Telegram dianggap menarik karena membawa corak baru dalam penulisan novel. Novel ini menjadi juara pertama dalam sayembara yang diadakan oleh Panitia Tahun Buku 1972.
Novel ini mengisahkan tentang seorang laki-laki yang memiliki pandangan buruk terhadap telegram. Dalam pemahamannya, telegram selalu berisikan hal-hal yang menakutkan.
Putu Wijaya, whose real name is I Gusti Ngurah Putu Wijaya, is an Indonesian author who was born in Bali on 11 April 1944. He was the youngest of eight siblings (three of them from a different father). He lived in a large housing complex with around 200 people who were all members of the same extended family, and were accustomed to reading. His father, I Gusti Ngurah Raka, was hoping for Putu to become a doctor, but Puti was weak in the natural sciences. He liked history, language and geography.
Putu Wijaya has already written around 30 novels, 40 dramas, about a hundred short stories, and thousands of essays, free articles and drama criticisms. He has also produced film and soap-opera scripts. He led the Teater Mandiri theatre since 1971, and has received numerous prices for literary works and soap-opera scripts.
He's short stories often appear in the columns of the daily newspapers Kompas and Sinar Harapan. His novels are often published in the magazines Kartini, Femina and Horison. As a script writer, he has two times won the Citra prize at the Indonesian Film Festival, for the movies Perawan Desa (1980) and Kembang Kertas (1985).
Sempat aku cuitkan di Twitterku, hidup memang seringkali bajingan. Si Aku dalam novel ini juga merasakan hal yang sama. Lebih-lebih lagi, ialah yang bajingan. Tidak paham harus berbuat apa, tidak mengerti harus memilih jalan yang mana, tapi sungguh ingin hidup untuk memenangkan diri sendiri. Rosa, pacar yang entah ada di nyata atau khayalnya, ia anggap sebagai tokoh yang hanya akan menuruti kemauannya saja. Ketika Rosa berontak dan melawan keinginan Si Aku, ketika Rosa menjelma sebagai manusia yang punya akal dan rasa, terkejutlah dia. Tak pernah ia menyangka bahwa Rosa bisa melakukan ini karena berpikir bahwa ialah yang mampu mengendalikan perempuan yang katanya telah ia pacari sebanyak tiga ribu kali. Dari sana, aku sudah melihat bahwa selain bajingan, Si Aku sulit dan bahkan tak berkeinginan untuk menghargai orang lain.
Sinta, anak remaja tanggung yang Si Aku asuh sejak kecil agar ia bisa dianggap sebagai pahlawan, tak ingin ia lepaskan. Padahal, orang tua kandungnya yang mapan sudah berkali-kali mencari Sinta dan memintanya untuk kembali. Si Aku enggan melakukannya karena Sinta adalah satu-satunya orang yang bisa ia utangi budi; tanpanya, Si Aku hanyalah wartawan kebingungan yang suka ngentot sana-sini hingga tertular penyakit yang tentu bukan sekadar keringat buntet.
Telegram adalah pembawa kabar. Naas, ia selalu membawa kabar buruk bagi Si Aku. Misalnya kematian sang ayah, kegilaan sang kakak, dan kesakitan sang ibu. Dan Si Aku tetap tak bergeming, bercinta dengan ke-aku-annya hingga gila ia dibuatnya. Hingga sang ibu mati, ia masih tetap tak berniat melepaskan kegilaannya. Ia berkubang di sana, walaupun sadar ada yang salah dengan dirinya.
Sialnya, ketika membaca Telegram, aku teringat siapa orang yang persis seperti Si Aku. Angkuh, penuh ego, tapi di atas semua itu, ia hanya pecundang yang kecut akan dunia yang sebenarnya bukan untuk dirinya. Putu Wijaya sangat berhasil meledakkan kemarahanku atas orang-orang seperti Si Aku. Ia juga berhasil menyadarkanku bahwa ternyata bukan dunia yang jahat; tapi orang-orang di dalamnya yang hanya memikirkan diri dan selangkangannya sendiri, tanpa mau tahu bahwa ketika seluruh dunia memang tak butuh dirinya, sesungguhnya hadir secuil dunia lain di sekitarnya yang begitu peduli terhadapnya.
