“Ini kisah yang sebenarnya belum lama terjadi. Sebuah kisah kelabu penuh darah. Hanya seumuran dua kali coblosan lurah; tidak berselang lama dari saat, untuk pertama kalinya di daerah sini, Golkar menang dari Petiga dengan mudah.”
Demikianlah Warto Kemplung mengawali kisahnya kepada siapa saja yang sudi mendengarnya di warung kopi: kisah asmara antara Mat Dawuk dan Inayatun, dua sejoli yang dipandang miring oleh masyarakat, berlatar kehidupan sosial sebuah desa Jawa yang berubah oleh tanaman komoditas dan kerja menjadi buruh migran, dibalut dengan humor, laga, dan dendang film India.
Masalahnya, sejauh mana cerita Warto itu sungguh-sungguh terjadi; atau hanya bualan untuk menutupi masa lalunya sendiri?
Mahfud Ikhwan lahir di Lamongan, 7 Mei 1980. Lulus dari Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Gadjah Mada, tahun 2003 dengan skripsi tentang cerpen-cerpen Kuntowijoyo. Menulis sejak kuliah, pernah menerbitkan cerpennya di Annida, Jawa Pos, Minggu Pagi, dan di beberapa buku antologi cerpen independen.
Bekerja di penerbitan buku sekolah antara 2005–2009 dan menghasilkan serial Sejarah Kebudayaan Islam untuk siswa MI berjudul Bertualang Bersama Tarikh (4 jilid, 2006) dan menulis cergam Seri Peperangan pada Zaman Nabi (3 jilid, 2008). Novelnya yang sudah terbit adalah Ulid Tak Ingin ke Malaysia (2009) dan Lari Gung! Lari! (2011). Novelnya yang ketiga, Kambing dan Hujan, memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014.
Selain menulis dan menjadi editor, sehari-harinya menulis ulasan sepakbola di belakang gawangdan ulasan film India di dushman duniya ka, serta menjadi fasilitator dalam Bengkel Menulis Gerakan Literasi Indonesia (GLI).
Warto Kemplung nongkrong 2 hari berturut-turut di warung kopi Bu Siti, cerita ngalor-ngidul tentang satu kejadian di Rumbuk Randu yang nggak jelas kebenarannya. Selama ngedongeng dia seenaknya ngambilin rokok orang-orang yang ada di sana atau pesan segelas kopi hitam padahal utang-utangnya masih belum lunas. Kebetulan saja saya ada di sana selama 2 hari itu dan pertanyaannya adalah, kenapa saya mau dengerin cerita si Warto Kemplung sampai habis?
Dari namanya saja, dan semua warga juga sudah pada tahu, Warto Kemplung itu adalah berita bohong. Di awal-awal cerita juga kami sudah sangsi bagaimana dia tahu pasti isi percakapan Mat Dawuk, Inayatun, atau Mandor Har padahal dia sama sekali nggak ada di tempat, padahal percakapannya terjadi 4 mata saja di dalam rumah kandang yang terpencil, padahal percakapannya terjadi di sebuah pertemuan malam rahasia para aparat desa, dan seterusnya. Dia berdalih kalau pendongeng yang hebat harus bisa menceritakan apa yang dipikirkan kancil jika bertemu harimau, tapi masalahnya Warto bukan pendongeng hebat. Walaupun ceritanya sudah dia bumbui dengan dialog-dialog karangan, tapi tetap saja rasanya biasa-biasa saja. Tidak begitu istimewa, tragedi di dalamnya tidak membekas, levelnya kejadian sehari-hari, apalagi di desa antah-berantah seperti di sini yang warganya turun-temurun diwarisi nasib sial.
Si buruk rupa menikah dengan si cantik jelita, sudah ada berapa banyak versi kisah seperti itu? Dari film King Kong saja sudah dijelaskan kalau skema cinta yang kaya begitu nggak akan langgeng, nggak akan direstui, salah satunya pasti mati atau dua-duanya, saya sudah hapal. Nggak ada yang baru. Tapi jujur, kisah romantika Mat Dawuk dan Inayatun di awal-awal memang bikin jantung deg-degan, memikat sekali, apalagi sambil bayangin iringan lagu soundtrack film India klasik. Tapi ke sananya malah kerasa dibuat-buat, seperti artikel-artikel di koran Lampu Merah yang dimodifikasi, malah jadinya gampang ketebak berhubung saya ini adalah pembaca setia itu koran.
Nah, yang bikin kesel juga adalah kenapa sih orang-orang di warung kopi jarang ada yang nanggapin ceritanya si Warto? Ya minimal tanya-tanya lah kalau emang nggak mau debat adu argumen biar si Warto ini nggak ngoceh terus sampai mulutnya panas. Entah mereka emang lagi asyik dengerin dongeng atau entah emang nggak peduli. Itulah kenapa saya sudi dengerin cerita tentang Mat Dawuk ini sampai habis, ya karena saya nungguin ada orang yang berani ngebantah ocehan Warto. Atau lebih seru lagi kalau ada orang yang nanggapin balik si Warto dengan cerita Mat Dawuk versi pribadi, biar setelahnya kita ada kerjaan mikirin mana cerita yang nyata dan mana yang bohong.
Sekarang si Warto malah hilang entah ke mana. Kemarin ceritanya masih ngegantung. Mungkin 2 hari saja tidak cukup, harusnya Warto punya waktu seminggu buat dongeng kisah Mat Dawuk sampai tuntas. Atau mungkin cerita dia 2 hari ini malah kelamaan, terlalu berpanjang-panjang. Ah, pokoknya saya nggak rido stok rokok Samsu saya dia isap berbatang-batang sampai nyaris habis kemarin. Apa enaknya ngopi kalau mulut gatel? Asu memang!
