Tak ada yang kekal di dunia ini. Namun, perempuan itu percaya, kenangannya, akan tetap hidup dan ia akan terus melangkah ke depan dengan berani.
Ini adalah kisah tentang orang favoritku di dunia.
Dia yang penuh tawa. Dia yang tangannya sekasar serat kayu, tetapi memiliki sentuhan sehangat sinar matahari. Dia yang merupakan perpaduan aroma sengatan matahari dan embun pagi. Dia yang mengenalkanku pada dongeng-dongeng sebelum tidur setiap malam. Dia yang akhirnya membuatku tersadar, tidak semua dongeng berakhir bahagia.
Ini juga kisah aku dengan anak lelaki yang bermain tetris di bawah ranjang. Dia yang ke mana-mana membawa kamera polaroid, menangkap tawa di antara kesedihan yang muram. Dia yang terpaksa melepaskan mimpinya, tetapi masih berani untuk memiliki harapan...
Keduanya menyadarkanku bahwa hidup adalah sebuah hak yang istimewa. Bahwa kita perlu menjalaninya sebaik mungkin meski harapan hampir padam.
Tidak semua dongeng berakhir bahagia. Namun, barangkali kita memang harus cukup berani memilih; bagaimana akhir yang kita inginkan. Dan, percaya bahwa akhir bahagia memang ada meskipun tidak seperti yang kita duga.
A woman with passion in both reading and writing and has written a few books in both English and Indonesian. Used to work as a freelance reporter for an in-house magazine and a fashion journalist/contributor in http://www.fasity.com, an Indonesian fashion community.
Some fictions have been published online and in a number of magazines. Her published novels are: Kenangan Abu-Abu (February 2008), Ai (February 2009), Refrain (September 2009), Glam Girls Unbelievable (December 2009), Remember When (March 2011), Unforgettable (January 2012), Truth or Dare (Gagas Duet May 2012), Melbourne: Rewind (2013), SCHOOL Tomodachi (2014), Happily Ever After (2014), Girl Meets Boy (2015). Winna's non-fiction book is Draf 1: Taktik Menulis Fiksi Pertamamu (September 2012). She has also participated in an anthology book about traveling - The Journeys (March 2011).
Currently writing numerous short stories collection and novels.
She enjoys curling up with a good book, with the radio turned on and a cup of tea :)
Winna can be reached via email at winna.efendi@gmail.com or her official blog http://winna-efendi.blogspot.com and Twitter/FB: @WinnaEfendi or fanbase @Winnadict
Menghadapi kehilangan seseorang yang tersayang memang selalu terasa tidak semudah orang-orang berkata, "Nanti juga akan terbiasa, kok." Sama sekali tidak mudah, dan tidak akan pernah mudah. Apalagi kehilangan sosok orang tua, yang sudah belasan atau bahkan puluhan tahun selalu bersama kita. Berbagi atap rumah yang sama. Berbagi kasih dan cinta agar kita tidak pernah merasa kesepian.
Aku pun pernah mengalaminya. Kehilangan kedua orang tua dalam kurun waktu yang cukup berdekatan. Kehilangan papa secara tiba-tiba karena serangan jantung sudah cukup membuatku kehilangan separuh diriku. Sampai aku bangkit kembali dengan harapan-harapan yang sedikit-sedikit kutumbuhkan kembali, dengan satu peganganku, satu-satunya sumber semangatku, mama. Aku sempat berpikir, dengan cukup optimis, Tuhan tidak akan mengambil satu-satunya orang terkasihku yang tersisa dalam waktu dekat, setidaknya sampai ia dapat menggendong cucu pertama dari anak semata wayangnya. Menjadi perwakilan papa yang tak sempat melihatku melanjutkan pendidikan putri kesayangannya, seperti cita-citanya, melihatku memakai toga. Sesederhana itu mimpi dari pria paruh baya yang sekolahnya saja bahkan hanya sampai tingkat menengah pertama.
Ya, aku sungguh percaya pada Tuhan. Ia tidak akan mengambil mamaku setelah luka akibat kehilangan papa baru saja mengering. Tapi rupanya, Tuhan mengisahkan lain untuk jalan hidupku. Seperti novel ini, aku kehilangan mama karena kanker payudara yang telah disembunyikannya selama dua tahun, dan aku baru mengetahuinya empat bulan terakhir sebelum kepergiannya. Aku pernah berada di posisi Lulu versi kisah nyatanya. Di mana aku ketakutan, merasa hampa. Tapi sisi lain, keadaan menuntutku untuk menjadi orang yang tegar saat hati rapuh, serapuh-rapuhnya. Sulit, ketika aku harus mengatakan, "Aku baik-baik aja, Ma." padahal hati sesungguhnya berteriak, tidak ada yang baik-baik saja ketika sepearuh dirimu yang lain hidupnya tinggal bergantung hitungan hari. Sering kali, diam-diam di tengah malam saat beliau tidur terlelap, aku masih terjaga dan menepi di sudut kamarnya menangis tanpa suara. Sampai suatu hari, beberapa hari sebelum kepergiannya, di atas sajadah yang sudah basah karena air mataku, aku memohon agar Tuhan mengambil saja ia dari sisiku. Semata-mata hanya untuk membuatnya terbebas dari rasa sakit yang amat sangat.