Ini pertama kalinya aku baca karya Putu Wijaya. Jadi, kapan hari tuh aku sempet bingung mau pilih baca karya beliau yang mana. Soalnya di iPusnas ada beberapa pilihan. Dan akhirnya, aku putusin buat baca ‘Telegram’ ini.
Novel ‘Telegram’ ini bercerita tentang kehidupan si ‘Tokoh Aku’ yang notabene adalah seorang jurnalis Bali yang tinggal dan bekerja di Jakarta. Kalo dilihat dari sinopsisnya, pikirku bakal lebih banyak menceritakan tentang lika liku kehidupan asmara si ‘Tokoh Aku’ dengan seorang wanita bernama Rosa. Ternyata aku salah.
Penulis lebih memfokuskan tentang kehidupan pribadi si ‘Tokoh Aku’ di luar kehidupan asmaranya. Tentang bagaimana keseharian si ‘Tokoh Aku’ dan juga tentang hubungan si ‘Tokoh Aku’ dengan keluarganya. Untuk kisah asmaranya sendiri, bisa dibilang cuma 25% dari keseluruhan cerita.
Dan yang menarik dari novel ini adalah bagaimana cara Putu Wijaya menuliskan ceritanya. Yaitu, tidak adanya batasan yang jelas antara dunia khayal dan dunia nyata yang dilakoni oleh si ‘Tokoh Aku’. Jadi, pembaca harus pandai menerka-nerka sendiri. Bagian manakah yang sebetulnya nyata, dan mana yang cuma khayalan dari si ‘Tokoh Aku’.
Jujur sih, aku sedikit bingung di beberapa bagian. Karena ya itu tadi, nggak bisa bedain ini kisah nyata atau cuma khayalan dari si Tokoh aku.. 😁 Tapi, kalo aku ditanya apakah aku menikmati novel ini.. Jawabnya iya, aku cukup menikmati novel ini. Apalagi yang konflik tentang anak angkatnya. Aku paling suka di bagian itu.
Secara keseluruhan, novel ini keren menurutku. Aku kasih 3.5 🌟 buat novel ini. Nah, buat kalian yang cari bacaan novel lama.. Novel ini rekomen buat kalian baca. Dan, buat kalian yang penasaran kenapa judulnya harus ‘Telegram’? Apa hubungannya telegram dengan kehidupan si ‘Tokoh Aku’? Kalian harus baca dan cari tahu sendiri.. 😉 Happy reading... 🤗
Akhir-akhir ini cerita berlatar belakang jaman dulu menarik minat baca saya. TELEGRAM. Dari judulnya saja sudah tampak bahwa buku ini ditulis pada jamannya, sebuah mesin telegram yang secara simbolis merupakan bentuk dari kejadulan karena pada masa sekarang sudah tidak ada lagi orang menggunakan mesin telegram. Lantas apa yang dikisahkannya?
Tertarik setelah membaca blurp nya, saya kira isi bukunya juga tidak mengecewakan. Maka pantas lah kalau saya beri bintang lima, setara dengan buku karangan Murakami.
Tadinya, saya kira buku ini akan mengisahkan tentang hubungan percintaan jarak jauh antar kekasih dengan telegram sebagai penghubungnya, bagaimana tantangan dan kesenangan yang mereka hadapi atau semacamnya. Ternyata....
Putu Wijaya menghidupkan tokoh Aku sebagai laki-laki keturunan Bali yang tinggal dan bekerja di Jakarta sebagai jurnalis. Penulis menggunakan latar belakang waktu dan tempat di Jakarta pada tahun 1970-an. Saat jalan-jalan masih didominasi kendaraan becak, bemo, helicak, dan skuter. Mobil mewah pun tampak jarang berlalu-lalang. Bab pertama dibuka dengan kisah Aku dan pacarnya bernama Rosa. Si tokoh Aku berniat mengutarakan keinginanya yang kuat untuk meminang Rosa setelah melewati masa pacaran mereka yang ke tiga ribu. Namun, dalam proses diskusi yang panjang, keduanya justru tidak menemukan kesepakatan. Pernikahan merupakan bentuk lain dari penjara. Pernikahan dapat mengubah seseorang. Dan Rosa tidak ingin kehilangan sosok kekasihnya yang sekarang.