Akhirnya saya kembali menemukan novel indonesia yang segar di tahun ini. Segar dan punya rasa yang baru. Dan meski bertajuk sastra, tapi saya yakin bisa dinikmati oleh banyak orang. Kelebihan Mahfud Ikhwan yang saya temukan (ceile, kayak siapa saja saya ini) dalam prosanya adalah kemahirannya membangun narasi. Saya lupa entah komentar siapa, bahwa bangunan utama sebuah novel adalah cerita itu sendiri, jadi selama novel itu bisa dinikmati ceritanya, meyakinkan pembaca, maka percayalah bahwa novel tersebut berhasil. Dan Mahfud Ikhwan yang konon sangat mengidalakan novel india Peter Pancali dan Aparajito, juga menyukai film Bollywood, maka tak aneh bila di prosa Mahfud Ikhwan sangatlah indah dalam membangun cerita. Kalau bahasa sederhananya filmis.
Meski, kalau boleh saya berbangga, saya sudah bisa menebak akhir cerita Mat Dawuk dan Warto Kemplung akan seperti yang dikisahkan Mahfud Ikhwan (saya tidak akan mengisahkan akhirnya). Mengapa? Karena Warto Kemplung memiliki karakter narator yang tidak bisa dipercaya, seperti karakter narator utama di beberapa novel thriller luar negeri, sekadar menyebut contoh The Girl on The Train, In a Dark, Dark Wood atau bahkan novel Alex yang ajaib di Italia. Warto Kemplung sudah dibold oleh Mahfud Ikhwan sebagai pencerita yang tidak bisa dipercaya. Sebuah karakter yang biasa ada di novel thriller dewasa ini. Dan memang benar, tebakan saya tak jauh meleset.
Sayangnya, lagi-lagi Mahfud Ikhwan mahir mengisahkan. Jadilah saya menikmati kisah-kisha ajaib di Rumbuk Randu. Mulai dari kisah ajaib soal kiai yang punya linuwih, perselingkuhan, pembunuhan, bahkan sekadar kearifan lokal bagaimana blandong dan polisi hutan.
Kalau boleh saya curhat, desa saya tak jauh beda dengan bagaimana kondisi Rumbuh RAndu. Dikelilingi hutan, isu perselingkuhan di desa juga banyak, meski tak ada kasus pembunuhan sebagaimana yang dialami Mat Dawuk dan Innayatun.
Tapi yang sangat kuat di sini adalah kekuatan narasi. Sukkkkkaaakkk!!!
Rasanya, usaha penulis untuk mendekonstruksi keeksotisan pedesaan dan keluguan masyarakatnya amat sukses dilakukannya dalam buku ini.
Ketika kau ketikkan kata kunci itu "ciri-ciri orang desa" di Google, yang tertampil adalah masyarakat yang dipandang polos dan baik. Mereka rukun dan penuh gotong-royong, memiliki tingkat solidaritas tinggi. Ciri-ciri itu seperti dibumihanguskan oleh penulis dalam cerita di buku ini.
Buku ini menghadirkan seorang penutur bernama Warto Kemplung. Ia menceritakan kisah—seperti yang tertera pada judulnya—kelabu dan dari sebuah daerah yang sepertinya di Jawa Timur bagian pantura bernama Rumbuk Randu. Kisah kelabu itu berpusat pada Mat Dawuk, seorang laki-laki kumal dan "buruk rupa" asal Rumbuk Randu yang mencintai kembang desa bernama Inayatun. Tuturan Warto akan kisah dua sejoli Dawuk-Ina bergulir bersama bayang-bayang keabsahan kisah itu sendiri.
Cerita ini menyebut-nyebut soal asal-muasal desa Rumbuk Randu yang tanahnya tidak subur dan leluhur mereka yang membuka hutan pepohonan randu dan beranak-pinak di sana. Karena letak geografisnya yang malang, penduduk Rumbuk Randu menjadi pesanggem (penggarap ladang hutan) dan lama-kelamaan menjadi TKI di Malaysia.
Karakteristik latar dan sosial seperti di atas dideskripsikan secara ciamik oleh penulis sebagaimana ia (mungkin) menyarikannya dari daerah kelahirannya. Sungguhpun, tuturan penulis enak sekali untuk diikuti.
Sebagai orang Jawa, aku dibuat heran dengan perbedaan yang amat jauh dari apa yang dihadirkan penulis dalam buku ini dengan apa yang terjadi di wilayahku. Keunikan orang Jawa itu bikin geleng kepala. Beda kabupaten saja bahasa dan karakteristik sosialnya bisa sangat berlainan, apalagi beda provinsi.
PUASSSSS banget. hebat euy. diksi cakep. cerita ngalir. gaya penulisan menakjubkan. lebih-lebih, isinya bikin mikir. dalem dan nyerempet-nyerempet. ini based on true event apa gimana, sik?
kopi. lagu dan film India. legenda Indonesia. religi kejawen. romance. komplet. ----sadis.
Ini. Lihat cangkir kopi ini. Ya, inilah kebahagiaan. Seperti kopi, cepat atau lambat, ia akan habis. Ya, ya, kadang kita ingin berlama-lama menikmatinya, menghirupnya sedikit demi sedikit, mencecapnya lama di lidah, memainkannya sedikit di langit-langit, mengumurnya pelan-pelan, tak ingin buru-buru menelannya. Tapi, mak bedunduk, tahu-tahu, begitu kita longok ke dasar cangkir, yang tersisa tinggal ampas. Ia sudah tandas. Mungkin karena memang kita tanpa sadar mereguknya lekas-lekas. Kadang, karena sembrono, tangan atau kaki kita tak sengaja menggulingkan cangkirnya, dan kopi akan tumpah sia-sia. Ada kalanya, datang orang-orang kurang ajar, yang dengan enteng saja mereguknya, sama sekali tak menyisakan untuk kita.
