Himpitan keadaan dan tekanan keseharian seringkali menumpulkan niat dan cita-cita. Waktu dan tenaga yang tercurah akan menjadi sia-sia jika kita penuhi dengan penyesalan dan ratapan.
Kita tak menyadari, acapkali kita mengasihani diri sendiri, sedangkan hidup membutuhkan solusi. Saat cobaan tita, kita merasa seakan putaran bumi telah berhenti. Kita gagal mendengar, bahwa di sekitar kita masih saja terurai derai tawa anak-anak tanpa dosa penerus bangsa.
Hidup ini terlalu berharga untuk memberi tempat bagi nestapa, ia terlalu singkat untuk belajar menggali manfaat.
Bacalah hikmah-hikmah yang bertutur di dalam lipatan umur
Ibu, Doa yang Hilang adalah sebuah kumpulan kisah nyata yang dialami oleh penulisnya tentang bagaimana ibunya, seorang single mother yang telah menjadi janda di usia 37, saat penulis masih berusia 8 tahun berjuang membesarkan kedua anaknya dalam kesendirian.
Buku ini memuat 29 kisah inspiratif tentang keseharian yang dialami penulis dengan ibu tercinta beserta keluarganya mulai dari kenangan paling awal ketika keluarga penulis masih lengkap, meninggalnya sang ayah, perjuangan tanpa lelah dan suka duka seorang ibu yang membesarkan kedua anaknya hingga dewasa, hingga kisah bagaimana akhirnya sang ibu berpulang ke haribaan-Nya beserta kenangan-kenangan manis dan teladan yang ditinggalkannya.
Karena ditulis oleh orang yang mengalami langsung dan ditulis dalam kalimat-kalimat yang sederhana tentang kisah-kisah keseharian yang mungkin pernah kita alami juga maka seluruh kisah dalam buku ini terasa dekat dan begitu kuat menyentuh hati pembacanya. Selain itu, seluruh kisah dalam buku ini juga sarat dengan contoh keteladanan figur seorang ibu yang bisa menginspirasi kita semua untuk berjuang tanpa lelah demi anak-anak kita, selain itu
Masing-masing kisah dalam buku ini juga ditulis dengan tidak terlalu panjang sehingga diperlukan waktu yang tidak terlalu lama untuk membaca seluruh kisah inspiratif yang ada dalam buku ini. Sayangnya ke 29 kisah dalam buku ini tidak ditulis secara kronologis waktu sehingga terkesan melompat-lompat, maju-mundur dari satu kisah ke kisah yang lainnya. Yang terasa agak mengganggu adalah di kisah-kisah akhir yang menceritakan masa-masa akhir hidup sang ibunda. Setelah dikisahkan sang ibu telah meninggal tiba-tiba di kisah berikutnya sang ibu diceritakan masih ada. Mungkin akan lebih baik jika kisah-kisahnya disusun berdasarkan kronologis waktu.
Namun terlepas dari hal itu buku ini saya rasa sangat baik untuk dibaca dan dimaknai oleh kita semua baik itu para ibu maupun kita yang adalah anak-anak yang dilahirkan dari rahim seorang ibu. Melalui buku ini kita akan disadarkan akan arti ketulusan cinta suci dan keteladanan dari seorang ibu hingga akhir hayatnya. Selain itu di buku ini ada banyak kutipan-kutipan inspiratif yang juga dituliskan kembali di lembar khusus di setiap akhir kisahnya, hal ini tentunya akan memudahkan kita untuk menemukan dan membaca kembali kutipan-kutipan inspiratif yang ada di tiap kisahnya.
Bagi para orang tua, khususnya para single mother buku ini tentunya sangat mengisnpirasi dan dapat menjadi sebuah penyemangat sekaligus menyadarkan bahwa dalam kondisi sesulit apapun mendidik anak-anak haruslah menjadi prioritas utama dan tugas mulia yang harus terus dilakukan dan diperjuangkan hingga akhir hayat.
“Bukankah Tuhan yang memilihku untuk mengantarmu ke dunia ini. Maka, jika aku mendampingimu dalam mengarunginya, itu bagian dari tugas muliaku”
Saat membaca judul sekaligus quote yang disematkan pada halaman sampul, saya mulai menebak–nebak isinya, sekaligus penasaran sejauh mana buku ini bisa membuat hanyut pembaca dalam setiap cerita yang tertulis di dalamnya. Ppppsssttt… kisah seputaran kehidupan keluarga memang membuat saya menjadi melankolis. Selain yang dekat dengan keseharian, biasanya juga mengingatkan pada orang–orang di rumah.
“Ibu, Doa yang Hilang” adalah kumpulan kisah nyata yang dialami oleh penulis dan ibunya. Kedekatan hubungan penulis dengan ibunya, jelas meninggalkan kesan yang mendalam. Hal itulah yang melatarbelakanginya menyusun buku ini.
