Jump to ratings and reviews
Rate this book

Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai

Rate this book
Marah Rusli adalah contoh sastrawan besar Indonesia yang benar-benar melampaui zamannya. Ia terus hidup, bersama keindahan cinta Sitti Nurbaya dan Samsulbahri, bersama kenangan dan kebencian orang-orang terhadap peringai Datunk Meringgih yang licik, akan tetapi sekaligus memesona.

Berkali-kali buku Sitti Nurbaya dibaca, berkali-kali pula ditemukan keindahan yang berbeda. Berkali-kali novel ini diperbincangkan, berkali-kali pula ditemukan misteri yang tak sama. Benarkah Samsulbahri adalah tokoh yang baik? Mengapa Datuk Meringgih yang digambarkan jahat pada akhir cerita menjadi patriot yang membela tanah air, dan kemudian wafat dengan darah membasahi ibu pertiwi? Siapakah sesungguhnya yang menjadi pahlawan?

Inilah novel tentang cinta yang indah, tentang patriotisme, dan tentang perjuangan nilai-nilai kemanusiaan yang selalu ada pada tiap zaman. Karena itulah, novel ini menjadi abadi.

Joni Ariadinata, redaktur Majalah Horison


Apabila kita membaca kembali novel Sitti Nurbaya karya Marah Rusli maka sangat boleh jadi kita akan menemukan makna-makna baru.

Maman S. Mahayana, Kritikus Sastra

364 pages, Paperback

First published January 1, 1922

120 people are currently reading
1757 people want to read

About the author

Marah Rusli

4 books32 followers
Marah Rusli, sang sastrawan itu, bernama lengkap Marah Rusli bin Abu Bakar. Ia dilahirkan di Padang pada tanggal 7 Agustus 1889. Ayahnya, Sultan Abu Bakar, adalah seorang bangsawan dengan gelar Sultan Pangeran. Ayahnya bekerja sebagai demang. Marah Rusli mengawini gadis Sunda kelahiran Buitenzorg (kini Bogor) pada tahun 1911. Mereka dikaruniai tiga orang anak, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Perkawinan Marah Rusli dengan gadis Sunda bukanlah perkawinan yang diinginkan oleh orang tua Marah Rusli, tetapi Marah Rusli kokoh pada sikapnya, dan ia tetap mempertahankan perkawinannya.

Meski lebih terkenal sebagai sastrawan, Marah Rusli sebenarnya adalah dokter hewan. Berbeda dengan Taufiq Ismail dan Asrul Sani yang memang benar-benar meninggalkan profesinya sebagai dokter hewan karena memilih menjadi penyair, Marah Rusli tetap menekuni profesinya sebagai dokter hewan hingga pensiun pada tahun 1952 dengan jabatan terakhir Dokter Hewan Kepala. Kesukaan Marah Rusli terhadap kesusastraan sudah tumbuh sejak ia masih kecil. Ia sangat senang mendengarkan cerita-cerita dari tukang kaba, tukang dongeng di Sumatera Barat yang berkeliling kampung menjual ceritanya, dan membaca buku-buku sastra. Marah Rusli meninggal pada tanggal 17 Januari 1968 di Bandung dan dimakamkan di Bogor, Jawa Barat.

http://id.wikipedia.org/wiki/Marah_Ro...

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
519 (25%)
4 stars
729 (35%)
3 stars
637 (31%)
2 stars
119 (5%)
1 star
32 (1%)
Displaying 1 - 30 of 181 reviews
Profile Image for cindy.
1,981 reviews156 followers
November 8, 2008
Di pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, buku ini bagai buku wajib yang harus dihafalkan. Benar, DIHAFALKAN judulnya, nama pengarangnya, temanya, dll, dll. Tapi jarang sekali ada guru bahasa yang mewajibkan murid-muridnya untuk benar-benar membacanya, halaman demi halaman. Jadi, sampai sekarang, kalau ada anak SMA --sekarang sudah gak ada ya, sudah ganti SMU??-- yang ditanyai apa isi buku ini, saya jamin 99% akan menjawab kawin paksa, titik.

Padahal buku ini menuliskan banyak sekali hal selain itu. Rasa kebangsaan, menjunjung tinggi adat dan kehormatan, monogami vs poligami (yes, kamu gak salah baca!), kesulitan pernikahan di usia muda bagi wanita, keberanian, tanggung jawab, dan seribu satu hal lain. Sayang sekali, kalau anak-anak bangsa sampai melewatkan buku yang satu ini.

NB: Siti Nurbaya tidak pernah dipaksa untuk menikah oleh sang Ayah....
Profile Image for Missy J.
629 reviews107 followers
July 1, 2022
Often considered the "Indonesian Romeo & Juliet", I've finally tackled this Indonesian classic. Set in Western Sumatra (Padang) among the matrilineal Minangkabau people, this was very different from the usual Indonesian stories set in Java and Bali. I didn't have any problems with the language, but there were several outdated words used here and there. But I really enjoyed the proverbs, they were beautiful and scattered all over the novel.

Samsulbahri and Sitti Nurbaya are the Romeo and Juliet of this story. They grew up together and Samsulbahri wanted to marry Sitti Nurbaya after he finished his doctor studies in Jakarta. While Sitti Nurbaya was waiting for him, a series of malicious attacks strike her father's business until he is forced to declare bankruptcy. In order to avoid her father's imprisonment, Sitti Nurbaya offers herself to become the wife of the evil and greedy Datuk Meringgih. Samsulbahri is heartbroken when he hears of their marriage, but his love for her doesn't lessen. The tragedy is about to begin.

There are several topics discussed in this novel, which I found very interesting. First of all, the novel is set among the Minang people, who are still considered the world's largest matrilineal society today. At the same time, however, the majority of Minang people are also Muslim. In this novel, this contradiction and the conflicts that arise between two opposing traditions are highlighted. Women still need to submit themselves to their husbands and suffer when the husband decides to take in another wife. In fact, men are encouraged by their families to marry multiple times, because the female's family has to pay a dowry for the man. There is a lot of discussion in this novel regarding gender relations and roles. Another factor which increased the tragedy of the story is the Muslim's fatalistic attitude towards life. Really depressing stuff. Finally, the novel also discusses the root of all evil - greed. At that time, Padang had a treaty with the Dutch, which was supposed to save them from being colonized. However, towards the end of the novel, it becomes clear that the Dutch were set on imposing taxes throughout the entire Indonesian archipelago, including Padang.

There are a few things that I didn't like about the novel. Maybe it's because of the language, but I didn't enjoy the "poetic dialogue" that occurred between Sitti Nurbaya and Samsulbahri. But that's my own fault. There is a major twist towards the end, which was a bit unbelievable, but the author did manage to make a point why the story went that way. A lot of the drama feels very exaggerated, but I've learned that in Indonesian things are just expressed that way, even if it sounds redundant in English. Overall, I'm really happy to have finally finished this novel. One of my reading goals for this year was to start reading Indonesian books and this is a really big achievement.
Profile Image for Robert.
71 reviews16 followers
August 13, 2009
Sebuah buku klasik paling populer dari kesusastraan lama Indonesia. Saya membacanya waktu kelas 1 SMA. Isi ceritanya sangat bagus sekali, meskipun terlihat perbedaan yang terlalu jelas antara karakter antagonis dengan protagonis. Datuk Maringgih digambarkan sebagai tokoh yang berperawakan buruk rupa, culas, dengki, mata keranjang, suka menghalalkan segala cara, mata duitan, pelit, tetapi juga merupakan saudagar kaya dengan kelakuannya yang kampungan. Andai kepalanya sendiri bisa dijual mahal, barangkali ia akan melakukannya.

Klimaks cerita terjadi saat Pemerintah Belanda berniat mengadakan pajak belasting (pajak penghasilan) dari semua warga sebagai penghasilan negara dan juga untuk membangun daerah-daerah lain. Datuk Maringgih yang merasa bahwa kekayaannya akan tergembosi segera memprovokasi warga untuk menolak, bahkan menghubung-hubungkannya dengan penjajahan dan kekafiran Belanda. Akhirnya warga terpancing dan bangkit melakukan kerusuhan. Samsulbahri yang ditunjuk sebagai kapten pasukan Belanda, ditugaskan untuk memadamkan kerusuhan tersebut.

Di tengah-tengah kekacauan, Samsulbahri berhadapan dengan Datuk Maringgih, sosok pria tua yang telah merenggut semua impiannya bersama Siti Nurbaya. Di sanalah, duel maut antara keduanya pun tercipta. Akhir cerita berakhir gemilang, karena Datuk Maringgih harus menemui ajalnya. Tetapi Samsulbahri juga terus hidup dalam rasa frustasinya sendiri akibat kehilangan Siti Nurbaya. Akhirnya ia mati dalam kekecewaan dan dikuburkan di sebelah makam Siti Nurbaya.

Meskipun ini adalah novel fiktif, tetapi Siti Nurbaya yang populer telah menjadi legenda di daerah Sumatera Barat, sampai-sampai ada sebuah makam tua yang diberi nama, "Makam Siti Nurbaya". Sebagai anak Indonesia, rasanya Anda harus membaca salah satu sastra terbaik nasional ini!

Sekilas seperti: diajak kembali berkelana ke suasana "Indonesia tempo doeloe".
Profile Image for Michiyo 'jia' Fujiwara.
428 reviews
April 21, 2012
Romeo and Julietnya Indonesia, Roman dan Tragedi kisah anak manusia bertempat di kota Padang tahun 1896, Sepasang remaja anak dari bangsawan Sam/Samsulbahri/Sjamsulbahri, 18 tahun anak dari Sutan Mahmud Syah, seorang penghulu di Padang dan Nur/Sitti Nurbaya/Sitti Noerbaja, 15 tahun anak dari Baginda Sulaiman saudagar kaya, mereka berdua adalah tetangga sekaligus teman satu sekolah. Mereka mulai jatuh cinta, takdir memisahkan mereka, mereka bersatu kembali, takdir memisahkan mereka untuk selamanya (Nurbaya mati karena diracun), Samsulbahri mencoba bunuh diri sebanyak dan sekurang-kurangnya 4 kali tapi gagal (1. menembakkan pistol dikepala, meleset, 2. Gantung diri, tiang roboh, 3. Minum racun, gelas pecah tertembak musuh, 4. Terjun dari sungai dan tenggelam, ada seseorang yang menyelamatkannya) dan pada akhirnya Samsulbahri mati akibat luka dikepalanya karena duel dengan Datuk Meringgih dalam satu pertempuran karena masalah Belasting (Pajak mata pencaharian) di Padang, Samsulbahri berhasil membalas dendam, ia pun membunuh Datuk Meringgih dengan menembakkan pistol tepat didadanya, dan cerita berakhir.