Apa? Kau tanya ‘bagaimana dengan kopi yang tidak diminum’? Kopi yang tidak diminum bukanlah kopi. Ia cuma air putih yang bernasib sangat buruk.
Dunia ini fana, saudara-saudara. Itu bukan aku yang bilang, tapi Tuhan – silakan cari sendiri ayatnya. Semuanya akan binasa. Semuanya! Yang air kembali ke air. Yang tanah balik jadi tanah. Tapi yang paling ujung hanya udara kosong, sebab memang dari itulah alam semesta dan kehidupan diawali. Bahagia itu, kalian tahu, jika memang ada, hanya permainan dan tipudaya dunia belaka. Itulah kenapa Tuhan hanya benar-benar menjanjikan kebahagiaan itu di alam sana, bukannya di sini, di dunia ini. Yang kekal abadi, selamanya, khaalidiina fiha abadan, hanya di surga. Di sini, semuanya fana. Dan fana artinya binasa. Mati. Habis.
Bahagia itu adalah permainan gundu, kalian tahu? Benda bulat bening dan berkilau-kilau yang kita perjuangkan itu, yang kita berkelahi karenanya, kita nangis-nangis ingin punya, kita berpanas-panas untuk memenangkannya., ujung-ujungnya akan pitak juga. Bahagia itu tak lebih dari laying-layang yang mengangkasa tenang lalu tiba-tiba putus benang, kemudian ia akan terkulai jatuh, dan lenyap entah ke mana. Ya, semua akan berakhir. Cepat atau lambat. Atau kadang malah terlalu cepat. Dan banyak di antaranya berakhir dengan cara yang buruk.
Setelah Kambing dan Hujan, saya jadi penasaran dengan karya lain penulis ini. Makanya begitu buku ini keluar langsung saya beli.
Walaupun awalnya agak ciut takut ekspektasi turun, lama kelamaan jadi seru. Bikin ngikik ngikik apalagi kalau lirik lagu India udah mulai muncul jd ingin berkata kasar :)) Adegan berdarah-darahnya disajikan ringkas tapi tetap berurutan jd cukup puas #eh
Setting dan gaya bahasa di Dawuk ini terasa dekat dan familier untuk saya jadi menambah keasikan (?) saat membacanya.
Sebuah mitos buruk tentang terbentuknya suatu desa. Dendam turun temurun yang berakibat terbunuhnya beberapa orang. Tapi, seberapa jauh kebenaran tentang cerita-cerita itu bisa dibuktikan?
Entahlah, karena saya langsung tenggelam dalam asiknya gaya bercerita Mahfud Ikhwan di buku ini. Berasa lagi dengerin cerita/dongeng kakek waktu kecil dulu.
Cerita ini dikisahkan oleh Warto Kemplung di warung kopi bu Siti di desa Rumbuk Randu. Setidaknya butuh beberapa batang rokok dan kopi untuk jadi pemantik Warto Kemplung agar mau menceritakan kisah yang faktanya masih diragukan ini.
Ini cerita tentang Muhammad Dawud. Ah, nama seagung itu justru dipelesetkan jadi Mat Dawuk hanya karena rupanya yang jelek, bibir cuil, hidung miring, kumal, dan tidak terawat seperti kambing berbulu kelabu. Setidaknya karena tidak melihat langsung, mungkin Mat Dawuk tidak seseram itu—aku rasa.
Semakin berdosa Mat Dawuk di mata warga setelah dia menikah dengan Innayatun, gadis tercantik yang pernah lahir di Rumbuk Randu. Bahkan setelah sebuah tragedi malam kelabu terjadi, semakin Mat Dawuk ingin dihabisi.
Tentu di novel ini Cak Mahfud dengan jelas menyatakan keberpihakannya kepada kaum marjinal, salah satunya melalui narasi tentang kehidupan Mat Dawuk dan Innayatun yang bahagia dengan segala keterbatasannya. Juga gubuk bekas kandang sapi yang menjadi rumah dan saksi kebahagiaan mereka.
Novel ini juga mengangkat latar sosial desa Rumbuk Randu, sebagai sebuah desa yang banyak mengirimkan warganya sebagai TKI di Malaysia, dan konstruksi sosial tentang Innayatun yang diobjektifikasi karena pilihan hidupnya. Seolah-olah laki-laki punya otoritas mengontrol tubuh dan pilihannya. Cih!
Menurutku novel ini memang layak menjadi pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2017. Bahkan kalau ada penghargaan narator terbaik, aku akan merekomendasikan Warto Kemplung masih ke jajaran nominasi.
Setidaknya hanya Warto Kemplung yang paling pandai menarasikan kisah kelabu dari Rumbuk Randu.
Setelah berkenalan dengan Kambing dan Hujan, saya telah mulai jatuh cinta dengan karya-karya Mafhud Ikhwan, cuma tidak pernah pula saya mengetahui karya-karya beliau yang lain. Sehinggalah kemudian, dihulurkan buku ini oleh sahabat saya, tanpa ragu-ragu, saya terus mengambil dan membacanya.
Dan persis karya pertama beliau yang saya baca, saya masih terpukau dengan pengolahan cerita yang bersahaja, dan keupayaan penulis mencerai-beraikan setiap babak dan menjalinkannya semula sedikit demi sedikit menuju ke penghujung cerita. Namun, wujud kerencatan di akhirnya apabila pembaca dibiarkan tertanya-tanya berkenaan peleraiannya.
