Jump to ratings and reviews
Rate this book

Gelandangan di Kampung Sendiri

Rate this book
Rasa-rasanya, para pejabat sering salah sangka terhadap rakyat dan dirinya sendiri. Mereka menyangka bahwa mereka adalah atasan rakyat, sementara rakyat mereka kira bawahan. Mereka merasa tinggi dan rakyat itu rendah. Maka, mereka merasa sah dan tidak berdosa kalau memaksakan kehendak mereka atas rakyat. Mereka membuat peraturan untuk mengatur rakyat karena merasa merekalah yang berhak membuat peraturan. Rakyat hanya punya kewajiban untuk menaatinya.

Inilah tatanan dunia yang dibolak-balik. Bukankah hak atas segala aturan berada di tangan rakyat? Kalau rakyat tidak setuju, itu berarti bos tidak setuju. Hamba sahaya harus punya telinga selebar mungkin untuk mendengarkan apa kata juragannya. Maka menjadi aneh jika rakyat terus menerus diwajibkan berpartisipasi dalam pembangunan. Karena rakyatlah pemilik pembangunan.

300 pages, Paperback

First published January 1, 1995

45 people are currently reading
364 people want to read

About the author

Emha Ainun Nadjib

92 books484 followers
Budayawan Emha Ainun Nadjib, kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953, ini seorang pelayan. Suami Novia Kolopaking dan pimpinan Grup Musik KiaiKanjeng, yang dipanggil akrab Cak Nun, itu memang dalam berbagai kegiatannya, lebih bersifat melayani yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Semua kegiatan pelayannya ingin menumbuhkan potensialitas rakyat.

Bersama Grup Musik KiaiKanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Di samping itu, secara rutin (bulanan) bersama komunitas Masyarakat Padang Bulan, aktif mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.

Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah. “Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuat baik sudah berdakwah,” katanya.

Karena itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama istri dan kelompok musik KiaiKanjeng di taman budaya, masjid, dan berbagai komunitas warga tak disebut sebagai kegiatan dakwah. “Itu hanya bentuk pelayanan. Pelayanan adalah ibadah dan harus dilakukan bukan hanya secara vertikal, tapi horizontal,” ujarnya.

Perihal pluralisme, sering muncul dalam diskusi Cak Nun bersama komunitasnya. “Ada apa dengan pluralisme?” katanya. Menurut dia, sejak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme. “Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar,” ujar Emha. Dia dengan tegas menyatakan mendukung pluralisme. Menurutnya, pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam beda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, dengan Hindu. “Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua,” tutur budayawan intelektual itu.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
64 (36%)
4 stars
73 (41%)
3 stars
32 (18%)
2 stars
4 (2%)
1 star
4 (2%)
Displaying 1 - 24 of 24 reviews
Profile Image for Matchanillaaa.
88 reviews1 follower
September 13, 2025
Kumpulan essay ini memuat berbagai isu sosial dan politik bahkan agama. Walaupun penulis mengritik dengan tajam, tapi gaya penulisan yang jenaka dan ringan membuat pembaca enjoy. Rasanya bukan seperti baca koran, tapi seperti membaca kumpulan cerpen yang menampar. Lucu sekaligus menohok.

Terdiri dari empat bagian: pengaduan I, pengaduan II, ekpresi, dan Visi.
Setiap bagian terdiri dari sub bab yang berbeda. Dengan gaya bahasa khas cak nun yang tegas, keras, pedas tapi badas. Membacanya seperti menelan makanan pedas level 1 ke level 5, berawal dari kesadaran sosial dan berakhir dengan tamparan kritik. Dibuat dengan humor yang bisa membuat tertawa tapi miris.

Di bagian pengaduan I, kita diperkenalkan dengan isu sosial buruh dan pembangunan. Di bagian pengaduan II, isu sosial dan politik tersebut bersinggungan dengan agama. Di bagian ekspresi, pembahasan mulai lebih memanas dengan kritik petinggi yang lebih tajam. Membahas sedikit tentang Gus Dur dan persoalan demonstrasi. Di bagian Visi, pembahasan menjadi semakin luas. Isu pembangunan yang lebih dalam, persoalan Guru, KKN bahkan emansipasi wanita.