Seperti halnya cerita roman klasik lainnya, Ada persamaan ketika pemeran antagonis mencoba mengakhiri hidup pemeran protagonis contohnya: ketika Snow White mati suri karena apel dari ibu tiri yang jahat, Sleeping Beauty tertidur 100 tahun karena kutukan jarum pintal dari Peri yang lupa diundang orangtuanya dan Sitti Nurbaya mati karena lemang beracun dari mantan suaminya. Perbedaannya, Snow White dan Sleeping Beauty pada akhirnya hidup lagi dan hidup berbahagia selamanya, sedang Sitti Nurbaya seberapapun besar cinta yang diberikan oleh Samsulbahri tak akan mengubah kenyataan, ia tak akan pernah hidup kembali.
Profile Image for Willy Akhdes.
Author 1 book17 followers
April 1, 2016
Boleh saya bilang sebagai masterpiece dari Marah Rusli dan tonggak sejarah penting dalam khazanah sastra Indonesia. Roman ini sebagai penanda lahir dan berkembangnya era Balai Pustaka. Sangat menggambarkan kondisi socio-politik pada masanya yang membuat kita sebagai pembaca di zaman modern sekarang merasakan kehidupan masyarakat Indonesia pada masa kolonial. Ditulis dengan sangat apik oleh Marah Rusli dengan gaya bahasa Indonesia lama dengan pengaruh Minang yang sangat kental, membuat saya betah berlama-lama larut dan tenggelam dalam alunan diksi dan metaforanya yang sangat indah.
Profile Image for literatu._.reclub.
44 reviews1 follower
April 28, 2025
RIP Sitti Nurbaya, she would have loved feminism.

To be honest, it's pretty boring. And I don't really like how the story *explicitly* pushes the author's moral views onto the readers. But at the same time, I’m amazed that Marah Rusli, a man born in the 1800s, had so many progressive thoughts about women's rights, especially in Indonesia and Padang’s culture. He was questioning the traditional rules, calling out things like child marriage, polygamy, supporting women's right to education, pushing for equality between men and women in marriage. Even though he still thought women’s roles should stay limited to domestic stuff, for something written in the early 1900s, it’s quite progressive and deserves to be appreciated as a classic piece of Indonesian literature.

I don't really like any of the characters though, all of them are questionable. Like, wdym Samsul Bahri ends up joining the Dutch army? His father, who was all about supporting education, ends up disowning him just for the sake of reputation and status. And Datuk Meringgih honestly makes a lot of sense in the end, rejecting the taxes imposed by the Dutch. But I guess that's the point, no one is 100% good or bad.
Profile Image for Shaharuddin.
461 reviews9 followers
June 25, 2023
Antara petikan : Bukankah pepatah kita telah menunjukkan betapa tamak dan lobanya bangsa Belanda? Bukankah telah dikatakan seperti Belanda minta tanah, diberi sejengkal, mau sedepa. Peraturan yang serupa ini, dalam jajahan bangsa lain seperti bangsa Inggris, tak ada.
Hamba sendiri sudah pergi ke Singapura, Pulau Pinang, Perak dan Johor, tak ada hamba lihat orang yang membayar belasting di sana.
Hanya di sini saja yang ada. Jadi aturan ini dibuat-buat saja oleit orang Belanda, untuk memeras kita, supaya kering sekering-keringnya.
Profile Image for Ira Nadhirah.
600 reviews
December 1, 2016
First of all, kenapa buku ni judul dia letak nama Sitti Nurbaya? Sebab aku rasa Samsu punya kasih lagi tak sampai. Mungkin sebab adat perempuan dipaksa kahwin oleh ibubapa kot. Cerita sedih sepanjang hayat. Cuma part gembira satu malam sebelum Samsu sambung belajar di Jakarta. First time aku baca cerita yang hero dia tak ada roh spiritual yang kuat. Hero selalunya digambarkan sebagai watak yang takkan terkalahkan dengan apa pun. Tapi buku ini, nyatanya beda ya. Heronya pingin mati aja. Faham je perasaan rasa boleh tak nak mati sekarang sebab patah hati. Tapi tu lah, sebenarnya banyak je perkara-perkara terindah terselit dalam setiap duka. Contohnya, jatuh cinta dengan orang yang kita tahu dari awal lagi orang yang salah. Kan?
Profile Image for Kana Haya.
77 reviews1 follower
July 31, 2007
this story is identical with arranged-marriage. however, the main idea isn't about it. however, it is siti nurbaya herself who accept datuk mariggi's proposal. so where the arrangement for the marriage, actually?

somehow, i dont like what siti nurbaya did by marrying datuk. but its a choice. and it makes my rate lose one star from "i really like it" to only "i like it"
Profile Image for Kunthi Hastorini.
Author 4 books5 followers
October 4, 2015
suka di bagian marah rusli membicarakan tentang pernikahan dan perempuan di awal-awal cerita, namun di akhir-akhir cerita terasa ada inkonsistensi, yaitu pembagian peran wanita dan pria yang menjadi kaku, tidak secair di awal cerita.
Profile Image for Kelly.
154 reviews24 followers
May 5, 2018
This review is going to have some spoilers, although nothing you wouldn't get from reading the introduction. That being said, the fact that this book is often described as the Indonesian Romeo & Juliet should give you some pretty serious clues about how the story turns out, so I'm probably not ruining a whole lot for you by discussing the conclusion here.

At a superficial level, I can see the comparison: Sitti Nurbaya is about a pair of star-crossed lovers who die untimely deaths and has probably inspired generations of ill-advised teenagers to find suicide romantic. However, I'm not sure Shakespeare would be flattered by the comparison. Sitti Nurbaya, for one thing, falls very squarely into the category of melodrama, with a villain more reminiscent of Much Ado About Nothing's Don John (or, let's be honest, Snidely Wiplash) than any character from R+J. Then, too, while Romeo and Juliet certainly can be read as adolescent wish-fulfillment in the everyone-will-be-so-sorry-when-I'm-dead variety, that's far from being the only valid interpretation (there's also, for instance, the theory that the play was intended not as a tragedy, but as a farce about stupid teenagers making lust-driven decisions, or my current personal favorite, the "Romeo is the Villain" interpretation). That's one of the things that makes Shakespeare great--you can read his plays so many different ways and find textual support for all sorts of crazy theories (I'm remembering a story I heard from one of my theater friends or relatives--I can't remember who told me, so if you happen to be reading this, speak up!--about an actress who was cast as Ophelia and then found out that she was pregnant. She was terrified to tell her director, thinking she'd be fired, but he was delighted--Ophelia is pregnant! Of course! It makes complete sense!). But Sitti Nurbaya does not have this flexibility; in fact, much of the subtext is actually just text, usually dialogue in the mouths of Rusli's main characters. Every theme of the book is hashed out in discussions, and there is really no way to read the plot except as pure unmitigated melodrama.

Here's the thing. For all my criticism, I have to be impressed by what Marah Rusli achieved with this book. He had an almost impossible brief: he was writing for Balai Pustaka, a publishing house devoted to spreading literature in "high" Malay that would compete with the wildly popular pulp literature written in "low" Malay. From the translator's introduction by George A. Fowler:

"Balai Pustaka had strict publishing criteria: no writing critical of Dutch rule, partial to a particular religion or portraying heterodox moral standards in anything but an unequivocally negative light would be accepted. Furthermore, writings had to be of a didactic nature. In regard to its Malay literary output, Balai Pustaka's editorial policies have been criticized for imposing a rigid uniformity of style... To some degree, this reflected the ideas about proper High Malay of the predominantly Minangkabau writers themselves or their counterparts on the Balai Pustaka editorial staff."

Within that rigid framework he managed to create a story that—despite its stilted dialogue and melodramatic plot—was both revolutionary enough that it got him disowned by his father, and classic enough that it's still required reading in Indonesian high schools. There's extensive use of the classical Indonesian poetry forms pantun (quatrains of rhyming verse consisting of two parts that seem unrelated but contain some symbolic meaning—for example, "Pandan Island lies far out at sea/ its sight by Angsa Dua Isle conceals/ However broken the body may be/ Kindness is always the balm that heals.") and syair (four rhymed lines, more direct in meaning, usually with some sort of moral or explanation, and generally sung rather than recited).

And while not all of the author's ideas toward women read as feminist by current standards, many of his theses—his opposition to arranged marriage, his emphasis on the need for education for women, his rejection of tradition for tradition's sake ("If it's clear that a tradition is wrong," Nurbaya asks, "why isn't it just done away with?")—were extremely progressive at the time and still hold up pretty well today (and while it would be nice to think that society has moved on so much that all of Rusli's arguments would seem dated or at least uneccessary today, as per the introduction,"The issues of injustice and indignities suffered by women that this novel raised and which clashed so sharply with Minangkabau adat traditional law, continue to be debated to this day in West Sumatra"). The cultural influence of Sitti Nurbaya is clear in works ranging from the mid-century literary classic This Earth of Mankind to the shock lit/magical realism tour de force that is Beauty Is a Wound.

One final note, which is really not germane to any of the foregoing discussion, but was interesting enough that I wanted to include it: this book introduced me to the origins of the phrase "run amok." There is a scene early in the book where alarms begin to sound; "usually," the author explains, "it meant that someone had gone amok and was causing a disturbance." I never knew this was a phrase with a literal meaning, nor did I realize it was a word borrowed from Indonesia. According to Wikipedia (and I know this is lazy of me but I'm just not up for in-depth etymological research just at the moment), people (generally men) who ran amok were believed to be possessed by an evil tiger spirit that caused them to run around armed with a sword or kris and kill or injure everyone they came in contact with. Usually the episodes would end with the attacker being killed or committing suicide. Although this is considered a "culture-bound syndrome" it bears obvious similarities to modern mass shootings and vehicular killing sprees—which are far more common than running amok ever was in Indonesian or Malay culture. The only thing that has changed is the weapon, the justification, and, sadly, the frequency.

This review is also published on my blog, Around the World in 2000 Books.
Profile Image for Muhsin Ibnu Zuhri.
23 reviews
October 17, 2025
Bagaimana kedudukan novel ini? Novel ini datang sebagai karya paling fenomenal dari karya-karya lain keluaran Balai Pustaka. Bukti ini bisa dilacak dengan bagaimana hidupnya nama Sitti Nurbaya sebagai simbol pernikahan paksa yang terus ditentang anak zaman berikutnya. Namanya telah mengalami banyak alih wahana. Mulai dari film, musik, sampai drama.

Bagaimana kedudukan novel ini dari sisi waktu? Tidak bisa tidak bahwa novel ini harus dikatakan sebagai senjata pemerintah dalam ranah budaya untuk mengalihkan perhatian masyarakat pada karya-karya di luar sensor pemerintah Belanda. Ada beberapa arus penerbitan sastra sebelum ini yang memang sedang marak di tanah Hindia. Di akhir abad -19 setidaknya ada arus utama yang saling bertubrukan: pro-kolonial dan kontra-kolonial. Kemudian pada awal tahun 1900-1920 penerbitan Tionghoa dan sastra pergerakan radikal juga mulai tumbuh. Hal ini sepertinya mengkhawatirkan pihak Belanda. Maka dirasa perlu untuk menyingkirkan bacaan itu dari masyarakat.

