Jump to ratings and reviews
Rate this book

Bulan Nararya

Rate this book
Novel ini memenangkan Juara III Kategori Novel Kompetisi Menulis Tulis Nusantara 2013 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

* * *
Aroma mawar makin tajam tercium.
Aku menundukkan kepala, gigi gemeletukan. Rahang saling beradu. Kedua kaki berdiri tanpa sendi, namun betis mengejang kaku. Berpegangan pada kusen pintu, perlahan tubuh melorot ke bawah. Ada sebaran kelopak mawar tercabik hingga serpihan di depan ruang kerja. Sisa tangkai dan batang serbuk sari teronggok gundul, gepeng terinjak. Cairan. Cairan menggenang, berpola-pola.

Aku bangkit, terkesiap. Otakku memerintahkan banyak hal tumpang tindih. Lari keluar, berteriak. Atau lari ke dalam, mengunci pintu. Atau lari masuk, menyambar telepon. Tidak. Anehnya, intuisiku berkata sebaliknya. Tubuhku berbalik, meski melayang dan tremor, dengan pasti menuju tas. Merokoh sisi samping kanan, hanya ada pulpen dan pensil. Merogoh sisi kiri, ada tas plastik kecil, bekas tempat belanjaan yang kusimpan demi eco living.

Segera kuambil tas plasting kecil, membukanya, menuju ke arah pintu.

Halusinasiku menemukan jawaban.

* * *

Novel ini berkisah tentang Nararya, seorang psikolog yang menjadi terapis di mental health center. Menerapi para pasien skizophrenia. Uniknya, meski dia berhadapan dengan manusia-manusia tak normal, Nararya yang kehidupan rumah tangganya berantakan, justru menemukan kebahagiaan.

256 pages, Paperback

First published September 1, 2014

11 people are currently reading
155 people want to read

About the author

Sinta Yudisia

46 books93 followers
Penulis asal daerah poci Tegal ini, punya nama lengkap Sinta Yudisia Wisudanti. Penulis pernah kuliah di STAN Jakarta sampai tingkat II, mengaku aktivitas tulis menulisnya sebagai bentuk penyaluran dari hobinya berkorespondensi dan membaca. Tak heran kalau tulisan-tulisan fiksinya sangat beragam mulai melodrama, komedi, science fiction, historical fiction, sampai cerita-cerita perjuangan dengan latar dalam dan luar negeri yang kerap menghiasi berbagai media cetak, terutama majalah Annida.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
43 (30%)
4 stars
69 (48%)
3 stars
25 (17%)
2 stars
4 (2%)
1 star
1 (<1%)
Displaying 1 - 30 of 64 reviews
Profile Image for Harumichi Mizuki.
2,430 reviews73 followers
September 17, 2020
Membaca novel ini untuk kedua kalinya membuatku lebih menyadari betapa lihai Mbak Sinta Yudisia menjabarkan berbagai kondisi psikis baik soal kegundahan hati, kecemburuan, sampai sensasi rasa sakit yang dialami orang-orang dengan skizofrenia. Masyaallah. Uraiannya dengan menggunakan campuran antara bahasa metaforis yang tidak bertele-tele justru bisa menggambarkan semua sensasi itu secara lebih riil. Menempa empati para pembaca yang mau teliti menyusuri kata demi kata yang dipilih untuk menyampaikan pesan-pesan yang biasanya akan terasa rumit jika dijabarkan dalam buku-buku teks psikologi.

Uraian lebih lengkap semoga bisa segera menyusul. Sepanjang membaca buku ini sejak beberapa bulan yang lalu, aku terus menggarisbawahi dengan tinta oranye kalimat-kalimat informatif yang bisa membantu lebih memahami soal kondisi orang-orang seperti Yudhis, Pak Bulan, dan Sania yang diberi ujian skizofrenia. Rasanya ingin membacanya lagi dari awal untuk menelusuri kembali info yang sudah kukumpulkan di sepanjang bab-babnya.
Profile Image for Hairi.
Author 3 books19 followers
December 29, 2015
Psikologi, Cinta, dan Obsesi dalam Bulan Nararya

Latar belakang profesi merupakan salah satu hal yang bisa menjadi kekuatan sebuah novel. Apalagi jika profesi tokoh dalam novel tersebut menyatu dalam cerita. Saling dukung antara cerita yang berjalan, karakter tokoh-tokoh di dalamnya, juga profesi yang ditekuninya. Pembaca pun tidak hanya mendapatkan jalinan cerita demi cerita, tapi ilmu pengetahuan baru yang akan menambah wawasan.

Nararya atau yang biasa dipanggil Rara adalah seorang terapis dengan latar belakang pendidikan ilmu psikologi di sebuah mental health center di kota Surabaya. Suatu hari Nararya membuat terkejut pimpinannya di tempat ia bekerja karena ia menghentikan pengobatan agar para pasien tidak akan pernah relapse atau tak akan pernah tergantung pada apa pun.


Metode yang diusulkan Nararya adalah transpersonal di mana menurut Nararya dengan terapi itu pasien akan sembuh total dan tidak kambuh. Tidak tergantung lagi pada siapa pun dan bisa kembali utuh ke tengah keluarga dan masyarakat. Metode transpersonal adalah suatu aliran baru psikologi (sebelumnya hanya psikoanalis, humanistic, behaviors) yang menyembuhkan penderita gangguan mental dengan pendekatan budaya, pengalaman puncak seperti Sufi, Shaman, Tao, Tantra, Zen. Apa yang dikemukan Nararya mengagetkan Bu Sausan sang pemilik klinik kesehatan mental dan juga Moza, yang dulu adalah sahabat sekaligus rekan kerja Nararya.

Nararya berharap obat antipsikotik atau obat neuroleptik tidak ditelan seumur hidup oleh para pasien. Karena dulu obat ketidakwarasan itu dipenuhi pemerintah, tapi sekarang tidak lagi. Dampak orang yang telah bergantung dengan obat tersebut dan tidak mampu lagi membelinya itulah yang menjadi pikiran Nararya. Sebab itulah ia memberikan wacana untuk berusaha mengupayakan jenis terapi baru.

Di klinik ada tiga klien atau pasien yang dekat dengan Nararya. Yang pertama adalah Sania, seorang gadis kecil yang memiliki masa kecil tragis dan ditemukan dinas sosial di terminal dengan kondisi yang menggenaskan. Sania berpindah dari satu tempat ke tempat lain hingga tiba di pusat rehabilitasi di mana Nararya bekerja.

Orang kedua yang menyambut Nararya spesial adalah seorang laki-laki berusia 70 tahun yang dipanggil Pak Bulan. Pak Bulan adalah seorang penghuni lembaga permasyarakatan yang ditangkap dengan tuduhan pencurian. Di rumah tahanan, kemampuan akal Pak Bulan menurun drastis. Bagi orang lain Pak Bulan gila, bagi Nararya terkadang ucapan anehnya adalan inspirasi.

Yudistira adalah sahabat ketiga Nararya. Sahabat sekaligus klien buatnya. Seorang lelaki muda simpatik yang sering menenggelamkan diri dalam lukisan. Nararya juga merasa aneh karena ia mendapatkan kebahagiaan bertemu dengan ketiga kliennya itu. Sampai kemudian ia menyadari orang-orang dengan kekurangan fisik dan mental adalah manusia paling jujur dan welas asih.

Perjuangan tak selaku mulus. Demi mewujudkan keinginannya untuk melakukan metode transpersonal, Nararya menghadapi tantangan demi tantangan. Keraguan pihak keluarga klien pun keraguan dari rekan kerjanya. Belum lagi masalah pribadi yang menimpa Nararya.

Pasca berpisah dengan suaminya, Angga, setelah menikah selama 10 tahun, Nararya harus mengatasi perasaan kehilangan. Apalagi ia merasa masih menginginkan sang mantan suami ada di sampingnya. Hal yang memperkeruh suasana hati Nararya justru datang dari Moza, sahabat sekaligus rekan kerjanya, tempat ia melarung curahan hati tersebut justru menjadi wanita selanjutnya buat sang mantan suami. Bukan hal yang mudah buat Nararya menghadapinya sekalipun ia adalah seorang terapis yang terbiasa menghadapi orang-orang bermasalah.

Suatu ketika Nararya melihat kelopak-kelopak mawar berserakan dan genangan darah di depan ruang kantornya. Sesuatu yang menbuat ia ketakutan dan membuat ia merasa berhalusinasi. Karena setelah di tengok kembali, semua yang dilihat Nararya sebelummya lenyap tak bersisa. Misteri kelopak mawar dan genangan darah ini menghantui pikiran Nararya.

Semua masalah pun membebani pikirannya. Tentang metode transpersonal yang coba ia perjuangkan, masalah ia dengan Angga juga Moza, mantan suami dan seorang sahabat di masa lampau, juga tentang dugaan halusinasi yang dialaminya serta klien-klien dan permasalahan di klinik yang juga ikut menyita perhatiannya. Bersama Nararya dalam sebuah karya berjudul Bulan Nararya ini kita akan mengikuti kisah lika liku kehidupan seorang terapis dan lebih mengenal ODS, Orang Dengan Skizophrenia.

Skizophrenia adalah orang-orang dengan gangguan struktur otak dan beragam tekanan luar biasa dalam hidup yang menyebabkan mereka kehilangan kemampuan berpikir normal dengan salah satu cirri yang spesifik : halusinasi. (Halaman 18)

***

Sinta Yudisia kembali dengan karya yang sarat dengan ilmu yang baru digelutinya yaitu Psikologi. Bulan Nararya adalah sebuah karya yang kental dengan ilmu psikologi dengan menjadikan sang tokoh sebagai seorang terapis di mental health center. Ilmu psikologi yang ada di sini bukan tempelan belaka karena ia menyatu dengan karakter dan konflik di sepanjang cerita. Pembaca pun bisa menambah wawasan dan informasi terkait beberapa hal. Seperti penyakit skizophrenia dan hal-hal lain yang bisa diterapkan pembaca dalam kehidupan. Misalkan saat Nararya berbicara dengan Diana, istri dari Yudhistira di haaman 44.

Untuk menenangkan emosi seseorang, kita harus mencoba menangkap apa yang dirasakan. Membantu menangkap perasaan seperti marah dan sedih akan membantu secara jujur menemukan inti permasalahan. Perasaan buruk tak harus selalu disangkal. Mengakuinya jauh lebih baik untuk mulai memperbaiki apa yang masih bisa diluruskan.

Atau ketika Bu Sausan mengingatkan Nararya di halaman 85 saat Nararya merasa terbuai dengan perhatian Angga.

“Otakmu harus diasah oleh hal-hal berbau kognisi, bukan senantiasa memelihara memori.”
Mematikan memori adalah cara bypass melupakan sakit hati.

Dalam novel ini, cerita bergulir ketika Nararya ingin melakukan metode baru untuk pasien skizophrenia. Hal ini sepertinya adalah gagasan penulisnya yang ingin disampaikan ke masyarakat, menulis memang cara jitu untuk menyampaikan gagasan. Semoga dengan membaca novel ini membuat pembaca menjadi lebih paham dengan metode transpersonal.

Kepiawaian Sinta Yudisia dalam mengemas cerita memang layak diacungi jempol. Termasuk dalam teknik kepenulisan yang kerap ditekankan para ahli yaitu show don't tell. Dalam novel ini kita bisa menemukan bagaimana diksi yang dipilih oleh penulisnya begitu memukau. Semisal untuk menggambarkan matahari terbit, penulis menggunakan istilah ‘bundaran kuning telur raksasa keluar dari balik benua’ atau saat mendeskripsikan tentang senyum yang memudar, penulis justru menggunakan kalimat ‘lengkung bibir memudar’.

Salah satu hal yang paling menentukan dari sebuah karya adalah tendangan pertama atau bab pertama dari sebuah novel. Bagaimana bab pertama ini bisa menarik minat pembaca. Di bulan Nararya ketika membaca bab pertamanya kita sudah melihat tokoh-tokoh yang akan mewarnai jalan cerita. Nararya, Bu Sausan, Moza, Angga, Sania, Yudhistira, Pak Bulan, dan konflik yang sudah digulirkan di awal bab yaitu tentang metode transpersonal. Bagus memang tapi karena banyaknya tokoh semua terasa berjejelan. Ada baiknya dipecah menjadi satu sampai tiga bab dan tokoh per tokoh diceritakan lebih rinci di satu scene tanpa dijejalkan semuanya di bab pertama,

Jika pembaca sudah membaca Rinai, karya lainnya dari Sinta Yudisia yang juga berlatar ilmu psikologi, maka akan menemukan pola yang sama dari tokoh ceritanya antara Rinai dan Bulan Nararya. Seorang yang bekerja sebagai psikolog, punya saingan dan rekan kerja wanita juga atasan seorang wanita yang sudah senior juga superior. Untuk karya selanjutnya, saya berharap penulisnya tidak memakai pola yang seperti ini lagi walau tetap berharap penulisnya mengupas ilmu psikologi dalam ceritanya.

Hal yang mengganggu dalam novel ini yaitu tidak adanya judul bab per bab. Bukan hal yang wajib tentunya dalam sebuah bab sebuah novel harus pakai judul walaupun judul bab diperlukan untuk memancing tasa ingin tahu pembacanya. Namun, di novel ini ada daftar isi yang berisi judul bab per bab. Sementara ketika halaman demi halaman di buka, semua judul bab itu tidak ditemukan sama sekali di awal bab. Semoga bisa diperbaiki untuk cetakan selanjutnya.

Beberapa istilah dijelaskan di akhir buku seperti istilah transpersonal, narsistik, histrionic, OCD (Obsessive Compulsion Disorder), dan beberapa kalimat dalam bahasa daerah. Padahal dalam beberapa istilah lain, dijelaskan secara apik dalam kalimat sebelumnya pada cerita. Seperti penjelasan tentang farmakologi dan relapse. Sebagai pembaca saya merasa nyaman dengan cara yang kedua, di mana penjelasan istilah yang mungkin asing buat pembaca dijelaskan secara langsung. Kalaupun tidak bisa diselipkan dalam cerita, bisa dijadikan catatan kaki dengan menaruh penjelasan di bawah halaman, bukan di bagian akhir buku.

Namun, beberapa ‘keretakan gading’ yang terdapat di novel ini tak mengurangi kualitas Bulan Nararya. Bulan Nararya tetap sebuah novel yang sarat makna dan menambah wawasan pembacanya. Maka layaklah memang jika novel ini menjadi salah satu juara dalam Kompetisi Menulis Tulis Nusantara 2013 yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.
***

Judul : Bulan Nararya
Penulis : Sinta Yudisia
Penyunting Bahasa : Mastris Radyamas
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Tahun Terbit : Cetakan Pertama, September 2014
ISBN : 978-602-1614-33-4
Tebal Buku & Ukuran : 256 Halaman. ; 19 cm
Harga Buku : Rp. 46.000,-
Profile Image for Sinta Nisfuanna.
1,022 reviews63 followers
January 1, 2020
“Kamu terapis? Ya! Tapi kalau nggak mampu mengatasi persoalan pribadi, bukan dosa ketika meminta bantuan orang lain. Di sisi lain, hanya kita yang tahu kekuatan diri sendiri.” Bu Sausan ~ h.101

Berhadapan dengan pengidap schizophrenia di klinik membuat Rara, panggilan Nararya, memperoleh ketenangan. Kegelisahan yang membelenggunya teralihkan ketika dia bertemu Pak Bulan, Sania, dan Yudhistira. Mereka adalah klien — pasien — di klinik Bu Sausan, tempat Rara bertugas sebagai terapis.