Jalan ceritanya mudah: Mat Dawuk, seorang pemuda di Rumbuk Randu dan Inayatun, seorang wanita saling memadu cinta. Namun, dek kerana rupanya kedua-dua sangat berbeza umpama langit dan bumi, ditambah pula dengan latar belakang mereka yang ngawur, mereka menjadi bahan bualan marga kampung.
Kisah mereka mendapat perhatian akan Warto Kemplung—seorang peminum kopi dan perokok tegar sejati—yang menceritakan kembali perihal kedua-dua pasangan ini. Diakui, ceritanya begitu mengasyikkan, namun saya masih kabur akan perihal tema utama cerita ini; cerita sekadar menjadi cerita.
Pagi tadi saya menonton video Amal Kassir di youtube, perempuan Amerika keturunan Suriah yang berbicara di forum Tedx. Video lama, tahun 2016, saya yang telat nontonnya 😊 Dia mengatakan, "The greatest distance you can travel in a shortest amount of time is by asking someone their name." Amal selalu membawa sekaleng permen mint saat naik pesawat, untuk ditawarkan kepada penumpang lain yang, setelah penerbangan 4 jam pada pukul 7 pagi, biasanya tidak akan menolak, meskipun yang menawarkannya perempuan muslim berhijab. Dan dia merasa tujuannya tercapai jika penumpang di sampingnya mau meluangkan waktu untuk bertanya, "Siapa namamu?". Karena dari pertanyaan sederhana itu, dia bisa menjelaskan siapa dirinya. World traveler, waitress at her family's restaurant, writer, social justice advocate, dst. Sementara orang yang tak mau repot-repot mengenalnya dan hanya melihat pakaiannya akan langsung menamainya: "teroris," "go back to your country," "oppressed," dsb. Tentu tidak semua, ini hanya contoh. Saat bertemu orang asing, tanyalah namanya, jangan memberinya nama sesukamu, begitu kata Mbak Amal.
Kenapa saya malah cerita soal Amal Kassir? Karena Mat Dawuk yang dikisahkan dalam buku ini juga korban dari ketidaktahuan dan ketidakpedulian warga Rumbuk Randu. Karena wajahnya yang buruk, asal usulnya yang mengenaskan, mereka langsung menganggapnya penyakit. Diabaikan, dijauhi, dianggap tidak ada, lebih bagus lagi kalau sekalian lenyap dari muka bumi. Dan akibatnya adalah tragedi.
~ Yang ingin menonton video Amal Kassir tersebut, bisa dicari di youtube, judulnya "The Muslim on the Airplane."
~ Yang ingin baca review lebih serius tentang buku ini, bisa baca review teman-teman lain 😀 Yang jelas ini buku bagus, diceritakan dengan apik, lumayan sadis tapi tetap enak dibaca. Pantaslah tahun lalu buku ini menang Kusala Sastra Khatulistiwa.
Betul-betul film Machete rasa kearifan lokal, pleus Malaysia, pleus film dan lagu India. Salah satu fiksi sejarah yang saya nikmati. Rasanya setelah membaca Kambing dan Hujan saya bisa melihat bahwa Masnya senang yang romantis. Kisah cintanya meni gararetek kitu hahaha. Naon nya Bahasa Jawa na... Basa Sunda ge sapotong-sapotong kieu.
Adegan terbaek emang pas warga Rumbuk Randu mengepung rumah kandangnya Mat Dawuk, diiringi lagu India yang mendayu. Saya ngerasanya kayak slo-mo, dan atmosfernya mismatch antara epik dan kocak, kayak perabot warna-warni bernuansa hangat di ruang tamu a la shabby chic yang cool-toned. Nggak nyambung, tapi pas (naon deh, Fa).
Dan entah mengapa, sepanjang baca cerita ini, saya jadi teringat suami. Seperti ketika saya membaca The Man Called Ove (dan belum tamat aja masa) dan A 100-year-old Man Who Climbed the Window and Dissapeared. Kayak, dia pasti akan menikmati cerita ini juga. Apalagi dia lebih mengerti Bahasa Jawa.
Coba ada catatan kakinya, ya... Padahal mah nggak apa-apa sedikit. Kasihan saya (dan pembaca lain) yang nggak suka sejarah tapi merasa belajar dari buku ini haha. Tapi kumaha penulisnya, sih... bebas aja.
Review-nya segini dululah... belum bisa bercerita seseru Warto Kemplung haha. BTW KdH jadi dibuat filmnya nggak, ya? Adain open casting gitu, biar saya bisa ikut jadi figuran hahaha. Sukses ya, Masnya.
(Update: Emak juga baru baca buku ini, tapi beda dengan KdH, Emak kurang suka karena katanya banyak kebetulannya. Tapi kalau nanti Masnya nerbitin buku lagi, kayaknya bakal dibaca juga sama Emak)
Awalnya saya pesimis dan sinis membaca kisah si Warto Kemplung yang seolah tak bercelah. Namun, hal itu terbantah di akhir cerita. Sebuah plot twist yang halus.
Teknik yang digunakan Cak Mahfud ini memang menarik, cerita berlapis-lapis. Hal ini mengingatkan saya pada karya Tolstoy yang berjudul "The Kreutzer Soneta". Bedanya di karya tersebut si pencerita menceritakan kisah dirinya sendiri. Sementara Warto Kemplung menceritakan orang lain, yakni tentang Mat Dawuk.
