Penulisan sejarah di Indonesia selama ini lebih menitikberatkan pada kelompok-kelompok kelas bawah pedesaan dengan fokus utama pada pemberontakan petani. Rakyat miskin kota dengan ini seakan-akan terlupakan, padahal sejak awal abad ke-20, kota-kota di Indonesia telah beranjak menjadi kekuatan tersendiri yang turut andil dalam menggerakan sejarah Indonesia.
Buku ini secara komprehensif mengulas dinamika aksi rakyat miskin kota Surabaya –salah satu kota besar terpenting semasa Hindia Belanda maupun Indonesia pascaproklamasi—dalam memperjuangkan hak atas ruang hidup mereka di kota. Bayang-bayang perebutan ruang selalu terjadi dari waktu ke waktu baik antara pendatang dengan penduduk setempat, pendatang dengan pendatang, rakyat miskin dengan institusi negara, serta antara rakyat miskin dengan kelompok-kelompok lain.
Studi mengenai rakyat miskin perkotaan sebagian besar menyimpulkan bahwa mereka selalu kalah oleh kekuatan dominan. Namun, pengalaman rakyat miskin di kota Surabaya selama kurang lebih lebih enam puluh tahun membuktikan bahwa mereka ternyata mampu menjadi kekuatan dominan yang turut memengaruhi proses perkembangan kota tersebut.
Buku ini penting dibaca terutama karena masalah ruang semakin menjadi persoalan genting di kota-kota besar Indonesia saat ini.
Sebuah eksplorasi dan penelusuran yang amat detail dari arsip dan sumber-sumber sezaman ihwal keberadaan kaum miskin kota di Surabaya abad 20, dan terutama cara mereka berkontestasi untuk merebut ruang hidup di kota besar tersebut. Perebutan yang terutama didasarkan atas kebutuhan tempat hidup maupun untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi sehari-hari dari kelompok yang keberadaannya selalu terpinggirkan dan seolah tidak diinginkan keberadaannya. Sebagai sebuah buku yang bermula dari disertasi, Purnawan melakukan penelusuran yang betul-betul dalam, terutama disokong dengan berbagai potongan informasi dan berita dari surat kabar sesrta arsip-arsip pemerintah kolonial maupun Indonesia merdeka. Studi yang dilakukan Purnawan ini kemudian dengan gamblang menunjukkan bahwa problem kemiskinan, ketimpangan dan perebutan ruang hidup di perkotaan, yang dalam hal ini spesifik membahas Surabaya, menunjukkan bahwa sejatinya tidak banyak yang berubah dari pemerintahan kita dalam mengatasi problem masyarakat umum. Pendekatan yang digunakan untuk pengentasan kemiskinan dan ketimpangan ini nyaris selalu sama, dan selalu berakhir pada tidak terselesaikannya problem tata ruang dan tata kota yang sudah mengakar jauh sejak beberapa abad sebelumnya. Pemerintahan kita nyaris tidak belajar ataupun berefleksi dari keadaan dan kondisi di masa lalu. Sedikit kritik terhadap buku ini, nampaknya analisis terhadap berbagai sajian objek material yang amat melimpah masih kurang dilakukan. Tulisan di dalam ini, kendati detail dan cukup lengkap, masih terlalu banyak yang bersifat deskriptif semata. Namun sulit dimungkiri bahwa Purnawan telah memberikan sumbangan yang cukup penting dalam historiografi Indonesia, terutama pada caranya "mengangkat" kisah kaum yang selama ini kerap termarjinalkan dan seolah tidak memiliki tempat maupun suara dalam narasi sejarah Indoensia.
Salah satu buku tentang sejarah perkotaan yang sangat brilian mengurai permasalahan sosial yang tidak terkekang oleh ruang dan waktu, yang artinya permasalahan yang diangkat buku ini masih tetap menjadi bahaya laten urusan tata kelola kota. Itu keunggulan buku ini.
Selanjutnya, kita sudah terlalu muak mengenai arus kepenulisan sejarah Indonesia yang selalu menulis dari atas. Dalam artian, orang-orang kelas menengah ke bawah tidak pernah mendapatkan porsi yang cukup besar dalam historiografi Indonesia. Pada buku ini, semua anggapan tersebut dibalikkan.
