnya. Memaafkan semua dan bahkan karena dialah Amba dapat mengetahui informasi Bhisma yang telah bertahun-tahun hilang. Meskipun kesetiaan telah membunuhnya, dia tetaplah Salwa yang berbudi.

Lalu dengan Adalhard yang entah mengapa tidak dijelaskan secara rinci padahal di cerita ini dialah sang penyelamatnya. Mengapa tak diceritakan bagaimana menderita dan tersiksanya Adalhard harus hidup bersama wanita yang telah diselamatkannya tapi tak pernah menganggapnya ada, dan lagi-lagi dia harus kalah (atau mengalah) pada sosok laki-laki dari masa lalu istrinya yang tak pernah ia tahu bagaimana rupanya bahkan sampai akhir hayatnya.

Entah mengapa setelah membaca buku ini, semakin takut saja dengan perselingkuhan yang tak pandang rupa, harta, dan setia. Bukankah sehebat apapun cinta, berkhianat dengan perselingkuhan tetap tidak bisa dibenarkan?

Pada intinya, nilai sejarah dan budaya yang diangkat dalam buku ini memotivasi saya untuk melanjutkan buku ini sampai akhir.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Pera.
231 reviews45 followers
December 25, 2014
Novel ini sejak awal menghubungkan pada tokoh mahabrata.
Dan Amba sebagai sentralnya, Perempuan yang ditolak oleh 2 lelaki.
Meski pernah membaca mahabrata, aku lupa tokoh Amba ini ada dimana. :D
Jadi novel amba bagiku sekaligus mereview kisah mahabrata yang pernah kubaca.

Seting ceritanya era PKI. Karena itulah buku ini menarik perhatianku.
Penasaran terhadap sejarah yang dibungkam.

Belum selesai kubaca.
Hanya sampai Amba dan Bhisma terpisah..kemudian seting berubah ke pencarian di pulau buru.

Aku eneg...baca tokoh Amba ini.
Terlalu cantik, sehingga jadi magnet bagi siapa saja. Lelaki mana saja sepertinya takluk. Jadi males bacanya. Sepintar apapun perempuan, tetap saja kecantikan adalah kekuatannya. hadeeuh..

nantilah...klo tak eneg lagi...aku lanjutkan.

**

btw..
setau ku PKI tidak suka kisah Mahabrata jadi cerita populer rakyat. Kisah Mahabrata kisah raja-raja.Kisah orang-orang penguasa yang tidak jelas kerjanya apa...tapi bikin rakyatnya susah dengan perang perangan.

Kenapa ya..novel ini justru memilih 'new release" nya mahabrata?.

Profile Image for Sheila.
478 reviews109 followers
February 8, 2022
Sebuah mahakarya. Membaca cerita Amba merupakan sebuah perjalanan mengenal dunia dan sejarah diri.
"[...] Kamu lihat sendiri, dunia semakin lama semakin hitam dan putih padahal kebenaran selalu berada di tengah-tengah, di bagian yang remang-remang dan kelabu."
Yang menurutku paling indah adalah bagaimana posisi "di tengah", "abu-abu", tidak dianggap inferior dibandingkan ketika seseorang memilih satu pihak, mencintai dengan buta. Karena pada kenyataannya, tidak ada di dunia ini yang sepenuhnya hitam atau sepenuhnya putih. Dan menurutku, Laksmi sanggup menyampaikan cerita yang sangat netral, tanpa memaksakan kehendaknya pada pembaca.
"Tapi hal-hal tertentu masih membuatku tersenyum. Tujuh tahun telah mengajarkan kepadaku bahwa dalam malapetaka alam yang paling ganas, yang bertahan hidup justru yang paling lembut."
Apakah "kiri" sepenuhnya keji, dan apakah "kanan" sepenuhnya surgawi, seperti yang digaungkan buku sejarah? Buku ini memberi kesempatan untuk saya menjawab dengan pemahaman saya sendiri.
Profile Image for Cinthya Yuanita.
39 reviews4 followers
August 24, 2014
Apa yang terlintas di benak orang ketika mendengar kata “Buru”? Aku rasanya tahu. Penjaga bersenjata. Orang-orang buas. Mesin pembunuh dengan kepala kosong dan hati batu.–Bhisma

Selama ini Pulau Buru dikenal memiliki citra gelap. Sebuah tempat pengasingan yang muram dan gersang dari gairah kehidupan. Dalam novel Amba, Laksmi Pamuntjak mengamini sekaligus mematahkan citra tersebut. Dengan kepiawaian bertutur yang sangat brilian, Laksmi menggambarkan Buru secara begitu mendetail. Mulai dari topografi pulau yang dinamis, arsitektur Tefaat (Tempat Pemanfaatan, sebutan bagi permukiman para tahanan politik) yang faktual, hingga lakon para tapol yang terasa riil.

