Gawat! Tangan Yun tidak bisa berhenti menabuh genderang. Adi tiba-tiba juga terus menari. Begitu mereka berhenti, kabut perlahan menyelimuti. Mereka tidak lagi berada di gudang belakang rumah. Sekeliling mereka berubah menjadi hutan rimba. Sekelompok orang membawa kamera, senapan, dan ransel. Sebenarnya, ke mana genderang keramat itu membawa Yun dan Adi pergi?
adalah seorang penulis buku Indonesia tahun 70 hingga 80-an. Dia dikenal sebagai penulis buku fiksi-ilmiah seperti seri Penjelajah Antariksa (Bencana di Planet Poa, Sekoci Penyelamat, Kunin Bergolak), Jatuh ke Matahari dan sekuelnya, Bintang Hitam. Selain menulis buku fiksi-ilmiah, Djokolelono juga dikenal sebagai penulis buku anak-anak, seperti seri Astrid, dan beberapa cerita wayang. Djokolelono juga adalah seorang penerjemah. Buku-buku yang ia terjemahkan antara lain Petualangan Tom Sawyer dan karya Mark Twain yang lain, seri Pilih Sendiri Petualanganmu, seri cergam Mimin, seri Mallory Towers dan buku-buku Enid Blyton yang lain, dan seri Rumah Kecil Laura Ingalls Wilder[1]. Karya-karyanya diterbitkan oleh Pustaka Jaya (PT Dunia Pustaka Jaya), Gramedia, dan BPK Gunung Mulia.
Buku tipis yang selesai sekali duduk! Untuk ukuran buku anak-anak, ini lumayan seru menurutku. Petualangannya seru. Ada mistis-mistisnya, juga time traveler, dan juga budaya Papua 200 tahun yang lalu. Oh ya, ternyata buku ini pertama kali terbit tahun 1972. Waah, itu ibuku aja masih anak-anak. Tapi tenang, karena ini ceritanya sudah diperbarui, dan jadi lebih relate dengan kehidupan anak-anak masa kini. Keren! Jadi pengin baca weird & wicked series lainnya.
Seru sekali! Adi dan Yunanto menemukan sebuah genderang tua di dalam peti yang berasal dari ekspedisi ke Wamena, Irian Jaya. Anehnya Yunanto yang mencoba menabuh genderang itu dan Adi yang menari mengikuti irama genderang merasa tubuh mereka digerakkan secara aneh dan tidak bisa berhenti. Kabut tebal muncul dan tiba-tiba saja Adi dan Yunanto sudah berada di hutan di pedalaman Irian Jaya. Mereka melihat empat orang Belanda bersama budak-budaknya yang sedang menjelajahi hutan di Wamena, tim ekspedisi yang menemukan genderang ajaib itu!
Buku ini singkat, terlalu singkat malah untuk cerita seseru ini. Misteri yang dirajut penulis sederhana tapi sangat cerdik dan menarik. Suasana yang dihadirkan penulis dalam cerita ini juga mengingatkan saya akan masa kecil saya, masa di mana anak-anak sd sangat suka bermain kasti, masa di mana anak-anak belum lagi sibuk dengan gadget mereka. Menyenangkan sekali!
Untuk ukuran buku yang dibaca sekali duduk (yang kubaca dalam 2 kali duduk dan sekali berdiri, harap maklum pejuang bus), buku ini oke. Petualangannya dapet, misterinya standar cenderung oke untuk anak. Isinya ga cuma tegang, ada juga hal lucu muncul tapi ga salah tempat (dan relate dengan masa sekarang - mengingat buku ini awalnya terbit di masa lampau)
Tapi jangan lupa perhatikan rate umur ya adik-adik, minimal umur 8 dulu buat bisa baca 😀
(Setelah ini jadi pengen lanjut baca buku seri ini!)
story to have lifelong obsession for - 2x as magical as Harry Potter, 10x culture cred with Papua setting, and down-to-earth fighting-boys-after-baseball-match scene! it's out of print, though so you have to borrow mine - which won't happen.