"Bayangkan, apa kau masih tertarik kepadaku kalau aku mulai malas bersolek? Kalau kau mendapati aku mengantuk disaat kau ingin pacaran? Kalau aku lebih mencintai anak-anak dari kau sendiri? Kalau keluargaku menjadi lebih penting dari segalanya, dan kalau aku terlibat cemburu, iri dengan tetangga, dan perselisihan-perselisihan kecil yang menimbulkan akibat besar? Kau tak mungkin tertarik lagi padaku kalau aku mulai menganggap hobi dan pekerjaanmu, tidak begitu berarti kalau dibandingkan dengan tugas seorang bapak rumah tangga yang harus mengumpulkan banyak duit. Apa kau masih mau menciumku kalau tiba-tiba kau tahu, aku sebetulnya kampungan dan bodoh?"
Lain bab lain cerita. Sosok Aku menganggap bahwa Telegram merupakan malapetaka. Karena setiap mendapati berita dari telegram, kertas itu selalu menuliskan cerita duka, kabar kematian, dan berita buruk lain dari keluarga di Bali yang mengusik hidupnya. Berita tentang ayahnya yang meninggal. Tentang saudaranya yang semakin gila. Dan yang terakhir tentang ibunya yang sakit keras. Saat dirundung duka itulah si Aku menemukan sosok Nurma, perempuan tuna wisma yang dapat dijadikan sebagai tempat pelarian dari masalah-masalahnya. Nurma adalah perempuan sederhana yang sudah punya anak, yang tidak pernah menuntut apa-apa, dan tidak minta dinikahi secara resmi. Sikap Nurma yang seperti itulah yang membuat si Aku menjadi nyaman bersamanya. Tanpa tanggung jawab lebih dan tanpa keterikatan yang berarti.
"Aku mempunyai keinginan untuk tidak mau terikat tanggung jawab. Dengan wajah yang cukup meyakinkan, diterimanya segala keserakahanku. Menyebabkan aku berbahagia sekali. Membuat aku kegirangan seperti mendapatkan sepatu yang pas dan bagus bentuknya dari pasar loak. Aku menghampiri dinding dan menulis di sana dengan PENSIL ALIS: alamatku di Bali."
Bagian terkejam dalam buku ini adalah saat si Aku dengan seenaknya menulis di tembok menggunakan pensil alis. Pensil alis pembaca! Yah, mungkin pada jaman 1970-an harga pensil grafit masih lebih mahal daripada pensil alis dan perempuan-perempuan pada jaman dulu tidak terlalu mempersoalkan bentuk alis. Tidak ada tutorial alis-mengalis. Wajar saja jika pensil alis dibeli untuk menulis. Sorry OOT, terkadang, pada jaman sekarang pun, laki-laki tidak bisa membedakan mana pensil alis dan mana pensil menulis. Dan ini menyebalkan.
Sebagai jurnalis, keseharian si Aku disibukkan dengan menyelesaikan pekerjaan tulis-menulisnya di kantor, mengurusi anak pungutnya bernama Shinta, yang telah berusia sepuluh tahun yang dibesarkan di rumah sederhana, tanpa ibu. Walaupun demikian, ia tetap tidak dapat melupakan masa lalunya, kehidupan masa kecilnya yang tidak pernah terasa menyenangkan di Bali.
"Bayang-bayang tentang Bali, baik sebelum atau sesudah disaksikan sendiri oleh para pelancong, biasanya sedikit melupakan, bahwa Bali bukan hanya Denpasar dan Ubud; bukan hanya rentetan upacara-upacara dan tarian-tarian yang enerjik. Bali adalah juga kedelapan buah kabupatennya, seluruh penduduknya, kemiskinan dan tuntutan-tuntutannya, kebutuhan-kebutuhannya untuk memasuki jaman dengan segala perubahannya. Karena kalau tidak demikian, ia hanya akan merupakan sebuah museum atau pertunjukan sandiwara."