Kegelisahan dari masa lalu pernikahan Rara terus membuntuti dan semakin mengobrak-abrik pikirannya kala Angga, mantan suaminya, berhubungan dekat dengan Moza, sahabatnya. Hingga, munculnya ceceran kelopak mawar dan darah, saat berada di Bangkalan, menjadi pemantik kekhawatiran atas kejiwaannya sendiri.

Rara juga harus bergelut dengan profesinya dan berkeinginan menerapkan sebuah metode terapi, transpersonal. Sebuah metode penyembuhan skizophrenia yang menitik beratkan pada religi atau latar belakang kehidupan, tanpa membuat pengidapnya ketergantungan dengan obat.

Melalui sosok Yudhistira, klien schizoprenia, Rara perlahan mempraktekkan transpersonal, dengan kehadiran istri dan keluarganya yang menemani di rumah sakit. Di sisi lain, proses penyembuhan Yudhistira juga membuat Rara belajar berdamai dengan dirinya.

Menurutku, ini sebuah novel keilmuan yang berhasil dibalut dengan misteri, cemburu, dan proses memaafkan takdir. Membuat pembaca sedikit mengenal gambaran tentang schizophrenia tanpa harus berpusing-pusing ria dengan teori.
Profile Image for Tezar Yulianto.
391 reviews39 followers
December 28, 2019
Mbak Sinta, bagi saya termasuk penulis yang cerdas.


Kisah yang mestinya berat, dengan muatan teoritis yang berjibun, bisa dibuat lebur dalam sebuah karya sastra yang energis.

Profile Image for raa..
97 reviews
May 26, 2022
buat aku yang masih awam banget tentang psikologi klinis dan juga punya minat ke arahnya di masa depan, buku ini 4/5. kebahasaannya indah banget, tapi ngga terkesan dilebih-lebihkan. buku ini mengajak para pembaca untuk mengenal juga lebih berempati pada penyandang skizofrenia. pembungkusan ceritanya sangat cantik pastinya dengan riset yang tidak main-main. alurnya juga susah ditebak tapi bisa terus memberikan rasa penasaran kepada para pembaca untuk sampai ke akhir halaman, intinya recommended banget deh!!
Profile Image for starryeld.
7 reviews1 follower
March 6, 2022
bagus bangett huhuhu T______T sempet kaget awalnya, karna keren bangetttt. buku ini membuka pikiran pembaca jugaa soal 'memanusiakan manusia'. awalnya aku tertarik untuk baca karna covernya yang cantik, ternyata isi dan bahasanya juga gak kalah cantik!
Profile Image for Azizah SL.
49 reviews4 followers
March 23, 2018
Selalu deh, selalu kebawa emosi tiap baca bukunya Mba Sinta, salah satu penulis favoritku. Ini kedua kalinya baca novel ini. Pertama kali dulu masih pinjam punya temen. Yang kedua kali ini akhirnya punya juga. Tetep aja bikin jantung ga karuan. Bahkan meski buku sudah ditutup, isi novel dan segudang masalah psikologis tiap tokoh masih terpetakan di kepalaku dan bikin napas naik turun karena terlalu mendalami peran tokohnya. Selalu dengan karakter tokoh yang manusiawi, lengkap dengan plus minusnya masing-masing. Berdebar-debar karena nahan nangis buat Rara :’(.
Profile Image for Dian Nafi.
Author 121 books116 followers
August 8, 2015
Aku salah satu penggemar novel berlatar sejarah yang ditulis mbak Sinta. Dan ternyata novel psikologi yang ditulisnya sama menarik dan menakjubkanku.

Detail karakternya, dari para pemain utama, pemain pendamping sampai dengan para figuran digarap dengan apik. Caranya mengelupas satu persatu karakter juga unik. Bagaimana kita tahu tokoh utama kita ini bernama Nararya juga ditampilkan dengan bertahap dan bikin penasaran.

Si Yudhis berhati lembut yang suka melukis dan bercelana kaki dengan banyak kantong begitu melekat dalam visual kita kemudian. Moza yang cantik cemburuan. Angga playboy yang butuh pengakuan. Sausan yang berwibawa dan tegas. Diana yang mandiri. Weni yang bagai ayam melindungi anak-anaknya. Srikandhi yang egois dan tergantung dengan Weni. Pak Bulan yang suka bulan dan tanaman. Sania yang traumatis dan beranjak remaja. Mama yang selalu siap menyediakan bahunya.
Dan Nararya sendiri yang mulia (sesuai makna namanya) dengan ide transpersonalnya, dan karena kegigihannya itulah dia menempuhi sepanjang jalur novel ini, dank arena itulah novel ini tercipta dan menjadi.

Detail settingnya juga apik. Secara makro, Surabaya yang panas dan tepi pantai. Klinik dan tempat rehabilitasi dengan empat bukit buatan di empat penjurunya dengan pavilion-paviliun. Benar-benar visual dan filmis, sehingga melekat dalam benak kita. Rumah Raya, rumah bu Weni, rumah Diana, pavilion pesantren di Madura, rumah Sausan. Semuanya tampil meyakinkan dan real.

Cerita langsung diawali dengan ketegangan antara Raya yang menginginkan uji coba transpersonal, dan Sausan yang menolaknya karena ia konvensional (kita menangkapnya demikian). Baginya tidak ada masalah dengan biaya, sebab dia bisa mengusahakan dengan banyak donator dan pemasukan lain.

Di sisi lain, perceraian Raya dengan Angga karena sepuluh tahun tak kunjung juga punya anak, menjadi makin runyam karena Moza mengambil kesempatan itu dengan kembali dekat dengan Angga. Kita diberikan flashback bagaimana pertemuan mereka dulunya, di mana Angga sebenarnya naksir Moza tapi memilih Raya karena gadis itu kindhearted (bisa memahami kesukaan Angga menjadi idola para wanita dsb)—yang kemudian malah menjadi boomerang.

Di sini, hampir-hampir kita tak bisa memilah, mana yang sesungguhnya main plotnya? Raya dengan upayanya menggoalkan transpersonal? Atau Raya dengan upayanya mengembalikan kewarasannya setelah dibuat goncang dengan kisah segitiganya bersama Angga dan Moza? Atau dua-duanya main plot?

Kalau subplotnya antara lain ada Yudhis-Diana-Weni cs. Sania-ayah-Yudhis. Raya-Farida-Sausan.
Triggernya itu mungkin ya pas di pesantren Madura, ketika akhirnya dengan tak sengaja Raya menemui fakta bahwa Moza dan Angga ternyata sudah menikah. Secepat itu?
Quest –nya antara lain adalah saat Raya menemukan mawar dengan bercak darah di depan pintu ruang kerjanya. Yang membuatnya mengira kalau dia berhalusinasi. Kita dibuat tercekam dan penasaran dengan misteri ini.

Surprisenya setelah dirunut siapa saja yang minta mawar di kebun pak Bulan, lalu kita dibikin jalan dan gerak menyelidiki Randi, Lina, Yudhis dst, sampai akhirnya ketemu ternyata Sania. Meski masih penasaran juga apa latar belakangnya.

Sepanjang cerita kita dibawa menebak-nebak dan menerka-nerka bagaimana akhir dari hubungan Raya dengan Yudhis. Namun kita dibuat surprise (atau kecewa?) ternyata Yudhis dan Diana masih saling mencintai. Dan sebagai seorang yang mulia, Raya justru berupaya mempertemukan mereka kembali.

Suka banget gaya bercerita mbak Sinta yang berkelit kelindan dan tidak linear. Sehingga untuk mengurainya dalam story deconstruction pun aku kepayahan :p

Critical choice-nya adalah saat Sania ditemukan berusaha bunuh diri. Lalu inevitable (terjadi secara tak terhindarkan) Yudhis jadi berinteraksi dengan dunia luar saat mengantarnya ke rumah sakit bersama Raya dan yang lainnya. Dan tentu saja semua kena semprot bu Sausan.
Juga ketika tak jua ketemu solusi ke manakah Yudhis akan dipulangkan, mengingat Diana dan mertuanya-Weni-berada dalam posisi berseberangan. Lalu Raya berinisiatif agar Diana tinggal di pavilion bersama Yudhis untuk adaptasi.

Klimaksnya adalah saat Moza datang dan marah karena rumah tangganya kritis. Anjani datang marah-marah juga.

Farida pernah dihadirkan pas pertengahan, sehingga ketika dia ada ketika Sania butuh semacam yang memberinya nasihat dan pencerahan (insight) Farida tidak datang tiba-tiba. Mereka punya kesamaan, ditinggalkan suami dan punya trauma.

Pembalikan/reversalnya adalah ketika ternyata Sausan sekeras itu pada Raya dan memindahkannya ke bagian lain justru karena dia (tak punya anak yang bisa meneruskan kliniknya) ingin Raya kelak menggantikannya jika dia harus ke Palu membangun klinik Farida.

Resolusinya Raya malah menjadi konsultan untuk mengembalikan keutuhan rumah tangga Moza dan Angga. Diana dan Weni bersatu dalam rangka upaya kembalinya Yudhis ke masyarakat normal.
Whoaaaa…tahu-tahu habis, padahal aku aja baca novelnya sedikit-sedikit supaya bisa tahan lama. Hiks. Ini akan menjadi novel yang pastinya bisa kubaca berkali-kali, seperti Amba dan Rectoverso.
Te o pe be ge te.

oh ya, aku suka gaya mbak Sinta memasukkan non fiksi psikologi ke cerita ini. so blend :)


Profile Image for Autmn Reader.
881 reviews91 followers
dnf
July 22, 2023
Dnf at 69. Males aja nggak mood dan tidak engaging. 😂
Profile Image for Sutono.
2 reviews2 followers
Want to read
December 31, 2015
Bulan Nararya
Bakda Isya. Karena hujan deras turun disertai kilat dan guntur, saya mematikan televisi yang tengah menyuguhkan kontes dangdut yang ratingnya konon berhasil menggeser serial remaja tentang balapan liar dan manusia jadi-jadian session kedua. Hujan mengajak saya kembali membuka novel Bulan Nararya karya Sinta Yudisia yang sudah di bab terakhir.
Beberapa hari lalu, saya juga menggerutu karena quota internet di HP habis disaat dompet dalam keadaan sekarat. Benar benar sekarat. Tapi belakangan saya bersyukur karena waktu untuk melihat laman facebook dapat diganti dengan membaca novel Nararya yang sudah beberapa minggu tak selesai-selesai terbaca. Padahal lomba resensi mendekati detlen.
Bulan Nararya, mengisahkan Nararya atau biasa dipanggil Rara, seorang terapis di sebuah klinik terkenal, milik Bu Sausan. Di Klinik Mental Health Center itu, Rara menangani 3 penderita Schizoprenia. Pak Bulan yang tergila-gila mawar dan purnama, Sania gadis cilik menjelang remaja yang jiwanya terganggu karena ayahnya pemabuk dan tempramental. Ada pula Yudhistira yang terpaksa tinggal di klinik karena kedapatan mencekik King, kucing kesayangan Diana, sang isteri.
Selain dituntut menyelesaikan masalah para kliennya, Rara juga harus menyelesaikan masalahnya dengan Angga mantan suaminya yang telah menikah dengan sahabatnya, Moza. Tak hanya itu, Rara juga masih sering merasa dikejar-kejar mawar yang kerap berubah menjadi genangan darah. Belum lagi Rara juga terperangkap dengan konflik Yudhistira, Diana, dan ibu, kakak-kakak Yudhistira.
Meski saya tak seemosinal saat saya membaca Rose,( diterbitkan Indiva juga ) saya bersyukur berkesempatan membaca novel pemenang ketiga Kompetisi menulis Tulis Nusantara 2013 yang diadakan Kementrian Pariwisata dan Ekonomi kreatif RI ini. Karena ceritanya menarik, tokoh-tokoh yang diciptakan Sinta Yudisia di novel ini begitu detail. Selain itu, pembaca sedikit banyak tahu tentang kejiwaan manusia. Bulan Nararya juga mengingatkan saya pada buku-buku Torey Heiden semisal Eliana, Sheila dan lain-lain.
Catatan saya pada novel ini, pada halaman 153 ada yang typo, Celama seharusnya selama. Catatan lainnya, di bab terakhir, beberapa halaman belabur sehingga tak nyaman dibaca. Semoga sih teman-teman yang lain yang membaca buku ini tak ada yang belabur.

Bulan Nararya yang kental dengan psikologi berbalut dengan bahasa sastrawi membuktikan seorang Sinta adalah penulis yang multigenre. Sinta sukses menulis epik dengan serial Takudarnya, novel remaja berjudul Shopia dan Pink, Novel Religi Roman semisal Lafaz Cinta, Rose dan lainnya, Nonfiksi Hai Pretty, Kitab Cinta dan Patah Hati hingga buku anak bertajuk Janji Cici. Terakhir, kalau teman-teman teman ingin membaca dengan harapan mendapat Value, Bulan Nararya sangat sayang untuk dilewatkan. Selamat membaca

Data Buku
Judul : Bulan Nararya
Pengarang : Sinta Yudisia
Penerbit : Indiva Media Kreasi, Solo
Tahun terbit : akhir 2014
Tebal : 256 hlm

Resensor, Sutono Adiwerna, Ketua Flp Tegal, aktifis RBA Tegal
Alamat : Jl Pertanian no 15. Desa Harjosari kidul Rt 16/04. Adiwerna, Tegal
H

Profile Image for Dhia Citrahayi.
Author 3 books21 followers
November 22, 2014
Dengan Covernya yang imut dan manis seperti itu, saya sempat mengira kalau Bulan Nararya bercerita mengenai anak kecil yang berusaha menggapai cita-citanya. Serius, covernya menipu, bikin saya kecele karena mengira ini buku anak-anak. Namun, saat membaca promo tweet dari penerbitnya, barulah saya sadar, kalau buku ini bisa dibilang untuk dewasa dengan topik yang lumayan berat, tetapi tidak berat sepenuhnya.

Bulan Nararya, saya kira ini nama tokohnya, lho, dan ternyata saya salah lagi. Nama tokohnya adalah Nararya Tunggadewi. Nama yang cukup unik. Tunggadewi merupakan nama Ratu dari Kerajaan Majapahit, sedangkan Nararya sendiri berasal dari bahasa sansekerta yang berarti mulia. Nama yang memiliki arti sangat bagus, sekaligus... kelihatannya berat disandang oleh si tokoh utama.

Bulan Nararya mengisahkan sepenggal hidup Nararya yang biasa dipanggil Rara (kalau saya sih paling manggil dia Nara), yang bekerja sebagai terapis di sebuah klinik kesehatan mental di pinggir kota Surabaya...

resensi lengkap di sini >> http://dhia-citrahayi.blogspot.com/20...
Profile Image for Fahrul Khakim.
Author 9 books97 followers
December 20, 2015
Bab awal sudah memancing perhatianku dengan konsep transpersonal, namun semakin memasuki isi cerita, alur & konflik ceritanya terasa mengambang, konflik utama terasa goyah karena padatnya konflik pasien-pasien di klinik & keluarga. Namun semua terasa belum tuntas, bahkan sampai menapaki ending. Beberapa bagian terasa seperti makalah karena kurang dipadukan dalam isi cerita. Seharusnya tokoh dalam cerita ini berusia 30 ke atas, tapi sikap dan jalan pikiran tokoh masih seperti mahasiswa yang baru lulus kuliah. Serba nanggung. Mengingat tema lomba ini tentang kebudayaan, saya sangat menantikan pembajasan transpersonal dikaitkan dengan konteks kearifan lokal Indonesia, tapi nyaris hanya di permukaan. Terbius bahasa dan anafora penulis yang jeli.
Profile Image for Riawani Elyta.
Author 33 books103 followers
November 29, 2014
Saat membaca stempel juara III Kompetisi Menulis Tulis Nusantara 2013 pada sampulnya, begitu pun saat membaca judulnya yang terkesan eksotis, saya sempat menduga kalau ini adalah novel berlatar kultur daerah dengan lokalitas yang kental, ternyata, ekspektasi saya meleset.