Ketika Genderang ditabuh seolah membawa diri kedalam dunia lain dan ikut menyaksikan peristiwa masa lalu yang dapat menguak suatu misteri. Lebih ajaib lagi setiap peristiwa yang dilihat seolah satu ramalan yang akan dialami oleh si penabuh genderang.... review lengkap nyusul juga..
Ini adalah satu-satunya cerita di dalam Weird and Wicked Series yang merupakan cerita lama dan direvisi ulang oleh penulisnya. Sebelumnya, cerita ini berjudul Genderang Perang dari Wamena dan diterbitkan pada tahun 1974. Wow, lama juga, ya? Sekitar 20 tahunan sebelum saya lahir. Sama seperti Rahasia Lukisan, tokoh anak-anak di cerita ini juga seolah dibawa ke tempat lain melalui tifa itu. Meskipun ceritanya agak mirip dengan tema penjelajah waktu, saat tifa membawa mereka ke Papua, mereka hanya melihat saja, tidak melakukan apa-apa, jadi tidak mengubah sejarah atau masa lalu.
Adi dan Ardha yakin, tifa tersebut sengaja memperlihatkan masa lalu kepada mereka agar mereka bisa menceritakan ulang apa yang mereka lihat kepada pihak yang berkepentingan. Diceritakan tim ekspedisi Wesseling (ekspedisi yang dilihat oleh Adi dan Ardha) semuanya hilang tak berbekas dan hanya meninggalkan ransel dan barang-barang mereka. Ada dokumen yang berisi catatan harian ekspedisi, tetapi ada hari-hari yang hilang dan tidak tercatat dalam dokumen tersebut.
Di cerita ini, Ardha digambarkan sebagai anak Indonesia yang sejak kecil tinggal di Belanda dan baru pulang lagi ke Indonesia. Ardha bahkan awalnya tidak bisa Bahasa Indonesia dan saat di Indonesia, dia memakai Bahasa Indonesia yang baku sehingga kadang bikin tertawa atau malah bikin sebal Adi. Adi menganggap gaya bicara Ardha terlalu dibuat-buat dan sulit dimengerti. Pertengkaran Adi dan Ardha tentang gaya bahasa menjadi salah satu bagian yang lucu di cerita ini dan bikin saya tertawa-tawa sendiri.
Kalau melihat dari sisi penulisnya, Eyang Djokolelono adalah penulis senior yang sudah tidak diragukan lagi kepiawaiannya dalam menulis cerita. Jadi, bisa ditebak kalau saya akan mengatakan cerita Tifa Tua adalah cerita yang bagus sekali, ada lucunya juga, ada bagian menegangkannya juga, dan ada sedikit ilmu sejarah yang menambah wawasan pembaca.
“Ardha melihat langit. Langit gelap. Angin bertiup kencang. Dingin. Dan, titik-titik air mulai terasa di permukaan kulit. ‘Kurasa… agaknya cuaca tidak mendukung, Adi,’ kata Ardha. ‘Cuaca tidak mendukung?’ Adi menggelengkan kepala. Anak SD mana coba yang bilang mendung itu cuaca tidak mendukung.”
Ardha baru pindah dari Belanda. Di sekolah barunya dia bersahabat dengan Adi. Suatu ketika mereka bermain di gudang rumah Ardha. Di sana mereka menemukan tifa tua yang menarik.
Seperti kebanyakan anak pada umumnya, mereka sangat tertarik dan penasaran dengan tifa itu. Tiba-tiba Adi tak bisa mengendalikan diri saat menabuhnya. Dan Ardha tak bisa berhenti menari!
Tifa itu membawa mereka ke hutan di pedalaman Papua. Tifa itu juga membuat mereka berdua bertengkar. Tidak hanya itu, tifa ini banyak menunjukkan sesuatu yang "aneh". Seperti sebuah ramalan mungkin? Ada apa sebenarnya dengan tifa tua ini?