Setiap bab ditulis dengan ringkas jadi memudahkan untuk mengambil kesimpulan dari tiap sub bab. Bisa di baca acak tiap sub bab. Selama membaca ini aku merasa enjoy dan fleksibel. Rasanya seperti kita duduk di tongkrongan sambil dinasehati langsung oleh penulis.

Essay ini ditulis tahun 95. Bayangkan, di tahun 95 pemikiran-pemikiran ini ternyata related sampai sekarang. Sampai sekarang! Negara kita emang susah untuk maju kalo diisi sama orang-orang unfaedah.
Profile Image for Aya Prita.
168 reviews21 followers
September 17, 2018
"Budaya takut itu menyertai setiap kata yang diucapkan oleh kedua belah pihak, menyertai setiap jejak langkah dan seluruh paket keputusan kedua belah pihak. Yang satu takut pada kekuasaan, lainnya takut kehilangan kekuasaan. Bukankah kita mengetahui sering kali suatu saraf rasa takut justru memproduksi keberanian, sehingga keberanian di situ merupakan ungkapan dari ketakutan? Setiap petinju memukuli lawannya justru karena dia takut kalah"

Walah, Cak. Masih terngiang-ngiang nasehat-nasehatmu, Cak.
Diantara huru-hara skripsi yang mengenai kekuasaan, buku ini tiba-tiba "menampakkan diri" dengan duduk-duduk di rak buku "politik". Tanpa pikir panjang dan membiarkan nasihat temen saya buat beli buku ini (hai mantan ketua), langsung lah saya beli, nggak peduli tinggal uang segitu yang saya punya.

Buku dibagi menjadi empat bagian, begitu juga empat perasaan ala fiksi:

a. Pengaduan I : *mangut-mangut* wow, benar juga, benar juga, benar juga. Nggak nyangka seperti itu...
b. Pengaduan II : *nggangguk-ngangguk dengan semangat* IYA SETUJU CAK
c. Ekspresi : di sini adalah bagian dimana Cak Nun mulai mengritik semuanya dan bersifat sarkas, apalagi sudah mulai membahas mahasiswa alias saya. Saya mulai agak merasa "dipecut"
d. Visi : Inilah mulai muncul bahasan-bahasan tentang mahasiswa serta program KKN, dan wanita modern. OKE FIX SAYA SUDAH DISINDIR DAN SAYA TERSINDIR. Saya akan melanjutkan KKN dan akan menjalankan perintah cak Nun!

Akhir kata, buku ini bukan buku biasa: bukan buku pelajaran, bukan buku bacaan, bukan buku fiksi... Ini panduan hidup. Ini buku panduan untuk hidup dan mendengarkan apa yang dirasakan seluruh rakyat Indonesia, dari tukang semir sepatu hingga lurah, tak pandang buluh siapa kamu: mahasiswa, dosen. Semua perubahan dan kemajuan negara ini bukan akan menjadikanmu gelandangan di negara sendiri, nak.

Yang membuat saya lebih heran lagi: eman banget, buku ini cuma dapat rating 4 di goodreads dari 49 pe-rating, dan hanya dapat 6 review. Ayolah...
Profile Image for Teguh.
Author 10 books335 followers
April 18, 2015
Kata Arswendo, kalau budayawan sudah ngritiki negara dan suasana politik, berarti benar-benar kacau. Karena kelompok yang penuh keikhlasan itu mengkritik benar-benar tanpa pamrih. Dan Cak Nun dalam buku ini benar-benar menjadi 'corong' akan suara-suara orang yang terimpit persoalan dan bingung mau curhat ke mana. Pokok bahasan utama yang dibold dalam buku ini adalah polaritas antara pihak pemerintah dan rakyat. Dua belah pihak tersebut seolah hanya bertemu dalam ajang lima tahunan pemilu. Setelah itu berjalan masing-masing. Pemerintah hidup dengan status priagung dan rakyat kembali dengan hidup nestapanya. Rakyat selalu menjadi objek aneka putusan pemerintah. Akibtanya apa? Penggusuran, kesengsaraan, dan macam-macam. Padahal menurut Cak Nun, Rakyat adalah juragan dan pejabat adalah jongos. Tapi sekarang banyak jongos yang memperbudak juragan.
Jleb banget.