Amba, tidak seperti buku-buku berlatar Pulau Buru lainnya, tidak melulu mengisahkan kepahitan Orde Baru. Di tengah gejolak politik yang hebat saat itu, ada kisah cinta yang sempat meriap. Adalah Amba, seorang gadis dari sebuah dusun di Kadipura, yang sejak kecil telah menggariskan idealismenya sendiri. Ia tidak pernah mau menjadi seperti perempuan konservatif pada umumnya: merasa cukup dengan pendidikan sekedarnya, menikah di usia (terlampau) muda, menjadi mesin pencetak bayi, kemudian berakhir sebagai tukang masak di dapur. Meskipun mendapat tentangan dari ibunya, Amba nekad meneruskan studi ke jurusan sastra Universitas Gadjah Mada (UGM).

Kekerasan hatinya juga berlaku untuk perkara asmara. Ia menerima pertunangan yang dirancang orang tuanya, tetapi tidak pernah memberikan seluruh hatinya untuk sang lelaki. Salwa Munir, nama laki-laki itu, pada akhirnya harus menerima kenyataan bahwa Amba tidak pernah mencintai dirinya. Tapi Salwa tidak pernah membenci Amba, bahkan setelah puluhan tahun berlalu. Meski harus menelan pengkhianatan mantan tunangannya, ia tetap berusaha memperjuangkan kebahagiaan wanita itu.

Amba justru menemukan cinta pada sebuah tempat yang terbilang tak berpengharapan. Ketika tengah menjalani profesi sebagai penerjemah di Kediri, hatinya tidak sengaja tertambat pada Bhisma Rashad. Dokter lulusan Leipzig itu tidak perlu waktu lama untuk meluluhkan Amba. Lucunya, Amba sontak bertransformasi dari sosok yang keras hati menjadi seorang pecandu lelaki. Ia bahkan rela menyerahkan segala miliknya untuk laki-laki yang padahal baru dikenalnya kurang dari seminggu. Pada bagian ini, Amba jelas terlihat sebagai perempuan konyol, naif, dan hipokrit.

Seiring pergolakan politik yang kian keras, kisah Amba dan Bhisma juga menghadapi riak yang hebat. Mereka terpisah pada peristiwa Gerakan September 30 (Gestapu) di Jogjakarta. Bhisma menghilang, meninggalkan Amba dan calon bayi mereka. Untungnya, Amba yang cantik dan selalu dapat memikat lelaki–bukankah selalu begitu penokohan pemeran utama wanita pada sebuah roman?–menemukan Adalhard yang bersedia menanggung hidup (sekaligus aibnya).

Namun, hidup Amba tidak pernah tenang. Jiwa perempuan itu selalu berontak untuk mencari separuh belahannya. Empat puluh tahun kemudian, ia mendapati surat elektronik misterius yang mengabarkan bekas keberadaan Bhisma di Pulau Buru. Bersama seorang mantan tapol, Amba melakukan perjalanan ke Buru untuk mengumpulkan serpihan-serpihan kenangan yang ditinggalkan oleh Bhisma. Dibantu oleh Samuel, pria yang juga menyimpan kenangan tentang Buru, mereka akhirnya menemukan rekam jejak Bhisma. Berpuluh lembar surat dari Bhisma yang dipersembahkan untuk Amba tidak hanya menceritakan kerinduan yang tak tersampaikan, tetapi juga mendeskripsikan Pulau Buru dari kaca mata “orang dalam”. Amba pun akhirnya tahu mengapa kekasihnya tidak pernah kembali.

KONTEMPLASI DAN PERMAINAN DIKSI

Satu kata yang segera terlontar dari benak saya begitu menyelesaikan buku ini adalah: akhirnya. Sempat frustasi pada sepuluh halaman pertama, tetapi akhirnya saya toh tergiring untuk menikmatinya hingga penghabisan. Buku setebal 496 halaman ini bukan hanya besar dari segi ukuran, melainkan juga dari nilai-nilai yang disajikan. Membaca Amba versi novel ini seolah mengantarkan kita pada epos Amba dalam Mahabharata. Seperti lazimnya kisah-kisah Mahabharata, setiap cerita pasti mengandung makna filosofis tersendiri.