Sebelum novel Sitti Nurbaya, ada novel penting lain yang digadang juga sebagai tonggak awal sastra Indonesia modern karya Merari Siregar berjudul Azab dan Sengsara (1920). Selang dua tahun pada 1922 muncullah novel ini.

Apa yang perlu diperhatikan dari isi novel Sitti Nurbaya? Pertama dari sisi kebahasaan. Bahasa Melayu tinggi yang disajikan dalam karya ini bisa dibilang bagus pada masanya. Tapi sayangnya terasa orang awam tidak akan terbiasa dengan gaya bahasa yang digunakan. Apabila kita bandingkan dengan karya sebelum karya Bumiputera di luar Balai Pustaka, terlihat sekali bahwa Balai Pustaka ingin mencari kekuatan dari perbedaan mutu gaya bahasa. Mulai karya dari Tirto Adi Soerjo (1910) berjudul Membeli Bini Orang, Hikayat Siti Mariah (1910-1912) karya Haji Mukti, Student Hidjo karya (1918) karya Mas Marco Kartodikromo, atau Hikayat Kadiroen (1919) karya Semaoen tidak bisa dibilang apple to apple dibandingkan dengan dua karya pertama Balai Pustaka ini. Kenapa? Karena target pembaca mereka berbeda. Selain itu, motif isi dari karya itu juga berbeda. Ada kesan justru novel keluaran Balai Pustaka memang ingin mengarahkan masyarakat ke masalah-masalah budaya sekitar demi menciptkan konflik horizontal.

Kedua, kita perlu melihat bagaimana cerita ini disusun. Setelah membaca seluruh cerita, saya baru menyadari bahwa apa yang menjadi terkenal soal pernikahan Sitti Nurbaya ini tidak benar-benar menjadi masalah yang ingin diurai oleh pengarang. Kenapa bisa begitu? Karena pengarang sebenarnya tidak memberikan porsi yang penting untuk Sitti Nurbaya. Pengarang masih menempatkan Sitti Nurbaya hanya sebagai bagian kolase keseluruhan plot. Sitti Nurbaya tidak diberikan ruang untuk berpikir mandiri. Keseluruhan cerita hanya berpusat pada Samsul Bahri yang akhirnya mati sebagai pahlawan kompeni. Bahkan apa yang saya dengar dari orang-orang tentang mekanisme paksaan pernikahan Nurbaya dengan Datuk Maringgih tidak sesuai dengan isi novel ini. Lalu kenapa karya ini diberi judul Sitti Nurbaya dan bukan Samsul Bahri? Mungkin jawabannya bisa kita lihat dari selera bacaan yang sudah ada sebelumnya. Banyak karya sebelumnya yang menggunakan nama perempuan sebagai judul. Mulai dari Njai Dasima, Nji Paina, Siti Mariah, dan banyak lainnya. Jadi terkesan novel ini juga ikut nimbrung dari selera pasar yang sudah ada.

Ketiga, penceritaan karya ini terkesan bertele-tele. Bertele-tele adalah kata yang tepat menurut saya apabila mau menitikberatkan Sitti Nurbaya sebagai tokoh hidup aktif. Bagaimana tidak, konflik Nurbaya baru masuk pada halaman 139 dari total halaman 361. Namun jika merujuk pada Samsul Bahri, bisa dibilang cerita ini cukup menarik sebagai karya pro-kolonial. Menurut saya, pengarang memang sebelumnya tidak akan pernah menyangka jika bagian scene paling menarik perhatian adalah pernikahan Sitti Nurbaya yang menjadi bagian kecil dari keseluruhan cerita.

Bagaimana masalah diurai pengarang? Ada beberapa indikasi untuk membagi masalah cerita ini. Pertama, masalah berputar pada kritik budaya Minangkabau di Padang terkait hak asuh anak dan warisan. Konflik Sutan Mahmud ayah Samsul Bahri dengan Saudaranya perempuan sedikit banyak memberikan pengetahuan umum kepada pembaca di luar Padang tentang praktik adat wawaris yang tidak sesuai. Di sinilah sisi positifnya. Kedua, masalah berpusar pada konflik partikelir. Ayah Nurbaya yang bekerja sebagai saudagar harus terlibat konflik bisnis dengan Datuk Maringgih. Di sini justru menjadi penting melihat bahwa sebenarnya Nurbaya adalah korban intrik bisnis. Ketiga, masalah merujuk bagaimana intrik bisnis mencampuri urusan asmara dua manusia antara Nurbaya dan Samsul Bahri. Keempat, perpindahan Samsul Bahri menjadi seorang serdadu kompeni yang gagah berani.

Bagaimana kita melihat isi novel Sitti Nurbaya dengan simbol pernikahan paksa? Hal inilah yang saya temukan berbeda. Karena masalah bisnis orang-orang tua, anak kena sampurnya. Sebenarnya saat Datuk Maringgih meminta Nurbaya menjadi istrinya, bapak Nurbaya sudah berunding terlebih dahulu. Dalam perundingan itu Nurbaya sudah mengatakan bahwa ia menolak, dan ayahnya mengamini. Artinya bapaknya sudah siap untuk masuk penjara. Tiba-tiba saja saat ayahnya ingin menyerahkan diri, Nurbaya muncul dari balik kamar dan mengatakan mau menjadi istri Datuk Maringgih. Dalam kasus ini, sebenarnya motif paksaan sudah gugur. Jadi bila kita bilang Nurbaya dipaksa, paksaan itu tidak terlihat dari dialog maupun narasi pengarang. Perbedaan isi dan simbol ini sekiranya perlu dilihat mungkin muncul dari kesan pembaca umum yang kemudian dimobilisasi oleh budaya tutur yang suka sekali melebih-lebihkan.
Sebagai karya pro-Belanda, kita perlu cermat melihat pergulatan batin Samsul Bahri. Samsul Bahri merasa bahwa bersama-sama bumiputera, dia tidak mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Dia diusir ayahnya. Kekasihnya dirampas karena intrik bisnis orang-orang tua. Semua ini menjadi motif yang memindahkan keberpihakan Samsul Bahri. Dia akhirnya diselamatkan seorang Belanda dari usaha bunuh diri. Di sinilah pengarang menempatkan kompeni sebagai savior. Tidak hanya itu, pengarang mengarahkan bahwa keberpihakan Samsul Bahri kepada kompeni harus dikembalikan lagi pada target musuh utamanya. Maka tidak heran akhirnya Samsul Bahri bertarung dengan Datuk Maringgih dan membunuhnya.

Sebagai karya pro-Belanda, pengarang menempatkan Datuk Maringgih sebagai penjahat utama dalam tindakan boikot tidak mau membayar pajak. Hal ini perlu dilihat penting. Kita tahu bahwa sebelumnya Datuk Maringgih adalah pebisnis. Kita tahu betapa rakusnya dia. Kita juga tahu kenapa ia tidak mau membayar pajak juga karena dia tidak mau kehilangan uangnya untuk kompeni. Hal ini sebenarnya wajar. Hampir semua pengusaha begitu. Kemudian dengan mematikan Datuk Maringgih mengakibatkan dua kenyataan. Pertama, tindakan boikot yang sebenarnya merepresentasikan pikiran radikalisme saat itu bergabung dengan kesan jahat urusan bisnisnya dengan bapaknya Nurbaya dan pembunuhannya pada Nurbaya, sehingga muncul gebyah uyah bahwa Datuk Maringgih layak dibunuh dan boikot itu harus dilenyapkan. Kenyataan kedua adalah bahwa pertarungan kompeni dan radikalisme Bumiputera berpegang pada hitam-putihnya keberpihakan tanpa memberikan empati sama sekali pada pihak-pihak lain yang sudah gugur. Kita lihat saja, semua tokoh ini mati. Siapa yang hidup di akhir cerita? Keberhasilan serdadu Belanda. Samsul Bahri, Sitti Nurbaya, kedua bapak mereka, dan Datuk Maringgih mati.

Buku ini layak dibaca untuk menerjemahkan ulang karya yang dianggap paling fenomenal di masanya.
Profile Image for Wina S. Albert.
164 reviews2 followers
October 4, 2024
Datuk Meringgih adalah contoh nyata di mana kekuasaan dan kekayaan digunakan untuk mengubah atau menginterpretasikan adat demi kepentingan pribadi. Dalam konteks ini, dia dapat dianggap sebagai "pahlawan" dalam kisahnya sendiri, di mana setiap tindakan dan keputusan yang diambilnya tampak "sah" karena posisinya yang kuat dalam masyarakat.

Novel ini menyindir bagaimana orang-orang berkuasa dapat memanipulasi adat untuk menjustifikasi tindakan mereka. Misalnya, meskipun adat mengharuskan penghormatan terhadap perempuan, Meringgih mengabaikan nilai-nilai tersebut demi kepentingan nafsu dan ambisinya, mengolok-olok norma yang seharusnya dijunjung tinggi.

Dalam hal agama, Datuk Maringgih sering kali terlihat mengabaikan ajaran moral yang seharusnya menjadi pedoman hidup. Dia lebih memilih untuk menggunakan agama sebagai alat legitimasi untuk tindakannya yang tidak etis. Dia menggunakan wajah religiusnya untuk menutupi tindakan korup dan manipulatif. Ini mencerminkan bagaimana individu-individu tertentu dapat mengklaim kesalehan sementara melakukan tindakan yang bertentangan dengan prinsip agama. Novel ini dengan cerdas menyindir bahwa banyak yang mengaku beragama, tetapi tindakan mereka tidak mencerminkan nilai-nilai tersebut.

Novel ini mengeksplorasi ironi bahwa yang kuat berhak untuk menafsirkan adat dan agama sesuai keinginan mereka. Ini menciptakan pandangan sinis terhadap masyarakat di mana kebenaran sering kali tergantung pada siapa yang memiliki kekuasaan, bukan pada prinsip moral yang seharusnya dijunjung.