Untuk esai yang ditulis di zaman Orba, dan sekarang menemui pembaca milenium kembali, seolah permasalan negeri ini tidak beranjak jauh dari persoalan dua puluh lima tahun lalu.
Profile Image for Nisrina.
48 reviews14 followers
February 11, 2014
meskipun saya baru membaca buku ini di tahun 2014, masih ada beberapa topik bahasan yang dibahas oleh Cak Nun, yang menurut saya relevan dengan keadaan sekarang. Benar-benar bacaan yang menarik!
Profile Image for nur'aini  tri wahyuni.
894 reviews30 followers
November 22, 2015
4.5

ini karya Cak Nun paling nyenengin saat di baca dari judul yang lainnya. suka sekali penjabaran per babnya, lebih mudah dicerna dan masuk akal. ga ngebosenin juga :)
Profile Image for Ristiyani Wijayanti.
76 reviews5 followers
June 24, 2022
Gelandangan di Kampung Sendiri merupakan produk dari pemikiran-pemikiran Emha Ainun Nadjib yang dikemas dengan gaya khasnya dan dibumbui sedikit unsur jenaka. Buku ini berisi berbagai sindiran terhadap peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat antara tahun 1990an. Yang memang pada saat itu kritik terhadap pemerintah sulit dilakukan.

Buku ini membahas kehidupan manusia dan masyarakat dari semua segi. Dari mulai soal politik, agama, sosial, dan atau budaya. Namun, pembahasan berat itu tidak terasa berat karena dibawakan dengan nyaman dan lugu. Seperti obrolan di warung kopi atau pos kamling.

Tulisan-tulisan Cak Nun banyak memberikan insight baru tentang kepekaan terhadap fenomena dalam masyarakat. Sekaligus refleksi bagi pembacanya untuk lebih peduli tentang hubungan antarmanusia dan kemanusian.
Profile Image for Sry Puteri.
56 reviews
April 21, 2021
Pertama kali membaca tulisan Cak Nun di tahun 2021, kalau boleh saya bilang nuansa kerendahan hati beliau sangat kental. Tulisan dalam buku ini merupakan kumpulan artikel/tulisan beliau yang dimuat di media massa pada beberapa tahun silam. Tulisan-tulisan beliau kritis namun dibungkus dengan menggelitik serta dihiasi dengan beberapa sarkasme yang jenaka. Jika Anda suka dengan gaya tulisan kritis dengan gaya yang cukup humoris, buku Cak Nun satu ini dapat menjadi rekomendasi. Namun, untuk Anda yang lebih senang dengan tulisan analisis mendalam dengan elaborasi berlapis-lapis, buku ini bukan menjadi salah satu pilihan.
Profile Image for Agung Wicaksono.
1,089 reviews17 followers
December 27, 2021
Membaca kumpulan esai dari Cak Nun ini, membuat saya jadi bisa memahami betapa rakyat kecil memang sering mendapatkan ketidakadilan, khususnya dari negara. Apalagi, ketika tulisan ini disusun, konteks waktunya adalah pada zaman order baru, sehingga kita bisa merasa bahwa kritikan kepada pemerintah memang sangat sulit dilakukan. Namun, masyarakat bawah yang dibahas di sini tidak serta merta pasrah kepada keadaan. Ada tokoh bernama pak guru Mataki, ia adalah seseorang yang mencoba membangkitkan semangat di lingkungannya supaya bisa terus aktif dalam menjalani aktivitas sehari-hari dan bersikap kritis terhadap kebijakan atau masalah yang terjadi di lingkungannya.
Profile Image for Rintis Cita.
6 reviews
December 14, 2020
Ini buku cak Nun yang pertama kali saya baca. Saya di buat jatuh cinta oleh gaya menulisnya, juga komentar komentar kritisnya terhadap rakyat dan lingkungan. Dulu saya baca ini saat SMA untuk beberapa bab ada yang masih saya perlu ulang ulang membacanya, karena tidak kunjung faham😅 But it's worth it 👍
Profile Image for Anggita Tyaswuri.
10 reviews80 followers
November 12, 2018
tulisan beliau tentang Indonesia selalu bikin geleng-geleng kepala, entah karena takjub atau karena termakan indahnya dunia. entahlah. tapi super menarik, ditulis tahun 1995 dan permasalah sosial masih relevan sampai sekarang.
Profile Image for Saad Fajrul.
120 reviews2 followers
August 29, 2018
Luar biasa. Dari tulisan-tulisan dalam buku ini saya seperti melihat keadaan Indonesia awal 90an yang mana ternyata tulisan-tulisan tersebut masih relevan sampai hari ini.
Profile Image for Luqmanul Hakim Muttaqin.
79 reviews3 followers
September 14, 2019
Gila! Cak Nun menulis rangkaian esai ini diera 90an, namun pesan yg tersimpan dari tulisan-tulisan tersebut masih sangat relevan dengan kondisi Nusantara saat ini. Gila!
33 reviews
June 23, 2020
Bacaan yang menarik, agak berat sebenarnya memahami isinya tapi dikemas dengan gaya khas cak nun yg santai
Profile Image for Anggi Hafiz Al Hakam.
329 reviews5 followers
June 1, 2015
"Orang lebih takut kepada ketakutan dibanding kepada Tuhan."
Hal. 233