Resensi selengkapnya di : http://www.riawanielyta.com/2014/11/r...
Profile Image for Johar Dwiaji.
1 review
December 31, 2015
Romantisme Ala Terapis

Judul buku : BULAN NARARYA
Penulis : Sinta Yudisia
ISBN : 978-602-1614-33-4
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Cetakan : pertama, September 2014
Ukuran dan Tebal : 19 cm; 256 hlm.
Harga : Rp 46.000
Peresensi : Johar Dwiaji Putra

Hal pertama yang terlintas di benakku kala mulai membaca Bulan Nararya adalah: novel ini mempunyai ide cerita yang menurutku cukup berat. Sehingga memerlukan konsentrasi yang prima, kala membaca novelnya, halaman demi halaman. Oke, mungkin ungkapanku terlalu berlebihan. Tetapi masing-masing dari kita sebagai pembaca, tentu memiliki kebiasaan sendiri-sendiri dalam melakukan aktivitas membaca. Misalnya ada tipikal pembaca yang bisa membaca sebuah buku, sambil melakukan aktivitas lainnya. Seperti menonton televisi, mendengarkan musik, makan sesuatu, atau kegiatan yang lain.

Mengingat kesan awalku yang menganggap bahwa jalan cerita Bulan Nararya tidaklah ringan, maka sejak pertama aku membaca novel ini, aku benar-benar mencurahkan perhatianku untuk menyelami kalimat demi kalimatnya. Kucoba untuk tidak melakukan aktivitas yang lain, disaat aku membaca novel ini. Karena penilaian awalku yang menganggap bahwa novel ini memerlukan perhatian yang maksimal.

Usahaku sepertinya tidak sia-sia. Seusai merampungkan Bulan Nararya, aku seolah mendapatkan sesuatu pengalaman yang baru. Pengalaman yang baru. Kugarisbawahi kalimat ini. Bagiku, novel ini tidak sekadar buku fiksi yang menghadirkan cerita belaka. Barangkali kita sering merasakan hal ini: setelah membaca sebuah novel, kita akan meletakkannya kembali di rak buku. Lalu dalam sekejap, cerita dan sensasi dari novel yang baru saja kita baca tersebut, akan menguap entah kemana.

Namun, sepertinya tidak bagi Bulan Nararya. Kuakui, setelah aku merampungkan novel ini, berbagai pengetahuan baru telah memenuhi benakku. Mungkin kamu akan penasaran. Kenapa aku bisa berani menghakimi, bahwa Bulan Nararya adalah novel dengan ide cerita yang cukup berat? Jawabannya karena: Bulan Nararya mengangkat ide cerita yang berkaitan dengan masalah psikologi.

Ya, psikologi. Sebagai orang awam, tentu aku tidak begitu paham, mengenai seluk beluk ilmu yang secara harfiah berkaitan dengan kejiwaan dan mentalitas tersebut. Sebelum aku membaca Bulan Nararya lebih jauh, terlebih dahulu aku mengamati permukaan luar dari novel ini. Di cover belakang, terdapat sepotong bagian yang memaparkan keterangan singkat mengenai sang penulisnya. Dari sini, aku mulai mengerti. Karena Bulan Nararya ditulis oleh seseorang yang bernama Sinta Yudisia.

Terlepas dari sepak terjang Sinta Yudisia sebagai aktivis di dunia literasi, aku lebih suka memandang Mbak Sinta dari sudut pandang: bahwa dia adalah seorang pegiat di dunia psikologi. Dari cover belakang novelnya, disebutkan bahwa Mbak Sinta adalah seorang mahasiswa yang sedang menyelesaikan studi Magister Psikologi Profesi di sebuah perguruan tinggi.

Dari sini aku mulai manggut-manggut. Mengapa Bulan Nararya mengangkat jalan cerita yang berkaitan dengan dunia psikologi. Mungkin salah satunya karena penulisnya adalah seseorang yang paham akan ilmu psikologi, dan bahkan sedang mendalaminya lebih jauh.

Jujur, di awal-awal Bulan Nararya, novel ini telah membuatku harus memaksimalkan konsentrasi dalam membacanya. Jalan cerita dibuka dengan perihal tokoh utama yang bernama Nararya, dimana ia adalah seorang psikolog yang bekerja di sebuah klinik kesehatan jiwa atau bahasa kerennya mental health care. Di sini, Nararya yang akrab disapa sebagai Rara, mengabdi sebagai salah satu terapis. Sesuai dengan titelnya, seorang terapis bertugas untuk melakukan terapi dan treatment, kepada segenap pasien yang menghuni klinik tersebut.

Ada satu hal menarik, yang jujur, cukup membekas di hatiku. Mbak Sinta menurutku begitu piawai, jika kata “bijak” terlalu berlebihan untuk digunakan. Dimana letak kepiawaiannya? Didalam Bulan Nararya, ia memilih untuk tidak menggunakan istilah “pasien”, yang disematkan kepada orang-orang yang dirawat di klinik kesehatan jiwa tersebut. Melainkan memakai kata “klien” (halaman: 17).

Akupun sepakat dengan istilah ini. Karena dengan menyebut klien, terasa lebih bijak dan menghargai orang-orang yang notabene terganggu kesehatan jiwanya itu. Ya, mereka adalah klien. Seorang klien yang sedang menggunakan jasa para terapis, agar keadaannya bisa kembali pulih. Sedangkan bila menggunakan istilah pasien, bagiku terasa terselip makna konotasi yang seolah menjatuhkan para penderita sakit mental tersebut.

Oya, jangan dikira jalan cerita Bulan Nararya hanya berkutat dengan tokoh Nararya/Rara yang tenggelam sebagai seorang terapis untuk klien-klien yang terganggu jiwanya. Novel ini terasa lengkap, karena bumbu romantika juga tersaji tak kalah apiknya, dengan isu psikologi yang telah dijabarkan terlebih dahulu.

Sebenarnya, cerita Bulan Nararya terjadi ketika Rara, sedang memperjuangkan sebuah ide baru yang coba dia tawarkan untuk diterapkan di klinik tempatnya bekerja. Ide itu adalah metode transpersonal. Rara meyakini, bahwa metode ini dapat menjadi salah satu alternatif, sebagai metode pengobatan untuk para klien/penderita sakit mental. Dalam hal ini, klien-klien tersebut adalah mereka yang divonis mengidap skizophrenia.

Tetapi, ide ini tidak serta-merta diterima oleh sang pemilik klinik, yang bernama Bu Sausan. Walau ternyata Bu Sausan tidak sepenuhnya menolak ide yang diajukan oleh Rara tersebut. Namun baginya, para klien masih membutuhkan metode farmakologi atau penggunaan obat-obatan, sebagai cara utama untuk memperbaiki keadaan (halaman: 7).

Ditengah usahanya untuk memperjuangkan metode transpersonal, rupanya Rara juga mengalami masalah pribadi yang cukup pelik. Diceritakan, Rara adalah seorang wanita yang baru saja mengalami perceraian. Setelah sepuluh tahun membina rumah tangga dengan seorang lelaki bernama Angga, Rara memutuskan mengakhiri perkawinannya. Penyebab perpisahan ini pun, amatlah berliku.

Rumah tangga yang tak kunjung disinggahi keturunan, bukanlah penyebab utama perceraian antara Angga dan Rara. Namun, tokoh Angga yang digambarkan sebagai seorang dosen yang flamboyan, membuat Rara mantap mengakhiri ikatannya dengan Angga. Bagi Rara, Angga adalah tipikal lelaki yang membutuhkan pemujaan dari wanita (halaman 30). Hal inilah yang membuatnya terlalu longgar dalam menjalani hubungan suami istri dengan Angga. Meski Angga sendiri tidak pernah berkhianat, namun hubungan pertemanannya dengan banyak wanita, membuat Rara tidak nyaman.

Konflik asmara khas orang dewasa antara Rara dengan Angga, semakin panas karena kehadiran tokoh yang bernama Moza. Yang membuat hati semakin berdesir, karena Moza adalah sahabat dari Rara. Moza juga bekerja di klinik milik Bu Sausan. Bahkan, sebelum Rara mengenal Angga, Rara sudah terlebih dahulu bersahabat dengan Moza sejak masih mahasiswa.

Seusai Angga kembali menjadi single, rupanya menjadi angin segar bagi Moza. Perempuan ini memang telah menaruh hati kepada Angga sejak lama. Tetapi Angga yang lebih memilih berumah tangga dengan Rara, membuat Moza berbesar hati. Namun takdir berkata lain. Moza kembali berjuang untuk mendapatkan Angga. Dan cintanya tak lagi bertepuk sebelah tangan. Angga menikahi Moza, tak lama setelah ia mengakhiri hubungan dengan Rara.

Menyadari sahabatnya yang telah menjadi istri dari mantan suaminya, membuat Rara kalang kabut. Ia sempat menganggap bahwa Moza adalah musuh terbesarnya. Sahabat yang tega mengkhianatinya! Apalagi, Moza tidak membutuhkan waktu lama untuk mengandung benih dari Angga. Sesuatu yang tidak bisa Rara berikan di sepuluh tahun kebersamaannya dengan Angga (halaman 103).

Tidak hanya berkutat dengan polemik pribadi. Kehidupan Rara yang bekerja di klinik, juga dihiasi interaksinya dengan sejumlah klien. Terdapat beberapa klien yang istimewa dimata Rara. Mereka adalah Pak Bulan, seorang kakek renta yang sebatang kara. Ada pula Sania, seorang gadis remaja yang memiliki riwayat kekerasan dalam rumah tangga. Juga ada Yudhistira, seorang pemuda yang telah menikah. Ketiganya adalah klien skizophrenia.

Interaksi dengan ketiga klien ini, membuat Rara sedikit melupakan konflik pribadinya. Apalagi dengan Yudhistira. Seorang lelaki yang mempunyai riwayat yang cukup menyedihkan, sebelum akhirnya harus dirawat di klinik milik Bu Sausan ini. Yudhistira diceritakan sebagai lelaki yang terganggu mentalnya karena menerima tekanan yang amat berat. Ia dikelilingi oleh ibu, ketiga kakak perempuan, dan istri, yang mana mereka semua menuntut banyak hal dari Yudhistira. Terpojok dalam berbagai tekanan dan tuntutan, membuat jiwa Yudhistira goyah tak terbantahkan (halaman 46).

Namun bagi Rara, Yudhistira adalah klien yang berbeda. Rara cukup terhibur dengan Yudhistira yang gemar melukis. Bahkan, sempat timbul keinginan Rara untuk menggunakan kewenangannya, untuk “menguasai” Yudhistira dan memisahkannya dengan Diana, istri Yudhistira.

Sekali lagi, Bulan Nararya adalah kisah romantika yang tidak biasa. Dimana letak tidak biasanya? Karena dibumbui konflik psikologis yang dialami masing-masing tokohnya. Ada Rara, Angga, dan Moza. Juga Yudhistira, Diana, dan Sania. Semua mempunyai jalan cerita yang mengejutkan, meski porsi utama tetaplah berada pada Rara sebagai tokoh utama.

Bagiku, ada tiga titik utama yang bisa disebut sebagai puncak dari jalan cerita novel ini. Yang pertama adalah perihal potongan bunga mawar bercampur darah yang berserakan di depan pintu ruang kerja milik Rara. Kupikir bagian ini adalah sisi misteri yang coba diselipkan sebagai pemanis didalam alur cerita yang bergulir. Namun ternyata aku salah. Bagian ini adalah jalan cerita milik tokoh bernama Sania.

Yang kedua, ketika Rara harus bekerja di luar kota bersama Bu Sausan dan Moza. Di momen ini, akhirnya ia baru tahu bahwa Moza telah menikahi Angga. Hal ini sangat memukul jiwa Rara, yang ternyata masih amat mencintai Angga. Menyadari kenyataan ini, Rara sempat goyah hingga produktivitasnya cukup terganggu. Namun Rara harus tetap berusaha profesional, ditengah hunjaman yang menusuk ulu hatinya (halaman 72).

Sementara yang ketiga adalah, Rara yang akhirnya memutuskan meninggalkan posisinya sebagai terapis di klinik tempatnya bekerja. Ia lebih memilih mengaktualisasikan dirinya, dan mengabdi di divisi lain, yang dimiliki oleh klinik tersebut. Di saat yang sama, Rara yang sempat menganggap bahwa hatinya telah terbagi untuk Angga dan Yudhistira, ternyata tidak demikian. Ia harus mundur teratur, karena alasan profesionalitas dan kode etik yang harus dipegangnya sebagai seorang psikolog atau terapis. Hal ini disebabkan Diana yang akhirnya memutuskan untuk kukuh merawat Yudhistira. Suami yang sempat hampir dicampakkannya.

Overall, bagi siapapun yang sedang merasa galau dan tertekan dengan berbagai masalah yang mendera, mungkin bisa menjadikan Bulan Nararya sebagai salah satu terapi. Novel ini menurutku dapat menjadi bacaan, sekaligus vitamin untuk pikiran dan jiwa yang sedang limbung.

Aku pribadi suka dengan konsep here and now, yang dibahas di novel ini (halaman 93). Ya, di sini dan sekarang. Bahwa apa yang sedang terjadi sekarang, dan apa yang sedang dihadapi atau dimiliki, inilah yang harus menjadi titik fokus kita dalam menjalani hari-hari. Seharusnya kita tak lagi terjebak di dalam romantisme dan euforia di masa lalu. Masa yang telah lewat.

Aku juga terkesan dan sepakat dengan ending dari konflik yang mendera Yudhistira. Di akhir cerita, ibu Yudhistira yang bernama Weni dan Diana istrinya, saling mendukung untuk kesembuhan Yudhistira. Mereka mengesampingkan ego masing-masing, dan berbesar hati untuk bekerja sama agar Yudhistira dapat kembali seperti semula. Inilah salah satu pesan penting yang coba diutarakan oleh Bulan Nararya. Bahwa dukungan dari keluarga amatlah penting. Khususnya bagi para penderita skizophrenia. Sakit fisik, masih dapat ditoleransi. Namun sakit mental, meski dapat kembali seperti sediakala, bagai residivis yang tak mendapatkan grasi (halaman 52).

