Selama ini kita tidak bisa menemukan sajak-sajak Chairil Anwar dalam satu buku. sebagian kita temukan dalam Deru Campur Debu dan Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus, sedangkan sebagian lagi kita jumpai dalam Tiga Menguak Takdir dan Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45. Akan tetapi, sajak-sajak yang terdapat dalam pelbagai buku itu sekarang disatukan dalam Aku Ini Binatang Jalang.
Selain keseluruhan sajak-asli, dalam koleksi ini juga dimuat untuk pertama kalinya surat-surat Chairil - yang menggambarkan "keadaan jiwa"nya - kepada karibnya, H.B. Jassin.
Chairil Anwar was one of the famed figures of the “1945 Generation,” that group of luminaries who brought heat and light to Indonesian literature in the formative years of the new nation.
Through his poetry, Chairil Anwar succeeded in infusing Indonesian verse with a new spirit and bringing a new enthusiasm to Indonesia’s cultural arena. He also provided friends and acquaintances with never-ending tales to tell of his personal eccentricities, including his hobby of stealing books from the shops, his tendency to plagiarize from foreign poets, his many lovers, his numerous ailments, and his bohemian lifestyle.
Born on July 22, 1922 in Medan, North Sumatera, Chairil attended the Hollands Inlandsche School (HIS), a Dutch elementary school for “natives.” He then continued his education at the Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, a Dutch junior high school, but he dropped out before graduating. At the age of nineteen, after the divorce of his parents, Chairil moved with his mother to Jakarta where he came in contact with the literary world. Despite his unfinished education, Chairil had an active command of English, Dutch and German, and he filled his hours by reading an international selection of authors, including Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff and Edgar du Perron. These writers became his references, directly influencing his own poetry and later helping him shift the gaze of Indonesian literature to fall upon Europe.
This westward turn was one of the major differences between Chairil’s “1945 Generation” peers and the previous cohort of Indonesian writers, the “New Authors Generation” of the 1930s, who were more oriented toward traditional verse forms. Chairil’s poetry was not only topically fresh, it struggled with individual and existential issues, in contrast to the writers of the “New Authors Generation” who were more concerned with giving voice to nationalist enthusiasm.
Chairil began to gain recognition as a poet with the publication of “Nisan” (“Gravestone”) in 1942. At that time, he was only twenty years old. He had apparently been shocked by the death of his grandmother, which awakened him to the fact that death could at any moment tear one away from life. Most of the poems he wrote after this point referred, at least implicitly, to this awareness of death. All of his poems—the originals, the adaptations and those suspected of being plagiarisms—have been collected in three books: Deru Campur Debu (“Roar Mixed with Dust,” 1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (“Sharp Pebbles The Seized and the Severed,” 1949); and Tiga Menguak Takdir (“Three Tear Open Fate,” 1950, a collection of poems with Asrul Sani and Rivai Apin).
Chairil’s poetic vitality was never in balance with his physical condition, which grew weaker as a result of his chaotic lifestyle. Before he could turn twenty-seven, he had already contracted a number of illnesses. On April 28, 1949, Chairil Anwar passed away at the CBZ Hospital (now R.S. Ciptomangunkusomo) in Jakarta. And indeed, he was buried at Karet Cemetery the next day. In memory of the words he left behind, April 28th is now celebrated as Literature Day in Indonesia.
ini buku literatur sastra Indonesia terbaik kalau hendak menulis puisi. membacanya saya jadi teringat dialog Nini (nama panggilan Chairil) dengan Gajah (nama panggilan Chairil untuk Hapsah, istrinya), begini: "Gajah, kalau umurku panjang, aku akan jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan," katanya. "Ah, kalau umurmu panjang, kamu bakal masuk penjara," jawab istrinya. "Tapi kalau umurku ditakdirkan pendek, anak-anak sekolah akan berziarah ke kuburku menabur bunga," demikian kata Chairil. dan sesungguhnya saya ingin seperti dia. mati muda. namun dikenang sepanjang masa karena tulisan-tulisannya yang sebagian besar terangkum di sini. kalimat monumental seperti 'aku ini binatang jalang' atau 'aku mau hidup seribu tahun lagi' yang pada suatu hari ditegaskan oleh Jose Riza Manua dengan pernyataan, "Chairil membangun monumen dengan tulisannya."