Laksmi Pamuntjak menyisipkan asupan pemikiran yang logis sekaligus kontemplatif pada beberapa bagian buku. Ia berhasil mendaur ulang batas logika dengan menuliskan pandangan sederhana secara cerdas dan tak tertebak. Misalnya saja sebuah sindirian yang menohok kekisruhan politik di masa itu, tetapi masih relevan untuk diucapkan pada saat ini:

Beberapa tahun kemudian Amba tahu, politik memang bukan tentang apa yang benar. Politik adalah bagaimana kita bisa salah dengan benar.

Kecerdasan Laksmi dalam berkata-kata disokong pula dengan keterampilannya memainkan diksi secara memukau. Tidak ada kalimat yang luput dari puitisasi, bahkan untuk mendeskripsikan satu tokoh yang buruk rupa sekalipun. Kekayaan dalam mengolah frasa semacam ini tidak jamak dijumpai pada novel-novel masa kini. Tengoklah salah satu adikarya aksara di bawah ini:

Aneh, memang: selalu ada yang membuat terlena dan tak berdaya pada hujan, pada rintik dan aromanya, pada bunyi dan melankolinya, pada caranya yang pelan sekaligus brutal dalam memetik kenangan yang tak diinginkan.

Kematangan riset yang dilakukan juga membuahkan hasil yang sangat baik. Novel fiktif ini sukses menyajikan fakta sejarah dengan cara yang apik. Hal lain yang juga menjadi daya tarik novel ini adalah pengemasannya yang unik. Alih-alih menggunakan kata “Bab” untuk memisahkan bagian-bagian dalam novel, Laksmi memilih untuk menuliskannya sebagai “Buku”. Di setiap permulaan “Buku”, terdapat kutipan cerita dari Kitab Udayoga Parva yang sedikit banyak menjadi prolog bagi fiksi di baliknya. Alur maju mundur—yakni antara tahun 1965 dan 2006–menjadi candu yang menimbulkan rasa penasaran untuk terus menyantap buku ini. Belum lagi sensasi mencelos yang muncul ketika “Buku” tentang Bhisma hanya diisi oleh tanda silang merah besar, menandakan bahwa sosoknya masih menjadi misteri yang tidak bisa diceritakan.

Sayangnya, pada beberapa bagian terdapat kemubaziran yang seharusnya bisa dihindari. Ada dialog-dialog yang terlalu panjang padahal tidak menampilkan esensi dan korelasi dengan inti cerita. Bagian yang menceritakan masa kecil Amba serta kehidupan Bhisma di Leipzig juga terasa melelahkan. Bahkan ada satu bagian yang sepertinya tidak akan berpengaruh jika dihapuskan dari buku ini, yakni masa kecil Ibunda Amba. Jika mau, buku ini bisa saja dipangkas menjadi lebih ringkas.

Kekurangan lain yang cukup disayangkan adalah surat-surat dari Bhisma untuk Amba yang tampak seperti monolog menjemukan. Lupakan tentang bahasa romantis yang merepresentasikan kerinduan seorang lelaki yang terasing di pulau terpencil kepada kekasihnya. Kumpulan surat Bhisma lebih banyak bercerita tentang Buru dan orang-orang di dalamnya. Tentang kegelisahan-kegelisahannya yang sebenarnya kurang kuat untuk meledakkan emosi pembaca.

Laksmi Pamuntjak mungkin juga lupa bahwa tidak semua orang memiliki pengetahuan sejarah yang mumpuni. Saya pribadi kesulitan untuk menerjemahkan berbagai singkatan yang ada di buku itu. Ada baiknya jika penulis menambahkan catatan kaki untuk setiap singkatan yang digunakan.

Secara umum, tema besar yang digarap buku ini sebenarnya cukup sederhana. Tentang konsep cinta segitiga, kasih yang tak sampai, dan pencarian cinta di masa lalu. Namun, proses mengumpulkan remah-remah kenangan ini menjadi menarik sebab dikemas dengan latar yang tidak biasa. Amba telah berhasil mengemas roman cinta dan elegi sejarah ke dalam satu ranah sastra yang indah.
Profile Image for Nanny SA.
343 reviews41 followers
October 15, 2013
Dalam Kisah pewayangan ( Mahabrata ) Amba adalah nama seorang putri dari sebuah kerajaan, diceritakan dalam sebuah perlombaan seorang ksatria bernama Bisma mengalahkan calon tunangan Amba yang bernama Pangeran Salwa, Amba seharusnya diperistri oleh Bisma tetapi karena Bisma terikat sumpah untuk tidak menikah maka ia tidak mau menikahi Amba, Sedangkan Salwa pun karena telah dikalahkan Bisma menolak untuk memperistrinya, nasib Ambapun merana dan bersumpah untuk mebunuh Bisma, dst, dst...