Dengan menggunakan karakter Datuk Maringgih sebagai alat satir, "Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai" mengungkapkan kritik tajam terhadap bagaimana kekuasaan dapat mempengaruhi interpretasi dan penerapan adat serta agama. Novel ini menunjukkan bahwa sering kali, mereka yang berada di puncak kekuasaan mengabaikan norma dan nilai yang seharusnya dihormati, hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi. Melalui gambaran ini, kita diingatkan akan pentingnya integritas dan ketulusan dalam menghadapi tantangan sosial dan moral.
Profile Image for Alvi Tita Wijaya.
35 reviews
November 26, 2019
Novel ini secara garis besar menceritakan tentang dua remaja, seorang lelaki yang bernama Samsulbahri dan seorang gadis bernama Sitti Nurbaya. Setting yang diambil adalah di Kota Padang. Mereka akrab sejak kecil, karena kedua orang tuanya yang bersahabat. Keluarga Samsu sudah dianggap keluarga sendiri oleh Nurbaya, begitu juga sebaliknya. Keluarga mereka adalah keluarga orang terpandang.
Saat tumbuh remaja, Samsu yang merupakan lelaki yang cerdas hendak melanjutkan sekolahnya ke Kota Jakarta. Pada malam sebelum Samsu berangkat ia menyempatkan diri untuk mengatakan apa yang selama ini ada di hatinya. Perasaan yang awalnya hanya sayang sebagai seorang kakak lama kelamaan berubah menjadi rasa sayang yang sebenarnya. Bagai gayun bersambut, Nurbaya ternyata juga menyukai Samsu. Akhirnya mereka berdua berjanji akan menikah kelak setelah Samsu menyelesaikan sekolah kedokterannya di Jakarta.
Namun, nasib buruk datang kepada Nurbaya. Ada seseorang yang iri terhadap kesuksesan ayah Nurbaya, hingga ia membakar habis pertokoan milik ayah Nurbaya. Datuk Maringgi namanya, si tua bangka yang gila harta. Segala rencana busuk ia lancarkan kepada ayah Nurbaya agar ia jatuh miskin lalu meminjam uang kepada Datuk Maringgi yang mengakibatkan ayah Nurbaya terlilit hutang kepada Datuk Maringgi dan tidak bisa membayarnya. Karenanya, ayah Nurbaya diberi pilihan oleh Datuk Maringgi. Memilih masuk penjara dan seluruh hartanya disita atau anaknya Nurbaya menikah dengan Datuk Maringgi. Nurbaya yang mendengar itu merasa bimbang, dia tidak ingin mengingkari janjinya dengan Samsu tetapi dia juga tidak ingin melihat ayahnya masuk penjara. Pada akhirnya, Nurbaya memilih untuk menyerahkan dirinya pada Datuk Maringgi. Hal itu membuat dirinya sangat putus asa hingga terfikir olehnya untuk melakukan bunuh diri. Kondisi ayah Nurbaya pun semakin lama semakin menurun. Hingga suatu hari, Samsu pulang ke Kota Padang. Saat ia pulang, ia mendengar jika ayah Nurbaya tengah jatuh sakit. Dijenguknya ayah Nurbaya.
Disana ia bertemu dengan Nurbaya, ia mencurahkan segala keluh kesahnya. Hingga Datuk Maringgi memergoki mereka yang sedang berdua-duaan. Mengingat apa yang telah Datuk Maringgi lakukan terhadap Nurbaya, gelap mata lah si Samsu. Ia memukul habis-habisan Datuk Maringgi hingga menimbulkan keributan.
Ayah Nurbaya yang terkejut dengan suara keributan itu pun berusaha untuk bangun dari kasurnya dan menuruni tangga yang gelap itu. Namun apa daya, tubuh yang lemah itu kekurangan keseimbangan yang mengakibatkan ayah Nurbaya jatuh terguling-guling di tangga dan menyebabkan beliau meninggal dunia. Karena itu Nurbaya marah besar terhadap Datuk Maringgi dan ia meminta cerai serta mengusirnya dari rumahnya. Disisi lain, ayah Samsu sangat malu sekali dengan apa yang telah di perbuatnya hingga ia mengusir Samsu dari rumahnya.
Lalu karena rindu yang teramat sangat Nurbaya mencoba kabur ke Jakarta menemui Samsu dengan ditemani oleh kusir Ali. Setelah bertemu sebentar ternyata Datuk Maringgi mengirim pengaduan ke polisi dan menuduh Nurbaya menggelapkan hartanya. Dengan setengah hari Nurbaya pun pulang ke Padang dan menjalankan proses pemeriksaan yang ternyata Nurbaya sama sekali tidak melakukan kesalahan.
Saat di Padang Nurbaya tinggal di rumah Alimah. Pada malam hari saat berbincang bincang lewatlah seorang pedagang kue. Karena ingin akhirnya Nurbaya membeli beberapa kue. Tanpa ia sadari ternyata kue itu beracun dan mengakibatkan meninggalnya Nurbaya. Ternyata penjual kue itu adalah para pendekar suruhan Datuk Maringgi.
Berita meninggalnya Nurbaya tersebar hingga ke telinga ibu Samsu yang tengah sakit-sakitan, karena berita ini pula ibu Samsu meregang nyawa. Akhirnya dua jenazah perempuan yang dicintai Samsu ini dimakankan di Gunung Padang bersebelahan dengan makan ayah Nurbaya.
Sepuluh tahun kemudian, Samsu bekerja sebagai tentara Belanda. Ia sering ditugaskan kemana-mana untuk urusan Belanda. Hingga pada akhirnya ia ditugaskan untuk mengambil upeti yang harus dibayar rakyat Padang kepada Belanda. Namun, karena hasutan Datuk Maringgi warga Padang tidak mau membayar upeti tersebut malah memilih untuk melawan Belanda.
Akhirnya Samsu dan Datuk Maringgi bertemu di medan perang dan keduanya sama-sama meninggal. Datuk Maringgi tertembak peluru Samsu, sedangkan Samsu tertusuk parang milik Datuk Maringgi.
Dua bulan kemudian, Sutan Mahmud ayah dari Samsu meninggal dunia. Si Arifin bertanya kepada kawannya mengapa ayah Samsu meniggal secepat ini “Ayah Samsu meninggal karena merindukan anak dan istrinya” ucap Bachtiar.
Penulis memilih pendekatan struktural. Tema yang diambil dari novel ini adalah mengenai kawin paksa yang sangat populer pada saat itu. Bahkan menjadi novel paling populer. Tokoh dan penokohan:
1. Sitti Nurbaya : baik, cantik, sopan, mau berkorban, dan sabar.
2. Samsulbahri : pintar, tampan, baik, sopan, setia, pekerja keras, dan menepati janji.
3. Arifin : jail dan suka menggoda Bachtiar.
4. Bachtiar : suka makan.
5. Datuk Maringgi : tamak, pelit, suka uang, kikir, licik, dan dengki.
6. Sutan Mahmud : baik, suka menolong, dan berpendirian teguh.
7. Baginda Sulaiman : penyabar, penyayang, dan baik.
8. Rukiah : pemalu dan penurut.
9. Rubiah : pemarah, licik, dan tidak mudah puas.
10. Pak Ali : setia, baik, dan suka menolong.
Alur dalam novel ini menggunakan alur maju. latar tempat yang mendominasi dalam novel ini adalah di Padang, Minangkabau. Sudut pandang yang digunakan adalah orang ketiga. Lalu amanat yang terkandung pada novel ini adalah rela berkorban demi orang tua, cinta yang murni tak akan hilang sampai mati, lintah darat merupakan sumber malapetaka bagi kehidupan keluarga, menjadi orang tua hendaknya lebih bijaksana, dan kebenaran sesungguhnya di atas segala-galanya.
Profile Image for Marchel.
538 reviews13 followers
February 10, 2011
It tells about the people of minang and all their tradition. Especially, a unique and unmoral behaviour to force a father's will to his daughter to marry someone else. It's because the father had a lot of debt to that person.
Profile Image for Hasan.
9 reviews
May 8, 2015
Buku lama yang wow bangetlah. Baca pertama kali pas SMA, terus baca lagi beberapa kali setelah itu. Entah sekarang masih ada atau nggak jualannya di toko buku.
Profile Image for Endah.
46 reviews2 followers
April 8, 2008
Cukup menarik untuk dibaca...
agar kita nggak asal bilang...'kayak zaman Siti Nurbaya ajaaaaaaa'
Profile Image for Widodo Aji.
21 reviews2 followers
December 4, 2019
Sebuah kisah di Padang, yang ceritanya dikenang hingga saat ini. Berkisah tentang sebuah percintaan antara dua orang pemuda dan pemudi yang menyedihkan. Ia bernama Siti Nurbaya dan Samsulbahri. Mereka berasal dari keluarga bangsawan, ayah Siti Nurbaya bernama Baginda Sulaiman seorang saudagar kaya sedangkan ayah dari Samsul bernama Sultan Mahmud Syah seorang penghulu di tanah Minangkabau. Mereka bertetangga sejak kecil layaknya seorang saudara kandung yang tak pernah berpisah. Samsulbahri dan Siti Nurbaya mempunyai dua orang teman dekat yang bernama Arifin dan Bakhtiar.
Disisi lain ada seorang yang bernama Datuk Maringgih seorang saudagar kaya raya namun bukan seorang bangsawan, Dia sangat pelit dan kikir. Sultan Mahmud mempunyai saudara perempuan yang bernama Rubiah dan mempunyai anak yang bernama Rukiah. Ketika Sultan Mahmud berkunjung ke rumah Rubiah ,Sultan Mahmud dimarahi oleh kakaknya karena ia sudah tidak pernah berkunjung ke tanah kelahirannya,dan Rubiah meyalahkan istri Sultan Mahmud (Ibunda Samsulbahri).
Siti Nurbaya dan Samsulbahri akan berpisah,karena Samsulbahri akan melanjutkan sekolahnya di Jakarta. Ini sungguh perpisahan yang amat berat, karena mereka tidak pernah berpisah dari kecil. Suatu malam ketika seusai pesta, Samsulbahri mengantarkan Siti Nurbaya pulang. Saat itu juga Samsulbahri menyatakan rahasia perasaannya terhadap Siti Nurbaya, bahwa ia sangat mencintai Siti Nurbaya sejak dulu. Siti Nurbaya pun mengungkapkan bahwa ia juga mencintai Samsulbahri.
Keesokan harinya Samsulbahri berangkat ke pelabuhan untuk ke Jakarta. Tangis pun mengiringi kepergian Samsulbahri . Siti Nurbaya menangis melihat kekasihnya pergi . Dan Samsulbahri pun berat untuk meninggalkan Siti Nurbaya. Namun ini adalah hal yang harus dilakukan.
Sementara itu Datuk Maringgih menyuruh anak buahnya untuk membakar semua toko milik Baginda Sulaiman. Sehingga Baginda Sulaiman jatuh miskin, tetapi Baginda Sulaiman tidak tahu jika ini semua perbuatan Datuk Maringgih . Lalu Baginda Sulaiman mencoba meminjam uang kepada Datuk Maringgih. Tetapi dengan syarat selama tiga bulan uang itu harus kembali. Pada saat jatuh tempo, Baginda Sulaiman tidak bias membayarnya. Lalu Datuk Maringgih mengancam Baginda Sulaiman akan di penjarakannya atau Siti Nurbaya menikah dengan Datuk Maringgih. Namun Baginda Sulaiman tidak akan rela jika putrinya menikah dengan Datuk Maringgih. Tetapi Siti Nurbaya mendengar hal itu, Siti Nurbaya mau dijadikan istri oleh Datuk Maringgih.
Samsulbahri yang mendengar hal itu langsung pulang ketika liburan sekolah. Samsulbahri menjenguk Baginda Sulaiman yang kebetulan sakit. Bertemulah Samsulbahri dan Siti Nurbaya, mereka saling bercerita tentang apa yang terjadi. Ketika Datuk Maringgih mengetahui hal itu dan berfikiran bahwa Samsulbahri dan Siti Nurbaya telah melakukan hal yang tidak pantas. Timbulah perkelahian antara Samsulbahri dengan Datuk Maringgih, akan tetapi diketahui oleh Baginda Sulaiman hingga Baginda Sulaiman terjatuh dan meninggal dunia. Mengetahui tuduhan tersebut, ayah dari Samsulbahri mengusir Samsulbahri. Sedangkan Siti Nurbaya terbebas dari Datuk Maringgih, dan memilih tinggal dengan keluarganya.
Tidak sampai disitu, Datuk Maringgih mempunyai akal lain untuk balas dendam kepada Siti Nurbaya dengan memfitnah bahwa Siti Nurbaya mencuri perhiasannya untuk pergi ke Jakarta menemui Samsulbahri. Bukan hanya itu , Datuk Maringgih juga menyuruh anak buah nya untuk membunuh Siti Nurbaya melalui makanan Lemang. Akhirnya Siti Nurbaya meninggal dan diikiuti oleh ibu Samsulbahri juga meninggal karena sedih melihat hal ini semua.
Samsulbahri yang mengetahui hal tersebut mencoba bunuh diri,namun masih bisa diselamatkan. Ia yang frustasi akhirnya menjadi serdadu Belanda,dengan nama Letnan Mas yang ditugaskan untuk menumpas pemberontakan di Padang. Meskipun mendapatkan perlawanan yang sangit, akhirnya Samsul Bahri dapat membunuh Datuk Maringgih karena luka dihatinya yang sangat mendalam. Lalu Samsulbahri menemui ayahnya, memberi tahu bahwa dia adalah Samsulbahri yang telah lama menghilang. Setelah mengucapkan hal itu Samsulbahri menghembuskan nafas terakhirnya dihadapan ayahnya. Keesokan harinya ayahnya juga meninggal dunia. Samsulbahri dimakamkan di dekat pusara Siti Nurbaya dan orangtuanya.