Melalui buku ini juga kita belajar bahwa bukan hanya Jakarta, melainkan seluruh kota dibuat hanya untuk kepentingan penguasa atau setidak-tidaknya guna membikin nyaman segelintir golongan yang mampu memberikan keuntungan bagi penguasa.
This book reminded me a LOT about my college days as an urban and regional planning student who studied in Surabaya. Finishing it makes me think about the dark history of the city itself which is often portrayed as a vibrant urban area in East Java. Non-formal settlements were demolished massively in the name of urban renewal yet other solutions did not able to solve the root cause inclusively.
Buku ini membawa saya dalam pemahaman sejarah negeri ini lewat kota Surabaya, tetapi saya rasa hampir mirip dengan kota-kota lainnya. Istilah setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya sangat benar. Bagaimana masa transisi pada zaman Jepang banyak mengubah tata kota.
Buku ini dibuka dengan kisah apik yang mengisi ruang hidup dan mati.
Pada awal 1970-an, dalam rangka pembuatan film berjudul Marabunta yang berlokasi di kota Surabaya, diperlukan sebuah adegan perkelahian di kuburan yang sepi dan terkesan angker. Kru film memutuskan mengambil gambar di makam Kembang Kuning, yang akan dilakukan lewat tengah malam. Mereka berharap akan menemukan suasana yang menyeramkan sesuai tuntutan skenario, dan juga agar proses pengambilan gambar tidak diganggu oleh orang-orang yang tidak diinginkan. Alih-alih mendapatkan suasana kuburan yang sepi dan menyeramkan, ternyata proses pengambilan adegan perkelahian menjadi tontonan para penghuni kuburan Kembang Kuning.
Manusia-manusia kuburan yang menjadi penonton proses pengambilan gambar untuk film itu adalah kelompok penduduk miskin kota yang tersisih dari kehidupan yang wajar dan tidak memperoleh ruang yang layak di kota Surabaya. Dengan kata lain, mereka adalah kelompok masyarakat yang kalah ketika memperebutkan ruang-ruang yang layak dan manusiawi di belantara kota. Ketika mereka tidak mampu mengalahkan “manusia yang hidup,” maka jalan satu-satunya adalah mencoba mengalahkan manusia yang telah mati, yang dalam pikiran rasional tidak mungkin melakukan perlawanan.
Pembukaan di atas menjadikan buku ini membuka mata, bagaimana lemahnya kita dalam sudut pandang kuasa dan harta.
Menurut saya, membaca buku terkait isu2 urban membuat saya menjadi "semakin kaya". Kaya di sini karena memahaminya bisa dilihat dari banyak perspektif multidisiplin (sejarah, antropologi, kebijakan publik, hukum, sosiologi, perencanaan kota, arsitektur, bahkan psikologi). Buku ini adalah salah satu buku yang berhasil memperkaya perspektif pembacanya. Secara spesifik mengulas bagaimana relasi antara pemerintah (baik pemerintahan di masa kolonial, kependudukan jepang, hingga pasca kemerdekaan), pihak swasta, dan rakyat (dalam hal ini rakyat miskin) di Kota Surabaya. Tingginya tingkat urbanisasi yang tidak terbendung, berbanding terbalik dengan ketersediaan ruang untuk bermukim. Umumnya, para pelaku urbanisasi adalah rakyat miskin pedesaan yang mencari peruntungan untuk menyambung hidup di kota. Kota dilihat sebagai tempat yang menawarkan kesempatan baru dengan pilihan okupansi yang bervariasi. Namun, keterbatasan skill yg dimiliki akhirnya menyebabkan mereka hanya mampu bekerja sebagai tenaga kasar atau pekerja sektor2 informal yang menghasilkan penghasilan kurang layak. Dengan penghasilan yang tak seberapa itu, tinggal di gubuk-gubuk tengah kota ataupun ruang publik lainnya seperti jalanan maupun tempat2 pemakaman menjadi satu2nya pilihan. Upaya rakyat miskin untuk menjadi bagian dari penduduk Kota Surabaya digambarkan dengan dinamika yang berbeda oleh penulis: defensive (tahun 1900 hingga masa kependudukan jepang dan ofensive (pasca kemerdekaan hingga tahun 1960an).