Terdiri dari 29 kisah pendek yang diceritakan dengan bahasa sederhana dan sarat akan keteladanan, membuat buku ini cukup menyenangkan untuk dibaca. Mengikuti setiap kisah di dalamnya, pembaca seperti diajak menengok kembali ke masa lalu penulis. Menyaksikan pasang surut kehidupannya dan keluarganya, mulai dari usia anak-anak hingga dewasa.
Memiliki keluarga yang lengkap, berkecukupan, dan harmonis, tentulah menjadi kebahagiaan bagi setiap orang. Pun demikian halnya dengan penulis. Namun, kebahagiaan ini mulai terusik ketika sang ayah meninggal dunia. Kehilangan tulang pungung membuat keluarga ini sempat goyah dan mengalami perubahan besar.
Berbagai permasalahan muncul, mulai dari biaya pendidikan anak-anak, beratnya urusan pekerjaan, sampai permasalahan sosial. Beruntung, semua dapat dilalui dengan baik berkat peranan sang ibu.
Di balik karakternya yang welas asih dan bersahaja, beliau juga termasuk pribadi yang tangguh. Ini ditunjukkan lewat sikapnya yang tegas dan pantang menyerah. Kerasnya kehidupan, himpitan ekonomi, terbatasnya waktu dan tenaga tidak menyurutkan semangat, walaupun beliau harus bekerja sejak pagi hingga malam. Beliau berhasil menghadapi berbagai tantangan dalam membesarkan anak-anaknya dan mengantarkan mereka menjadi sarjana.
“hidup itu seperti cakra manggilingan, le … Kadang di atas, kadang di bawah. Kadang senang, kadang susah. Maka, janganlah kamu terlalu merasakan sesuatu. Terlalu susah tidak baik, terlalu senang juga tidak baik. Semua dijalani sak madya wae … sewajarnya saja”
Nasehat–nasehat semacam itulah yang saya suka dari buku ini. Terasa seperti dinasehati oleh ibu sendiri. Tutur bahasanya sederhana, namun menyadarkan.
Menyimak bagaimana cara sang ibu mendidik anak dengan teladan dan nasehat-nasehatnya, membuat saya teringat pada Mbak Dyaning, khususnya bagian sikap lemah lembut yang njawani.
Sebenarnya kisah-kisah pendek dalam buku ini tidak memerlukan waktu lama untuk dibaca. Namun, penggunaan alur maju mundur – tidak disusun berdasarkan kronologi waktu – yang digunakan pengarang, sempat membuat saya kebingungan dan menerka-nerka, “Ini kapan, ya?”. Misalnya, setelah bercerita tentang kisah penulis sebagai fresh graduate yang belajar hidup mandiri, tetapi pada bab selanjutnya, pengarang justru kembali bercerita tentang masa-masa sekolah.
Terlepas dari kebingungan yang dialami saat membacanya, buku ini tetap menyenangkan. Buktinya, secara tidak sadar, mata saya bisa berkaca-kaca ketika membaca beberapa kisah mengharukan di dalamnya.
Banyak pelajaran berharga yang bisa diambil oleh para orang tua, terutama kaum ibu. Baik itu sebagai sumber inspirasi, mau pun sebagai penyemangat dalam memperjuangkan dan mendidik anak-anak mereka.
Bergejolak. pertama liat buku ini di meja temen kantor, awalnya belom mau baca karna bukunya belom disampul.. ehehe tapi apalah daya takdir Allah bilang aku harus baca buku ini, akhirnya beberapa hari kemudian saat hasrat baca buku lagi tinggi"nya buku ini pun habis dilahap. :D
bergejolak banget baca buku ini, saran sih jangan baca di jalan kalo ga mau diliatin orang gara" nangisin buku. :p yg paling menarik dari buku ini itu quotes" yg penulis tulis di ending bab. simple, dan ngena. :D
sekilas resensi : dikisahkan seorang anak Bagas dan kakaknya yg dibesarkan sendiri oleh Ibunya. Saat Bagas berumur 8th ayahnya yg merupakan mantan TNI meninggal. Dalam kesederhanaan, sang Ibu yg sangan disiplin, tegar, dan pekerja keras mampu menetaskan 2 anaknya menjadi orang.
- saat sebuah buku tidak hanya menjadi pemuas dahaga, tapi juga memberi makna bagi pembaca -
Sebuah bacaan yang ringan dalam hal bahasa maupun dari segi cerita. Buku ini tidak menuturkan ceritanya seperti novel yang bersambung antarbab, namun terputus antara satu bab dengan bab berikutnya, menceritakan kisah yang berbeda-beda tetapi adalah satu bagian, yaitu kehidupan seorang ibu. Kita diingatkan mengenai kasih ibu sepanjang masa, yang beruntungnya dapat penulis rasakan sampai beliau sendiri berkeluarga. Bacaan yang cocok untuk siapapun yang mengasihi ibu mereka, yang berada di dunia maupun di surga.