Begitulah, tiada manusia yang hidup tanpa masalah, bahkan mati pun terkadang masih harus menanggung masalah. Selain kisah percintaan dan telegramnya, si Aku masih harus menghadapi permasalahan saat ibu kandung Shinta ingin merebut hak asuh darinya. Saat perasaannya terasa semakin hancur dan kacau, sosok Rosa sesekali muncul. Ia muncul di tempat-tempat tak terduga, di stasiun kereta, di depan rumahnya, dan di tempat yang si Aku inginkan keberadaannya. Tetapi, bukankah saat kita sedang jatuh cinta, sosok kekasih akan muncul dimana saja kita berada? Disinilah penulis mulai mempermainkan imajinasi pembaca, membuat kita berpikir manakah yang hanya hayalan si Aku dan manakah yang sebenarnya terjadi. Saya pun semakin terkejoed saat mendapati di bagian akhir cerita bahwa Rosa hanyalah bentuk dari perempuan imajinasi yang dihidupkan oleh si Aku.
Si Aku mulai merasa tidak beres dengan dirinya sendiri, ia telah gila. Ia takut menjadi gila atas kegilaan yang diciptakannya sendiri sebagai pelarian dari ketakutannya menghadapi dunia nyata, ketidakmampuannya mengambil keputusan yang tegas dan penting dalam hidupnya. Terbesit dalam pikiran si Aku untuk bunuh diri, meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi. Lantas, bagaimana dengan Shinta? Apakah si Aku akan menyerahkannya kepada orang tua kandungnya? Bagaimana dengan Nurma?
Saya heran mengapa sedikit sekali yang memberi buku ini bintang lima. Bahkan beberapa memberi bintang satu. Well, kata Pak Sapardi memang sastra itu bukan untuk dipahami, melainkan untuk dihayati dan dialami. Secara terus terang saya menilai bahwa buku ini berhasil menghanyutkan pikiran saya pada masa lampau. Tentunya masa yang jauh sebelum saya lahir. Saya pun dapat membayangkan bagaimana jika diri saya hidup pada masa itu, berjalan-jalan dengan kawan-kawan naik becak, mengenakan middle dress bercorak bunga-bunga, memakai topi baret dan bersepatu pantofel kulit warna coklat dengan hak nya yang setinggi 5cm, pergi ke pasar malam, membeli gula-gula. Begitu magisnya Putu Wijaya menggambarkan masa lalu dalam buku ini hingga tak terasa bahwa dari tadi saya bukannya naik becak melainkan sedang di dalam bemo, dan tak terasa sampailah saya di Kampung Ampel. Kemudian saya membatalkan puasa dengan menyantap nasi kebuli, gulai maryam dan es degan. Mungkin sepuluh tahun mendatang, bemo sudah tidak ada lagi di Surabaya. Intinya, buku ini lebih menyenangkan jika di baca di atas kendaraan, daripada melamun yang bukan-bukan. Bacalah!
Maap seribu maap jika spoileran ini jadi meluber kemana-mana. Happy reading!
Ceritanya tentang seorang jurnalis asal Bali yang tinggal di Jakarta dengan anak angkat perempuannya.
Setiap kali telegram datang dari Bali, ia malas membukanya. Dia menebak, pasti isinya disuruh pulang segera.
Telegram yang dimaksud bukan aplikasi ya dek yaa..
Buku ini ditulis tahun 70-an. Saat itu telegram adalah sarana informasi paling kilat. Jika surat butuh waktu beberapa hari, maka telegram hari itu juga sampai.
Lho kenapa ga pakai telepon aja? Kan lebih cepat? Saat itu masih jarang orang yang punya telepon di rumah, apalagi handphone.
Saking kilatnya telegram. Maka tentu kabar yang diterima super penting. Tak hanya ia yang deg-deg-an membukanya, Sinta, anaknya tak suka jika ada telegram dari Bali. Sinta tak rela ditinggal papanya ke Bali sendirian.
Jadi begini isi telegramnya : IBU SAKIT KERAS CEPAT PULANG TITIK.