Dinamika sosial berlangsung dari waktu ke waktu. Sejak negeri ini mulai berdialektika dengan kemerdekaannya sendiri. Melalui buku ini, agaknya Emha masih melontarkan kritik sosialnya pada berbagai persoalan pembangunan. Buku ini menghimpun catatan-catatan Emha yang terbit pada rentang tahun 1991-1994 di berbagai media cetak seperti Suara Pembaruan, Suara Karya, dan Surya serta beberapa dokumentasi pribadinya.

Dilema pembangunan yang membawa arus modernitas tidak bisa tidak berhadapan dengan arus kehidupan masyarakat yang masih agraristik. Hal itu masih dapat dirasakan pada konteks kekinian, dimana tidak banyak perubahan yang terjadi sejak buku ini terbit pertama kali pada tahun 1995 hingga kini. Kalaupun boleh menambahi, arus modernisasi dan globalisasi saja yang semakin membawa pengaruh.

Bagian pertama dan kedua buku dinamakan sebagai "Pengaduan I" dan "Pengaduan II". Emha mengumpulkan berbagai pengalaman dan keluh-kesah orang-orang yang mendatanginya. Kemungkinan besar, kalau dilihat dari bahasa penyampaiannya, berasal dari rubrik yang diasuhnya di harian Surya.

Esai-esainya memberi banyak pencerahan sekaligus refleksi tentang nilai dan hubungan kemanusiaan yang kian pudar. Riuh pembangunan telah mengikis kesadaran manusiawi menjadi kepatuhan yang berdasar pada ketakutan. Personally, buku ini juga membuat saya teringat pada kalimat pembuka lirik lagu "Tombo Ati" gubahan Emha dan Kiai Kanjeng.

Dua bab selanjutnya diberi judul "Ekspresi" dan "Visi". Pada bagian inilah Emha menyatakan ketidaksetujuannya pada tatanan birokratik yang terus menerus mewajibkan rakyat berpartisipasi dalam pembangunan. Benturan-benturan dalam masyarakat yang sengaja diciptakan dan dikondisikan dalam menyambut Pemilu 1992 hanyalah contoh kecil.

Emha juga menyertakan contoh bagaimana mahasiswa KKN yang datang dari kota dengan segala keilmuan dan arus modern yang dibawanya berhadapan dengan masyarakat pedesaan yang diwakili Pak Mataki, Bu Limah, dan Pak Dayik. Dialektika antara keduanya menjadi hal yang patut direnungkan bersama.