Bagiku, ada sedikit kekurangan pada novel ini. Meski sudah ada daftar isi di awal buku, namun di setiap permulaan bab baru, tidak terdapat judul bab yang bersangkutan. Mungkin ini bisa menjadi masukan bagi penulis dan penerbit. Hal baiknya, ada glosarium yang tersedia di halaman terakhir. Glosarium ini begitu membantu, karena mencantumkan beberapa istilah dalam dunia psikologi, yang masih terasa asing bagi orang-orang awam. Dan tentu saja ini akan menjadi pengetahuan baru bagi kita semua.
Profile Image for W. Rizkianti.
1 review
March 27, 2017
Judul : Bulan Nararya
Penulis : Sinta Yudisia
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Cetakan : I, 2014
Tebal dan ukuran: 256 halaman; 19 cm
ISBN : 978-602-1614-33-4
Harga : Rp. 46.000,00

Dunia Sang Terapis
*) Oleh Windi Rizkianti
Bulan Nararya berkisah tentang seorang terapis di sebuah klinik kesehatan mental di kota Surabaya bernama Nararya Tunggadewi atau akrab dipanggil Rara. Novel ini dibuka dengan adegan menegangkan sebuah kucing yang dibunuh. Lalu Rara yang ingin mempresentasikan tentang metode terapi baru selain metode terapi menggunakan farmakologi. Ia mengajukan metode transpersonal sebagai alternatif kepada pimpinan mental health center, Bu Sausan, dan stakeholder.
Rara menganggap metode ini lebih efektif untuk menyembuhkan pasien secara total. Sehingga mereka tidak lagi ketergantungan dengan orang lain dan obat-obatan antipsikotik atau neuroleptik. Pasien juga kembali utuh sebagai manusia dan dapat kembali di tengah keluarga serta masyarakat tanpa kambuh lagi. Keprihatinannya melihat para klien yang harus mengonsumsi obat-obatan seumur hidup membuat Rara harus memperjuangkan metode andalannya tersebut. Transpersonal adalah suatu aliran baru psikologi yang menyembuhkan penderita gangguan mental dengan pendekatan budaya, pengalaman puncak seperti Sufi, Shaman, Tao, Tantra, Zen (halaman 256). Metode ini membutuhkan waktu sepuluh hingga lima belas tahun. Lamanya waktu penyembuhan membuat usulan Rara ditolak.
Kesedihan dan kemarahan karena usulannya ditolak mendorong Rara untuk menemui ketiga klien yang telah dianggapnya sebagai sahabat. Sania, Pak Bulan, dan Yudhistira. Mereka bertiga adalah klien—untuk tidak menyebut mereka pasien—skizofrenia. Penyakit yang lebih dikenal dengan sebutan 'gila' oleh masyarakat awam.
Skizofrenia adalah penyakit yang mengganggu struktur otak dan beragam tekanan luar biasa dalam hidup sehingga menyebabkan seseorang kehilangan kemampuan berpikir normal dengan salah satu ciri yang spesifik: halusinasi. Ilusi, delusi, waham mengikuti. Tetapi hal yang membedakan dengan gangguan kepribadian lain adalah perilaku halusinasi parah yang menyebabkan seseorang harus diasingkan, sebab tak mampu membedakan realita dan khayalan (halaman 18).
Sania, Pak Bulan, dan Yudhistira adalah ODS—Orang Dengan Skizofrenia. Sania adalah gadis kecil beranjak dewasa yang ditemukan oleh petugas dinas sosial di terminal dan berakhir di klinik tempat Rara bekerja. Sania berasal dari keluarga miskin. Ia akrab dengan kekerasan fisik dan kesedihan. Teman berikutnya yang Rara temui adalah Pak Bulan. Lelaki berusia sekitar 70 tahun. Mantan penghuni lapas karena dituduh melakukan pencurian. Hal-hal buruk seperti terisolasi, kekurangan gizi, kurang kasih sayang, minim tambahan pengetahuan menyebabkan akalnya menurun drastis. Ia adalah klien yang sangat menyukai bulan dan bunga mawar. Orang terakhir yang ditemui oleh Rara adalah Yudhistira. Pemuda yang akrab disapa Yudhis ini senang melukis dan memakai celana gunung berkantung banyak serta kaus. Ketiganya memberi inspirasi dari ucapan aneh yang muncul dari lisan mereka. Bagi Rara, orang-orang dengan kekurangan fisik dan mental adalah orang yang paling jujur dan welas asih.

Tak hanya berhadapan dengan masalah pekerjaanya, Rara juga dihadapkan dengan kerumitan masalah pribadinya dengan mantan suaminya, Angga. Jalinanan kasih mantan suami dengan sahabat sekaligus rekan kerjanya, Moza, membuatnya semakin tertekan. Suatu hari, selepas pukul delapan, Rara hendak pulang ke rumah. Ia mendengar suara-suara halus dan mendapati cabikan bunga mawar dan genangan darah di depan ruang kerjanya. Ia lalu berlari ketakutan menuju mobilnya tanpa alas kaki, tas, dan kunci mobilnya. Saat ia kembali untuk mengambil barang-barangnya yang tercecer, bunga dan genangan darah sudah tidak ada. Kejadian tersebut terjadi berulang. Semakin hari, Rara merasa tertekan hingga menganggap dirinya berhalusinasi dan jatuh sakit. Untuk menghibur bawahannya, Bu Sausan mengajak Rara studi banding ke Palu. Di sinilah Rara mendapatkan kemantapan hati untuk mengungkap bahwa ia tidak berhalusinasi. Ia masih waras dan tidak membutuhkan obat penenang.
***
Kepiawaian Sinta Yudisia dalam merangkai diksi yang menawan, pengetahuannya akan ilmu psikologi, kelihaiannya membangun plot dan menjalin konflik membuat novel ini layak mendapatkan juara dalam Kompetisi Menulis Tulis Nusantara 2013 dari Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia. Novel ini mengajak pembaca lebih dalam memahami lika-liku kehidupan para penyandang skizofrenia dan lebih berempati untuk tidak memperlakukan mereka dengan buruk.
Tema yang diangkat oleh penulis adalah tema segar yang jarang ditulis. Belum banyak novel yang mengambil dunia psikologi sebagai temanya. Kepiawaian penulis mengombinasikan fiksi dan nonfiksi pantas untuk diacungi jempol. Unsur nonfiksi yang terkait dengan ilmu psikologi terutama tentang penyakit skizofrenia sangat seimbang dengan cerita yang dibangun. Melalui sudut pandang yang disuarakan oleh Rara, unsur edukatif tentang psikologi dan karakter manusia memperkaya wawasan pembaca.
Sinta Yudisia menuliskan detail penceritaan dan karakter para tokoh dengan sangat baik. Konflik yang dimunculkan dan penokohan terasa realistis dan natural. Tidak ada yang terlalu baik atau terlalu jahat. Semuanya seperti manusia biasa yang juga dapat melakukan kesalahan. Awalnya saya mengira bahwa Bu Weni, ibu Yudhistira adalah tokoh antagonis yang akan selalu bersikap jahat dan egois serta terlalu overprotektif dengan anak bungsunya, namun ternyata ia dapat bersikap bijaksana dan mau bekerja sama dengan Diana, menantu yang awalnya ia anggap sebagai penyebab Yudhistira hingga menyandang status ODS.
Masalah yang dihadapi tokoh utama juga masalah yang umum dialami oleh orang-orang. Keunikan dari novel ini terletak pada kompleksitas kehidupan Rara. Sebagai terapi gangguan mental ternyata ia sendiri juga ketiban masalah yang membuat kepribadian dan emosionalnya hampir seperti para kliennya. Tak hanya Rara, beberapa tokoh pendamping seperti Bu Sausan dan Farida yang juga berprofesi sebagai terapis pernah mengalami masa kelam. Keterpurukan, batin yang tertekan, dan kejadian traumatis.
'Keretakan gading' pada novel ini terletak pada judul perbab yang tidak dituliskan. Hanya dituliskan di daftar isi. Hal ini menyulitkam pembaca apabila tidak ingat judul perbabnya. Pembaca harus bolak-balik membuka daftar isi untuk mengetahui judul perbab. Pada awalnya saya membolak balik daftar isi untuk mengetahui judul bab, namun, karena saya terlalu larut dalam cerita, saya tidak lagi memperhatikan judul tersebut.
Pada awal-awal bab pemunculan masalah mengenai kucing yang terbunuh sulit dipahami. Saya tidak dapat menangkap maksud kucing siapa yang terbunuh dan siapa yang membunuh. Hal tersebut seperti kurang sinkron dengan cerita berikutnya yang menceritakan Rara mempresentasikan metode terapi transpersonal. Barulah di pertengahan cerita saya mengetahui maksud lead pembuka novel tersebut.
Novel ini juga memunculkan istilah-istilah bidang psikologi yang tidak dijelaskan. Pembaca awam seperti saya harus membuka kamus dan internet untuk mengetahui arti istilah tersebut. Tidak semua kata dituliskan pada daftar kosakata di halaman terakhir. Akan lebih baik bila istilah asing dituliskan pada catatan kaki atau dijelaskan secara singkat di kalimat berikutnya. Seperti kata relapse yang langsung diberi penjelasan yang berarti kambuh. Lebih praktis dan nyaman ketika membaca.
Pencampuran masalah pribadi dengan masalah pekerjaan demi menuruti emosinya membuat Rara terkesan tidak profesional. Padahal ia adalah bawahan yang dibanggakan dan diandalkan pimpinannya. Kepandaiannya dan kehausannya akan pembaruan di bidang psikologi sedikit diragukan oleh pembaca karena ia mencampurkan masalah pribadi ke dalam urusan pekerjaan. Rara seperti tidak dapat memilah kedua hal tersebut dengan baik dan malah tenggelam oleh emosinya yang kurang terkontrol dan mengalami halusinasi. Padahal halusinasi adalah salah satu ciri penyakit skizofrenia.
Latar tempat yang diambil juga kurang mendapat porsi lebih di novel ini. Padahal apabila lokalitas kota Surabaya lebih dieksplor sebagai latar tempat utama, saya yakin novel ini tidak hanya berakhir dengan menyabet juara tiga.
Kesan pertama ketika melihat cover buku ini di rak toko buku, awalnya saya mengira novel ini akan bercerita tentang dongeng dan anak-anak. Ternyata dugaan saya meleset jauh. Akan tetapi ilustrasi dan kombinasi warnanya sangat cantik.
Membaca Bulan Nararya seperti membaca kehidupan ODS. Ajakan kepada masyarakat, kelurga, dan orang sekitar ODS dapat membantu penyembuhan lebih baik dan efektif. Banyak wawasan dan pesan moral yang saya petik dari novel ini. Petikan nasihat berharga lewat perkataan Bu Sausan dan Farida membuat pembaca juga harus mengenali kepribadian dan karakter masing-masing.
Sinta Yudisia sangat kompeten di bidangnya. Kepiawainya dalam mengemas cerita di novel ini efektif untuk menyampaikan pesan moral dan pengetahuan kepada pembaca. Memasukkan unsur nonfiksi ke dalam novel memang ampuh untuk membuat pembaca lebih tercerahkan dalam suatu bidang—dalam novel ini adalah psikologi. Karena ilmu yang di dapat dari membaca novel ini lebih mudah diterima, dicerna, dan dipahami. Bisa dikatakan bahwa Sinta Yudisia sukses membagikam ilmunya dengan kemasan yang sangat menarik.

*Resensi ini diikutsertakan dalam lomba resensi Indiva 2015.
Profile Image for Iswanheri.
2 reviews
December 31, 2015
Judul Buku : Bulan Nararya
Penulis : Sinta Yudisia
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Terbit : September 2014
TebalBuku : 256 halaman, 19 cm
ISBN : 978-602-1614-33-4
Harga : IDR 46.000


“Kadang, sikap tulus dapat menyelamatkan kita dari carut-marut dunia yang tidak kita pahami”

Setiap manusia mempunyai masalah dalam hidupnya. Entah itu berat atau ringan, yang rumit maupun sederhana. Tiap orang lalu mencari dan merumuskan cara uniknya masing-masing untuk mengatasi rupa-rupa masalah yang mereka hadapi. Ada yang dengan tangan terbuka menerima masalah yang datang dan berusaha menghadapinya perlahan. Ada pula yang memilih lari dari masalah, bersembunyi, atau bahkan berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain demi menghindarkan diri dari masalah kehidupan.
Padahal bukankah hidup adalah rangkaian dari masalah? Oleh karenanya, lari dari masalah justru akan menjadi masalah baru, alih-alih menemukan solusi yang mencerahkan. Untuk meresapi makna kehidupan, seringkali manusia harus belajar untuk menyelesaikan masalahnya masing-masing. Kadangkala masalah hidup yang hadir akan menempa kedewasaan dan kebijaksanaan seseorang. Belajar menghadapi masalah bahkan sanggup membuat seseorang mengenali jati dirinya secara lebih baik.
Namun, ada juga tipe orang yang memilih untuk memendam masalah, menutup diri, dan mengenakan topeng agar terlihat semua baik-baik saja. Ada banyak faktor yang membuat orang memilih memendam masalah dan enggan membuka diri. Ada yang dipengaruhi pola pendidikan dan interaksi di dalam keluarga, sikap mental yang tertutup (introvert), ada juga yang merasa takut dan ditambah oleh kurangnya perhatian dari orang-orang sekitar.
Memendam masalah dalam kurun waktu yang lama bisa berakibat fatal. Beban hidup yang semakin berat karena tumpukan masalah sekian lama dapat mengakibatkan seseorang mengalami gangguan mental atau sering disebut skizophrenia. Skizophrenia dan segala seluk-beluknya inilah yang kemudian dirangkai menjadi menjadi kisah nan apik dalam novel “Bulan Nararya” oleh Sinta Yudisia.
***
Cerita bermula di sebuah klinik kesehatan mental di pinggiran kota Surabaya. Nararya-yang biasa dipanggil Rara-, seorang perempuan muda energik nan kaya akan ide-ide segar, menghabiskan hari-harinya sebagai seorang terapis kesehatan mental. Kecintaannya akan profesi dan dunianya tersebut menghantarkannya pada pencarian akan metode penyembuhan baru demi penyembuhan pasien.
Transpersonal adalah nama metode penyembuhan mental baru yang sedang ia dalami. Transpersonal adalah suatu aliran psikologi baru yang menerapkan pendekatan budaya maupun pengalaman puncak seperti Sufi, Shaman, Tao, Tantra, Dan Zen kepada penderita gangguan mental. Dengan metode ini, ketergantungan pasien kepada obat-obatan berusaha dilepaskan.
Sekalipun transpersonal adalah metode baru, namun Rara begitu bersemangat untuk mencobanya sebagai alternatif terapi penyembuhan di klinik ia berada. Dengan penuh optimisme, Rara mempresentasikan metode transpersonal ke hadapan Direktur Klinik, Bu Sausan, petinggi yayasan, dan para penyandang dana.
Namun, karena transpersonal adalah metode baru dan masih membutuhkan banyak pengujian, ide Rara ditolak keras mentah-mentah oleh Bu Sausan dan petinggi yayasan. Penolakan ini tentu memberikan hantaman keras terhadap rasa percaya diri Rara. Penolakan ini adalah masalah pertama yang hadir, diantara beragam kerumitan yang hadir dalam hidup Rara selanjutnya.
Rara merasa sangat kecewa. Harapannya untuk mencoba metode terapi yang baru kandas di tengah jalan. Namun, penolakan yang dilakukan oleh Bu Sausan dan pihak yayasan bukannya tanpa alasan. Kasus seperti skizophrenia atau hilang akal sering dianggap sebelah mata dan bersinggungan dengan keterbatasan dana yang ada.
Dengan realita seperti itu, klinik kesehatan mental bukanlah tempat yang tepat untuk melakukan penelitian baru yang memakan waktu dan biaya. Bu Sausan dan yayasan tidak mau mengambil resiko mencoba metode terapi baru yang mungkin bisa memakan waktu sepuluh sampai lima belas tahun untuk melihat hasilnya. Problematika seperti inilah yang membuat pergolakan batin Rara tak kunjung usai.
***