Berita penting tersebut langsung membuatnya over thinking, pikirannya pun berkelana. Antara pulang segera atau lebih baik tidak usah.
Pikirannya kembali ke masa lalu saat si Aku tinggal di Bali, yang sibuk dibebani seabrek tanggung jawab kepada keluarga besar. Saat itu ia hanya ingin minggat, minggat dan minggat. Nah, sekarang sudah minggat, kenapa musti balik lagi?
Saya disuguhi kekacauan pikiran dengan perdebatan monolog dalam hati, sampai si tokoh tak mampu membedakan pikiran waras dan imajinasinya. Saat baca, sekilas mengingatkan saya dengan novel-novelnya Budi Darma, cuma yang ini lebih muram.
Mengingat novel ini ditulis Putu Wijaya saat berusia 28 tahun, tentunya membuat saya kagum. Para pengamat sastra menyebut, inilah novel Indonesia pertama yang menggunakan teknik stream of consciousness.
"itu berarti kita belum dapat dibeli oleh jaman yang sudah membeli segalanya itu. jadi, kita masih merdeka dan bahagia. setidak-tidaknya dalam diri masing-masing,"
salah satu yang paling menarik dari buku ini adalah bagaimana ceritanya dituliskan. tidak ada batasan yang cukup jelas antara kenyataan dan khayalan yang dialami si 'aku'. hal ini yang terkadang bikin bingung pembaca. seperti pada telegram dari ibu si 'aku'; kira-kira yang benar itu yang mana? atau sebenarnya rosa itu sungguh-sungguh ada atau hanya fantasi dari si 'aku'? tapi saya paham sih justru di situ ciri khas bukunya, walaupun di banyak bagian saya belum ngerti juga. orang-orang bilang buku ini magnum opusnya putu wijaya. mungkin juga alasannya karena gaya menulis beliau paling nampak di sini. personally suatu yang paling saya suka dari buku-bukunya putu wijaya adalah penggambaran budaya bali yang tentu saja menarik (apalagi karena saya bukan orang bali), dan buku ini termasuk salah satunya. rating : 4/5 ⭐
Cerita ini berlatar tahun 1972, mengisahkan seorang wartawan pelaku seks bebas. Ia memiliki anak pungut yang ia rawat selama 10 tahun, Sinta namanya. Hasil hubungan gelap kerabatnya. Ia punya ketakutan pada telegram, yang ia anggap hanya membawa pesan malapetaka untuknya. Bagiku ini menjelaskan bagaimana pergolakan nilai dan tanggung jawab sesosok manusia yang dikungkung dorongan akan kebebasan memilih. Tersampaikan juga bagaimana keadaan di mana perkataan dan perbuatan seseorang tak dapat lagi dijadikan ukuran moralnya. Alur cerita cukup mengalir dan mudah dipahami namun tidak menimbulkan gejolak dan desir hati meski banyak adegan krusial yang menyangkut kehidupan percintaan di tokoh dan masalah keluarga. Kesan yang ku dapatkan selama membaca adalah; tidak berhasil membaca dengan sekali duduk, berjeda lama karena dari chapter ke chapter tidak menimbulkan rasa penasaran.
Telegram adalah salah satu karya penting dari Putu Wijaya yang menunjukkan pengaruh teater absurd dalam bentuk prosa. Ia tidak menawarkan solusi, tidak menjelaskan motif, dan justru membiarkan pembaca tenggelam dalam ketidakpastian yang gelisah. Putu menulis Telegram di tengah konteks Indonesia yang sedang berkembang secara sosial-politik, namun penuh keterasingan. Surat menjadi simbol komunikasi yang gagal. Sementara sang tokoh, yang hidup di kota dan modern, justru terjebak dalam kelumpuhan emosional dan mental. Ia terdidik, tetapi kehilangan kepekaan.
"Seorang anak lahir, sehat dan memberikan kesenangan juga membutuhkan sebuah telegram. Beribu-ribu orang mati juga menghasilkan telegram."