Sedangkan dalam kisah ini Amba adalah anak seorang kepala sekolah di Kadipura , sebuah kota kecil di Jawa Tengah . Meskipun tidak secantik adik kembarnya Ambika dan Ambalika, bahkan tidak secantik ibunya, Amba adalah seorang perempuan yang rupawan dan menarik (terbukti banyak orang yang jatuh cinta kepadanya )dan cerdas. Berbeda dengan kedua adiknya dia adalah perempuan yang mandiri, mempunyai pendirian kuat dan sering berbeda pendapat dengan orang sekitarnya.

Selepas SMA Amba bersikeras untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi , beruntung dia dapat melanjutkan kuliahnya di Jurusan Sastra Inggris Universitas Gajah Mada Yogyakarta,dia diijinkan pergi karena di sana ada Salwa Munir calon tunangan yang telah direstui orangtuanya , Salwa yang hidup teratur dan disiplin bekerja sebagai dosen muda di universitas tsb.
Kemudian takdir mempertemukan Amba dengan Bisma Rashad seorang dokter muda lulusan Leipzig, Jerman Timur , mereka saling jatuh cinta, tapi kemudian mereka terpisah karena peristiwa politik yang terjadi saat itu di Indonesia , padahal Amba ketika itu sedang..hamil..
Apakah kisah Amba, Salwa dan Bisma ini akan sama dengan kisah dalam pewayangan yang terjebak dalam kisah cinta yang tragis ..?

Inilah kisah roman percintaan dengan latar belakang sejarah kelam di Indonesia ketika terjadi pemberontakan PKI th. 1965. Banyak orang yang menanggung akibat dari peristiwa ini baik yang aktif berpolitik, yang hanya ikut-ikutan atau bahkan tidak mengerti kenapa bisa terseret ke pusaran ini , banyak yang terbunuh banyak pula yang diitangkap dan dibuang ke Pulau Buru sebagai tahanan politik.

Pulau Buru bagi sebagian orang Indonesia kala itu merupakan pulau yang sarat dengan kisah misterius yang hanya terdengar dari mulut ke mulut seperti yang diungkap dalam pembukaan cerita ini …..Tapi, sesekali, sesuatu bisa terjadi di pulau ini –sesuatu yang begitu khas dan sulit diabaikan- dan orang hanya bisa membicarakannya sambil berbisik, seperti angin di atas bat yang terus menerus membalun dan menghilang melalui makam-makam orang tak dikena..Dan di jajaran lembah di baliknya, seolah melalui puisi dan tenung, ada cerita yang diam-diam menjelma. Seperti kisah Amba dan Bisma ini. (hal. 15 )

Dari Pulau Buru inilah kisah dimulai ,.. Pulau Buru April 2006 ketika Amba mulai pencariannya; bagaimana Amba bertemu dengan Samuel , dan kisah-kisah yang terjadi di pulau ini. Kemudian cerita ditarik mundur ke tahun-tahun sebelumnya, ya .. Cerita dituturkan dengan cara mundur- maju - mundur ..tetapi tetap enak dibaca karena penulis bertutur dengan alur yang jelas disertai diksi yang apik, dengan karakter tokoh yang kuat. Penulis pun bisa memasukkan penjelasan tentang cerita Amba dalam pewayangan dengan tidak mengganggu jalan cerita bahkan membantu pembaca untuk memahaminya. Walaupun penuturan di bagian depan dan di bagian akhir terasa lambat, tapi secara keseluruhan kisah percintaan ini tidak terasa cengeng bahkan bisa tampil dengan anggun. Di akhir cerita mungkin ada beberapa pembaca yang berbeda penafsiran tentang status Samuel selanjutnya.


Laksmi Pamuncak memang piawai dalam mengolah kata dan dia menceritakan sejarah dan tempat dengan cermat. Sejarah perpolitikan dan kemanusiaan yang terjadi saat itu dibeberkan tapa terasa menggurui. Hasil riset yang perlu dicontoh oleh pembuat novel sejarah

Dari buku-buku seperti ini bisa dipelajari bahwa sejarah tidak lepas dari sisi-sisi kemanusiaan dan intrik politik.

Politik bukan tentang apa yang benar. Politik adalah bagaimana kita bisa salah dengan benar (112)



Direkomendasikan buat penyuka novel sejarah..
Terimakasih buat Didiet yang sudah mengirimkan buku ini :D



Displaying 1 - 30 of 668 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.