Dalam suasana murung, Rara berjalan perlahan menuju paviliun pasien. Bila sedang merasa sedih dan tertekan, Rara seringkali menemui tiga “sahabat” spesial yang sekaligus menjadi pasiennya di klinik tersebut. Sania, Pak Bulan, dan Yudhistira adalah nama dari tiga sahabat spesial Rara itu. Perhatian aneh dari ketiga orang tersebut, acapkali membawa sebentuk kebahagiaan dalam diri Rara.
Sania kecil sering meminta Rara mengusap air mata nya dengan telinga boneka kelinci saat ia menangis, Pak Bulan mengajak Rara untuk melihat rembulan jika merasa sedih, dan Yudhistira akan menyodorkan kuas serta mengajak Rara melukis dalam suasana yang tenang dan khidmat. Ketiganya memberi perhatian kepada Rara dalam cara yang unik dan tidak biasa.
Sania adalah seorang gadis kecil yang temperamental. Ia dibesarkan oleh dalam kondisi keluarga yang berantakan. Hidup dalam keadaaan miskin, diperparah dengan kehadiran nenek yang sering mencambuknya dengan rotan, ibu yang pemarah, dan ayah yang pemabuk. Sania ditemukan dinas sosial di sebuah terminal dengan luka di kaki kiri, gigi depan patah, dan punggung yang penuh memar. Tidak menangis, tak mau bicara, dan hanya mengigit kuat boneka yang kala itu dilakukan Sania.
Pak Bulan adalah lelaki renta berusia tujuh puluh tahun. Dia pernah menjadi penghuni Lembaga Pemasyarakatan karena dituduh mencuri. Skizophrenia sering membuat orang berada dalam kondisi terisolasi, tersisih, tercerabut dari ikatan kekeluargaan, kekurangan gizi, yang pada akhirnya membuat kemampuan akal turun drastis.
Dari ketiganya, Yudhistira adalah orang yang berasal dari keluarga yang paling mapan, bahkan mewah. Namun hidup dalam kemewahan ternyata tidak membuatnya bahagia. Dibesarkan oleh seorang ibu dan kakak perempuan yang menjadi pengusaha sukses, justru membuat Yudhistira menjadi seorang yang kecil hati. Yudhistira tak pernah belajar menjadi orang yang mandiri. Ibu dan keluarga yang mengekang, dan tak berhenti mencampuri urusan pribadinya, bahkan setelah menikah membuatnya depresi.
Istri Yudhistira, Diana yang mendambakan sosok suami yang tegas dan mandiri tak bisa bersabar hati. Tuntutannya kepada Yudhistira agar hidup mandiri, lepas dari bayang-bayang keluarga besarnya menjadikan Yudhistira limbung. Rasa cinta yang sedemikian besar kepada Diana dan penghormatan yang berlebihan kepada Ibu,membuat Yudhistira tak bisa mengambil sikap. Saat tak kuasa lagi menahan tekanan, Yudhistira memilih mengunci diri berhari-hari di dalam kamar. Tidak bicara, tidak mandi, tidak makan, dan hanya melakukan aktivitas yang disukainya, melukis.
Sania, Pak Bulan, dan Yudhistira dengan beragam masalah dibelakangnya, hanyalah sedikit contoh dari tantangan yang harus dihadapi Rara setiap harinya. Masalah semakin rumit ketika rumah tangga yang dibina Rara bersama Angga selama sepuluh tahun mulai diterpa goncangan. Goncangan yang akhirnya membuat ikatan suci itu berakhir.
Perceraian tersebut menguras energi dan konsentrasi Rara, serta membuatnya tidak fokus bekerja. Ditambah keretakan hubungan antara Rara dan sahabat baiknya sesama terapis, Moza, pasca perceraian membuatnya berada dalam titik paling rendah dalam hidup. Dalam kondisi tertekan, Rara melihat genangan darah dan kelopak mawar berceceran di depan ruang kerjanya.
Apakah yang dilihat Rara adalah halusinasi karena depresi hebat? Apakah Rara akan menjadi salah satu pasien di tempat ia bekerja selama ini? Dapatkah Rara menghadapi masalah yang datang bertubi-tubi tersebut?
***
“Bulan Nararya” adalah novel bertema psikologi pertama yang pernah saya baca. Melihat covernya sekilas, saya sempat mengira bahwa novel ini ditujukan untuk kalangan remaja. Ternyata saya salah, novel ini menurut saya justru ditujukan untuk kalangan dewasa. Tema yang unik, cerita yang sedikit rumit, dan banyaknya bahasa ilmiah yang bertebaran di sepanjang jalan cerita mungkin akan membuat kalangan remaja agak kesulitan dalam memahami novel ini.
Awalnya saya cukup merasa kesulitan dalam memahami cerita dalam novel ini. Bahasa ilmiah yang menghiasi isi novel membuat saya yang awam akan dunia psikologi menjadi bingung akan makna kata yang dituliskan. Apalagi tidak ada catatan kaki yang menjelaskan kata-kata tersebut. Andaikan ada penjelasan sedikit saja, mungkin akan sangat membantu pembaca seperti saya dalam mengikuti jalan cerita.
Namun, walaupun agak kesulitan pada mulanya, tidak mengurangi ketertarikan saya terhadap novel ini. Gaya bahasa yang mengalir dan alur maju-mundur yang digunakan penulis, membuat cerita yang dituliskan sedemikian hidup. Disisi lain, nilai kebajikan yang termuat dalam novel ini sangat patut kita renungi. Nilai penting yang saya ambil dari novel ini adalah pentingnya kita berbuat tulus. Manusia harus belajar kembali nilai ketulusan dalam dunia yang mulai gila ini. Gila karena disekitar kita hari ini, banyak orang yang “gila” akan harta, tahta, dan jabatan.
“Kadang, sikap tulus dapat menyelamatkan kita dari carut-marut dunia yang tidak kita pahami” (hal 205).
Profile Image for A.A. Muizz.
224 reviews21 followers
December 29, 2015
Judul: Bulan Nararya
Penulis: Sinta Yudisia
Penerbit: Indiva Media Kreasi
Cetakan: Pertama, Dzulqo’dah 1435/ September 2014
Tebal: 256 halaman
ISBN: 978-602-1614-33-4
Harga: Rp 46.000,00

Blurb:
Aroma mawar makin tajam tercium.
Aku menundukkan kepala, gigi gemelutukan. Rahang saling beradu. Kedua kaki berdiri tanpa sendi, namun betis mengejang kaku. Berpegangan pada kusen pintu, perlahan tubuh melorot ke bawah. Ada sebaran kelopak mawar yang tercabik hingga serpihan, di depan pintu ruang kerja. Sisa tangkai dan batang serbuk sari teronggok gundul, gepeng terinjak. Cairan. Cairan menggenang, berpola-pola.
Aku bangkit. Terkesiap. Otakku memerintahkan banyak hal tumpang tindih. Lari, keluar, berteriak. Atau lari ke dalam, mengunci pintu. Atau lari masuk, menyambar telepon. Tidak. Anehnya, intuisiku berkata sebaliknya. Tubuhku berbalik, meski melayang dantremor, dengan pasti menuju tas. Merogoh sisi samping kanan, hanya ada pulpen dan pensil. Merogoh sisi kiri, ada tas plastik kecil, bekas tempat belanjaan yang disimpan demieco living.
Segera kuambil tas plastik kecil, membukanya, menuju ke arah pintu.
Halusinasiku harus menemukan jawaban.
***
Have no fear of perfection, you'll never reach it.
—Salvador Dali
Tak ada manusia yang sempurna. Begitu pula dengan para terapis kesehatan mental, tak ada jaminan mereka bebas dari gangguan mental. Karena setiap orang menyimpan masalah mental dalam dirinya, tinggal seberapa besar orang itu dapat mengendalikannya.
Novel ini menjadikan Nararya—atau biasa dipanggil Rara—sebagai tokoh sentral. Rara bekerja sebagai terapis di sebuah klinik kesehatan mental di Surabaya. Rara merupakan sosok yang sangat profesional dan memiliki dedikasi tinggi dalam pekerjaannya.
Setiap hari, dia harus berinteraksi dengan berbagai macam klien (sebutan untuk pasien). Namun, setidaknya ada tiga klien yang menetap di mental health care itu, yang menjadi pusat kehidupan Rara di tempat kerjanya.
Pertama, Sania. Gadis menjelang usia remaja ini ditemukan dengan kondisi yang mengenaskan dan tubuh penuh lebam oleh Dinas Sosial. Sania dibesarkan oleh neneknya yang suka memukul dan menyiksanya. Sementara ibunya adalah wanita yang gemar berganti-ganti pasangan, dan ayahnya seorang pemabuk.
Kedua, Pak Bulan. Orang tua ini adalah mantan residivis yang dibuang begitu saja. Penyuka purnama ini, sehari-hari merawat kebun mawarnya di klinik.
Ketiga, Yudhistira. Lelaki ini dibesarkan dalam sebuah keluarga yang terdiri dari ibu dan tiga kakak perempuan yang bersikap superior. Setelah menikah pun, dia hidup bersama seorang istri yang teramat mandiri. Hal ini membuat kesehatan mentalnya terganggu. Sehari-hari, dia hanya berdiam dalam kamarnya, dan melukis lukisan abstrak.
Selain harus mengurusi klien-kliennya, Rara juga mempunyai masalah pribadi yang tidak mudah. Rumah tangganya dengan Angga yang sudah berusia sepuluh tahun, kandas begitu saja. Yang membuat Rara semakin shock, ternyata Angga menjalin hubungan dan kemudian menikah dengan Mozza, rekan kerja serta sahabat tempat Rara menumpahkan curahan hatinya selama ini. Kondisi mental Rara semakin kacau ketika mengetahui Mozza hamil. Sesuatu yang belum bisa dia berikan kepada Angga dalam sepuluh tahun pernikahan mereka. Di samping hal tersebut, Angga belum bisa move on dari Rara. Dia terus-menerus memperhatikan Rara, sehingga membuat permasalahan hidup Rara semakin rumit.
Dalam kondisi Rara yang demikian, teror darah dan bunga mawar yang disampaikan di blurb itu terjadi. Bagaimana Rara menjaga kondisi kewarasannya? Bagaimana dia akan menolong klien-kliennya untuk mencapai kesembuhan jika kondisi mentalnya sendiri sedang bermasalah?
***
Benar adanya apa yang disampaikan Sigmund Freud melalui teori psikoanalisa-nya, bahwa luka-luka di masa lalu akan mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan di masa yang akan datang. Begitu pun dengan tokoh-tokoh dalam novel Bulan Nararya. Gangguan kesehatan mental yang mereka alami adalah efek dari luka hati yang telah dideritanya selama bertahun-tahun.
Sinta Yudisia, melalui Bulan Nararya, ingin mengubah paradigma masyarakat secara umum yang mendiskreditkan dan memandang sebelah mata terhadap para penyandang skizophrenia. Bila orang-orang mengalami penyakit fisik dinyatakan sembuh dari penyakit yang dideritanya, keluarga pasti akan menyambut dengan suka cita. Lain halnya jika orang itu adalah orang dengan kesehatan mental yang terganggu. Keluarga akan kebingungan karena menganggapnya sebagai aib yang akan dipergunjingkan masyarakat. Kasus seperti inilah yang terjadi pada Yudhistira saat dinyatakan sudah dapat berkomunikasi lagi dengan sekitar. Namun, ibu, kakak-kakak, dan istrinya masih enggan untuk menerimanya lagi dalam rumah mereka.
“Bila luka luar yang mengering harus demikian diperlakukan berhati-hati agar tak mengalami benturan dan sobek di tempat yang sama, bagaimana luka hati penyandang gangguan mental yang kembali ke tengah keluarganya? Bukan saja dibenturkan, luka hatinya seringkali disentuh berulang, dikoyak, dibuka lagi dan lagi.” (Halaman 52)
Melalui karya wanita yang sekarang menjabat sebagai Ketua Umum Forum Lingkar Pena ini, kita diajak belajar bagaimana memberi perlakuan terhadap penyandang skizophrenia. Juga belajar sedikit tentang ilmu psikologi. Beberapa istilah psikologi bertebaran dalam novel ini. Namun, semuanya dijelaskan dengan baik melalui narasi maupun adegan, sehingga pembaca tidak hanya dibuat mengerti, tetapi juga menikmati.
Selain hal-hal yang terkait dengan proses penyembuhan penyakit mental, penulis Kitab Cinta dan Patah Hati ini juga banyak membahas tentang cinta dalam Bulan Nararya. Bukan hanya cinta terhadap pasangan hidup, namun juga cinta terhadap keluarga dan sesama.
Yang paling membuat hati saya tersentuh adalah bagaimana sikap Diana, istri Yudhistira, untuk mempertahankan rumah tangganya dengan Yudhistira. Bagaimana dia berusaha menerima kekurangan Yudhistira yang kala itu menderita skizophrenia. Bagaimana dia mencoba berinteraksi kembali dengan suaminya yang tak lagi mengenalnya.
“Aku belajar satu hal dari Diana, Angga. Juga dari Yudhis. Kadang, sikap tulus dapat menyelamatkan kita dari carut-marut dunia yang tidak kita pahami.” (Halaman 205)
“Namun, cinta saja tak cukup untuk menjembatani. Hubungan cinta kasih juga membutuhkan pengalaman dan skill atau keahlian. Kau bisa saja mengatakan mencintai pasanganmu dengan sangat, tapi apakah caramu sudah cukup ahli untuk membuatnya terkesan, atau justru menjauh dan tertekan?” (Halaman 57)
Dengan diksi yang memukau dan nyaman dibaca, Sinta Yudisia mampu membawa pembaca Bulan Nararya menuju pemahaman baru, juga pengetahuan baru tentang bagaimana kondisi sesungguhnya para penyandang gangguan mental. Sehingga kita tidak lagi melihat mereka dari apa yang tampak dari luar saja. Tetapi, berusaha melihat latar belakang masalahnya, dan membantu proses penyembuhannya. Pun dengan bagaimana menghadapi stress pada diri sendiri yang bayak dituturkan Bu Sausan, sang pemilik klinik, kepada Rara.
“Terapis yang hebat, bukan mereka yang mampu menangani segala. Tapi yang tahu kapan harus meminta bantuan dari orang lain, di titik tertentu.” (Halaman 101)
“Kesukaanmu mencari apa yang tersembunyi di belakang, akan menyulitkan. Pakai saja konsep here and now. Apa yang ada di hadapanmu, itu saja.” (Halaman 93)
Oh ya, membaca novel ini mengingatkan saya saat membaca novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari, di mana ada satu bahasan yang senada. Yaitu, tentang makna kewarasan dan ketidakwarasan yang kadang terpikirkan oleh Rara saat berinteraksi dengan klien-kliennya:
“Apa seseorang dianggap tak normal dikarenakan dia mengekspresikan sesuatu dengan cara yang berbeda? Apa manusia menganggap seseorang waras hanya karena dia seperti orang kebanyakan?” (Halaman 32)
***
Sebagai novel juara tiga Kompetisi Menulis Tulis Nusantara 2013 yang diselenggarakan oleh Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, bagi saya kekurangan novel ini adalah minimnya menunjukkan lokalitas, terutama lokalitas Surabaya sebagai setting tempat utama. Memang, ada adegan-adegan yang bersetting di Palu dan Madura, dan menampilkan keindahan alam di sana. Namun, lokalitasnya juga terasa sangat minim.
Selain itu, metode transpersonal (metode penyembuhan penyakit mental dengan pendekatan budaya dan keluarga, sehingga mengurangi obat-obatan kimia) yang terus-menerus menjadi perdebatan antara Rara dengan Bu Sausan yang konvensional dan konservatif, kurang mendapatkan porsi dalam novel ini. Sehingga jika tidak membaca novel ini dengan teliti, metode ini akan terlewatkan begitu saja oleh pembaca. Padahal penulis sudah menyuguhkannya, setidaknya, melalui tokoh Yudhistira, ibunya, dan istrinya.
Empat setengah bintang saya berikan untuk novel ini. Selain gaya bercerita yang enak, diksi yang keren, karakter tokoh utama maupun figuran yang kuat, dan kisah yang menarik serta inspiratif, novel ini menyajikan masalah psikologi dengan bahasa ringan dan mudah dipahami. Berbeda dengan novel sebelumnya (Rinai) yang cenderung berat.
Profile Image for Iis Soekandar.
11 reviews
Read
October 25, 2015
Resensi novel :
Bulan Penuh Kejutan