Telegram adalah novel yang mengkritik kehidupan para lelaki bajingan di dunia, dan yang paling bajingan adalah si Aku, mati-matian ingin jadi pahlawan saat kenyataannya dia hanyalah wartawan kebingungan menderita penyakit kelamin. Novel berlatar tahun 70-80an, era ketika kabar cepat dan mendadak hanya disampaikan dengan telegram karena mendesak.
Telegram membawa momok besar bagi si Aku, karena menurutnya hanya kabar mengerikan yang disampaikan telegram. Kabar tersebut selalu menyudutkannya. Sesuai dengan latar belakang Putu Wijaya, si Aku adalah pria Bali yang merantau ke Jakarta menjadi wartawan. Dia membawa semua amarahnya karena kungkungan adat Bali dan kritik untuk pembangunan Pulau Dewata, menjadikannya selalu melawan dan melawan.
Si Aku selalu berkata kemajuan Bali dengan wisatanya masih saja berputar2 seperti masalah adat istiadatnya yang membelenggu, tapi setelah membaca buku ini menurutku sebagai pembaca, si Aku juga terbelenggu rasa perlawanannya, tidak menyadari dia juga hanya berputar2. Si Aku memiliki pacar yang dipacarinya selama tiga ribu kali. Dia mengatakan setelah lebih dari itu rasanya sudah berbeda dan perlahan berubah menjadi benci, hingga akhirnya dia sadar PACARNYA HANYALAH HALUSINASINYA.
Dia berpacaran dengan sosok bayangan karena si Aku itu gila. Si Aku bujang, tapi mengangkat anak pungut jadi anaknya yang memanggilnya papa. Lambat laun si Aku yang bajingan ini ternyata hanya ingin menjadi sosok pahlawan, memiliki sosok yang bergantung dan berutang budi kepadanya. Si Aku melawan, tapi si Aku kesepian. Kegilaannya adalah bentuk depresinya.
Di akhir buku dia menyadari, keinginannya bunuh diri hanyalah bentuk lain dari sifat pengecutnya. Dia tidak kuat, dia lemah, dia manja, dia tidak bisa mengambil keputusan apapun, termasuk kapan mengakhiri hidupnya. Namun, perjalanan hidup si Aku menjadi lebih baik. Momoknya terhadap telegram berubah saat dia menyadari jika ada kematian akan ada kehidupan. Cara Putu Wijaya menutup cerita dengan sosok Aku berbicara dengan masa lalunya dan menganggap ide mengakhiri hidup sebagai hal membosankan terasa begitu apik dan menyegarkan.
Kritik terhadap Bali adalah kekuatan kedua Telegram. Sangat menyenangkan membaca karya sastra Indonesia membawa kritik sosial terhadap pembangunan di luar Jawa.
"Kami selalu mengejek mereka sebagai orang kampung. Tetapi ternyaya mereka lebih bisa menikmati uangnya, persaudaraannya, daripada kami yang tinggal di kota-kota di Bali, yang maju tidak, mundur juga tidak."
"Bayang-bayang tentang Bali, baik sebelum atau sesudah disaksikan sendiri oleh para pelancong, biasanya sedikit melupakan, bahwa Bali bukan hanya Denpasar dan Ubud; bukan hanya rentetan upacara-upacara dan tarian-tarian yang magis dan enerjik. Bali adalah juga kedelapan buah kabupatennya, seluruh penduduknya, kemiskinan dan tuntutan-tuntutannya, kebutuhan-kebutuhannya untuk memasuki zaman dengan segala perubahannya. Karena kalau tidak demikian, ia hanya akan merupakan sebuah musium atau pertunjukan sandiwara."
Dalam buku ini si Aku memimpikan meniduri ibunya sendiri. Jika sudah membaca karya2 Putu Wijaya yang lain, dia beberapa kali menyinggung incest seperti di Putri atau Pabrik. Menurutku, incest menjadi simbol hasrat terbelakang yg masih menghantui warga Bali.
Kemagisan Putu Wijaya terasa ketika dia menuliskan beberapa kalimat seperti:
"Betul-betul cinta kami bukan hanya pelampiasan berahi."
"Lebih enak jadi orang awam saja, yang berlumuran dengan segala kemungkinan."
"Aku seperti terbakar oleh sepi."