Kisah kelabu yang dituturkan sebagaimana sebuah dongeng yang asyik untuk disimak. Kekayaan lokalitas Pantura dan Jawa Timuran dipadukan dengan gaya bercerita yang terasa nyaman menjadi poin-poin unggulan buku ini.
Saya mengenal karya Makhfud Ikhwan pertama kali melalui novelnya berjudul Kambing dan Hujan-kisah cinta berbalut perbedaan Muhammadiyah dan NU. Novelnya kali ini, saya sedikit berharap akan balutan politik atau sesuatu yang lain, yang membuat saya sangat pingin membaca novel satu ini...
Proses membaca pun dimulai. Cerita dimulai dengan Warto Kemplung yang haus perhatian dengan menceritakan kisah tentang tragedi di Rumbuk Randu, tragedi yang melibatkan Mat Dawuk, tokoh utama kisah ini. Mat Dawuk digambarkan sebagai sosok buruk rupa yang haus darah, temperamental, dan berdarah dingin. Tak dijelaskan bagaimana ia bisa memperoleh ilmu bela diri, tapi buta huruf. Diceritakan Mat Dawuk memiliki kakek yang tinggi ilmunya yang menghilang di hutan dan tiba-tiba muncul ketika sang cucu terlibat masalah hukum.
Proses membaca saya sudah sampai tengah. Tapi saya belum melihat balutan apa yang menjadi kisah sampingan dari novel ini. Sinopsis yang saya baca di belakang buku menyinggung tentang kemenangan Golkar atas Petiga di suatu pemilihan umum. Apakah kisah ini bakal menyinggung tentang Orde Baru seperti novel-novel Okky Madasari, atau Ahmad Tohari atau penulis lain yang sering berbalut politik. Tapi kadung basah, saya berusaha terus melanjutkan membaca.
Kisah romantis antara Mat Dawuk dan Inayatun seperti kisah Beauty and The Beast bernuansa India. Dari suasana rumah pinggir hutan yang dipenuhi pepohonan, memungkinkan mereka bernyanyi ala India, berlarian dan main petak umpet di antara pohon-pohon, hahahaha... Belum lagi kisah pertemuan mereka yang diawali dengan penyelamatan gadis cantik di sarang penjahat. Ditambah adegan adu jotos dan dimenangkan oleh si buruk rupa berhati emas. Tsaaaahhh... :D Tapi bukan lokal jika kisah ini tidak dibumbui dengan penguasa setempat yang melegalkan segala acara demi menyingkirkan si buruk rupa.
Singkatnya, saya sedikit kecewa dengan novel Makhfud Ikhwan kali ini. Saya masih suka dengan jalinan kisahnya, bahasanya yang mengalir dan humor yang ditawarkan meski tidak terlalu menimbulkan gelak. Tapi saya berharap drama seperti yang saya dapatkan di Kambing dan Hujan. Mungkin bukan agama, tapi sesuatu yang laiin yang membuat tetap intens membaca hingga akhir. Oya, di bagian akhir, saya sedikit skip di beberapa bagian. Yang terakhir, melihat banyak teman saya memberi rating tinggi untuk novel ini, dan saya cukup memberi 3 bintang, itu hanya sekedar selera. Selera saya memang hanya mampu memberi rating segini. Terus gimana dong? Ya gak popo laahh... :D
Tentu penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 kategori Prosa Terbaik yang diberikan tanggal 25 Oktober 2017 lalu kepada Mahfud Ikhwan atas novel Dawuk melayangkan perhatian lebih para pembaca sastra kepada buku ini, tak terkecuali saya.
Kisah Mat Dawuk disajikan berdasarkan sudut pandang Warto Kemplung yang dilengkapi dengan bumbu-bumbu penceritaan khas pembual. Hal ini memberi nilai lebih kepada Mas Mahfud yang berupaya turut menggaet pembaca untuk larut pada kisah Mat Dawuk. Dawuk dituturkan begitu mengalir dan atas bantuan bumbu-bumbu tersebut, menjadikan buku ini nyaman untuk terus dibaca. Meskipun, ada beberapa guyonan Warto Kemplung di luar konteks cerita yang ia tuturkan, terlalu panjang, sehingga terasa membosankan pada bagian tertentu (tetapi saya rasa ini lebih kepada soal selera pembaca).
Perselisihan antara Mat Dawuk dan penduduk Rumbuk Randu yang seperti gencatan senjata itu tidak hanya berkutat seputar wajah ngeri Mat Dawuk (tidak dapat dinafikan, bagi saya ini merepresentasikan masih kuatnya kecenderungan manusia dalam mengedepankan penilaian fisik terhadap seseorang), tetapi juga permasalahan lain seperti isu Tenaga Kerja Indonesia (TKI), persekongkolan petani dan aparat, tradisi ‘serong’ di kehidupan rural, tindak provokasi dan main hakim sendiri, bahkan dendam yang diwariskan turun temurun. Perbincangan yang sangat kaya! Dan hal inilah alasan paling utama yang membuat saya menyukai buku ini :)
Dawuk adalah potret negeri kita. Negeri kaya raya yang rakyatnya gemar mendengarkan cerita ketimbang membaca. Kita lebih suka bilang "katanya" ketimbang merujuk pada sumber fakta.Tokoh Warto Kemplung sebagai narator cerita inilah wujudnya.
Kisah Mat Dawuk beserta kisah tragis dan kesaktiannya adalah contoh bahwa informasi akan suatu fenomena dapat berkembang lewat tutur lisan. Banyak diubah demi kepentingan pribadi atau diimprovisasi agar menarik. Sosok Mat Dawuk yang buruk rupa dan penyendiri menimbulkan kesan bahwa dia adalah orang yang aneh dan berbahaya. Saking kuatnya label tersebut, semua orang percaya tanpa perlu menelisik lebih jauh.