Judul buku : Bulan Nararya
Penulis : Sinta Yudisia
Penyunting bahasa : Mastris Radyamas
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Ketebalan : 256 halaman
Ukuran : 19 cm
ISBN : 978-602-1614-33-4
Cetakan I : September, 2014
Harga : Rp 46.000,00

Novel ini bercerita tentang seorang terapis bernama Rara. Dia bekerja di sebuah klinik kesehatan. Tepatnya klinik kesehatan khusus penderita gangguan jiwa yang dalam bahasa ilmiahnya, skizophrenia. Berbeda dengan pengobatan pada umumnya termasuk di mental health center milik Bu Sausan sekaligus atasan tempatnya mengabdi, yaitu farmakologi, Rara menawarkan metode transpersonal yang lebih humanis. Transpersonal mengaitkan orang-orang terdekat, agama, serta budaya setempat untuk penyembuhan pasien. Dibanding farmakologi yang membuat pasien cenderung kecanduan obat. Karena memakan waktu antara sepuluh hingga lima belas tahun, tentu ditolak tegas atasannya. Begitupun rekan kerja sekaligus sahabatnya, Moza.
Namun Rara tidak patah semangat. Ia tetap mengabdikan tenaga dan pikirannya pada klinik seorang wanita yang pernah menjadi dosennya itu. Sengaja atau tidak, sebetulnya dia telah melibatkan orang-orang terdekat atau anggota keluarga untuk pemulihan jiwa pasien. Terlihat ketika menangani Yudhistira. Lelaki muda itu hampir bercerai dengan istrinya, Diana, karena keluarga besarnya, mama dan saudara-saudara kandung, ikut campur urusan rumah tangganya. Mereka menuduh Diana terlalu menguasai lelaki hingga menolak semua bantuannya. Sementara Diana mengatakan merekalah yang terlalu ikut campur urusan keluarganya. Dalam kondisi seperti itulah pikiran Yudhistira limbung. Dia tidak tahu harus berbuat apa selain diam dan terus diam yang akhirnya menjadi berkepanjangan dan tidak terkontrol di luar batas manusia normal. Satu sisi dia menyayangi kelurganya, sisi lain dia mencintai Diana, istrinya.
Pasien lain yang ditangani Rara adalah Sania. Dialah orang pertama yang ditemui di klinik. Gadis kecil yang pernah mengenyam pendidikan hingga kelas 2 SD itu ditemukan pertama kali oleh dinas sosial di terminal dalam keadaan tubuh terluka. Karena tanpa keluarga yang menginformasi dia berpindah dari satu tempat ke tempat lain hingga sampai di klinik Bu Sausan. Sania tumbuh di tengah keluarga broken dan kerasnya hidup. Jauh dari rasa bahagia layaknya dialami anak-anak seusianya. Nenek suka menghadiahi sabetan rotan, ibu pemarah, gonta ganti pasangan, dan ayah seorang pemabuk. Tidak heran bila yang ada dalam benaknya kemudian kata marah dan benci. Ayahnya yang pernah mengajaknya keluar dari klinik ditentang keras. Dia bahkan nyaris bunuh diri dengan meminum obat pencuci pakaian. Beruntung maut urung menjemputnya setelah sempat dirawat di rumah sakit.
Pak Tua atau Pak Bulan adalah pasien berikutnya. Dengan wajah tirus dan badan terlalu kurus dialah penghuni lembaga pemasyarakatan. Tidak banyak yang tahu kisah hidupnya. Karena kekurangn gizi, kasih sayang, dan perhatian, membuat terbelakang mentalnya. Seringnya berada pada malam hari dengan menatap bulan itulah, Rara memanggilnya Pak Bulan. Dia selalu mengatakan purnama walau bulan berbentuk sabit.
Kedekatan Rara dengan pasien-pasiennya tak urung menjadikan mereka dekat pula satu sama lain. Hingga suatu saat terjadi cinta segitiga antara, Yudhistira - Diana, istri Yudhistira, - Sania. Pak Bulan ikut menyumbangkan serpihan bunga mawar, hasil kesukaannya berkebun. Ketegangan pun tercipta dan menyangka Rara berhalusinasi saat ditemukan serpihan kelopak bunga mawar bercampur darah di depan kantornya pada malam hari. Intinya, mereka tidak mau kehilangan orang-orang terkasih, termasuk kehilangan Rara yang sudah menjadi bagian dari mereka. Hal itulah yang membuat Rara tidak mengundurkan diri walau awalnya Bu Sausan pernah menolak. Karena pada akhirnya beliau mengijinkan metode transpersonal kelak menjadi bagian dari pengelolaan klinik, bagian baru yang ditawarkan Rara.
Membaca judulnya yang muncul adalah keterkaitan sebuah benda langit yang hadir pada malam hari. Namun bagaimana keterkaitan “bulan” karena ternyata Nararya adalah nama panjang Rara yang dalam novel ini menjadi tokoh sentral. Sebagaimana judul novel ini, Bulan Nararya. Biasanya nama panjang sekalian ditampilkan. Namun penulis berhasil membuat penasaran, bahkan sepanjang novel ini selesai. Sambil mengikuti cerita demi cerita pembaca mungkin mengira nama Bulan berkait dengan salah satu penghuni klinik dengan panggilan Pak Bulan. Setelah melalui serangkaian penantian panjang, kepenasaran tentang Bulan terjawab di akhir cerita. Tidak berhubungan dengan Pak Bulan, tapi dari pasien lain, Yudhistira. Dari kesukaannya melukis, ia menghadiahi Rara sebuah lukisan bulan dengan di tengahnya tergambar wajahnya, maka menjadilah Bulan Nararya.
Yang paling menegangkan ketika nyawa Rara nyaris terancam. Dalam budaya masyarakat bunga mawar dan darah identik dengan perlambang kematian. Darah berhubungan dengan pembunuhan, sedangkan kelopak-kelopak bunga mawar sebagai taburan setelah kematian. Suatu malam seorang diri Rara akan pulang, tiba-tiba di depan pintu ruangannya ditemukan serpihan kelopak-kelopak bunga mawar bercampur darah. Cerita pun dibangun penuh ketegangan. Rara mengalami kejadian serupa dua kali terjawab oleh peristiwa sederhana namun berhasil menyita perhatian. Sania, pasiennya yang baru menginjak remaja, mengalami menstruasi pertama dan belum bisa memakai pembalut, sisi lain dia suka bunga mawar. Dia tidak mau ditinggal Rara, orang terdekat sepanjang dia berada di klinik. Karena tidak bisa mengungkapkan, ia lampiaskan dengan berada di depan kantor Rara dalam keadaan apa adanya. Kejutan ini tidak diungkapkan secara eksplisit, namun melihat bukti-bukti kebiasaan Sania cukup sebagai jawaban.
Kejutan lain ketika hubungan Angga, mantan suaminya, retak dengan istrinya. Sementara istrinya yang tidak lain mantan rekan kerjanya, Moza, sedang hamil. Keadaan yang tidak pernah dialami selama sepuluh tahun hidup berumah tangga bersama Angga. Angga kemudian memberikan perhatian tak ubahnya ketika mereka hidup bersama dulu. Bahkan nyata-nyata mengatakan kalau Rara lebih tahu banyak tentang dirinya dibanding Moza meski telah menjadi istrinya.
Keretakan itu membuat mereka juga ingin berkonsultasi. Di luar dari hubungannya bermasalah, Rara sempat berpikir kalau Angga akan kembali kepadanya. Bahkan anak yang ada dalam kandungan Moza suatu saat akan diasuhnya. Moza masih muda dan tentu masih banyak pula lelaki yang menginginkannya. Siapa tahu ia tidak mau dibebani anak dan menyerahkan hak asuh bayinya kelak dipangkuan Angga. Bukankah kalau mereka kembali berdua Rara juga ikut mengasuh dan merasakan punya anak ? Sayang pembaca hanya diberi kesempatan berandai-andai. Karena novel ini selesai sebelum cerita dibahas lebih lanjut.
Terlepas dari kejutan demi kejutan ditampilkan, terasa ada yang monoton. Dari lembar ke lembar halaman cerita yang ditampilkan selalu berkutat dengan masalah. Tidak ada cerita bahagia dibalik masalah-masalah. Misal cerita bulan madu ketika Angga dan Moza baru saja menjadi suami istri. Termasuk Bu Sausan atasannya juga ikut menyumbangkan kepedihan tak kalah rumit pada cerita masa lalunya. Menangani klinik terapi yang berhubungan dengan gangguan jiwa tidaklah harus semua orang yang terlibat di dalamnya juga pernah terkena masalah berat. Kendati setiap orang pasti pernah mengalami masalah. Lebih bervariatif jika `orang dalam` berlatar belakang keluarga bahagia. Mereka ingin berbagi kebahagiaan karena ternyata tidak setiap orang beruntung seperti mereka.
Diantara kelebihan dan kekurangan, hikmah yang paling penting bahwa permasalah apapun membutuhkan dukungan orang-orang terdekat atau keluarga, seberapapun orang bisa membayar mahal seorang profesional handal di bidangnya. Disamping itu, hidup adalah kenyataan. Maka menghadapinya jalan terbaik, bukan menghindarinya.
Disamping novel yang memberikan hiburan dan isi yang sarat dengan makna kehidupan sehari-hari, pembaca pun disuguhi pemakaian bahasa tingkat tinggi namun tetap mudah dipahami. Penggunaan gaya bahasa dan diksi atau pilihan kata yag tepat membuat cerita ini memiliki nilai sastra. Sebuah karya seni yang tidak saja punya manfaat hidup tetapi juga literer dan patut dikoleksi. Maka pantaslah kalau novel ini memenangkan salah satu penghargaan dalam penulisan novel bertaraf nasional.
@@@
Profile Image for Naning Pratiwi.
17 reviews4 followers
December 18, 2015
Suaranya terdengar serak di seberang.
Bingung. Marah tertahan. Juga, luka di akhir tarikan napas.
"Aku harus bagaimana?"
Jam dinding menjawaw dengan dentangan berjumlah dua. Dini hari yang memberatkan kelopak mata.
"...dia bunuh kucingku!"

Opening yang cukup membuat penasaran.
Awal melihat novel ini sudah jatuh hati sama covernya yang cantik. Apalagi pembukaan di awal cerita dan ringkasan di sampul belakang akhirnya memberi rasa penasaran untuk lebih jauh mengenal kisah sebenarnya yang berusaha dijelaskan penulis.
"Seseorang yang pernah utuh di masa lampau, terpotong sebagian masa-waktu akibat kehilangan ingatan dan kemampuan menganalisa realitas, demikianlah ciri khas skizophrenia yang lazim disebut ketidakwarasan." - hal 240
Ini novel perdana dari kak Sinta Yudisia yang berhasil aku selesaikan. Pokok utamanya tentang problematika dalam hidup, masalah kehidupan yang lebih kompleks. Masalah internal dan eksternal yang selalu dihadapi manusia. Namun settingnya berada di area "mental illness". Adalah Nararya, yang akrab disapa Rara sebagai tokoh utama jalannya cerita. Harus bergelut dengan lingkungan pribadi dan kerja yang memberinya banyak pergesekan, membuatnya harus bisa bertahan. Sebagai terapis, yang juga sebagai manusia biasa, masalah tidak hanya berasal dari satu sisi. Banyak rasa yang tercipta di dalamnya. Ada marah, benci, sedih, kecewa, cinta dan kasih sayang.
"Terapis yang hebat, bukan mereka yang mampu menangani segala. Tapi yang tahu kapan harus meminta bantuan dari orang lain, di titik tertentu." hal 101
"Kamu terapis? Ya! Tapi kalau nggak mampu mengatasi persoalan pribadi, bukan dosa ketika meminta bantuan orang lain. Di sisi lain, hanya kita yang tahu kekuatan diri sendiri. Kamu harus bangkit. Move On! Sekarang, atau terlambat!" hal 101
Berawal dari gagasannya mengubah cara penyembuhan penderita skizophrenia agar tidak selalu bergantung pada farmakologi. Pada obat-obatan. Gagasan transpersonalnya yang ternyata ditentang oleh bu Sausan, atasannya di mental health center tempat Nararya bekerja. Mungkin, karena Nararya yang sudah cukup dekat dengan tiga teman luar biasanya, seperti Sania - gadis kecil yang beranjak dewasa, yang mempunyai latar belakang kekerasan dalam keluarga, hingga ia harus mendekam di pusat rehabilitasi -, Yudhistira; arsitek tampan yang mempunyai istri pintar nan cantik, yang tak mampu membendung emosinya akibat tekanan dari keluarga serta pak Bulan, mantan residivis yang selalu bergelut dengan mawar, dan Purnama yang selalu ia sebutkan, tanpa mengindahkan bentuk bulan sebenarnya. Simpati atau bahkan kasih sayangnya mendorong dirinya untuk membuat terobosan baru agar mereka tidak kambuh atau bergantung pada obat-obatan.

Masalah bisa datang dari banyak hal, bukan? Mungkin ini yang ingin ditekankan oleh penulis. Life is never flat. Di samping perselisihannya dengan sang atasan, Nararya dihadapkan pada gejolak rumah tangga yang akhirnya harus ia lepaskan. Angga, suami yang dicintainya, yang dulunya membuatnya merasa sempurna, akhirnya membuatnya kecewa setengah mati. Sepuluh tahun kebersamaan mereka kandas diakibatkan Angga yang lebih memilih untuk bersama Moza, sahabat Nararya. Puk puk bu Rara :D :D :D
"Aku menjauh. Apa aku bisa tegas menolaknya? Apa Angga dan Moza resmi menjadi musuhku? Sejak kapan? Sejak aku bercerai dari Angga dan Moza menjadi istrinya diam-diam?" hal 123
"Aku memilih menyelamatkan diri. Kuizinkan Angga dan Moza melihat hubungan dalam sudut pandang yang berbeda, meski aku tak berharap Moza mengalami hal yang sama buruknya dengan diriku. Walau sempat, sebagai manusia, aku mengutuknya. Bagaimana mungkin seorang sahabat merebut seseorang yang kucintai, di saat terakhir?" hal 28
Tidak sampai disitu saja. Meskipun berat melepaskan Angga, di saat ia memilih untuk menyerah, kehidupan Angga dan Moza malah memberinya banyak masalah baru. Angga yang menjadi kliennya, hingga kedatangan Moza yang selalu mencecarnya dengan banyak hal. Lalu, apakah masalah Rara akhirnya selesai begitu saja setelah kedatangan Moza dan Angga (dengan status yang berbeda)??