Apakah semua kemajuan pembangunan ini lantas membuat kita jadi gelandangan di kampung sendiri?
Profile Image for Anis Arafah.
135 reviews24 followers
October 6, 2015
Ini seharusnya update tanggal selesai baca buku, bukan memulai. Tapi tak apalah, akhir-akhir ini aku kerap dijangkit lupa. Melupakan lebih tepatnya. Malah curhat ~~~

Jadi, kenapa bisa memberi empat bintang untuk buku ini? Meskipun topik yang dibahas Cak Nun dalam buku adalah topik yang berkaitan dengan peristiwa yang terjadi pada tahun dimana masanya Cak Nun masih 'muda', namun mayoritas masih relevan dengan kondisi sosial pada tahun sekarang, masa-masanya aku. Beberapa judul artikel dalam buku ini yang isinya rasa-rasanya menyuarakan secara 'nampol' pikiran dan unek-unek ku seperti Darah Dagingku Riba; Orang Kecil, Orang Biasa; Bayi, kok jadi DPR; Lalu Lintas Dunia Ketiga; Egosentrisme; Mengubah Desa, Mengubah Negara; Balada Bu Limah; dan Etos Havara.

Terlepas dari Cak Nun sendiri yang dianggap sebagai kiai edan atau kekiri-kirian atau semacamnya, isi pembahasan dalam artikel beliau ini dapat mencongkel sedikit lubang untuk menumbuhkan kesadaran akan kehidupan masyarakat kecil, kaum bawah, orang desa, orang pinggiran, dan kawan-kawannya. Selain itu, hampir berbarengan dengan pelaksanaan KKN-ku akhir bulan ini, artikel yang menyinggung tentang keberadaan mahasiswa KKN di suatu desa yang hadir dengan setumpuk program kerjanya -Mengubah Desa, Mengubah Negara- terdapat satu sentilan yang membangunkan kesadaran di hati & otak-ku 'Memang tema-tema yang dipilih oleh para mahasiswa itu sering muluk-muluk. Para penduduk kurang paham dan sebagian menjadi apriori' dan 'Payah! Kalau di tingkat desa saja kalian tak berani, bagaimana mau mengubah negara?'. Nah, nampol sekali bagiku yang seorang mahasiswa tingkat akhir. Sudah berbuat, berkarya apa untuk bangsa & negaramu di zaman yang bahkan saat lapar saja tinggal tekan tombol telepon ?!

Pencerahan serius, kan?
Duh, bagaimana bisa mewujudkan agent of change kalau hal-hal seperti ini saja baru sadar sekarang?
37 reviews4 followers
December 7, 2016
Buku yang saya baca ini adalah cetakan 95, diberikan oleh seorang teman asal Jember yang sama-sama nyantri di Jember sekitar tahun 2014- lalu.
Dari pertama dapat buku ini (yang mana aku minta secara paksa lebih tepatnya ;D ), ternyata saya tidak terlalu nyaman mungkin dikarenakan bentuk buku yang sudah lawas.
(Selama ini saya selalumembaca buku EAN yang dicetak ulang). Dan juga tulisan pertama yang berjudul Lingsem yang saya tak kunjung paham bahkan mungkin sampai sekarang.
Tapi baru beberapa waktu lalu, saya tekadkan untuk meneruskan membaca. Dan ternyata, buku Gelandangan di Kampung Sendiri ini 'mudah' sekali untuk dicerna. Termasuk buku yang 'nyaman', karena tidak jarang dengan kemampuan pemahaman saya, saya suka kesulitan memahami tulisan EAN semisal buku Arus Bawah.

Buku Gelandangan di Kampung Sendiri, walaupun tulisan lama. Menurut saya masih amat sangat relevan dengan kehidupan zaman sekarang. Banyak hal-hal yang mencerahkan bagi saya. Misalkan tentang, posisi pemerintah dan rakyat. Yang dari dulu saya sudah tau bahwa rakyat adalah 'bos'. Tanpa tahu betul bagaimana maksud dan operasional yang seharusnya terjadi. Makanya saya 'iya-iya' saja dengan fenomena sekarang :D.
Tapi melalui buku ini saya sangat mendapatkan kejelasan yang dalam, tentang rakyat itu 'bos', dan pemerintah itu 'karyawan'.
Dan juga ada tentang perbedaan sakit dan penyakit, yang sering kali luput.
Tentang bagaimana seharusnya perspektif dan laku mahasiswa ketika kembali ke desa.
Dan banyak lagi, yang luar biasa.