Namun demikian, ini bukanlah kisah heroik seorang buruk rupa yang baik. Mat Dawuk tetaplah manusia dengan sisi baik dan buruknya. Cerita yang luar biasa dari penulis yang luar biasa pula. Pantaslah karya Mahfud Ikhwan ini diganjar Kusala Sastra Khatulistiwa 2017.
Saya pribadi sangat menikmati bualan Warto Kemplung dari awal sampai akhir, terlebih pada bagian eksekusi Dawuk yang memilukan. Ini adalah sumbangan buku pertama saya untuk Reading Challenge 2018. Yay!
Langsung tamat dibaca dalam beberapa jam. Diselingi kegiatan lain, buku ini membuat penasaran dan tak ingin melepaskan. Satu lagi buku bagus yang membuat ingin membaca buku lainnya. Meski pun kenyataannya langsung membeli dua buku Mahfud Ikhwan setelah membaca reviewnya.
Sebuah cerita di desa bernama Rumbuk Randu. Kisah cinta Mat Dawuk dan Ismayatun, pasangan Beauty and the Beast ala Jawa. Kisah cinta berujung duka karena dendam dan kebusukan hati manusia.
Alur cerita berjalan lancar , diksinya keren, dibalut humor dan masalah sosial. Sempat terharu dengan nasib Mat Dawuk yang begitu mengenaskan selain juga geram dengan tokoh mertuanya.
Karya Mahfud Ikhwan yang pertama kali saya baca dan langsung suka setelahnya. Cara berceritanya rapi dan tidak membosankan, seperti ditulis dengan stamina tinggi dan stabil. Membaca kisah Mat Dawuk ini seakan ikut 'njagong' duduk di sekitaran Warto Kemplung dan tak beranjak sampai kisah selesai. Racikan ceritanya mulai dari pengalaman TKI di Malaysia, kesukaan film dan lagu India dengan latar belakang pedesaan Jawa sangat pas dan terukur. Seperti kopi yang nikmat. Bikin ketagihan !
Agak mengingatkan sama Lelaki Harimau nya Eka Kurniawan tapi dengan gaya penceritaan yang lebih seru! Kalau Kambing dan Hujan romance dengan latar belakang agama, nah Dawuk ini romance dengan sentuhan stensil, silat dan India (?). Menarik dan menggelitik lah pokoknya!
I believe that a novel with an amazing story, a weak characterization, and an unreliable narrator may provoke several readers who assume that "novel" is a synonim for "story" to reach climax happily. Nevertheless, maybe there are several other readers who are provoked to anti-climax, the saddest ending of a great expectation, instead, because of the simple reason that they see a novel as a good novel when it has a strong characterization and a logical plot (without, for instance, deus ex machina). An amazing story without those two basic elements is nothing but an entertaining tale for children, something which I didn't think becomes the reason why this novel is written.
Let's see a possible apology: the weak characterization in the story (if you accept that it has a weak characterization) is caused by the use of an unreliable narrator, it supports his unreliability; the weaker the characterization of the characters told by this unreliable narrator, the stronger characterization of this unreliable narrator will be.
This apology seems logical in the first sight, but let me propose a simple question: who's actually the main character of the novel? It is not the unreliable character, is it? Since we find another name in the title instead of the name of unreliable narrator.
So, it will be an awkward choice to strengthen the characterization of the unreliable narrator at the expense of the weaker characterization of the main character. Okay, this choice will be a logical one when it is supported by the clues which could bring the readers to the reliable version implicitly, but I don't think that what will be suggested as "the clues" in this novel (if you accept that it is there) is powerful enough to replace the prior long unreliable narration.
A novel which uses an unreliable narrator without providing enough clues toward the reliable narration, I think, will end by giving the only choice for the readers available: enjoying "just" the story. What's wrong with that? Didn't we read a novel to enjoy the story it presented? Yes, but I don't think that the word "enjoy" has a similar meaning for all people. A child may enjoy an amazing story while an adult may enjoy the same thing but he did that by considering the power of plot (cause and effect relation of the events in the story) and the characterization at the same time because he may has a wider references to be compared consciously and even unconsciously: the experience of reading influences our way of "enjoy"-ing.
Surely there is another choice: staying in the position of the perflexed readers who said to themselves that "well, maybe I am the only reader who is perflexed because of my own ignorance since I have read several reviews which glorifying the novel". Nevertheless, I don't think that it is a good choice to be presented here because surely it is (any) reader who (re)create the meaning of a literary work after "the death of the author" and it is a really poor thought to say that a literary work is a great one just because the level of perflection it provokes.
Besides, we knew exactly that there are several different possible motivations for a reader to praise and glorify a literary work: some childish readers did that because of close relationship matter, others because they think it will be a foolish act if they give a bad commentary for a glorified book while at the same time they want to speak something to show that "I am a great intellectual reader reading so so many great books". Well, there are several other motivations too, but it will be useless to mention all of them here since there is a possibility that I am wrong and all reviews I have read are absolutely sincere commentaries from truthful readers. If that is the case, just forget this short review and let me increase my reading which at this time only covering a small number of books, maybe they even only second-rate books.
Buku yang saya baca merupakan cetakan ke 5 di Januari 2025 dengan sampul baru (beda sama cetakan lama yang di Goodreads). Saat pertama melihatnya, sekilas seperti sampul lawas buku cerita pendekar di tahun 80-an. Sumpah, ilustrasinya norak banget. Ternyata setelah saya baca isinya pun nggak kalah norak.