Saya boleh kata Chairil Anwar adalah salah seorang penyajak yang saya kagumi disamping beberapa penyair-penulis lain seperti Pak Samad, Faisal Tehrani, dan juga W.S. Rendra. Tetapi Chairil lebih menyengat berbanding Pak Samad dan F.Tehrani yang lebih suka berlembut dan mengajuk, malah puisi-puisi Chairil tajam dan keras, sepersis sebuah pedang yang menusuk jantung kita sebagai pembaca.
Beberapa sajak yang menggugah rasa. Masjid. Doa. Aku. Krawang-Bekasi. Sia-sia. Persetujuan dengan Bung Karno. Kepada Kawan. Yang Terampas dan Yang Putus. Sajak-sajaknya bertenaga, bernafas segar, serta penuh memikat. Sukar sekali untuk kita katakan tidak kepada sajak-sajaknya, meskipun ada sesetengah aksara yang dilakarkan serasa terlalu mendalam untuk dihadam.
Chairil mungkin sudah mati, 6 tahun sesudah menulis puisi "Aku" (ketika menulis, dia baru berumur 20 tahun) tetapi seperti sajaknya, dia akan terus hidup dalam ingatan kita. Dia akan terus dikenang sebagai seorang pembaharu, seorang haiwan jalang untuk seni kesusasteraan. Chairil membentak pada Ajal,
"dan aku akan lebih tidak peduli. Aku mau hidup seribu tahun lagi."
Perkenalan pertamaku dengan Chairil Anwar adalah ketika aku duduk di bangku SD. Puisi “Aku” seolah jadi favorit para guru. Sering masuk buku, di kelas rutin dibahas, di pentas sering dibacakan. Penuh semangat dan gairah memang.
Namun, setelah membaca kumpulan puisi Aku Ini Binatang Jalang, aku malah jadi bertanya-tanya. Kenapa “Aku”, lagi dan lagi? Padahal, Chairil punya puisi lain yang sama bagusnya, termasuk puisi-puisi romantis yang (kelewat) manis. Salah satunya ialah “Taman”.
Kemarin, dalam perayaan 100 Tahun Chairil Anwar: Sebuah Puisi Konser di Jakarta, @gradiskretek sempat membacakannya. Katanya, puisi ini cocok dimuat di undangan pernikahan. Bayangkan, klepek-klepek kita dibuatnya.
Aku baru tahu, di balik tulisan Chairil yang penuh semangat menggelora, ia nggak malu-malu menunjukkan kerentanannya karena dikoyak-koyak cinta. Bahkan, aku baru tahu, kisah cinta Charil nyatanya nggak mulus-mulus amat.
Pernah ngerasain cinta tak terbalas, cinta terlambat, ragu apakah orang yang disukainya juga mencintainya balik, bahkan cintanya sempat kandas beberapa kali karena terhalang restu orangtua kekasihnya. 💔❤️🩹
Entahlah, kalau puisi-puisi itu ditulis pada masa kini tapi bukan Chairil yang meramunya, mungkin akan terkesan menye-menye. Namun, karena kita sudah familiar dengan sosoknya, rasa dan energinya jadi beda.
Membaca buku ini adalah pengalaman magis buatku. Aku jadi bisa mengenal sosoknya lebih jauh.
Hal menyenangkan lain ketika tenggelam dalam buku ini, sajak-sajaknya disusun berurutan sehingga memudahkan pembaca menelusuri perjalanan hidupnya, termasuk kisah cintanya. Chairil pun rupanya senang menggunakan bahasa idiom dan simbol dari kebudayaan Melayu. Bahkan, disebutkan pula dirinya punya “bahasa rahasia”, bahasa yang hanya dimengerti olehnya. Menarik untuk diulik!
Ingin rasanya membaca buku puisi ini berkali-kali, menghidupinya seribu tahun lagi. Dan di hari spesial Beliau, izinkan kusampaikan …
Seperti nasihat Umar Bin Khattab r.a. di zaman Sahabat, "Ajarilah anak-anakmu sastra, agar anak penakut jadi pemberani". Mengagumkan, Chairil sangat ahli dalam memilih dan mengatur ritme setiap kata. Dirangkai jadi tema yang mengalir deras, mengayun, bergelombang dan gempita. Dan dia memang akan terus hidup, seperti karyanya "Aku ingin hidup seribut tahun lagi".