Banyak tokoh yang terlibat dalam cerita ini, dari latar belakang dan usia yang berbeda. Sehingga memunculkan banyak intrik dan konflik yang tercipta. Di lain persahabatan dan rumah tangganya yang kandas, masalah dari keluarga pasien menambah alur cerita lebih varian. Ketidakharmonisan keluarga Yudhistira - istrinya dengan ibu dan kakak-kakak Yudhis -, kedatangan ayah kandung Sania yang meminta anaknya, hingga halusinasi Rara tentang mawar dan darah yang sering ia lihat - yang membuatnya dikira mengidap skizophrenia - menambah daftar konflik, hingga seoalah tidak ada habisnya dan menuntut jawaban akan akhir kisahnya.
"Setiap orang pernah punya halusinasi. Ilusi. Malah ada orang-orang yang bisa mendengar suara aneh, melihat bayangan gaib. Itu ciri khas skizophrenia, orang gila." hal 138
Penggunaan sudut pandang orang pertama, banyak membantu menjelaskan cerita yang terjadi. Apalagi sedikit misteri berbumbu detektif semakin menambah aroma mistis di dalam cerita.
Namun, banyak kata-kata psikologis macam demonish (hal 8), celebral palsy, slow learner, multi handicapped (hal 18) atau kata-kata lain yang tidak saya mengerti kadang membuat saya harus menghentikan membaca dan mencarinya lewat internet. Mungkin, jika pengetian yang berada di halaman terakhir dijadikan footnote akan memudahkan dan memberi kepuasan lebih bagi para pembaca. :D :D :D

Dan yang menurut saya sedikit aneh adalah, daftar isi yang ternyata judulnya pun tidak dituliskan di tiap pergantian bab. Menurutku, lebih baik diberi judul tapi tidak ada daftar isi, atau memberikan daftar isi dan diberi judul. Kan, kalau pengen tahu judulnya nggak usah bolak-balik halaman awal :D nanti jadi gagal fokus. Hehehe.. :D :D

Oh iya, MVP atau kalau di olahraga Most Valuable Player a.k.a pemain terbaik adalah Bu Sausan. Saya menyukai karakter tegas dan berwibawa beliau, meskipun kadang-kadang menjengkelkan. Nararya, aku juga menyukainya. Meskipun rapuh, tapi akhirnya berkat dukungan dari banyak orang, ia bangkit. Salut juga buat Diana yang akhirnya memilih hal yang benar :D :D :D Aduh, cerita cinta Luna sama Randi juga jadi sedikit hiburan setelah gemas-gemas sebal dengan Nararya yang gagal move on dari Angga. (Angga?? Apa baiknya coba, bu Rara. hehehe.. :D)

Aku paling benci sama Angga. Bener-bener benci. Aduhh,, pingin ngetimpuk pake buku tebal deh. :P :D Udah gedhe, tapi kok tetap labil. Dan Moza, kalian bisa baca sendiri konflik yang mereka bangun. Keduanya cocok deh, bikin aku galau kaya Nararya... Setuju banget sama Nararya yang berusaha Move On dan melepas Angga. Dan saya masih sebel sama Moza. (Ngerasa senasib. Ehhhh.. xD sedikit curcol. Hehehe.. )

Belum kutemui salah ketik, entah karena keasyikan menikmati cerita yang super menyita rasa penasaranku, atau saya memang melewatkannya begitu saja. :D
Saya sempat bingung, bagaimana akhir yang disediakan kak Sinta. Sempat kecewa sama konflik di keluarga Yudhis yang belum bisa buat saya "ngeh" maksimal (apa karena terlalu fokus sama endingnya Moza-Angga-Nararya, Yudhis-Sania-Diana (Sania enaknya ikut nggak ya.. :D :D Bisa dipahami sendiri deh :D). Tapi, overall, konflik satu sama lain terbangun dengan sempurna. :D Tiga jempol buat kak Sinta yang sukses bikin saya penasaran sampai akhir cerita.
"Tak usah mencari apa makna yang tersirat. Kesukaanmu mencari apa yang tersembunyi di belakang, akan menyulitkan. Pakai saja konsep here and now. Apa yang ada di hadapanmu, itu saja." hal 93
Novel ini menarik dan layak dijadikan koleksi bagi yang yang menginginkan lari dari serial Love and Travel, le Marriage yang tengah menjamur (bukan lari dari kenyataan loh :D ehhhh). Recommend banget. Kata-kata motivasi dan quote yang bertebaran cukup pas buat yang pengen Move On. Terapis patah hati aja harus Move On, apalagi kamu, yang manusia biasa. Ehhhhhhhhhhhhhhhhh :D :D :D
(Sedikit nyindir :D)
"Kehidupan tak pernah mudah. Bukan masa lalu yang menghancurkan seseorang, bukan orang lain yang mencelakakan, tapi sejauh mana manusia mampu mem
Profile Image for Rahmadiyanti.
Author 15 books173 followers
November 20, 2020
Rasanya sudah cukup lama tidak membaca karya Mbak Sinta setelah Reem. Dan pas banget, saya sedang menyunting naskah yang salah satu tokohnya juga mengalami kondisi kejiwaan skizofrenia. Jadi dapat insight juga deh :D.

Seperti biasa, novel-novel yang ditulis Mbak Sinta adalah hasil riset dan persentuhan langsung dengan karakter dalam cerita. Kok, saya pede bilang kalau penulis telah melakukan persentuhan langsung? Ya, bicoz saya percaya dengan penulis ;). Novel lain penulis misalnya, Existere, adalah hasil persentuhan langsung penulis dengan beragam manusia di Komplek Dolly.

***

Bulan Nararya atau Rara, adalah seorang terapis yang bekerja di klinik milik Bu Sausan. Ia menangani klien/pasien yang memiliki gangguan kejiwaan skizofrenia, di antaranya Sania, Yudhistira, dan Pak Bulan. Suatu hari Rara menghentikan terapi karena ia ingin menerapkan metode baru, yaitu transpersonal. Metode ini berusaha menyembuhkan klien melalui pendekatan religi dan mengurangi ketergantungan obat pada klien. Metode yang awalnya ditolak oleh Bu Sausan. Sebab Bu Sausan tak ingin menjadikan klien sebagai percobaan yang akan merugikan mereka. Sebaliknya, Rara ingin menemukan hal-hal terbaru yang memanusiakan klien dalam pengobatan mereka.

Pada sisi lain, sebagai manusia biasa, Rara juga mengalami problematika hidup sendiri. Perceraiannya dengan Angga setelah 10 tahun usia pernikahan, membuat ketegangan dalam hidupnya. Tak cukup sampai di situ. Angga menikah lagi dengan Moza, sahabat sekaligus rekan kerjanya. Dan Moza... hamil. Sesuatu yang tak bisa Rara berikan pada Angga sepanjang pemrikahan mereka.

Maka cerita pun berkelindan pada problematika Rara menghadapi klien yang juga ia anggap sahabat; Yudhistira, Sania, dan Pak Bulan. Pada usahanya menerapkan metode transpersonal, juga pada usahanya menghadapi kehidupan setelah perceraian termasuk saat ia harus menghadapi klien yang juga mantan suaminya.

Cerita yang cukup pekat. Menyajikan salah satu kondisi psikosis dan membalutnya dalam kisah yang membumi. Meski, saya kurang sreg dengan penggunaan (sebagian) kalimat tanpa subjek atau objek dalam novel ini. Sepertinya penulis sedang bereksperimen :). Selain itu, masih ada beberapa typo atau penyuntingan yang kurang rapi. Di awal aja salah menulis judul lagu Ballade pour Adeline. Kalau kata orang Betawi "Jadi kurang resep" (kedua huruf e dibaca dengan e pepat) ;)
Profile Image for Kirana Winata.
27 reviews
December 29, 2015
:: Sisi Psikis Sang Terapis ::


Judul Buku : BULAN NARARYA
Penulis : Sinta Yudisia
Genre : Fiksi Psikologi
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Editor : Mastris Radyamas
Desain Sampul : Andhi Rasydan & Naafi Nur Rohma
Cetakan : I, September 2014
Tebal : 256 halaman; 19 cm
ISBN : 978-602-1614-33-4
Harga : Rp. 46.000,-


Permusuhan menciptakan kesepian—juga kekuasaan. Aku merasa lebih bertahta
Meski terisolasi. Membangun dinding. Mengunci diam. (halaman 7)

Nararya yang biasa dipanggil Rara, bekerja di salah satu klinik rehabilitasi mental milik Bu Sausan di Surabaya. Sebagai salah satu terapis di bagian schizophrenia, membuatnya bersahabat dengan Yudhistira yang identik dengan tisu, semprotan disinfektan di saku baju-celana, Pak Bulan yang terobsesi dengan purnama dan Sania yang hanya mengenal kata ‘benci’.

Dengan ketiga orang itulah Nararya sangat terikat secara emosional. Akrab, menganggap mereka sebagai teman sendiri. Ketika merasa teman lainnya yang ‘normal’ tak cukup mengerti dirinya. Lara hati Nararya yang terlanjur menganga bahkan dilipur oleh keberadaan mereka. Atau barangkali lebih tepatnya, Rara yang lebih memilih bersama mereka.

Kisah dibuka dengan Rara yang diberitahu ada meeting di klinik oleh Moza. Dari sinilah kemudian pembaca digiring pada percakapan antara Rara dan Moza yang cenderung seperti perang dingin. Ditambah ide baru Rara dalam menyembuhkan para klien dengan metode transpersonal: suatu aliran baru psikologi yang menyembuhkan penderita gangguan mental dengan pendekatan budaya, pengalaman puncak seperti Sufi, Shaman, Tao, Tantra, Zen (halaman 256), membuat Moza yang dulunya sahabat karib Rara, semakin berjarak dengannya.


Bila di klinik Rara harus bergulat dengan para klien, maka sebetulnya dia pun mesti berjibaku dengan kondisi diri plus hatinya sendiri. Rara mati-matian berpura-pura jika selepas pernikahannya dengan Angga kandas, dia baik-baik saja. Sebab nyatanya adalah kebalikannya. Wajar tentu, ketika sahabat sendiri terendus intim dengan sang (mantan) suami, setelah pernikahan menginjak usia 10 tahun.

Di ruang manapun bila dia pulang, bayang-bayang Angga masih menghantui. Pertemuan pertama dengan Angga di satu seminar, momen spesial saat Angga melamar, hingga sikapnya yang penuh perhatian. Lalu pengkhianatan itu. Terus berputar-putar di tempurung kepala Rara. Problem itulah yang agaknya menjadi pangkal konflik batin Nararya, si tokoh utama. Yang bahkan secara pribadi mengalami gangguan, semacam sulit tidur lalu terkadang ada halusinasi-halusinasi yang dialami.

Kisah selanjutnya bergulir pada usaha Nararya melakukan mediasi dengan keluarga—ibu, tiga kakak perempuan dan istri—Yudhistira (seorang pengidap schizoprenia) yang alot. Namun, dari pertemuan-pertemuan itu Nararya menemukan benang merah apa yang menjadi pemicu atau penyebab Yudhistira yang teramat menyukai melukis terkena schizophrenia.

Ketegangan hari-hari Nararya di klinik muncul saat kemudian Nararya sering merasa di depan ruang kerjanya ada sesuatu yang mengetuk-ngetuk pintu, suara gesekan kaki ke lantai dalam nada cemas, dan seseorang entah siapa di balik sana. Sisi psikis Nararya sejak itu semakin terganggu. Terlebih pada kenangan hubungannya dengan Angga yang sejatinya benar-benar tidak mampu ditepis.

Sampai … di satu hari hendak pulang, saat memberanikan membuka pintu—sebab suara-suara halus itu sampai lagi ke telinga—di depan ruangan kerja Nararya berserakan beberapa kelopak mawar yang tercerabut dari tangkainya. Juga yang paling membuatnya shok, ada tetes-tetes darah pekat berceceran di sana. Anggalah yang pertama kali ada saat Rara kalap ketakutan. Lebih-lebih ketika ditengoknya kembali lantai di depan pintu tadi, tak ada apapun di sana. Sedikitpun jejak atau bekas. Membuat semua positif beranggapan bila Nararya sang terapis juga telah terganggu psikisnya.

Nararya berusaha membuktikan apa yang terjadi dan dialaminya bukan halusinasi belaka. Bahwa itu kenyataan. Ada seseorang tampak ingin memberi isyarat. Jika Nararya sangat berarti untuknya. Namun, dengan ungkapan dan ekspresi semacam itu. Tapi, siapa kira-kira dia? Apakah Pak Bulan yang memang hobi menanam bunga mawar bahkan memiliki kebun kecil khusus di klinik? Atau Yudhistira, klien yang terkadang melambungkan angan Rara, jika hidup bersamanya dapat lebih baik dibanding dengan Angga dulu? Atau barangkali Angga, yang setelah itu Rara merasa mulai mendekatinya lagi, memberi sinyal seolah ingin kembali?

Membaca Bulan Nararya, seperti berkaca pada kehidupan. Sehebat apapun seseorang selalu ada kekurangan. Bahkan Bu Sausan sang pemilik klinik, dulunya mengalami beberapa gangguan mental termasuk baby blues ketika usia muda. Betapa kondisi psikologi seseorang juga lebih banyak dipengaruhi faktor eksternal.

Alur dan plot novel Sinta Yudisia yang satu ini, sedikit terkesan kelam. Barangkali bersebab tema psikologi yang menjadi bahasan utama. Beberapa istilah dalam ilmu psikologi yang akan pembaca temui di sini serta merta menambah wawasan. Dan kisah yang disajikan juga memberi pembelajaran, jika seseorang yang mengalami gangguan mental sejatinya dapat dibantu untuk pulih dengan tetap ada interaksi dengan anggota keluarga. Sinta Yudisia—yang memang sedang menyelesaikan studi Magister Psikologi Profesi ini—seperti hendak ‘menyindir’ secara halus. Sebab di banyak kenyataan, keluarga yang salah satu anggotanya mengalami gangguan mental, lebih memilih tak mau tahu dengan apa yang terjadi dengannya. Bagian inilah yang dikritisi. Karena sikap menolak keluarga justru memperburuk keadaan.

Bila ditilik saksama dari awal hingga akhir, tak ada klimaks yang benar-benar klimaks di novel Bulan Nararya ini. Kecuali pada plot-plot ketika Nararya ‘diteror’ dan pada aksinya yang berusaha menyibak pelaku sekaligus untuk membuktikan bila dia ‘sehat’ tanpa gangguan mental. Selebihnya, alur serasa sangat lambat dan syahdu. Bagai berada di pantai dengan embusan angin sepoi-sepoi dan helaan napas lembut. Ending pun ditutup dengan scene yang sama lembutnya. Percakapan antara Yudhistira dengan Nararya sebelum Nararya pergi dari divisi mental yang selama ini dipegangnya.


Novel peraih "Juara III Kompetesi Menulis Tulis Nusantara 2013 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia" untuk kategori novel ini, patut duacungi jempol. Sebab riset yang dilakukan bukan sekadar pada setting tempat atau waktu, melainkan lebih dalam yaitu pada karakter-karakter manusia. Terutama pada orang dengan gangguan mental, dan ini bahkan bisa terjadi pada siapa saja, hatta seorang terapis sekalipun.

Yang menjadi nilai plus lain pada novel ini mungkin pada kalimat-kalimat nasihat (Bu Sausan) yang beberapa ditujukan pada Nararya. Tapi dapat pembaca resapi pula untuk terapi diri sendiri. Dari novel ini juga pembaca dapat belajar melihat dan memahami sesuatu hal lebih berbeda dari sebelumnya.


“Mengapa hanya matahari yang boleh terlihat di siang hari? Sesekali aku melihat bulan saat pagi dan terang.”

Melihat semesta dengan hati, berbicara dengan kulit, membaca sesuatu dengan telinga dan mencoba memahami kalimat dengan mata.
(Halaman 255)
Profile Image for Ifa Inziati.
Author 3 books60 followers
March 7, 2018
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya saya memutuskan...