"Ajaib, setelah tiga ribu kali pacaran, ia hidup dan lepas."
DALAM novel yang menggugah pikiran ini, sang penulis dengan teliti menganyam narasi tanpa menggunakan nama karakter konvensional. Sebagai pengganti, protagonis hanya disebut sebagai "Aku." Pendekatan ini yang istimewa menciptakan ikatan yang erat antara pembaca dan kehidupan batin tokoh utama.
KEPIAWAIAN dalam merangkai cerita dalam novel ini sungguh mengagumkan. Setiap kata dipilah dengan hati-hati, dan penggunaan bahasa serta diksi sangatlah tepat. Meskipun sudah lebih dari setengah abad sejak diterbitkan, novel ini masih mampu menghadirkan pengalaman yang relevan dengan zaman sekarang dan tetap dapat dinikmati dengan sepenuh hati.
BUKU ini menggali isu-isu kesehatan mental, menjelajahi kompleksitas kesadaran dan moralitas. Saat plotnya terbuka, kita disuguhkan dengan pertarungan antara apa yang benar dan salah yang kabur, terutama melalui sudut pandang tokoh utama. Perjuangannya dengan kesehatan mental membawa kita ke momen yang mendebarkan, termasuk pembahasan tentang seksualisasi anak di bawah umur dan keinginan yang dianggap tabu. Walaupun ada aspek-aspek yang menimbulkan ketidaknyamanan, buku ini menjadi pernyataan yang kuat tentang kerapuhan pikiran manusia. Ketidakberadaan batasan moral yang jelas memicu pembaca untuk merenungkan pandangan mereka sendiri.
NAMUN, saya ingin menekankan bahwa buku ini tidak cocok untuk pembaca yang masih di bawah umur. Tema-tema dewasa dan penggambaran tema kesehatan mental yang tegas membutuhkan pembaca yang bijaksana untuk memprosesnya. Secara lebih khusus, penggambaran tokoh utama yang mengalami gangguan psikologis, dengan eksplorasi moralitas yang kompleks dan tema-tabu.
DENGAN DEMIKIAN, dapat disimpulkan bahwa novel ini bukan hanya sebuah karya sastra yang menghibur, tetapi juga sebuah refleksi mendalam tentang kompleksitas manusia dan perjuangannya dengan kehidupan dan moralitas. Meskipun menantang dan terkadang menimbulkan ketidaknyamanan, kehadiran novel ini dalam kancah sastra membawa kita pada perenungan yang mendalam tentang diri dan masyarakat kita. Sebagai pembaca, kita diundang untuk menjelajahi lanskap emosional dan moral yang rumit, sambil mempertanyakan dan merenungkan nilai-nilai yang mendasari keberadaan kita.
Buku ini punya segalanya yang aku suka dalam suatu cerita. 1. Penokohannya bagus. Tokoh utamanya seorang laki-laki yang unbothered-nya mirip Meursault-nya The Stranger, suicidal dan krisis eksistensial punyanya Bodhi 'Akar' tapi versi lebih badboy namun punya sisi baik juga di mana dia punya anak pungut. Sangat multidimensional dan realistis kayak manusia di dunia nyata. 2. Gaya penulisannya pakai stream of consciousness di mana bisa mengeksplorasi pemikiran tokoh utamanya yang sangat chaotic 3. Tema male loneliness epidemic-nya kerasa baget. Sudah kuduga dengan pikiran seruwet itu pasti tokoh utamanya kesepian dan pernah pengen bunuh diri. 4. Item penting yang jadi judul di buku ini yaitu telegram ternyata masih relate sampai sekarang di mana kita anxious ketika menerima pesan yang seringnya mengandung berita buruk.
Ini kalo bisa aku kasih bintang 10 kukasih deh. Buku setipis ini bisa bawa cerita yang mengaduk-aduk kayak rolleecoaster, keren banget. Oh iya, halaman pertama sangat catchy. Semua halamannya sih catchy. Ini karya pertama Putu Wijaya yang kubaca dan sangat impresif.
Продолжаю знакомиться с литературой Индонезии, и раз судьба закинула меня на Бали, захотелось именно местного автора, балийца. Их не сказать чтобы нет, но поискать пришлось.