Saya berikan bintang lima bukan hanya karena kualitas karya-karya Cahiril Anwar semata, tapi karena kelengkapan buku ini memuat semua karya, juga membandingkan sejumlah sajak yang mirip tapi judulnya berbeda. Chairil Anwar tak hanya meninggalkan puisi, tapi juga sikap. Dalam buku ini semua bisa kita dapatkan lengkap. Edisi baru dilengkapi pengantar luar biasa dari Nirwan Dewanto.
Chairil Anwar was an Indonesian poet and member of the "1945 generation" of writers. He is estimated to have written 96 works, including 70 individual poems. After publishing his first poem in 1942, Anwar continued to write. However, his poems were at times censored by the Japanese, then occupying Indonesia. Living rebelliously, Anwar wrote extensively, often about death. He died in Jakarta of an unknown illness. His work dealt with various themes, including death, individualism, and existentialism, and were often multi-interpretable. Drawing influence from foreign poets, Anwar used everyday language and new syntax to write his poetry, which has been noted as aiding the development of the Indonesian language. His poems were often constructed irregularly, but with individual patterns.
"ME"
If my time has come No one could persuade me Not even you
I don't need that sniveling!
I'm but a wild animal Exiled even from his own group
Even if bullets pierce my skin I will still enrage and attack
Wounds and poison I'll take running Running
Until the pain leaves
And I will care even less I want to live a thousand more years
Disebalik kisah hidup Chairil Anwar yang singkat dan berliku, puisinya ternyata sangat menusuk dan mendalam. Ada yang kelam dan ada yang membara. Tidak hairanlah kenapa puisinya diterjemah dalam pelbagai bahasa. Lagenda.
Puisi2 mengenai cinta, perjuangan, persahabatan dan hidup. Dengan gaya khas Chairil Anwar sebagai penyair terbesar Indonesia dan pelopor angkatan 45. Ini salah satu karya terbesar beliau. Dan bisa jadi salah satu karya sastra terbaik Negeri ini.
Chairil Anwar ditanggapi oleh kebanyakan sebagai pelopor kepada Angkatan 45 dalam ranah kesusasteraan Indonesia. Puisi—atau lebih tepatnya, sajak—Chairil memberi dampak kepada generasi seterusnya yang juga merupakan nama-nama besar seperti W.S Rendra, Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono. Bentuk-bentuk sajak Chairil melabrak tradisi kerana tidak terikat dengan aturan konvensional—lebih bebas. Walau bagaimanapun, ada juga yang berpendapat bahawa beliau bukanlah penggugah tradisi, sebaliknya memperluaskan, seperti yang didapati pada kata pembuka buku ini.
Dalam sekalian banyaknya pendapat berhubung sajak-sajak Chairil, satu perkara yang disepakati ialah Chairil, melalui sajak-sajaknya menonjolkan "semangat hidup dan sikap kepahlawanan" (h. 122). Andai disoroti latar belakang Indonesia pada era nasionalisme bergelora, sajak Chairil sangat menempati keadaan masyarakat pada ketika itu.
Dalam kumpulan sajak ini, ada juga beberapa sajak yang sama, namun berbeza pada beberapa kalimat kerana wujudnya beberapa versi sajak seperti sajak berjudul "Sia-Sia" (h. 11).
"Mampus kau dikoyak-dikoyak sepi", ialah antara bait sajak Chairil yang paling masyhur.
Memetik lagi sebahagian sajak lain berjudul "Aku" (h. 17):
Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi
Melalui pengantar buku ini, saya sadar, ini saatnya membunuh Chairil Anwar. Tak usah lagi diusik oleh kisah cintanya yang selalu gagal, hidupnya yang bohemian, sakit-sakitan, dan akhirnya mati muda. Saya melihat puisinya hanya sebagai puisi, tidak mau memiskinkan pemaknaannya pada penciptanya.