Aku pernah berada pada posisi Lulu. Dua kali malah. Saat kehilangan kembali menyadarkanmu bahwa tidak ada yang namanya selamanya. Ada saatnya ketika yang berada dalam genggamanmu akan pergi satu per satu. Bahkan mungkin kamulah yang meninggalkan mereka dahulu. Tapi setelah kehilangan itu, aku semakin belajar bahwa hidup akan terus berjalan dan kamu harus menjalaninya sebaik mungkin, karena hidup adalah hak istimewa yang sungguh sayang jika dilewatkan dengan hal-hal yang tidak berharga.
Sedih karena kehilanga, wajar. Normal. Yang tidak normal adalah ketika kamu pun ingin pergi dari kehidupanmu karena merasa kamu sudah tidak punya siapa-siapa lagi untuk kau bagi di dunia ini. Itu salah. Belajarlah percaya bahwa hidupmu akan baik-baik saja. Meski semuanya telah berbeda. Telah berubah. Terimalah bahwa keadaan tidak akan berubah begitu saja hanya karena kamu menginginkannya.
Kata Eli (p. 346), alam semesta ini punya rahasianya sendiri. Yang perlu kita lakukan adalah percaya pada rencana-rencana di baliknya.
Selamat sore, selamat memaknai kembali arti kehilangan, kenangan, masa lalu, kini, dan masa depan :)
Enjoying my offline days with a book written by one of my favourite author. And i think it's not a wrong choice. Sebelum review kesan keseluruhannya, mau berbagi kalimat yang noteable dulu ah! "Berhentilah bergantung kepadanya, suatu hari nanti, mungkin kau juga akan kehilangan dia." "Waktu gue menghina bokap lo, respons pertama lo adalah menyerang gue karena hal itu penting buat lo. Itu yang gue harapin waktu itu, supaya lo marah dan menghadapi kami berdua. Kalau kami cukup penting, lo akan melakukan itu, bukannya memilih untuk menghilang. Gue cuma mau bilang, buat hal-hal yang penting, lo harus lebih berusaha. Kalau menurut lo orang itu pantas diperjuangkan, jangan dilepasin begitu aja." "Aku percaya hubungan dasar manusia bukan di otak aja, Lu. Hati yang melihat, hati yang merasakan, hati yang tahu." Seperti biasa, baca tulisan Winna Efendi itu kayak ada sesuatu yang membuat hangat. She wrote it beautifully! Tiap detail perasaan si tokoh, tiap detail apa yang si tokoh lihat, detail suasana pendukung, detail setting, semuanya serba detail. Rasanya bikin pengin ikutan menulis setelah baca tulisannya. Oh ya, setelah sekian lama hanya sebatas terenyuh menghadapi cerita fiksi yang (sebenarnya) sedih, i will admit something; my tears were almost broken in many parts. Dari cerita Josef sampai tentang hidup Ayahnya Lulu. Just know how Lulu's feel when she faces her fear. Pretending to be ok when actually not is the hardest part. :') Btw, satu yang menjanggal di cerita ini. Empat hari setelah Ayahnya Lulu meninggal, kok Karin bisa nggak tahu--sehingga Lulu harus kasih tau dulu? Padahal biasanya se-nggak populer kayak bagaimana pun seorang murid di sekolah, pasti kabar duka cepat tersiar dan langsung ada tindakan dari pihak sekolah. Hm! Selesai. Saatnya baca novel Winna yang lain.
Jadi ceritanya saya lagi tobat dan akhirnya menemukan pencerahan dan belas kasihan terhadap novel-novel yang saya telantarkan begitu saja tanpa dibaca. Jadi saya memulai dari rak pertama, urutan teratas. Novel ini.
Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Novel ini harta karun yang sangat berharga. Buat saya, Unforgettable adalah salah satu novel Indonesia terbaik yang saya baca. Ini masalah selera, nuansa, dan narasi Mbak Winna yang luar biasa. Kemudian saya membaca novel ini dan... ceritanya terasa begitu dekat, karena saya mengalami hal yang sama seperti Lulu, bagian kehilangan ayah yang sakit-sakitan di penghujung hidupnya. Maka saat menutup novel ini, saya didampingi setumpuk tisu yang basah, mata bengkak, dan hidung berair. Rasanya nancep banget di hati.