Buku yang sangat menarik memadukan sejarah dengan kepekaan terhadap peran rakyat miskin dalam perebutan ruang kota. Menarik karena jadi tau banyak mengenai gejolak sosial masyarakat Kota Surabaya dari zaman Hindia Belanda hingga pasca kemerdekaan. Banyak sekali pengetahuan baru yang didapat dari buku ini terutama mengenai sistem pemerintahan sejak zaman Hindia Belanda, fenomena-fenomena berkaitan dengan perebutan ruang kota oleh masyarakat miskin seperti serobotan, hingga ternyata banyak kampung di Surabaya yang dulunya adalah tanah bekas makam. Banyak juga dijelaskan beberapa fenomena bertahannya masyarakat saat penjajahan. Menarik juga mengikuti sejarah perebakan Kota Surabaya yang mempengaruhi perluasannya batas-batas kota.
Salah satu hal yang paling diingat dari buku ini bahwa pesannya adalah selama ini perebutan ruang kota sekadar antara pemerintah dan swasta melawan masyarakat miskin. Alih-alih memikirkan perbaikan dan keterjaminan masyarakat untuk mendapat hak hidup utamanya, pemerintah seolah sering mengeluarkan kebijakan represif atau kebijakan lain yang justru menguntungkan masyarakat kelas atas. Masyarakat miskin hanya dianggap penyakit sebuah kota tanpa dipikirkan solusi dalam mengentaskan kemiskinan itu sendiri, atau dalam hal ini keterjaminan dan keadilan dalam mengakses ruang kota sebagai tempat berhuni. Buku yang sungguh menarik karena mengupas sejarah kota dari perspektif masyarakat miskin yang selalu termarjinalkan.
🏙️Berbicara ttg ruang di kota besar, salah satunya yaitu Soerabaia dg sejarahnya yang panjang dari masa kolonial, tak luput lepas dari persoalan agraria yang memberi imbas ke penduduk yg sudah menetap bahkan bagi para imigran (dari desa) yg ingin mengais takdirnya menuju ke kehidupan yg lebih baik lagi dikota besar. Akan tetapi, mengaca dengan kondisi era kolonial, jika pada masa kolonial rakyat miskin adalah produk dari kapitalisme, maka pada awal kemerdekaan rakyat kiskin adalah produk dari sistem politik yang mengalami anomali. Padahal sebagian besar rakyat miskin membayangkan bahwa kemerdekaan politik akan sejalan dg kemerdekaan sosial dan ekonomi. Dan semua itu hanya khayalan belaka oleh mereka yg menaruh harapan terlalu besar ke negara. 🌃
Perbedaan pandangan antara negara dg rakyat berkaitan dg pemanfaatan ruang kota diperparah dg ketidaksigapan negara utk menciptakan regulasu atas ruang kota, bahkan sampai detik ini. 👏🏻🫥
Buku bagus!! Padat dan sejenak jadi berpikir betapa rumitnya penataan sebuah Kota dg struktrural yg dikejar oleh kondisi lingkungan yg riwueh dan kondisi politik yang membabi buta😵💫
Karena buku ini, saya jadi punya apresiasi besar terhadap kampung yang saya tinggali dan kota kelahiran saya yang ngga sudi saya tinggal pergi demi mencari cuan. Buku ini telah membuka mata saya lebih lebar dan juga mengenali tokoh-tokoh yang selama ini cuma hanya jadi nama jalan.
Kota yang saya tinggali sudah melewati banyak cerita, banyak perjuangan. (dan ancen penjajah iku ancok pol).
Namun, untuk masalah teknis, ini yang perlu saya highlight: 1. Alur ide loncat-loncat. 2. Kualitas gambar; saya perlu melototin gambarnya biar kelihatan. 3. Bahasa Belanda-Jawa banyak yang belum diterjemahkan. 4. Minim penjelasan untuk istilah asing atau berantakan penempatannya. Seperti, di depan udah disebutkan istilah tertentu tanpa penjelasan dan penjelasannya baru bisa ditemukan di dua bab selanjutnya. Atau ada istilah asing yang ngga ada sama sekali penjelasannya.