🪘🪘🪘 Buku anak selalu menjadi bacaan ringan yang menyenangkan😊 Tidak hanya petualangan yang mengesankan, buku ini juga membuatku lebih mengenal tentang alat musik khas Papua (tifa).
Dapat diselesaikan dalam sekali duduk. Disajikan dengan alur cerita yang cepat dan konstan memelihara rasa penasaranku😅 Disisipi amanat yang bermakna. Dan di bagian akhir dilengkapi dengan fakta-fakta menarik tentang tifa! Keren banget 😃
Ringan, magisnya ada. Eyang Djoko ngajak kita jalan-jalan ke Papua nih melalui perjalanan 'mimpi' Ardha dan juga Adi. Yang menjadi fokus konflik dari cerita ini adalah sebuah tifa gaib. Tifa merupakan alat musik mirip gendang dari Papua (dan Maluku). Tifa yang berada di gudang rumah Ardha tiba-tiba saja memberikan kedua orang yang sedang menjalin persahabatan ini sebuah 'visi'. Dimulai lah petualangan, hal-hal aneh, berlatar belakang suasana cukup ekstrem seperti misalnya cuaca yang tiba-tiba memburuk...ini seolah menjadi sebuah pengingat untuk keduanya.
Buku ini ternyata sempat direvisi ya. Ada lelucon yang kayaknya ngga relate sama tahun pertama cetak buku ini. Sepertinya diubah-ubah sedikit agar relate dengan banyolan masa kini. Ohohoho.
Anto dan Adi menemukan gendang unik di gudang milik ayah Adi. Ketika secara iseng Adi menabuh gendang itu, kabut putih muncul dan membuat mereka terbangun di hutan Hujan papua, mengikuti cerita sebuah ekspedisi tim dari Belanda
Tanpa banyak basa-basi, cerita langsung gas full dari awal. Bahkan sebagai cerita anak, thriller yang disuguhkan terbilang keren dan membuat penasaran. Pengembangan ceritaya agak kecepatan, yah meski memang harus dimaklumi untuk ukuran cerira sekali duduk.
Buku langka yang dalam arti keberadaannya, dan menceritakan timur Indonesia untuk anak-anak dengan cara yang baik. Ini bagian dari ritual perang antarsuku yang begitu mulus dikisahkan (untuk pembaca muda) dan dari bahasanya tampak jelas ditujukan bagi pembaca yang kurang terkoneksi apa itu perang suku di Tanah Papua. jelas penulis merekayasa cerita dari riset sekunder dengan kebahsaan yang jauh dari bahasa ibu-nya. Meski tipis dan singkat, saya hargai.
Seru! Seru! Seru! Mengingat cerita ini ditulis di tahun 70-an, ssmakin kagum pada canggihnya Eyang Djokolelono merakit cerita. Dibaca kembali di zama ini, cerita ini sama sekali tidak terasa canggung/kuno.
Sangat suka pada topik sejarah dan anthropologi yang diangkat oleh novel anak ini. Ini membuatnya jadi bacaan yang menyenangkan dan sekaligus bernas.
Ceritanya seru banget! Ada misteri yang tercipta dari genderang kecil yang ditemukan oleh Yunanto dan Adi. Tapi sayangnya terlalu banyak salah ketik. Jadi kurang nyaman saat baca ini.