Dan benar saja, sajaknya dapat lebih meresap ke benak saya, meraung-raung, merongrong, sampai menggelegar, hingga pada akhirnya menciut, menyusup, dan hilang. Hilang seperti akhirnya penerimaan Chairil yang tak bisa hidup seribu tahun lagi, dan mengakui hidup hanyalah menunda kekalahan (mengutip Sapardi Djoko Damono). Mau tak mau, Chairil mati digantikan pembaca-pembacanya yang kembali menghidupi hidup selayaknya Chairil, melebarkan maknanya, menyentuh ke relung lain pengalaman universal manusia.
Pada buku ini saya sadar, puisi (sastra yang paling susah saya cerna) sangat mirip lukisan. Tiap goresan katanya bermakna, pekat, bertekstur, mencoba menangkap penikmatnya. Saya sadar, bahasa terlalu sempit untuk menggambarkan berjuta perasaan manusia. Di situ jeniusnya Chairil, menimang bahasa Indonesia yang masih bayi, mengajarkannya berbicara dengan makna, melatih indranya merasa, hingga menunjukkannya arti patah hati dan kematian. Saya juga baru menyadari ketaatan Chairil pada rima yang ternyata ditanam di sebagian besar sajaknya. Gebrakan Chairil antara yang tradisional dan modern memantik pergulatan tersendiri tentang status kebesaran Chairil. Beruntung pergulatan dia menangkan, rupanya benar binatang jalang ini tetap "meradang menerjang" dari nisannya.
Meskipun beberapa sajak Chairil tak berumur panjang, macam "Betina"-nya Affandi, tapi sajak-sajak lainnya telah diadopsi sebagai idiom umum yang penuh vitalitas dan ambisi. Sajak Chairil ada yang memang tetap tinggal di masa lalu, namun ada yang seakan masih jauh di masa depan. Chairil sendiri telah mati, telah dibunuh, tapi bahasa Indonesia yang dulu didulang sedari bayi olehnya, telah jadi dewasa, malahan sudah beranak, jadi ibu lidah kita, yang masih menggemakan puisinya sampai seribu tahun lagi.
Akhirnya yah, saya baca juga kumpulan sajaknya Chairil Anwar. Sudah mendengar dan membaca beberapa puisi karya penyair Angkatan '45 ini sejak zaman SMP dan SMA, tapi baru hari ini saya membaca satu buku kumpulan puisinya.
Saran saya buat yang mau baca buku ini, baca dulu esei yang ditulis Sapardi Djoko Damono yang ditulis pada bagian akhir buku. Esei itu memberikan lebih banyak tinjauan pada kita akan isi puisi-puisi yang Chairil Anwar tulis.
Saya pribadi tidak terlalu sering baca puisi, jadi jujur saya kurang paham genre sastra yang satu ini. Ada puisi-puisi yang saya kurang mengerti memang, banyak juga yang dapat saya pahami maknanya. Ada banyak kalimat yang dapat menjadi kutipan tersendiri.
Saya rasa kutipan semacam "Aku mau hidup seribu tahun lagi", "hidup hanya menunda kekalahan", "Sekali berarti sudah itu mati", "kerja belum selesai, belum apa-apa" sudah cukup familiar di kalangan masyarakat, khususnya yang pernah belajar puisi di kelas bahasa Indonesia dulu. Ada satu lagi kutipan yang jadi favorit saya, yakni "nasib adalah kesunyian masing-masing" yang datang dari puisi "Pemberian Tahu".
Buku yang sangat saya rekomendasikan bagi para pecinta sastra. Bagi yang pernah membaca puisi-puisi Chairil Anwar di bangku sekolah, membaca buku ini dapat membangkitkan kenangan tersendiri akan masa-masa sekolah dulu.
Chairil Anwar. Apa lagi yang bisa dikatakan tentang penyair legendaris nan hebat ini? Karya-karyanya selamanya akan abadi sepanjang masa, sepanjang sejarah, tak lekang digerus waktu. Sosok pionir penting dalam gaya berbahasa di bentangan sejarah perpuisian di negeri ini.
Nama besarnya akan terus diingat, terus dicatat.
Nasib adalah kesunyian masing-masing. Hidup hanya menunda kekalahan.
Kalo soal bukunya, ga tau kenapa,jadi ngebayang2in gmn perasaan penulis waktu nulis puisi2nya. soalnya kan itu pas lagi zaman perang. Berasa menerawang jauh ke Indonesia dimasa lalu.