Untuk orang awam seperti saya, buku ini informatif tapi masih ada beberapa hal yang saya harus perlu buka Google lagi untuk tahu lebih jauh.
Suka sekali dengan penyajian narasinya yang kronologis dan detil. Dinamika perebutan ruang kota Surabaya digambarkan penuh kontestasi dan dilema, antara publik dengan privat, hak kolektif dengan hak asasi pribadi—ditambah ruwet dengan sistem birokrasi dan pengelolaan kota yang rigid. Ini literatur yang bisa dibilang 'rare' karena nggak banyak yang bahas tentang dinamika masyarakat miskin di perkotaan, dan bagaimana mereka bisa 'menguasai' ruang yang umumnya didominasi kuasa pemerintah sebagai para perencana ruang kota. Ciamik, seru, dan faktual!
membaca buku ini jadi tahu mengapa lebih banyak pekerja informal, seperti pedagang kaki lima di trotoar, depan pasar, di dekat lapangan, danau, masjid, dan tempat-tempat ramai lainnya, ketimbang pekerja formal. Hal ini disebabkan tingkat pendatang di Surabaya yang meningkat yang tidak bisa mendapatkan pekerjaan formal. Hal ini juga bisa ditemukan di daerah lain. Populasi yang meningkat tidak sebanding dengan peluang kerja formal yang didapatkan sehingga mau tidak mau mereka harus bekerja informal. Sampai hari ini masih related.
Buku ini bagus dibaca buat yang memang mencari data penelitian (lengkap banget), tapi mungkin kurang mengalir narasi berceritanya. Perbedaan perspektif pemerintah (mewarisi sistem Belanda) dan rakyat (merasa kita udah merdeka, yuk bebas ngapain aja) jadi membentuk konflik.
Masih banyak PR yang harus dilakukan pemerintah bersama expert di bidang-bidang ini. Sebagai orang awam, cuma bisa memahami ini ribet dan ruwet banget penyelesaiannya.
Penjabaran yang cukup detail tentang bagaimana entitas besar bernama kota mengalami transisi penguasaan ruang yang tak lepas dari pengaruh sosial-politik di masa kolonialisme hingga periode awal sebuah bangsa berdiri. Suatu hal yang sekiranya patut dipelajari oleh masyarakat setempat, senantiasa hidup sejarah lokal.
Ternyata sevital itu Ruang dalam kehidupan. Buku ini memang tentang perebutan ruang, tapi kalau tidak ditekankan di judul, bisa saja ini buku tentang lahirnya kemiskinan. Sedekat itu hubungan keduanya. Cukup mencerahkan, apalagi tiba-tiba muncul isu yang relevan *senggol turis-turis settler*. Jadi menyadari juga bahwa sepertinya aku cukup cocok dengan format report. Walaupun datanya langsung meluncur keluar otak, serasa aman dan terpercaya kalau banyak literatur yang disitasi.
Penuh data, sitasi, rujukan buku dan interpretasi penulisnya membuat buku ini ada bobotnya. pbajasan tentang kaum miskin dalam memgkonstruksi sejarah kota surabaya patut diapresiasi. jarang2 ada sejarawan yg berfokus pada peran orang2 pinggiran dalam panggung sejarah nasional.
Buku yg sejatinya merupakan disertasi penulis di UGM ini memberikan gambaran nyata betapa perebutan ruang kota itu tidak sekedar masalah tanah, tetapi melibatkan banyak hal seperti politik kekuasaan, kebijakan pemerintah, sosial ekonomi, pendidikan dan tingkat kesadaran masyarakat.
Masalah tanah atau agraria, adalah masalah banhsa ini yg belim kunjung teratasi.
Sebuah buku yang penting untuk dibaca. Paling tidak untuk memahami apa yang terjadi pada masyarakat miskin di Surabaya - yang sangat mungkin juga terjadi pada masyarakat miskin di kota-kota lain. Segelintir orang dalam masyarakat telah menguasai tanah dan memanfaatnya secara eksploitatif sehingga rakyat miskin tanpa kuasa tergusur. Tergusur kemana? Ke sudut-sudut kota, ke kolong-kolong jembatan, ke bantaran-bantara kali, juga ke bedeng-bedeng kumuh.