What do you think?
Rate this book


578 pages, Paperback
First published January 1, 2012

far from being heroic, still reminds folks of the worst of all fallen women, a woman twice spurned, a woman discarded by not one, but two noble men, and one whose legacy is not defined by her brains or by her skills or by the quality of her heart, but by her burning desire for revenge.In this modern-day story, a couple name their daughter Amba and arrange her marriage to a good man named Salwa. Why? Perhaps we can retell our stories, perhaps we can exert free will and challenge fate? "How can our names matter? How can they make you other than you, and me other than me?" (p. 163).
“We cooks have the highest intelligence, and we have opinions about everything. Why? Because the qualities we have come to know as ‘taste’ and ‘a deft hand in the kitchen’ are essentially courage, and that is the prerequisite to alchemy: a set of nerves so steely and seasoned, which always know how much garlic, how many chilis, how much salt and pepper to put into each dish, at any second, in any situation, in any city, for every mouth, for every type of hunger.” (pp. 80-81)In the end, though, Pamuntjak is like a competent juggler. She juggles the love story, the myth, the letters among friends and lovers – but the purge and Amba's belated search for Bhisma feel heavy-handed additions.
"Sejarah adalah langkah seorang raksasa yang tak punya hati." —Bhisma
“Ya, Kahyangan memang tak adil. Atau bisa adil dalam ketakadilan. Kita bisa mengeluh, mengejek, memaki-maki, memohon, mengelabui, menghujat, berbaik-baik, berteman, bahkan bercinta dengan para dewa, tapi kita telah belajar untuk tidak mengharapkan lebih banyak lagi dari uluran “niat baik” mereka.” —Amba
"[...] Kamu lihat sendiri, dunia semakin lama semakin hitam dan putih padahal kebenaran selalu berada di tengah-tengah, di bagian yang remang-remang dan kelabu."Yang menurutku paling indah adalah bagaimana posisi "di tengah", "abu-abu", tidak dianggap inferior dibandingkan ketika seseorang memilih satu pihak, mencintai dengan buta. Karena pada kenyataannya, tidak ada di dunia ini yang sepenuhnya hitam atau sepenuhnya putih. Dan menurutku, Laksmi sanggup menyampaikan cerita yang sangat netral, tanpa memaksakan kehendaknya pada pembaca.
"Tapi hal-hal tertentu masih membuatku tersenyum. Tujuh tahun telah mengajarkan kepadaku bahwa dalam malapetaka alam yang paling ganas, yang bertahan hidup justru yang paling lembut."Apakah "kiri" sepenuhnya keji, dan apakah "kanan" sepenuhnya surgawi, seperti yang digaungkan buku sejarah? Buku ini memberi kesempatan untuk saya menjawab dengan pemahaman saya sendiri.