Kumpulan karya CA edisi hard cover ini di urutkan bedasarkan tahun pembuatan 1942-1949, yang berisi sajak, perbandingan sajak yang mengandung kontroversi baris, serta kumpulan surat yang dikirimkan CA kepada HB Jasin. Cocok buat Koleksi.
Chairil Anwar is often called the voice of a generation, and after reading this collection, I understand why. His poetry is raw, unflinching, and deeply human—filled with rebellion, longing, and an unshakable desire to affirm life even in the face of death.
This book captures the essence of Indonesia’s literary awakening during the mid-20th century. Anwar’s verses are not polished in the traditional sense, but they carry an urgency that makes them unforgettable. Reading him feels like listening to a heartbeat that refuses to be silenced. His words echo both the pain and the passion of a young nation struggling for identity and freedom.
One of the most striking aspects of this collection is how Anwar portrays himself—untamed, restless, almost feral, as the title suggests: “Aku Ini Binatang Jalang.
Sebagai pribadi dengan kehidupannya yang bohemian, gambaran Charil Anwar sebagai "binatang jalang" tidak akan pernah berubah, meski ia sudah lama mati meninggalkan bait-bait puisinya yang senantiasa abadi.
TAK SEPADAN
Aku kira: Beginilah nanti jadinya Kau kawin, beranak dan berbahgia Sedang aku mengembara serupa Ahasvéros.
Dikutuk-sumpahi Eros Aku merangkaki dinding buta Tak satu juga pintu terbuka.
Jadi baik juga kita padami Unggunan api ini Karena kau tidak 'kan apa-apa Aku terpanggang tinggal rangka.
Tentu saja buku ini bagus. Upaya yang hebat untuk mengabadikan puisi Chairil Anwar. Saya pikir sebaiknya buku ini dimiliki dan dikoleksi bersama buku - buku puisi lainnya.
Chairil Anwar mati muda di usia 26 tahun, namun karyanya akan tetap abadi.
Beberapa sajak dalam buku ini cukup sulit untuk dipahami, namun sajak-sajak yang terkenal seperti Aku hingga Krawang-Bekasi dijelaskan oleh baik di akhir buku ini oleh Pak Sapardi.
Buku ini merupakan kumpulan sajak terlengkap yang ditulis oleh Chairil Anwar, selain sajak terdapat juga korespondensi antara dirinya dengan HB Jassin.
Sebagai penutup, Chairil Anwar, selain Rendra merupakan penyair yang saat ini pernah saya cicipi karyanya. Bagi saya, karya Rendra lebih dapat dicerna dibanding Anwar, tapi rasa-rasanya perlu untuk mencari tahu penyair lain di Indonesia selain daripada kedua orang itu. Ya mungkin saja pak Sapardi bisa jadi tujuan saya selanjutnya!
Sebelumnya membaca buku, aku sempat membaca karya Chairil Anwar dengan judul Deru campur Debu. Harus akui dengan jujur, pembacaan dalam karya tersebut tidak menghasilkan sebuah ketertarikan yang begitu mendalam terhadap sosok penyair yang diidentikkan dengan gaya hidup yang terkenal dengan bohemian. Melalui buku ini, ketidakpedulianku terhadap sosok Chairil Anwar mulai terkikis secara perlahan. Aku mencoba merubah gaya membaca terhadap puisi-puisi Chairil Anwar yang dikenal sukar untuk dipahami. Dari sebelumnya yang hanya ingin membaca buku untuk segera selesai, aku ubah dengan mulai membaca beberapa puisinya berulang-ulang. Beberapa kata yang awam, aku coba untuk buka KBBI versi daring beberapa kali. Tidak hanya berhenti disitu, aku mulai mencari makna beberapa puisi Chairil Anwar di Internet. Dengan harapan agar mudah untuk memahami makna dari puisi-puisi Chairil Anwar, meskipun tidak sepenuhnya berhasil aku pahami. Ajaib, meskipun tidak sepenuhnya berhasil memahami puisi-puisi Chairil Anwar. Melalui medium buku ini, berhasil membuatku jatuh cinta terhadap karya-karya Chairil Anwar. Membaca karya ini menurutku tidak hanya sekadar belajar sastra. Bagiku sebagai seorang penggemar sejarah, membaca puisi-puisi Chairil Anwar sama saja berusaha untuk memahami keadaan realitas masyarakat Indonesia ketika itu yang sedang bergulat dengan revolusi kemerdekaan. Dan juga usaha Chairil Anwar yang ingin mengenalkan gaya baru dalam sastra di Indonesia. satu hal lain yang membuat aku menyukai buku ini adalah ulasan yang digoreskan oleh Sapardi Djoko Darmono di akhir buku ini. Sehingga membuatku jauh lebih mengenal bagaimana karakteristik puisi-puisi maupun saduran yang pernah ditulis dalam sepanjang hidupnya.