Kisahnya tentang si aku (Mustofa), seorang wartawan yang kebetulan nongkrong di warung kopi dan ikutan menyimak bualan pelanggan tetap warkop, Warto Kemplung namanya.
Kalau teman-teman sering nongkrong di warkop, sering kali ada orang yang modelnya seperti Warto. Ngomongin “Politik-Ekonomi-Sosial-Budaya-Pertahanan Keamanan” dengan gaya sok tahu plus ditambahin bumbu-bumbu gosip.
Mustofa yang awalnya menyimak cerita tentang Mat Dawuk yang menurutnya tidak penting itu, lama-lama penasaran juga dengan kelanjutan ceritanya.
Di hari berikutnya, dengan saweran rokok dan traktiran kopi, Mustofa meminta Warto melanjutkan kisahnya. Warto Kemplung memang demen menyudahi cerita saat lagi seru-serunya. Menyebalkan, bukan?
Jadi ceritanya itu gini lho, di suatu desa Rumbuk Randu tinggallah seorang anak laki-laki buruk rupa. Saking jeleknya penduduk desa membencinya dan selalu mengolok-olok. Sampai suatu hari si buruk rupa tersebut minggat bertahun-tahun ke Malaysia menjadi TKI.
Pulang-pulang ke Rumbuk Randu, ternyata dia sudah beristri seorang TKW di Malaysia. Satu desa langsung geger, istrinya ternyata kembang desa yang tercantik di Rumbuk Randu. Inayatun namanya.
“Wong ayunya selangit, kok ya mau sama Mat Dawuk. Opo sih yang dilihat?” Begitulah gunjingan warga desa.
Bapaknya Inayatun pun emosi tingkat dewa. Masih mending Beauty and The Beast, walaupun buruk rupa tapi kan tajir. Lha ini? Udah jelek, miskin pula. Kabarnya pun Mat Dawuk di Malaysia sering jadi pembunuh bayaran dengan bayaran murah.
Saat Inayatun ditemukan tewas dirumahnya, Mat Dawuk pun menjadi tertuduh dan dihajar warga sampai babak belur. Endingnya Mat Dawuk masuk penjara, walau bukan dia pelakunya.
Dan seterusnya, dan seterusnya... Saya lagi males ngetik.
Begitulah, bualan Warto Kemplung memang meyakinkan.
Mustofa pun tertarik dan berniat untuk mengangkat cerita omong kosong itu dan meramunya menjadi cerbung di koran. Wah, wah, ini poin terlucu di buku yang aku baca sambil nyengir, Mustofa, Mustofa, bisa aje gosip begituan lu jadiin duit.
Kelakuan Mustofa mengingatkan saya sendiri yang kalau makan di kaki lima, suka nguping obrolan di depan saya, yang kalau kisahnya seru saya ceritakan kembali ke teman-teman saya.
Bedanya Mustofa bisa menjual cerita.
Buku ini asyik. Saya seperti dibawa ke suasana tahun 80-an. Padahal nggak nyebut tahun lho, cuma ngomongin Golkar menang lawan P3, itu pun sekilas.
Gaya bahasa yang digunakan rasanya jadul sekali, saya rasanya seperti sedang membaca buku cetakan lama. Kok bisa ya, nulis buku dengan gaya 80-an gini? Mungkin sebelum nulis, Mahfud Ikhwan baca puluhan novel-novel 80’s. Sok tahu kan saya, 11-12 sama Warto Kemplung.
Bualannya Warto memang menarik. Kalimat-kalimat yang meluncur dari mulutnya dibikin lebay dengan meyakinkan tapi terkesan bullshit, yang anehnya bisa memicu rasa penasaran untuk terus menyimak bualannya, yang sesungguhnya nggak penting itu.
Buku ini tidak akan pernah saya loakkan. Bintang 5/5 deh.
“Nama aslinya bagus, bahkan agung: Muhammad Dawud. Tapi, karena sejak kecil ia begitu kumuh, kumal, tak terawat, orang mengejeknya sebagai "dawuk", sebutan yang biasanya dipakai orang Rumbuk Randu untuk menyebut kambing berbulu kelabu. Sejak itu orang memanggilnya Mat Dawuk.”
Kisah itu diceritakan oleh Warto Kemplung di sebuah warung di sudut kampung—tempat ia selalu berutang kopi dan rokok. Tanpa asupan paket komplet itu, yang juga disokong oleh pengunjung lain yang kadung penasaran, Warto tak akan melanjutkan ceritanya tentang kisah asmara antara Mat Dawuk dan istrinya, Inayatun.
Berlatar kehidupan sosial sebuah desa kecil pemasok TKI di daerah Jawa Timur, novel ini mengajak pembaca masuk ke dunia ganjil yang dipenuhi dengan humor, laga, dan dendang lagu India. Meski begitu, tak ada humor untuk nasib tragis yang dialami Dawuk dan Ina. Ibarat secangkir kopi, begitulah kebahagiaan mereka; cepat atau lambat, ia akan habis.
Inayatun dicurigai saat masih perawan, lalu digunjing ketika menikah dengan Mat Dawuk. Kembang desa secantik itu dianggap tak pantas menikahi pria buruk rupa. Lebih dari itu, kepulangan mereka dari perantauan di Malaysia kembali ke Rumbuk Randu dianggap suatu ancaman. Masa lalu Ina sebagai pemikat laki-laki dan reputasi Dawuk sebagai pembunuh bayaran, seolah-olah menjadi kombo yang pas untuk menyandang status sebagai musuh bersama.