Dengan melihat sinopsis yang tertera diatas, secara garis besar tema yang diangkat dalam novel Sitti Nurbaya ialah mengenai percintaan yang tak berkesampaian tetapi malah berujung kepada kematian. Permasalahan yang sebenarnya adalah diprakarsai oleh Datuk Meringgih yang iri terhadap usaha ayah Nurbaya. Sehingga Datuk Meringgih melakukan hal yang berisiko panjang hingga kematian semua tokoh utama dalam novel tersebut. Nilai yang dapat diambil dari novel tersebut ialah, kesombongan dan rasa iri dengki itu akan menghancurkan segalanya. Bukan hanya kepada diri sendiri namun juga kepada orang yang ada disekitar kita.
12 reviews
November 16, 2019
Seorang penghulu di Padang bernama Sutan Mahmud Syah bersama istrinya, Siti Maryam yang anak tunggal bernama Samsulbahri. Rumah Sutan Mahmud Syah dekat dengan rumah seorang saudagar bernama Sulaiman. Sulaiman memiliki seorang putri tunggal bernama Sitti Nurbaya.Sitti Nurbaya dan Samsulbahri sangat akrab, selayaknya adik kakak.
Satu hari di Gunung Padang Samsulbahri menyatakan bahwa cinta kepada Sitti Nurbaya dan mendapat balasan. Sejak itu mereka memiliki kesepakatan akan selalu bersama. namun suatu hari berangkatlah Samsulbahri melanjutkan pendidikan ke Jakarta bersama dengan temanya Zainularifin. Di Padang ada seorang pria kaya bernama Datuk Maringgih. Dia selalu melakukan kejahatan dengan cara halus yang tidak diketahui orang lain. Kekayaan diperoleh dengan cara yang tidak sah. Karena itulah ia memiliki banyak kaki tangan untuk mempelancar kaki tangannya.
Melihat kekayaan Sulaiman, Datuk Maringgih merasa tidak senang, maka ia melakukan segala cara untuk menjatuhkan Sulaiman dengan membakar kedai-kedai Sulaiman sehingga Sulaiman meminjam uang dari Datuk Maringgih sampai tidak bisa melunasi hingga jatuh miskin. Karena Sulaiman tidak dapat membayar hutangnya, maka Datuk Maringgih berusaha untuk merebut barang milik Sulaiman, kecuali Sitti Nurbaya mau dijadikan sebagai istrinya. Pertama Sitti Nurbaya menolak dan Sulaiman tidak suka tetapi karena kondisi akhirnya Siti Nurbaya mau, dan terpaksalah dia ingin menjadi istri Datuk Maringgih meski hati membencinya. Siti Nurbaya memberitahukan hal itu ke Samsulbahri tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya setelah sekian lama Samsulbahri kembali ke Padang dalam rangka libur sekolah, saat bertemu dengan Sitti Nurbaya ternyata kaki tangan Datuk Maringgih sudah membututi mereka dan Datuk Maringgih datang lantas terlibat perkelahian dengan Samsulbahri yang membuat Samsulbahri di larang lagi balik pulang ke Padang serta Sitti Nurbaya pun diasingkan.


Karakteristik
1. Samsulbahri
Kulitnya kuning sebagai kuning langsat, rambut dan matanya hitam sebagai dawat, di bawah dahinya yang lebar dan tinggi kelihatan alis matanya yang tebal dan hitam.

2. Sitti Nurbaya
Pipinya sebagai pauh dilayang, cekunglah kedua pipinya, pada pipi kiri terdapat tahi lalat, hidungnya mancung sebagai bunga melur, bibirnya halus sebagai delima merekah, giginya rapat berjejer bagai dua baris gading yang putih, dadanya bidang, pinggangnya ramping, suaranya lemah lembut, kakinya baik tokohnya dan jalannya lemah gemulai

3. Datuk Meringgih
Rupanya buruk, umurnya telah lanjut, pakaian dan rumah tangganya kotor, adat dan kelakuannya kasar dan bengis, bangsanya rendah, kepandaian pun tak ada, selain daripada kepandaian berdagang.

1. Samsulbahri
Tingkah lakunya baik, sopan, halus bahasanya.
- Ia bukannya anak yang pandai sahaja, tingkah lakunya pun baik ; tertib, sopan santun, serta halus budi bahasanya.
Suka menolong dan setia kawan
- Tatkala Samsu mendengar suara sahabatnya minta tolong, tiadalah ia berpikir panjang lagi, lalu melompat berlari ke tempat suara itu kedengaran, takut kalau-kalau Bakhtiar mendapat sesuatu kecelakaan
Lemah lembut, berani
- Walaupun ia rupanya sebagai seorang anak yang lemah-lembut, akan tetapi jika perlu, tidaklah ia takut menguji kekuatan dan keberaniannya dengan siapa saja, lebih-lebih untuk membela yang lemah.

2. Sitti Nurbaya
Punya belas kasih (baik hati)
- Ah, jangan Sam. Kasihanilah orang tua itu! Karena ia bukan baru sehari dua bekerja pada ayahmu, melainkan telah bertahun-tahun.
Baik hati, sopan
- Anak ini pun seorang gadis, yang dapat dikatakan tiada bercacat, karena bukan rupanya saja yang cantik, tetapi kelakuan dan adatnya, tertib dan sopannya, serta kebaikan hatinya, tiadalah kurang daripada kecantikan parasnya.
Taat/Patuh
“Apabila sesungguhnya untung kita ini malang, apa hendak dikata? Karena sekaliannya itu telah takdir daripada Tuhan Yang Maha Kuasa”




Sabar
- "Ah, tetapi waktu itu masih lama lagi," katanya pula dalam hatinya, "masih tujuh tahun. Adakah dapat aku menunggu selama itu? Mengapa tidak," jawabnya sendiri pula.