"Sekolah itu bukan untuk naik gengsi, dari 'kasar' menjadi 'halus'. Sekolah adalah arena berlatih agar manusia berkembang menjadi manusia yang memahami kesamaan di antara manusia, serta memiliki etos fungsi bagi masyarakat." hal 274
Profile Image for Qonita .
306 reviews100 followers
February 14, 2021
Kumpulan esai ini ditulis tahun 1995, tapi menohok banget untuk kondisi Indonesia sekarang juga. Yang dikritisi dan diharapkan masih tepat sasaran. Kenapa ya manusia teh gitu-gitu aja terus? Beberapa kutipan favorit:

- Hakikat mogok itu sama dengan hakikat macetnya lalu lintas. Apakah bisa dibuat undang-undang yang melarang jalannya macet?

- Sangat afdal untuk tidak melihat anak-anak sebagai “musuh”, justru pada saat mereka sedang melatih diri menjadi warga negara yang baik, yang peduli terhadap nasib sebangsa, yang cerdas dan kritis.

- Apakah peristiwa individu ataukah kasus sosial? Apakah tindakan saudara-saudari tercinta itu merupakan gejala personal subjektif-ekslusif, ataukah refleksi, atau simptoma dari atmosfer kehidupan umum?

- Apakah para pembunuh itu oknum, ataukah warga dari suatu iklim kolektif? Apakah itu urusan pribadi masing-masing pelaku, ataukah urusan kita bersama?

- Jangan-jangan kita sendiri memang hidup dalam tradisi membunuh orang, memakan dagingnya, mengalungkan ususnya di leher atau mempermainkan penggalan kepalanya—sekurang-kurangnya pada level “perekonomian binatang”, pada “perbudakan politik”, atau sekurang-kurangnya “kanibalisme psikologis dan kultural” yang memang ternyata bukan barang langka dalam praktik kehidupan kolektif kita sehari-hari?
Profile Image for Andika Lesmana.
441 reviews
April 9, 2023
"..Saya pakai kata "tertentu", karena tentulah tidak semua sutradara film kita nelangsa nasibnya.. ..Mereka berkeliling ngamen sudah setahun lebih. Mereka bekerja keras, bahkan ekstrakeras, menangani sampai hal-hal yang paling kasar, dari kota-ke-kota... ..Melayani dengan kesabaran, tetapi juga kadang kegeraman..

..Tidak sedikit pekerja film yang bernasib seperti mereka..

..Dalam situasi seperti itu hanya seorang kreator film genius yang bisa melahirkan film besar. Selebihnya terbagi dua. Yang pertama mengikuti arus pendangkalan manusia dan kebudayaan demi nafkah anak-istri. Yang kedua menjadi gelandangan seperti dua orang yang saya dampingi itu.."
Profile Image for Fadhilatul.
Author 1 book23 followers
April 25, 2012
saya suka buku ini sejak saya SD. buku ini ada di antara buku2 lusuh bapak saya. ketika SD itu saya sempat membaca 1/4 isinya namun ga mudeng sama sekali. dan 14 tahun kemudian kira-kira, saya kembali membaca buku ini, saya gadang-gadang, saya eman-eman. namun sayangnya... ketika saya pergi ke Gorontalo, buku ini hilang disana. hikzzzzz sungguh berat untuk saya. semakin menyesal ketika bapak saya bilang kalau buku ini merupakan pemberian langsung cak nun. hikxxx-hikzzz. :(

semoga saya bisa dapat buku ini lagii.... aaamiin....
Profile Image for Gie.
149 reviews20 followers
April 30, 2016
kusempet bacanya saat menjelang tidur. ada bagian yang mbuatku manggut, ketawa, kemudian kunyesek. tapi isi tulisannya banyak banget, jadi gak bisa inget secara terperinci (ya yang nyuruh rinciin sapee juge) :D
Displaying 1 - 24 of 24 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.