Dalam novel ini, narasi yang dituturkan oleh Cak Mahfud jelas tak hanya berpihak pada kelompok yang terpinggirkan secara kelas sosial, tetapi juga secara gender. Sebab, marginalisasi tidak hanya dialami oleh Mat Dawuk, justru lebih lagi pada Inayatun. Karakter Ina seakan merepresentasikan paradoks feminitas yang didekonstruksi dari sudut pandang patriarki. Warto Kemplung selaku narator, menggambarkannya sebagai perempuan dengan kecantikan fisik yang sempurna, tapi sekaligus memiliki kebebasan dan otoritas atas tubuhnya sendiri.
Nasib yang dialami kedua tokoh tersebut kemudian, tak hanya menggambarkan tragedi individu yang ditolak oleh keluarga dan masyarakatnya, tapi juga menunjukkan sikap keberpihakan penulis terhadap kaum yang tersisih. Meski hidup di rumah kandang sapi, jelas mereka pun berhak bahagia sekali lagi.
Rumbuk Randu, sebuah desa di pesisir utara Jawa, memiliki kisah kelabu penuh darah yang dituturkan oleh Warto Kemplung. Warto yang berusaha menarik perhatian orang-orang dengan ceritanya sambil mengharapkan kopi dan rokok gratis sebagai upah kisah yang keluar dari mulutnya. Dia mengisahkan seorang yang buruk rupa bernama Mat Dawuk dan seorang perempuan mantan gadis binal bernama Inayatun. Mat Dawuk yang lahir dengan kondisi fisik tidak enak dipandang, menghabiskan masa kecilnya seorang diri hingga dewasa. Satu-satunya kerabatnya adalah sang kakek, yang tiba-tiba menghilang. Sementara Inayatun, anak pak Imam, yang terkenal dengan kepandaian dan kecantikannya. Hanya saja tingkah Inayatun membuat orangtuanya kerap merasa malu. Ketika Inayatun memutuskan merantau ke Malaysia, orangtuanya segera merelakan.
Beberapa waktu berlalu, Dawuk bertemu dengan Inayatun di Malaysia ketika Inayatun sedang melarikan diri dari suaminya. Sebagai sesama perantau dari desa yang sama, Dawuk merasa harus membela Inayatun. Kedekatan mereka membuahkan hubungan asmara, membuat Dawuk dan Inayatun yang sempat hidup bersama akhirnya menikah dan kembali ke Rumbuk Randu. Tapi keduanya ditolak di tempat asal mereka, sehingga harus hidup di bekas kandang sapi di dalam hutan. Sayangnya, perlakuan yang mereka terima tetap saja tidak berubah.
Novel ini menggambarkan kehidupan dari orang-orang terpinggirkan. Orang-orang yang mendapatkan stigma negatif dari masyarakat, meski mereka sudah tidak lagi melakukan kesalahan seperti di masa lalu. Dawuk dan Inayatun hidup dalam keterasingan, dan masyarakat merasa sah-sah saja melakukan apapun kepada mereka. Kekerasan verbal dan fisik bagi orang-orang terpinggirkan ini yang saya rasa menjadi benang merah dalam cerita ini. Dan sungguh kisah tragis hidup mereka mennjadi buah bibir yang paling seru diceritakan di warung kopi.
Memang menarik mendengarkan ocehan Warto Kemplung mengenai tragedi Mat Dawuk, sisi kelam Rumbuk Randu yang enggan dibicarakan warganya sendiri. Namun, karena terlalu ulung, terlalu detail Warto dalam menjajakan ceritanya, justru ketika selentingan dari cerita asli menampakkan batang hidungnya, realisme magis yang dirajut Warto seakan runtuh. Yah, yang penting Warto sudah dapat rokok dan kopi gratisnya. Hitung-hitung bantu Bu Siti untuk melarisi warung kopinya.
Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu sepintas terbaca seperti Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan, terutama dalam komentarnya tentang kekerasan dan dendam, juga dalam membolak-balik alur waktu cerita. Hanya saja, Mahfud Ikhwan sangat ulung dalam menyisipkan humor dalam kisah dramatis Warto Kemplung. Latar Rumbuk Randu dan tokoh-tokohnya terasa begitu magis sekaligus nyata. Seperti Rashomon karya Akutagawa Ryunosuke, novel ini bermain dengan konsep metanarasi dan narator yang tidak dapat dipercaya.
Sayangnya, twist yang disingkapkan di akhir cerita terasa kurang menggigit karena narasi Warto sudah cukup memuaskan; ia lengkap dan memukau pemirsanya. Juga trope Wanita dalam Kulkas (Woman in Refrigerators), yaitu di mana kematian dan kekerasan terhadap karakter wanita digunakan untuk menggerakkan cerita, terasa sungguh usang untuk kisah secanggih ini.
Tapi, apalagi yang bisa diharapkan dari Warto Kemplung? Toh untuk seharga kopi dan rokok, cerita ini sudah cukup menghibur.
Rasanya kayak baca tulisannya Eka Kurniawan, tapi nggak vulgar. Segar, ceritanya ngalir, seakan-akan kayak penulis cerita langsung ke pembaca.
Suka caranya ambil setting desa yang berubah, soalnya banyak penduduknya yang jadi TKI ke negara tetangga. Cerita kehidupan bertetangga para tokohnya juga persis cerita sehari-hari. Bagiku, bisa dibilang kearifan lokal.
Meskipun jumlah rating-nya jadinya sama seperti Kambing dan Hujan, namun cerita-cerita dalam Dawuk sepertinya lebih nyambung dibanding Kambing dan Hujan.
Semua detail yang ada saling mengisi satu sama lain dan berkelindan. Adegan-adegan berantemnya seru dan bikin bergidik. Kebahagiaan Mat Dawuk dan Inayatun dapat dirasakan begitu manis meskipun hanya sebentar.