3. Datuk Meringgih
Kikir
“Jika ia makan nasi, hanya dengan sambal lada atau ikan kering saja yang disimpannya beberapa hari”
Iri hati
“Aku sesungguhnya tiada senang melihat perniagaan Baginda Sulaiman, makin hari makin bertambah maju, sehingga berani ia bersaing dengan aku. Oleh sebab itu, hendaklah ia dijatuhkan.”
Suka berpoligami
“Berapa kali ia telah kawin dan bercerai, tiadalah dapat dibilang.”
23 reviews
November 17, 2019
Samsul Bahri dan Siti Nurbaya adalah sepasang sahabat yang kemudian saling menjalin kasih menjadi kekasih yang berencana akan menikah. Tetapi keduanya gagal menikah karena ulah Datuk Maringgi. Datuk Maringgih berhasil menikahi Siti Nurbaya dengan cara licik menghancurkan usaha ayah Siti Nurbaya, lalu pura-pura menolongnya dengan memberi pinjaman yang memang sudah direncanakan supaya Ayah Baya tidak bisa membayar, akhirnya dengan terpaksa Siti Nurbaya mau menjadi istrinya agar ayahnya tidak dipenjara. Samsulbahri yang mendengar berita pilu itu, sungguh prihatin dan terpukul, oleh karena itu, pada saat liburan, ia menengok Baginda Sulaiman yang pada saat itu sedang sakit, kebetulan saat itu pula Nurbaya menjenguk ayahnya, bertemulah mereka, mereka menceritakan pengalaman masing-masing, melepas rindu, Samsul memeluk Nurbaya, dan peristiwa ini di ketahui Datuk Meringgih, terjadilah pertengkaran antara keduanya. Mendengar di luar rumah gaduh, Baginda Sulaiman turun dari tangga, dan na'as Sulaiman jatuh, kemudian meninggal. Nurbaya merasa bebas dari Datuk Meringgih dan meminta cerai dari Datuk Meringgih, sedangkan Samsul yang dianggap melakukan perbuatan tak pantas di usir ayahnya.
Datuk Meringgih menyusun rencana licik karena Nurbaya menyakiti hatinya, ia menuduh Nurbaya mencuri perhiasaan yang mengakibatkan Nurbaya tidak bisa menyusul Samsul ke Jakarta, dan setelah itu ia menyuruh seseorang meracuni Nurbaya hingga meninggal. Ibu Samsul yang mendengar berita duka ini sedih dan kemudian meninggal. Samsul frustasi dan mencoba bunuh diri, namun ia berhasil di selamatkan, lalu ia bangkit menjadi seorang serdadu Belanda dan mendapat tugas untuk menumpas pemberontakan di Padang, ia berhasil menumpas dan membunuh dalang pemberontakan ini, yang tidak lain adalah Datuk Meringgih. Karena luka parah ia di rawat di rumah sakit, sebelum ajal menjemputnya, ia sempat menghubungi ayahnya bahwa dirinya Samsul dan masih hidup. Ia meminta apabila ia meninggal, kuburkan ia di sebelah makam Nurbaya. Keesokan harinya ayah Samsul menghembuskan nafas terakhirnya. Permintaan terakhir Samsul terwujud,di tempat inilah mereka berdua bersama.
Pendekatan Ekspresif
Buku ini diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada tahun 1922, novel ini dianggap sebagai puncak roman dalam Sastra Indonesia Modern. Penilaian itu tidak didasarkan pada temanya, tetapi berdasarkan pemakaian bahasa dan gayanya yang tersendiri. Buku ini menggunakan bahasa melayu. Maka dari itu, orang melayu pasti akan lebih mudah membaca dan segera memahami isinya. Kepopulerannya sampai-sampai pada zaman itu dinamai zaman Siti Nurbaya. Selain itu berhasil mendapat hadiah tahunan dalam bidang sastra, yang diberikan oleh pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1969. Dalam karya-karyanya berjudul Siti Nurbaya, Marah Rusli ingin merombak adat yang berlaku pada masa itu dan dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Pembaca diajak mengikuti liku-liku kehidupan masyarakat Padang pada masa itu, khususnya kisah cinta yang tak kunjung padam dari sepasang anak manusia, Siti Nurbaya dan Samsulbahri. Dalam hal ini Marah Rusli sebagai pemuda terpelajar memiliki pemikiran jauh lebih maju daripada masyarakat di sekitarnya. Ia telah mengenal tata cara hidup dan kebudayaan asing yang sedikit banyak sangat berpengaruh terhadap jiwanya. Dari dasar itu timbul gejolak pemberontak ingin menerobos adat lama yang membelenggu dengan ketat dan dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu terjadi.
Novel sastra ini bercerita tentang kehidupan suku Minangkabau. Hal itu dapat terjadi karena Marah Rusli sendiri adalah orang Minangkabau. Novel ini juga bercerita tentang perjodohan dan kebudayaan Minangkabau. Hal tersebut ada karena Marah Rusli mulai mencoba menggali kebobrokan sistem perjodohan orang Minangkabau yang terkesan pilih-pilih dan tidak mau bertoleransi kepada suku lain. Tidak hanya itu, novel ini juga merupakan bentuk protes penulis terhadap keluarganya. Karena Marah Rusli menikah dengan gadis sunda dan orang tuanya kurang setuju hingga Beliau dijodohkan dengan sesama orang Minang untuk menjaga kemurnian suku. Dari kehidupan nyata yang dialami Marah Rusli ia mengutarakan kekecewaannya lewat novel ini, karena tidak selamanya adat harus diutamakan. Selama adat itu bernilai positif tidak mengapa, apabila banyak negatifnya lebih baik tidak diikuti. Karena adat cintapun harus direlakan, selain merampas kebahagiaan, adat ini juga melanggar ham, karena ada unsur diskriminasi antar suku.
Profile Image for Zacky Putra.
11 reviews
Want to read
December 5, 2019
Novel ini menceritakan kisah gadis bernama Siti Nurbaya. Siti nurbaya ini adalah anak dari seorang Baginda Sulaiman seorang saudagar kaya. Teman dari Siti Nurbaya yang juga tetangganya yaitu Samsul Bahri. Dia adalah anak dari Penghulu Sutan Mahmud. Sejak kecil mereka sangatlah akrab karena sama-sama orang Padang yang tinggal beretangga. Awalnya hubungan Samsul Bahri dan Siti Nurbaya seperti kakak dan adik saja tetapi setelah mereka beranjak dewasa, Samsul Bahri dan Siti Nurbaya saling jatuh cinta. Tetapi Samsul akan melanjutkan sekolahnya ke Jakarta sehingga ini membuat mereka berdua berpisah.
Usaha yang dimiliki oleh Baginda Sulaiman sangat sukses, ditambah lagi Datuk Maringgih merasa menyukai putri dari Baginda Sulaiman yaitu Siti Nurbaya. Datuk maringgi adalah orang paling kaya yang sudah terkenal hingga ke seluruh negeri. Ia lalu menyuruh anak buahnya untuk menghancurkan usaha dan kekayaan dari Baginda Sulaiman untuk mendapatkan Siti Nurbaya. Hal ini menyebabkan Baginda Sulaiman jatuh miskin. Saat miskin Baginda Sulaiman tidak bisa membayar hutangnya kepada datuk maringgi.
Datuk Maringgih pun mengancam Baginda Sulaiman akan memenjarakannya apabila ia tidak bisa melunasi hutang- hutangnya. Tapi kemudian datuk maringgi memberikan syarat lain yaitu menyerahkan Siti Nurbaya untuk diperistri Datuk Maringgi. Berat hati Siti Nurbaya merelakan dirinya untuk diperistri Datuk Maringgi, Siti tidak tega jika ayahnya dipenjara. Hal ini pun diketahui oleh Samsul yang ada di Jakarta, sontak hal ini membuat Samsul marah kepada Datuk Maringgi.
Pada suatu hari Samsul pulang dan menemui Siti Nurbaya secara diam-diam, pertemuan antara Samsul dan Siti Nurbaya ini diketahui oleh Datuk Maringgi. Hal ini menimbulkan keributan, dan menyebabkan Ayah Siti Nurbaya terjatuh dan meninggal dunia. Siti Nurbaya diusir dari rumah Datuk Maringgi dan pergi kerumah bibinya sedangkan Samsul juga diusir oleh ayahnya karena dianggap bertindak tidak baik dan membuat malu ayahnya. Samsul pun akhirnya kembali ke Jakarta.
SitiNnurbaya ingin sekali menemui Samsul yang ada di Jakarta. Ia kemudian pergi ke Jakarta dengan naik kapal. Tetapi hal ini diketahui oleh Datuk Maringgi dan membuat Datuk Maringgi marah, kemudian ia menyuruh anak buahnya untuk membunuh Siti Nurbaya. Usahanya gagal. Datuk Maringgih masih merasa marah dan tidak puas kepada Siti Nurbaya. Datuk maringgi pun memiliki siasat lain untuk melenyapkan nyawa Siti Nurbaya. Ia menyuruh Pendekar Lima untuk menjual lemang yang beracun kepada Siti Nurbaya. Siti Nurbaya meninggal karena memakan lemang yang beracun itu. Bibinya menjadi sedih dan terpukul.
Kabar meninggalnya Siti Nurbaya terdengar hingga Jakarta. Disana Samsul merasa frustasi atas meninggalnya Siti Nurbaya dan mencoba untuk mengakhiri hidupnya tapi hal ini tidak berhasil. Sepuluh tahun kemudian ia masuk tentara Belanda dan namanya pun ia ganti mejadi Letnan Mas.
Suatu hari Letnan Mas dikirim bersama pasukannya ke Padang untuk menjajah tanah kelahirannya. Mendengar berita itu disana langsung mengumpulkan warga untuk membentuk pemberontakan anti pajak yang dipimpin Datuk Maringgih.
Letnan Mas akhirnya berhasil membunuh Datuk Maringgih. Namun, Datuk Maringgih sempat menebaskan pedangnya ke kepala Letnan Mas. Letnan Mas terluka parah dan dirawat dirumah sakit. Luka yang diderita Letnan Mas sangatlah parah akhirnya ia pun meninggal dunia. Sebelum meninggal, Letnan Mas sempat meminta maaf kepada Sultan Mahmud dan minta dikuburkan di samping kuburan Siti Nurbaya. Atas kematian Letnan Mas yang tidak lain adalah anaknya sendiri yaitu,Samsul Bahri.
.
hubungan antara judul dan isi dalam novel ini adalah dirasa kurang sesuai. dikarenakan penggunaan judul "Siti Nurbaya" dalam isinya tidak menceritakan tentang Siti Nurbaya secara keseluruhan. melainkan yang hampir keseluruhan cerita adalah datuk maringgi dan samsul bahri.
.
pendekatan yang digunakan dalam novel ini adalah Analisis Novel Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) dengan pendekatan sosiologi . Satra sebagai cerminan masyarakat
Di dalam novel Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) terdapat beberapa cerminan kehidupan masyarakat yang dapat dipertimbangkan baik buruknya (less)
Profile Image for Eko Ramadhan.
20 reviews1 follower
November 30, 2019
Novel ini menceritakan kisah gadis bernama Siti Nurbaya. Siti nurbaya ini adalah anak dari seorang Baginda Sulaiman seorang saudagar kaya. Teman dari Siti Nurbaya yang juga tetangganya yaitu Samsul Bahri. Dia adalah anak dari Penghulu Sutan Mahmud. Sejak kecil mereka sangatlah akrab karena sama-sama orang Padang yang tinggal beretangga. Awalnya hubungan Samsul Bahri dan Siti Nurbaya seperti kakak dan adik saja tetapi setelah mereka beranjak dewasa, Samsul Bahri dan Siti Nurbaya saling jatuh cinta. Tetapi Samsul akan melanjutkan sekolahnya ke Jakarta sehingga ini membuat mereka berdua berpisah.
Usaha yang dimiliki oleh Baginda Sulaiman sangat sukses, ditambah lagi Datuk Maringgih merasa menyukai putri dari Baginda Sulaiman yaitu Siti Nurbaya. Datuk maringgi adalah orang paling kaya yang sudah terkenal hingga ke seluruh negeri. Ia lalu menyuruh anak buahnya untuk menghancurkan usaha dan kekayaan dari Baginda Sulaiman untuk mendapatkan Siti Nurbaya. Hal ini menyebabkan Baginda Sulaiman jatuh miskin. Saat miskin Baginda Sulaiman tidak bisa membayar hutangnya kepada datuk maringgi.
Datuk Maringgih pun mengancam Baginda Sulaiman akan memenjarakannya apabila ia tidak bisa melunasi hutang- hutangnya. Tapi kemudian datuk maringgi memberikan syarat lain yaitu menyerahkan Siti Nurbaya untuk diperistri Datuk Maringgi. Berat hati Siti Nurbaya merelakan dirinya untuk diperistri Datuk Maringgi, Siti tidak tega jika ayahnya dipenjara. Hal ini pun diketahui oleh Samsul yang ada di Jakarta, sontak hal ini membuat Samsul marah kepada Datuk Maringgi.
Pada suatu hari Samsul pulang dan menemui Siti Nurbaya secara diam-diam, pertemuan antara Samsul dan Siti Nurbaya ini diketahui oleh Datuk Maringgi. Hal ini menimbulkan keributan, dan menyebabkan Ayah Siti Nurbaya terjatuh dan meninggal dunia. Siti Nurbaya diusir dari rumah Datuk Maringgi dan pergi kerumah bibinya sedangkan Samsul juga diusir oleh ayahnya karena dianggap bertindak tidak baik dan membuat malu ayahnya. Samsul pun akhirnya kembali ke Jakarta.
SitiNnurbaya ingin sekali menemui Samsul yang ada di Jakarta. Ia kemudian pergi ke Jakarta dengan naik kapal. Tetapi hal ini diketahui oleh Datuk Maringgi dan membuat Datuk Maringgi marah, kemudian ia menyuruh anak buahnya untuk membunuh Siti Nurbaya. Usahanya gagal. Datuk Maringgih masih merasa marah dan tidak puas kepada Siti Nurbaya. Datuk maringgi pun memiliki siasat lain untuk melenyapkan nyawa Siti Nurbaya. Ia menyuruh Pendekar Lima untuk menjual lemang yang beracun kepada Siti Nurbaya. Siti Nurbaya meninggal karena memakan lemang yang beracun itu. Bibinya menjadi sedih dan terpukul.
Kabar meninggalnya Siti Nurbaya terdengar hingga Jakarta. Disana Samsul merasa frustasi atas meninggalnya Siti Nurbaya dan mencoba untuk mengakhiri hidupnya tapi hal ini tidak berhasil. Sepuluh tahun kemudian ia masuk tentara Belanda dan namanya pun ia ganti mejadi Letnan Mas.
Suatu hari Letnan Mas dikirim bersama pasukannya ke Padang untuk menjajah tanah kelahirannya. Mendengar berita itu disana langsung mengumpulkan warga untuk membentuk pemberontakan anti pajak yang dipimpin Datuk Maringgih.
Letnan Mas akhirnya berhasil membunuh Datuk Maringgih. Namun, Datuk Maringgih sempat menebaskan pedangnya ke kepala Letnan Mas. Letnan Mas terluka parah dan dirawat dirumah sakit. Luka yang diderita Letnan Mas sangatlah parah akhirnya ia pun meninggal dunia. Sebelum meninggal, Letnan Mas sempat meminta maaf kepada Sultan Mahmud dan minta dikuburkan di samping kuburan Siti Nurbaya. Atas kematian Letnan Mas yang tidak lain adalah anaknya sendiri yaitu,Samsul Bahri.
.
hubungan antara judul dan isi dalam novel ini adalah dirasa kurang sesuai. dikarenakan penggunaan judul "Siti Nurbaya" dalam isinya tidak menceritakan tentang Siti Nurbaya secara keseluruhan. melainkan yang hampir keseluruhan cerita adalah datuk maringgi dan samsul bahri.
.
pendekatan yang digunakan dalam novel ini adalah Analisis Novel Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) dengan pendekatan sosiologi . Satra sebagai cerminan masyarakat
Di dalam novel Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) terdapat beberapa cerminan kehidupan masyarakat yang dapat dipertimbangkan baik buruknya
10 reviews
Want to read
December 5, 2019
Buku ini diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada tahu 1922. Buku yang berjudul Siti Nurbaya ini berhasil menempatkan diri sebagai puncak roman di antara roman-roman lain yang dianggap orang sebagai puncak roman dalam Sastra Indonesia Modern. Penilaian itu tidak didasarkan pada temanya, tetapi berdasarkan pemakaian bahasa dan gayanya yang tersendiri. Buku ini menggunakan bahasa melayu. Oleh karena itu, orang melayu pasti akan lebih mudah membaca dan segera mengerti isinya. Karena terkenalnya sampai-sampai zaman itu dinamai zaman Siti Nurbaya. Roman karyanya ini berhasil pula merebut hadiah tahunan dalam bidang sastra, yang diberikan oleh pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1969. Dalam karya-karyanya berjudul Siti Nurbaya, Marah Rusli ingin merombak adat yang berlaku pada masa itu dan dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Pelaku utamanya pada roman ini adalah Siti Nurbaya, Samsulbahri, dan Datuk Maringgih.