This is one of my childhood book, although no I wasn't born in 1972 lol. A good introduction to colonialism and racism for children. Short and I love the ending.
plot ceritanya super random dan bahasanya super canggung. bukan, bukan, maksud saya bukan keanehan cara bicaranya Ardha yang Indonesia campur English, tapi kalimat spt berikut:
'Dipukulnya tifa itu sambil menggumamkan lagu salah satu peserta Pilpres.'
xD know what I mean?
satu lagi. saya bilang Ardha bicara Indonesia campur English karena istilah2 yang digunakannya. - hujan kucing dan anjing (raining cats and dogs) - menangkap dingin (catch a cold) - hari setelah keesokan hari (the day after tomorrow)
masalahnya adalah... Ardha sebenarnya dalam hatinya berpikir dalam bahasa Belanda... go figure.
ini cuma hal2 aneh yg saya perhatikan dan sempat tulis. review selengkapnya nanti mungkin dibuat kalau ada niat dan waktu :P
Terus terang aku kecewa sekali dengan buku ini! Kecewa karena buku ini terlalu pendek untuk petualangan seseru itu! Apalagi saat peristiwa sedang seru-serunya, mendadak Adi dan Ardha dibawa kembali ke masa kini. Deg-degan rasanya menunggu saat mereka pergi lagi ke gudang untuk menabuh tifa tua itu. Apalagi petualangan mereka dibubuhi embel-embel; tim ekspedisi Kerajaan Belanda yang menjelajah tanah Papua itu menghilang nyaris tanpa jejak. Tambah penasaran kan? Sayang sekali semua keseruan itu harus berakhir mendadak. Seandainya dilanjutkan, kisah ini pastilah jadi buku (serial 😆) yang super seru! Oya, buku ini sebetulnya sudah direvisi dari versi aslinya yang berjudul Genderang Perang dari Wamena yang diterbitkan di tahun 1974 oleh Pustaka Jaya.
Ketika dua orang sahabat, Ardha dan Adi, bermain-main di gudang rumah Ardha seusai pulang sekolah, mereka sama sekali tidak menyangka akan mengalami kejadian yang sulit diterima logika. Semuanya berawal dari sebuah alat musik pukul tifa yang mereka temukan di bersama-sama dengan barang-barang khas suku asli Papua lainnya. Karena iseng memukul-mukul tifa, Adi dan Ardha malah menyaksikan apa yang terjadi ratusan tahun lalu terhadap misi ekspedisi empat pria kulit putih di Papua yang menghilang secara misterius. Secara umum, ceritanya menarik dan menyimpan kejutan hingga akhir. Cocok untuk dibaca anak-anak yang suka petualangan.
ermula dari keisengan mengisi waktu sambil menunggu hujan berhenti, Ardha dan Adi membongkar aneka barang yang ada di gudang. Salah satu peti berisi barang-barang titipan Mijnheer Niko berupa barang-barang dari Papua untuk museum. Mijnheer Niko sempat tinggal beberapa waktu di Wamena. Sebuah Tifa tua menarik perhatian keduanya.
Entah kenapa, tiba-tiba saja Adi menabuh Tifa tanpa bisa berhenti, sementara tangan dan kaki Ardha bergerak mengikuti suara Tifa tanpa bisa berhenti. Keduanya seakan kerasukan.
buku anak lokal yg cukup padat isinya, dr mslh cinta tanah air, culture shock, sampai kebiasaan berkelahi saat main sepak bola.
suka sekali cara pengarangnya memasukkan kecanggungan bahasa Ardha dlm tema cerita (catch a cold = menangkap dingin, hujan kucing dan anjing, dll). karakterisasi Adi dan Ardha-nya jg cukup solid untuk cerita anak2. suka juga ensiklopedi mini-nya di akhir buku.
ini kisah serial to? cari pinjaman lagi ah buat seri2 lainnya.... ^^V
Sukaaaaaaaa....... Ceritanya baguuuuuus..... Agak terlalu simple sih memang, tapi kocak. Iya kocak, gak serem seperti lainnya tapi tetep weird XD. Kali ini kita dibawa ke ranah papua dan dari awal ada catatan kecil bahwa buku ini tadinya ditulis di tahun 1972 dengan judul Genderang Perang dari Wamena dan sudah direvisi agar lebih modern. Bayangkan betapa kagetnya saya waktu baca "kabar gembira"! Ngakaaaaak............ Buku2 ini memang layak dikoleksi!