Творческая манера, в которой пишет Путу Виджая, абсурдизм, балансирует на грани Кафки, и только свойственная всей Ю-В Азии философия с гораздо большим принятием реальности, чем на Западе, не позволила герою впасть в депрессию и открыто признать бессмысленность бытия.
Мужчина и женщина собираются пожениться, но это не точно. С вопроса “А может не надо?” ничего не начинается, скорее, история осторожно начинает разматываться, и это не история любви, а жизни главного героя.
Хотя дело происходит в Джакарте, есть немного и балийского колорита.
Очень понравилось использование приема обманутого ожидания, когда сначала заявлено одно, а потом оказывается совсем другое. Примеры приводить не буду, это чистые спойлеры, но такого там много.
Pertama kalinya baca novel Pak Putu Wijaya, sebelumnya selalu baca kumpulan cerpennya beliau.
Mungkin, di novel ini, bagian yang bikin saya agak berbeda dari biasanya adalah, akhir cerita yang terkesan, "Oh ... jadi gini aja?".
Sempat kepikir mau kasih bintang di bawah ini, tapi niat itu seluruhnya hilang, sebab terus terang, banyak banget hal-hal yang 'menyentil' saya. 🤦🏻♀️😅😂. Itulah mengapa saya tetap jatuh hati sama novel ini.
Selain itu, pembawaan dan gaya penulisan cerita yang bikin kita terjebak kalau-kalau kurang konsentrasi saat baca, "Ini tuh nyata atau khayal?". Persis seperti gambaran yang disebut pada novel ini. Sesuai dengan judulnya juga, 'Telegram', semua berpusat pada itu hingga di akhir pun.
Jujur, novel ini keren ...! Secara keseluruhan, saya suka. Butuh pendalaman, yah, yang namanya baca karya beliau itu, tuh .... 😁
setelah telegram datang, bayangan tanggung jawab itu muncul. bersamaan dengan kecemasan yg menyebabkan si Aku sering melamun dan berfantasi.
awalnya mengira ini adalah kumpulan cerpen karena bab 1 seperti suatu adegan tersendiri yg habis di akhir. ternyata itu hanya permulaan fantasi si Aku yg berpacaran dan ragu untuk mengikat diri. makanya mereka sudah berpacaran 3000 kali.
setelah telegram datang, si Aku jadi sering cemas, takut kehilangan anak pungutnya yg dia bayangkan akan dikawininya ketika beranjak dewasa, tanggung jawabnya melaksanakan adat terhadap pemakaman ibunya yang dia kira sebentar lagi akan mati.
dari bab 15 sampai akhir buku, barulah jelas bahwa penulis mencampuradukkan dunia nyata dan fiksi dengan menjelaskan "sebab" yg sama dengan "akibat" berbeda.
hah! memusingkan memang. tapi cukup dinikmati saja bagaimana penulis piawai menghubungkan itu semua.
Pengalaman baca buku ini hampir sama rasanya seperti pengalaman nonton The Father, perlu pelan2 bacanya memahami mana yang realitas, mana yang khayal. Bukan buku untuk yang mencari grand gesture, karena justru penuhnya sama detail-detail keseharian, sampe terasa kita ikut juga di interaksi dan suasana di rumah, di pertetanggaannya, di kantor, di kehidupan pacarannya juga 😃
Telegram mengisahkan seorang wartawan dengan segala kegelisahan hidupnya. Cerita berpusat pada pengalaman batin yang kuat, dengan batas kabur antara realita dan khayalan.
Novel ini berhasil menjalankan fungsi "sastra sebagai cermin." Watak buruk dari tokoh, ada potensinya pada diri saya. Membaca ini membuat saya introspeksi.
Equal parts childish, immature and incredibly compelling, "Telegram" is really quite fine for what it attempts to do. A disorienting read, but that's all it should be. I'd recommend it to anyone who wants a taste of Indonesia / Balinese literature.
I enjoyed reading this book, especially towards the end, where the narrators's descent into madness is more evident. Honestly, it was a bit confusing at times, but I think the author did that on purpose to blur the line between reality and imagination.