Membaca roman Siti Nurbaya kita diajak mengikuti liku-liku kehidupan masyarakat Padang pada masa itu, khususnya kisah cinta yang tak kunjung padam dari sepasang anak manusia, Siti Nurbaya dan Samsulbahri. Pengarang, dalam hal ini Marah Rusli sebagai pemuda terpelajar memiliki pemikiran jauh lebih maju daripada masyarakat disekitarnya. Ia telah mengenal tata cara hidup dan kebudayaan asing yang sedikit banyak sangat berpengaruh terhadap jiwanya. Dari dasar itu timbul gejolak pemberontak ingin menerobos adapt lama yang mengungkung dengan ketat dan dianggap oleh Marah Rusli sebagai sesuatu yang tidak perlu terjadi. Marah Rusli ini lahir di Padang pada tanggal 7 Agustus 1889 dan meninggal di Bandung pada tanggal 17 Januari 1968. Pengarang ini telah menamatkan SD di Padang pada tahun 1904 dan menamatkan Sekolah Raja (Hoofdenscool) di Bukit Tinggi pada tahun 1910. Setelah tamat Sekolah Dokter Hewan di Bogor pada tahun 1915, ia diangkat menjadi adjunct dokter hewan di Sumbawa Besar, kemudian (1916) menjabat Kepala perhewanan di Bima. Tahun 1918 pindah menjadi kepala peternakan hewan kecil di Bandung, kemudian mengepalai daerah perhewanan di Cirebon.

Tahun 1919 menjabat kepala daerah perhewanan di Blitar, tahun 1920 menjadi asisten leraar Kedokteran Hewan Bogor, tahun 1921 menjadi dokter hewan di Jakarta, tahun 1925 pindah ke Tapanuli. Sejak tahun 1929 sampai datang revolusi 1945 menjadi dokter hewan kotapraja Semarang. Selama revolusi tinggal di Solo, kemudian bekerja pada ALRI di Tegal. Tahun 1948 diangkat menjadi lektor di Fakultas Dokter Hewan Klaten dan dalam tahun 1950 kembali ke Semarang. Sejak tahun 1951 menjalani masa pensiun di Bogor, tetapi masih tetap menyumbangkan tenaganya di Balai Penelitian Ternak Bogor sampai akhir hayatnya. Di samping profesinya sebagai dokter hewan, Marah Rusli terkenal pula sebagai sastrawan karena romannya yang berjudul Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai). Pengarang mengajak kita untuk memetik beberapa nilai moral dari romannya yang terkenal ini, antara lain :
Demi orang-orang yang dicintainya seorang wanita bersedia mengorbankan apa saja meskipun ia tahu pengorbanannya dapat merugikan dirinya sendiri. Lebih-lebih pengorbanan tersebut demi orang tuanya.
Bila asmara melanda jiwa seseorang maka luasnya samudra tak akan mampu menghalangi jalannya cinta. Demikianlah cinta yang murni tak akan padam sampai mati.
Bagaimanapun juga praktek lintah darat merupakan sumber malapetaka bagi kehidupan keluarga.
Menjadi orang tua hendaknya lebih bijaksana, tidak memutuskan suatu persoalan hanya untuk menutupi perasaan malu belaka sehingga mungkin berakibat penyesalan yang tak terhingga.
Dan kebenaran sesungguhnya di atas segala-galanya.
Akhir dari segala kehidupan adalah mati, tetapi mati jangan dijadikan akhir dari persoalan hidup.
Profile Image for Faiz • فائز.
357 reviews3 followers
March 28, 2025
Berakhirnya novel ini menandakan berakhirlah juga bacaan saya terhadap buku-buku terbitan Balai Pustaka di bawah payung 'Sastra Klasik'. Semoga saya direzekikan memiliki dan membaca lebih banyak sastera klasik Indonesia.

Negara jiran, perkembangan sasteranya lebih memukau dan rencam—dibuktikan dengan banyaknya 'angkatan'; Angkatan Balai Pustaka, Angkatan 45, Angkatan 50 dan Angkatan 60. Setiap 'angkatan' (kelompok) ini mempunyai tujuan dan ciri-ciri penulisan yang tersendiri. Misalnya, Angkatan Balai Pustaka ialah pelopor kepada kesusasteraan moden Indonesia, manakala Angkatan 66, yang diberikan namanya oleh H. B. Jassin bersempena peristiwa rusuhan mahasiswa terhadap pemerintah, bertujuan menghasilkan karya-karya yang lebih banyak menceritakan perihal politik dan pemerintahan.

Dalam kerancakan perkembangan sastera Indonesia ini jugalah wujudnya pembahagian ‘sastera klasik’ dan ‘sastera moden’. Apakah ‘batu sempadan’ kepada pemisahan ini? Sastera klasik itu kebiasaannya prosa berbentuk hikayat, manakala moden pula ditandai dengan karya berbentuk roman. Justeru, dua roman yang sering diperkatakan sebagai pelopor sastera moden ialah novel Sitti Nurbaya yang ditulis oleh Marah Roesli dan Salah Asuhan oleh Abdul Moies.

Berkenaan novel ini (Sitti Nurbaya), penulisannya persis novel-novel lain yang sezaman dengannya: mengkritik adat tradisi yang kolot dan ketinggalan. Dari hal perkahwinan, tanggungjawab lelaki dan perempuan, kedudukan wanita, kekeluargaan, kekuasaan—begitu banyak sekali hal yang diapungkan dalam novel ini. Rasanya, inilah novel ‘Sastra Klasik’ pertama yang begitu banyak sekali mengkritik adat istiadat Minang. Saya mengira Salah Pilih sudah cukup banyak. Rupanya ada yang lebih banyak menabrak adat ini.

Menariknya, kalau kalian membaca novel ini, kalian akan mendapati perkembangan atau perubahan sudut pandang penulis terhadap adat istiadat ini. Misalnya, dalam perbualan Nurbaya dan Alimah (sekitar halaman 260+/-), mereka mempertikaikan lelaki berkahwin empat dan tanggungjawab yang seharusnya dipikul oleh setiap jantina. Ada juga beberapa kesalahan fatal dalam pemikiran kedua-dua watak ini terutamanya berhubung hal agama, namun perkara ini tidak akan diulas. Namun kemudian, menjengah di akhir novel, Samsulbahri mengemukakan pandangan yang lebih lunak berkenaan wanita, misalnya peranan sebenar mereka dalam melayari bahtera rumah tangga. Bentuk perubahan ini mengingatkan saya pada Atheis oleh Achdiat K. Mihardja (ulasan novel boleh dibaca di sini), yang pada awalnya, watak utamanya berpegang teguh dengan socialist-realism, namun bertaubat di penghujung cerita.

Selain itu, walaupun novel ini ditanggapi sebagai ‘batu sempadan’ sastera moden, namun masih ada beberapa ciri klasik yang digunakan sepanjang penceritaan seperti penggunaan pantun yang begitu banyak, nasihat yang disampaikan berbentuk khutbah dan wacana epistolari (surat beberapa kali digunakan untuk memperkembangkan cerita, walau entah benar entah tidak novel ini boleh dikatakan berbentuk epistolari).

Berkenaan jalan cerita, tidak akan diulas di sini kerana tujuan saya membaca novel ini semata-mata ingin mengetahui apakah bentuk “moden” yang dikandung novel ini, selain daripada ingin menyelongkar dengan lebih dalam akan adat orang Minang yang menindas, tidak adil dan kadangkala tidak sejajar dengan syariat.
Profile Image for Yuniar Meilyanti.
15 reviews10 followers
June 23, 2022
“Dijodohkan? Lha, memangnya ini zaman Sitti Nurbaya?” tanya seorang anak gadis masa kini, sewaktu diminta menikahi pria, anak dari kawan orang tuanya.
 