Kayaknya, ini adalah buku wajibnya anak Sastra Indonesia. Bisa dibilang, kalau belum baca buku ini belum afdal, belum resmi, belum secara harfiah dapat disebut anak sastra. Bahkan tiap baitnya sudah menjadi semacam template sebagai representasi anak sastra.
Nggak munafik, saya mulai membaca karya-karya Chairil ketika di materi puisi muncul, dan terpampang nyata di soal-soal Bahasa Indonesia. Sayangnya, seperti kata Goenawan Moehamad, anak-anak Indonesia tidak membaca sastra, apalagi mempelajarinya. Sejak dulu kita hanya disuruh menghafal isi puisi dan nama pengarangnya, mungkin juga tahun dan tanggal terbit jika gurunya kelewat teliti. Kami nggak pernah melalui proses memahami dan mengerti. Ah, terlalu berat, buat anak SMA saja masih terlalu berat apalagi anak SMP. Keterlaluan! Mungkin begitu tanggapan masyarakat.
Setelah saya belajar apa itu angkatan-angkatan dalam sastra kita, saya mulai menyadari kalau sekarang ini tidak ada lagi (atau belum ada) penyair-penyair muda dengan kata-kata yang berbahaya. Seperti mata pisau. Terakhir, kita punya Wiji Thukul yang malah hilang ditelan kekuasaan rezim. Nggak ada anak muda yang mengangkat pena mereka sebagai senjata, atau memang saya belum menjumpai. Dalam Aku Ini Binatang Jalang, Chairil memang menunjukkan taringnya, memamerkan betapa berbahayanya ia bagi dunia. Dan ia, sebagaimana yang ia tulis, puisi-puisinya masih hidup hingga sekarang bahkan mungkin seribu tahun lagi.
Saya berusaha untuk berpikir positif, penyair-penyair muda itu bukannya nihil. Mereka hanya sedang dibentuk, dan kelak akan muncul kembali ke permukaan. Iya, kan, Chairil?
Banyak dari puisinya yang telah secara utuh saya pahami, dalam kali kedua saya mengambil buku Chairil Anwar. Betapa binal, genit, dan meluapnya-pengewenjatahan sastra Indonesia ini memainkan kata-kata, hal yang tidak saya sadari sebelumnya saat menyelesaikan buku ini beberapa tahun yang lalu. Dalam satu hal klise, saya banyak meminjam (kata halus untuk memprafase hampir seluruhnya) saat saya jatuh cinta, dan memiliki keinginan menggebu-gebu untuk mengekspresikannya lewat seni.
Puisi - puisi Chairil Anwar akan selalu mengingatkan saya akan kenangan ini, saat pertama kali mencoba untuk menulis puisi (yang terus berlangsung hingga kini), saat pertama kali saya menghafalkan dan menggumamkan puisi sadurannya "Fragmen" sepanjang jalan menuju indekos saat saya sedang mabuk-mabuknya oleh asmara, saat puisi pertama saya juga dipublikasikan di website pers fakultas dan menjadi puisi yang paling sering dibaca hingga saat ini. Banyak yang telah berubah. Pemahaman saya akan puisi juga telah meningkat, dan apa yang saya pahami juga semakin banyak, walaupun tentu kekecewaan, penderitaan, dan pikiran hidup juga semakin banyak seiring bertambahnya usia.
Namun, pengetahuan bahwa, saya dapat membuka puisinya lagi, membaca, mengenang, dan semakin memahami puisi Chairil Anwar, seiring meluasnya sejarah bacaan saya, membuat saya kembali menantikankan puisi Chairil Anwar, dan akan membukanya lagi dan lagi.