Pernah membaca novel dan setelah menyelesaikannya, kamu seperti dapat banyak ilmu baru? Buku ini mengingatkan saya mengapa saya lebih memilih 'digurui' novel ketimbang suruhan langsung buku nonfiksi (jangan salah, nonfiksi sekarang bagus-bagus, kok!). Dengan alur cerita yang menghibur, saya turut diedukasi dengan trivia psikologi yang belum saya tahu. Tes yang berupa gambar bercak tinta dan kita diminta tebak gambarnya apa? Ternyata ada rumusnya dan jika jawabannya tidak sesuai kunci, berarti ada diagnosis tertentu. Fasilitas pemulihan penyakit mental kurang memadai? Lihat dulu lebih dekat, karena kita belum tahu apa yang sebetulnya mereka butuhkan. Skizofrenia sama dengan gila? Hold your horses. Mereka juga sama manusianya seperti kita semua.

Namun jujur, saya tersendat di bagian awalnya, terutama drama Rara-Angga-Moza. Ieuh banget kalau buat saya 😵 Sampai di cerita Yudish, saya baru menikmati, dan lancar jaya dari situ. Ada misterinya, tapi ternyata bisa saya menebak hehe. Mungkin karena mirip sama misteri di Die Therapy, novel psiko-thriller Jerman yang juga ketebak misterinya.

Dari cerita-cerita yang disajikan, saya paling suka bagiannya Yudish. Menyentuh banget 😭 Akhirnya, dia dapat keputusan yang bahagia. Begitu juga dengan Sania (dan saya masih penasaran apa penyebab dia begitu!) yang menunjukkan peningkatan. Saya suka cara penulis memperlihatkan Nararya atau Rara adalah seseorang yang mumpuni tanpa membuatnya Mary Sue. Patut dipelajari 👍 Lalu stigma 'psikolog kok nggak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri?' juga dijelaskan di sini dengan arif.

Yang buat saya agak gimana ya, drama cinta segitiganya itu. Getek. Lalu, gaya bahasa penulis yang, buat saya agak 'jadul' karena mengingatkan saya akan cerpen-cerpen majalah Ummi yang saya baca saat SD (Don't ask). Itu cukup menyulitkan saya di awal-awal. Frasa yang patah-patah, pemilihan kata yang 'Melayu'? (misalnya 'tak dinyana'), percakapan yang kaku, banyaknya metafora. Syukurnya makin ke sana bahasanya makin lugas.

Kalau kamu suka novel psikologi yang bikin kamu makin tertarik mempelajarinya, coba baca buku ini. Barangkali bisa klop 😁
Profile Image for Ratna Chalida.
13 reviews3 followers
December 5, 2014
Permusuhan menciptakan kesepian -juga kekuasaan. Aku merasa lebih bertahta meski terisolasi. Membangun dinding. Mengunci diam. (hlm. 7)

Kehalusan perasaan seringkali dimiliki oleh orang-orang berjiwa seni. Seniman, sebagian besar memiliki kecerdasan genius, menuangkan gagasan dalam beragam bentuk produktivitas karya musik, rupa, lukis, atau sastra. Saat berkontemplasi melakukan pengembaraan ilusi, bukankah mereka bersikap menyepi? Kemampuan menarik diri kembali ke dunia realita inilah yang membedakan seniman dengan skizophrenia. (hlm. 241)
*
Nararya Tunggadewi atau yang akrab disapa Rara, seorang terapis di klinik kesehatan, bersemangat menjadikan metode transpersonal sebagai salah satu usaha menyembuhkan para pasiennya. Para pasien skizophrenia.

Yudhistira. Seorang laki-laki yang hidup dikelilingi perempuan-perempuan berwatak tangguh dan mandiri. Sering memendam perasaan.

Sania. Remaja perempuan yang sejak dalam kandungan sudah diperlakukan dengan sangat buruk oleh orang-orang yang seharusnya melindunginya dan menghujaninya kasih sayang.

Diana. Istri Yudhistira yang tangguh dan sebenarnya total dalam mencintai suaminya.

Pak Bulan. Lelaki tua yang hobi sekali berceloteh tentang bulan (tepatnya purnama) dan sangat menyukai mawar.

Angga & Moza. Mantan suami dan mantan sahabat yang cintanya bersemi di saat rumah tangga Angga & Rara harus runtuh.

**
Nararya Tunggadewi. Sehari-hari bertugas menangani para pasien di klinik kesehatan milik Bu Sausan. Di sana, ia harus menghadapi berbagai polah dan tingkah penderita skizophrenia. Dari yang awalnya merasakan beban berat sebagai seorang terapis kemudian menjadikan para pasiennya sebagai teman berbagi suka dan duka hingga sangat bersemangat untuk mengembalikan dunia orang-orang yang divonis hilang akal tersebut.
Mengembalikan Yudhistira ke kehidupannya yang sempurna bersama istri dan ibu beserta saudara-saudaranya.
Mengajarkan Sania tentang fase dan perasaan-perasaan baru di hidupnya sebagai seorang manusia.
Menginginkan Pak Bulan hidup dengan ketenangan di hari tuanya.

Namun, ada kalanya semangat harus terpatahkan oleh masalah. Ya, apalagi jika masalah pribadi sudah bercampur aduk dengan profesi.
"Kalau Anda membawa permasalahan pribadi ke ranah kerja, imbasnya pada teman-teman! Bisakah kita melokalisasi masalah agar orang yang memang tidak terlibat, tidak harus menanggung akibatnya?" (hlm. 166)

Perceraiannya dengan Angga yang disebabkan titik puncak kekesalan Rara melihat sikap Angga membiarkan perempuan selain dirinya berharap lebih serta pengkhianatan Moza sebagai sahabat yang sebelumnya berusaha bermain sebagai pendengar yang baik bagi Rara & Angga.

Namun, justru ketika masalah pribadinya datang seolah-olah menyiksanya tanpa ampun, membuatnya tak berdaya menghadapi hal-hal di luar itu, menghadapi para pasiennya yang membutuhkannya baik sebagai penyembuh dan teman, Rara makin mantap mengajukan dan bahkan tanpa sadar mulai mengaplikasikan metode transpersonal itu pada pasiennya.


***
Secara keseluruhan, ini termasuk cerita yang lumayan menguras emosi jiwa dan raga. *halah* Hubungan antara karakter yang satu dengan karakter lainnya sih yang bikin geregetan. Phew.
- Hubungan Rara, Angga & Moza. The most exhausting kayaknya. Sebelumnya si Angga ini tertarik sama Moza, tapi berjodoh dengan Rara selama 10 tahun pernikahan. Opposites attract. KESAL with capital K luar binasa lah kalo ngomongin hubungan ketiga orang ini. Rara & Angga yang ga blunt with each other. So much beating around the bush with feelings. Sama-sama ga membicarakan perasaan satu sama lain. Tidak berani mengoreksi kesalahan satu sama lain.
Dan tentu paling kesel sama Moza. Sempat diminati Angga sebelum akhirnya Angga menikahi Moza. Mungkin karena hal semacam itu, semacam unfinished thing between Angga & Moza in the past yang bikin mereka tanpa beban pikiran berusaha menyelesaikan yang unfinished walau kondisinya pada saat itu HARUSNYA si sahabat sekaligus terapis yang bertindak sebagai perebut suami orang ini cukup memberi saran agar kedua sahabatnya memperbaiki rumah tangga mereka, eh ya tapi kapan lagi ya kan menyelesaikan yang belum sempat selesai itu? OH NICE. *pagar makan tanaman* *face palm* *I should stop biar ga makin esmosi jiwa* :D
- Hubungan Yudhistira, Diana, dan keluarga intinya. Ini adalah hubungan yang paling saya suka development nya. Yang awalnya berkaca-kaca pas baca part di mana Yudhistira harus kembali bila dia sudah normal karena keluarga intinya dan istrinya sama-sama tidak mau menampung dia kembali, apalagi istrinya mau mengajukan gugatan cerai. Rara sungguh-sungguh menyatukan ikatan keluarga ini. Membantu meluruskan kesalahpahaman di antara mereka. Dan tentu andil Yudhistira sendiri, yang justru dengan kekurangannya mampu menyatukan ibunya dengan menantunya, ya keluarganya.
- Mengenai lukisan bulan di siang hari yang dilukis Yudhistira, spontan langsung teringat manga Hirunaka no Ryuusei/Daytime Shooting Star. Yang mungkin secara filosofis berarti sama. That you're an important person to others. Kamu bulan di siang hari bagi seseorang atau bahkan banyak orang. You change people for the best, make people realize true meaning of relationships, lead people to "light."
- Dan soal metode transpersonal di sini, metode penyembuhan yang melibatkan latar belakang keluarga dan budaya klien. Metode yang sangat aman yang tidak mencampuradukkan ajaran dan menjadi seperti NAM (New Age Movement) yang ilmiah tapi sebenarnya tidak ilmiah.

****
Some of my favourite lines :
1. "Aku tak bicara. Sebab, banyak yang beranggapan mendengar hanya dengan telinga, bicara melalui mulut, melihat melalui mata. Semua indera harus difungsikan sempurna. Sesekali ajak mata mendengar, telinga membaca, dan hatimu berbicara..." (hlm. 239)
2. Manusia selalu punya watak superior, enggan direndahkan dan dianggap tak mampu. Maka, manusia selalu membenci nasihat, dan suka berkata, 'jangan nasihati aku.' 'Aku sudah kenyang nasihat.' 'Beri aku jalan keluar konkrit.' (hlm. 228)
3. Hubungan cinta kasih juga membutuhkan pengalaman dan skill atau keahlian. Kau bisa saja mengatakan mencintai pasanganmu dengan sangat, tapi apakah caramu sudah cukup ahli untuk membuatnya terkesan, atau justru menjauh dan tertekan? (hlm. 57)

*****
4,8 stars cause I found 1 typo hehe ^^


Profile Image for Rafi'atul Hayati.
15 reviews1 follower
September 25, 2024
Novel psikologi adalah salah satu genre novel yang terkadang membuatku ragu untuk membacanya, karena temanya seringkali tidak ringan. Begitu juga dgn novel yang satu ini. Aku lupa dulu belinya karena apa, kayaknya karena tertarik dengan judul dan penulisnya 😂

Di bagian awal sampai seperempat isinya, aku masih menerka akan seperti apa endingnya. Bahasanya mudah dicerna meski tema yang diangkat cukup berat. Novel di Indonesia yg membahas ttg skizofrenia kayaknya masih jarang (atau belum ada?), jadi aku memutuskan untuk baca sampai selesai. Membaca novel ini juga mengingatkanku pada drakor It's Okay That's Love dan Daily Dose of Sunshine, drakor dgn tema psikologi yg aku rekomendasikan untuk ditonton.

Overall, aku sangat merekomendasikan novel ini buat siapa aja yg mau belajar tentang skizofrenia, mulai dari apa yg dirasakan oleh penderitanya, mengapa mereka bisa sampai menjadi penderita skizofrenia, perkembangan dalam terapi dan pengobatannya, sampai ttg bagaimana kita menyikapi orang2 dgn skizofrenia ini.

5/5 untuk novel ini 🫶🏻
Profile Image for Chels.
180 reviews3 followers
October 16, 2023
Novel ini mengedukasi tentang kesehatan mental, cara merawat orang-orang dengan gangguan mental—khususnya skizofrenia—, dan action untuk melawan stigma yang melekat pada mereka di masyarakat. Setiap manusia lelah, pasti ada masalah, dan itu bukan perkara besar sebab semua pasti ada jalan keluar—yang terpenting ialah sabar dan mau berkompromi, serta mencari bantuan (profesional) bila memang dirasa membutuhkan.

Berpusat pada klinik kesehatan mental, kasus skizofrenia, dan si terapis—Nararya, akrab dipanggil Rara. Lika-liku kehidupan Rara merawat klien—enggan penyebut pasien karena berkonotasi pesakitan—barangkali amat menguras energi, ditambah lagi konflik cinta segitiga antara mantan suami dan bekas sahabatnya, serta terobosan cara perawatan yang ditolak. Maka dari itu, lelah-lelah itu berkumpul dan meledak hingga menimbulkan halusinasi, perasaan tak nyaman. Untunglah ada atasan sebaik Bu Sausan: menyediakan ruang, memberikan pengertian.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Ratih Cahaya.
413 reviews7 followers
July 13, 2020
Novel ini menarik karena aku belum pernah membaca novel tentang seorang terapis penyakit mental. Beberapa bagian lumayan mengundang penasaran, seperti saat Rara menemukan ceceran darah dan kelopak bunga mawar berserakan di depan ruang kerjanya di klinik. Rara mulai gelisah apakah darah dan kelopak mawar itu nyata atau bagian dari halusinasinya semata.

Bagian yang cukup ngeselin juga ada. Tentang Angga dan Mozza. Eugh. Rasanya ingin kutoyor kepala Angga. Kalau aku jadi Rara, aku bakalan pindah keluar kota daripada bertahan di sana dan memiliki kesempatan untuk ketemu lagi dengan Angga.

Bagian yang sedikit mengecewakan juga ada, yaitu saat Rara akhirnya mengetahui siapa dalang di balik ceceran darah dan kelopak mawar. Aku mengharapkan suatu alasan yang sangat eksotis di balik peristiwa itu, tetapi ternyata alasannya biasa saja. Menurutku, ya.

Apa pun itu, buku ini menarik.
Profile Image for Elvira.
128 reviews1 follower
March 3, 2020
Tema unik yang jarang diangkat : tentang orang-orang Skizophrenia.

Nararya baru saja bercerai dengan Angga. Tak lama setelah perceraian, Angga dekat dengan Moza, sahabatnya sendiri. Lalu mereka menikah diam-diam.

Nararya adalah seorang terapis di klinik, tepatnya bagian rehabilitasi. Dia begitu dekat dengan Pak Bulan yg suka menanam mawar, Yudhistira yg suka melukis, dan Sania yang suka mengompol jika sedang marah dan benci.

Sania baru saja mengalami haid pertama sehingga ada tetesan darah misterius di depan pintu kerja Nararya. Awalnya Nararya kira itu halusinasi, tetapi kemudian terungkap semuanya.

Sania mencoba bunuh diri ketika mengetahui Yudhistira akan dibawa pulang oleh istrinya, Diana. Ia cemburu. Gadis kecil Nararya telah merasakan cinta pertama :) Sweet :)
Profile Image for Rossa Imaniar.
221 reviews5 followers
December 22, 2021
Pertama kalinya baca karya Mbak Sinta Yudisia. Keren sih.
Beliau mengambil tema yang bisa dibilang nggak biasa. Selain konflik percintaan si tokoh utama yang diangkat. Di sini mbak Sinta juga menampilkan konflik lain yang menimpa beberapa tokoh sampingan dalam novel ini.

Mengambil tema tentang psikologi. Bukan tema ringan menurutku. Tapi di sini Mbak Sinta menyampaikannya dengan apik dan sederhana, sehingga bisa melebur menjadi satu kisah yang bisa dinikmati dan mudah dimengerti oleh pembaca.
Profile Image for khansa.
22 reviews5 followers
May 10, 2025
"Dia melihat semesta dengan hatinya, berbicara dengan kulitnya, membaca sesuatu dengan telinga, dan mencoba memahami kalimat lewat mata."

"Kehidupan tak pernah mudah. Secara kepribadian, itu yang akan mengasah kami. Bukan masa
lalu yang menghancurkan seseorang, bukan orang lain yang mencelakakan, tapi sejauh mana manusia mampu memperkaya dirinya dengan hal-hal yang ditemui sepanjang jalan."
Profile Image for Readbyay.
33 reviews3 followers
February 2, 2021
Orang-orang dengan kekurangan fisik dan mental adalah manusia yang paling jujur dan welas asih.
Hal. 17


Saya terasa ikut ditarik menjadi bagian dalam cerita ini. Saya ikut merasakan cemburu, ketakutan, kehilangan, dan rasa sakit yang alami Nararya.
Displaying 1 - 30 of 64 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.