Kesalahpahaman yang menyebar di tengah-tengah masyarakat, termasuk saya sendiri yang menganggap bahwa alur utama Sitti Nurbaya ini adalah tentang seorang gadis yang dipaksa oleh ayahnya mengawini tua bangka harus dirombak.  Baginda Sulaiman, ayah Nurbaya tidak pernah memaksa Nurbaya untuk mengawini Datuk Meringgih. Perempuan itu mengawini Datuk Meringgih murni sebagai keinginannya sendiri untuk menolong ayahnya.
 
Nyatanya, roman Sitti Nurbaya tidak hanya menyoroti isu kawin paksa di Minangkabau kala itu saja, melainkan berisi sindiran dan penampikan Marah Roesli terhadap adat tradisional yang menurutnya kolot. Peranan wanita yang dianggap sebagai kacung pria, pandangan poligami dari sisi wanita, serta toleransi beragama dalam novel ini lebih kuat menurut saya dibanding isu kawin paksa yang dipatok menjadi simbol cerita Sitti Nurbaya ini. Roesli berhasil menuangkan kritikan, sindiran, pemikiran, dan pemahamannya tentang hak-hak asasi manusia yang modern menjadi dialog antar tokoh fiksi ciptaannya. Kekesalan Roesli tertuang jelas pada bab XII yang ia masukkan ke dalam perdebatan antara Ahmad Maulana dan Fatimah yang pasti membuat Anda menganggukkan kepala untuk mengiyakan lontaran Ahmad Maulana. Namun pada bab ini, Roesli seperti terhanyut pada opininya sehingga yang terbaca bukanlah sanggahan dari Ahmad Maulana- si tokoh fiksi novel, melainkan persepsi si pengarang- Marah Roesli sendiri. Walaupun sangat menyenangkan membaca perdebatan antara Ahmad dan Fatimah, serta petuah-petuah dari Ahmad dan juga Nurbaya akan posisi wanita sebagai istri dan ibu dalam rumah tangga, sangat disayangkan karena tidak terasa kalau percakapan itu merupakan pemikiran tokoh.
 
Untuk alur sendiri sangat cepat, saya agak kecewa terhadap narasi novel ini ketika menceritakan kematian tiap tokoh, begitu cepat, menjadikan pembaca tidak sempat untuk berkabung sebab dipaksa untuk maju terus ke konflik berikutnya.
 
Sebetulnya, banyak adegan yang ingin saya bahas, namun karena takut spoiler, akan saya sudahi ulasan ini dengan memberikan tepuk tangan yang sangat tulus untuk pantun-pantun dan diksi yang sangat indah dalam novel ini. Tak heran, Sitti Nurbaya menjadi bacaan wajib untuk sekolah-sekolah. Bab terakhir Sitti Nurbaya ini pula membuat dua lembar tisu dalam kotak tisu saya berkurang.
 
Rate: 4/5, salah satu sastra klasik Indonesia yang patut untuk dibaca!
19 reviews1 follower
Read
December 5, 2019
Novel ini berceritakan tentang sepasang kekasih yang menjalinikatan cinta, dan mereka berdua berjanji akan sehidup-semati. Namunkini janji cinta itu, hanyalah sebuah khayalan, setelah tokoh yangbernama Datuk Maringgih memanfaatkan akal jahat dan liciknya, untukmemperistri Sitti Nurbaya kekasih dari Samsulbahri. Awalnya SittiNurbaya menolak dan tidak mau, tetapi karena ia tidak tega melihatayahnya akan dimasukan kedalam penjara oleh sijahat DatukMaringgih, Akhirnya dengan sangat terpaksa ia pun bersedia menjadiistrinya. Namun isi akhir segala novel ini ialah akhir dalam hidup(kematian). Semuannya berawal dari kejahatan Datuk Maringgih.Pertama, meninggalnya Baginda Sulaeman (ayah Sitti Nurbaya), disusuloleh meninggalnya Sitti Nurbaya dan Sitti Maryam (ibu Samsulbahri).Setelah itu karena pembalasan Samsulbahri kepada Datuk Maringgih,yang akhirnya Datuk Maringgih meninggal. Ia meninggal setelahbertarung dengan Samsulbahri yang pada waktu itu menjadi serdadu(tentara) yang berganti nama Letnan Mas. Namun tak lama,Samsulbahri pun meninggal dunia setelah mendapatkan perlawanandari Datuk Maringgih yang sudah di tembak dengan pistolnya itu.Akhirnya Sutan Mahmud Syah (ayah Samsulbahri) pun meninggal dunia juga karena hidup dalam kesendiriannya.
Dalam novel ini juga, kedua tokoh yang bernama Samsulbahridan Sitti nurbaya bisa dijadikan contoh atau panduan hidup untuk kita.Kita bisa lihat dari kepribadian tokoh Samsulbahri yang mempunyaisifat yang baik hati, berhati mulia, cerdas,dan membela orang yanglemah. Begitu juga dengan tokoh Sitti Nurbaya yang memiliki sifat baikhati, sopan, cerdas dan cantik, selain itu kita bisa lihat bagaimanakeputusan yang diambil olehnya, untuk rela dan ikhlas menjadi istri si jahat Datuk Maringgih, karena ia tidak mau sampai ayahnya dimasukanke penjara olehnya. Namun tokoh yang bernama Datuk Maringgih tidakboleh dijadikan sebagai contoh atau panduan hidup, karena ia memilikisifat yang sangat buruk sekali, Padahal usianya yang sudah lanjut usiaatau bisa di bilang kakek-kakek. kita bisa lihat dengan sifat yang jahatdan licik itu, ia dapat merugikan orang lain, bahkan dirinya sendiri,serta yang ia hanya pikirkan ialah kekayaan, menurutnya barang siapayang melebihi kekayaannya, ia akan memusnahkannya. Jadi, tokohyang bernama Datuk Maringgih jangan dijadikan sebagai panduan atautokoh yang patut di contoh untuk kehidupan kita, karena sesungguhnyaAllah tidak suka kepada hambanya yang berbuat jahat kep
8 reviews
November 7, 2023
Sastra klasik Indonesia sebenernya temanya gitu-gitu aja, tapi justru bikin gampang dibaca dan bisa jadi comfort books. Gaya bahasa yang beda banget sama sekarang—rada lebay tapi tetap terdengar tulus—juga cukup bikin tertarik. Kali ini, novel yang gak mungkin orang Indonesia gak tau, Siti Nurbaya.

Gak ada yang namanya perjodohan di novel ini. Aslinya, Nurbaya malah menawarkan diri untuk nikah sama Datuk Maringgih, ya walaupun terpaksa.

Semua berawal dari dua anak muda, Samsulbahri dan Sitti Nurbaya, yang berteman dari kecil dan jatuh cinta pas dewasa. Hidup mereka mulus-mulus aja, sampai ada orang yang iri sama kemahsyuran ayah Nurbaya dan berusaha menjatuhkan keluarganya. Siapa lagi kalau bukan Datuk Maringgih, si rentenir kaya tapi licik dan pelitnya minta ampun. Keluarga Nurbaya yang bangkrut pun jadi terjebak untuk pinjam uang. Karena gak bisa melunasi utang dan ayahnya diancam masuk penjara, Nurbaya terpaksa menawarkan satu-satunya yang tersisa: dirinya sendiri. Di saat yang sama, Samsu harus merantau ke Jakarta buat sekolah, padahal cinta mereka lagi gila-gilanya. Tau hubungan mereka masih berjalan, Datuk Maringgih yang obsesif selalu berusaha bikin hidup Nurbaya menderita, termasuk harus pisah berkali-kali sama Samsu. Datuk Maringgih, burn in hell!

Bukan cuma tentang perjodohan dan cinta, novel ini juga bahas adat masyarakat dalam rumah tangga dan pandangan mereka tentang perempuan, kita tau masyarakat zaman dulu lebih patriarkis. Di novel ini, kebanyakan orang merasa superior atas aturan adat dan agama mereka. Yang beda dianggap sesat lah, ga taat nenek moyang lah. Tapi beberapa tokoh jelas digambarkan kontra dengan kebiasaan masyarakat kebanyakan yang memang rada gak jelas, kayak poligami yang hampir wajib.

Nurbaya sebagai tokoh utama juga termasuk terpelajar dan bukan perempuan yang nurut-nurut aja. Dia cukup galak dan sempat kabur bahkan. Sayangnya tokoh-tokoh yang pikirannya waras cuma ada di sekitar Nurbaya aja. Kayak, selain keluarga Nurbaya rasanya kok orangnya kolot semua.

Sitti Nurbaya, Kasih Tak Sampai ini jadi salah satu novel terbaik di angkatannya yang bisa dibilang melampaui zaman dan mesti dibaca banget sih.
Profile Image for juwitaju.
37 reviews5 followers
May 7, 2020
Cerita Sitti Nurbaya itu super legendaris. Kalo denger ‘Sitti Nurbaya’, pikirannya pasti langsung tertuju sama perjodohan. Kita mengenal cerita itu dengan konflik perjodohan Nurbaya sama tokoh antagonisnya yg fenomenal, Datuk Maringgih. Tapi sebenernya, konflik yang ada di dalam buku ini lebih dari itu. Memang kok, buku ini pusat masalahnya ada di sana. Di perjodohan Nurbaya, si tokoh utama dengan Datuk Maringgih, orang paling kaya di Padang (kalau di dalam ceritanya). Dari permasalahan itu emang memunculkan banyak konflik-konflik lain. Apa aja konfliknya gaperlu disebutin lah ya nanti sensasi dominonya jadi ‘ketahuan’. Karena kalau dipaparin direview ini bakal panjang sekali bahkan jadinya bukan mengintip jalan cerita lewat review, tapi membuka jalan cerita dalam bentuk spoiler.

Perlu diketahui, pada buku ini Nurbaya bukan tokoh yang lemah dan powerless untuk mengatakan tidak seperti yang digambarkan pada stereotip masyarakat luas. Nurbaya justru tokoh yang kuat, yang mau melawan. Yang mau dan bisa mengambil keputusannya sendiri. Dialog yg dituturkan sama Nurbaya pun terlihat bahwa dia bukan perempuan yang ‘tertindas’ secara cuma-cuma. Walaupun memang sepanjang cerita ini nasib Nurbaya, terutama kisah cintanya sama Samsulbahri, si tokoh utama yang satunya lagi, memang kuncup terus. Gaada mekar-mekarnya. Mekar pun kemakan tanggung bgt.

Di buku ini ada beberapa bab yang terkesan nggak perlu. Tokoh-tokoh yang super nggak penting juga ada, tapi ya tetep berguna buat mengompori sudut pandang pembaca terkait moral value-nya. Moral valuenya bener-bener eksplisit banget juga, bener-bener dituturkan dalam dialog antar tokohnya. Jadi ada kesan tokoh yang menggurui. Ada juga dialog yang isinya balas-balasan pantun dan banyak syair juga buku ini. Tapi jalan ceritanya oke, dan ada lelucon juga dari tokoh-tokoh yang masih muda. Ya fyi guys buku ini banyak bgt nasehatnya yang bisa disebut sebagai ‘cerminan’ dari solusi konflik yang dibangun.
Displaying 1 - 30 of 181 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.