Tapi, ada apa sebenarnya dengan Mbak Winna dan konflik sahabat yang ngerebut sahabat pacarnya? Dari Remember When, Melbourne (ini cuma ampe tahap naksir pacar sahabat, trus ini. Tapi saya senang Lulu menemukan Eli. Kisah mereka manis sekali.
Narasi novel ini kuat banget, dan merupakan jenis narasi yang paling saya suka. Bagi saya, novel ini nyaris sempurna. Nggak ada typo, meski ada beberapa kata yang seolah hilang sehingga keseluruhan kalimat terasa aneh, tapi tidak terlalu mengganggu.
Ah karya Kak Winna kali ini berhasil buat gue bernostalgia, flashback atau apalah istilahnya yang pasti “mengingat lagi masa lalu.” Gue peringatkan pada kalian kalau ini berisi curhatan walau ada review di bahwanya. Tapi review itu sangat jauh di dasar, jadi jika kalian merasa bosan mending tidak usah membacanya, atau jika kalian tertarik silahkan saja (padahal berharap penulisnya baca review ini) xD
Seperti yang gue bilang tadi. Kak Winna berhasil bikin gue flashback. Kurang lebih gue sama kayak Lulu, bedanya dia deket sama Ayahnya, gue deket sama ibu gue. Lulu masih jauh lebih beruntung. Masih melewatkan ulang tahun ke-16nya bersama sang Ayah. Gue? Ulang tahun ke-12 yang tinggal beberapa bulan aja udah ditinggal…
Ayah Lulu sama Ibu gue kurang lebih sama. Mungkin karena gue masih kecil jadi gue nggak terlalu ngerti. Yang pasti Ibu gue mengalami fase kuning akibat penyakit di hatinya yang bikin kondisinya semakin memburuk. Baca novel ini ngingetin gue sama beberapa hal. Gue suka banget ikutan Ibu gue masak meskipun cuma ngeliatin. Gue ngehabisin banyak waktu bareng Ibu ketimbang sama Bokap. Gue lebih deket sama Ibu. Gue juga suka tidur bareng Ibu apalagi gue paling takut tidur sendiri. Kalo lagi takut-takutnya gue bakal bangunin Bokap─nyuruh dia pindah tidur sama Kakak gue dan besok pagi Ibu gue bakal nemuin gue di tempat tidurnya. Kadang Ibu suka marah kalo gue takut tidur sendiri tapi kadang dia ngajak gue buat tidur bareng dia.
Gue paling seneng kalo dia pulang kerja. Bawain makanan yang paling gue suka, nanyain gimana sekolah gue, ada pr apa enggak, ngajak gue jalan-jalan yang entah kemana gue nggak tahu, tapi baru-baru ini gue temuin “oh jadi ini toh tempatnya, pernah nih ke sini sama Ibu.” Yah, begitulah. Tapi semua berubah pas Ibu sakit. Apalagi pas di rawat. Gue diminta buat nemenin dia setiap hari Sabtu sama Bokap, katanya gapapa bolos sekolah sementara. Pernah suatu hari ada temen-temennya dateng dan doain dia, entah kenapa gue ngerasa sedih banget dan gue nggak keluar kamar mandi 30 menit lebih gara-gara nangis. Abis di rawat sempet pulang tapi masuk rumah sakit lagi pas dia udah kuninggg banget dan kayak nggak sadar.
Pas pulang sekolah gue dianterin ke rumah sakit. Di depan rumah sakit udah ada tante gue sama beberapa keluarga yang gue nggak inget siapa aja. Tante gue berusaha menyampaikan sesuatu yang gue lupa detailnya yang pasti ujungnya dia bilang “Gita nggak apa-apa ya kalo nggak ada Ibu.” Gue nggak jawab. Gue cuma nangis sambil dipelukin dia. Gue nggak tau gimana jadinya kalo nggak ada Ibu. Gue sama siapa? Yang bikinin sarapan siapa? Yang bangunin gue siapa? Yang masakin sahur siapa? Bulan puasa nggak ada Ibu gimana jadinya? Lebaran tanpa Ibu apa rasanya? Gue tidur sama siapa? Pokoknya mereka berusaha membuat gue jauh dari Ibu gue disaat gue mau sama dia terus. Mungkin biar gue ga sedih kali ya.
Malemnya gue dibawa pulang sama tante gue dan tidur di rumahnya dia karena kalo pulang ke rumah gue terlalu jauh. Tengah malem gue dibangunin pelan-pelan katanya “Ta… Ibu udah nggak ada Ta.” Gue masih belum bisa mencerna itu meskipun gue sadar. Gue belom nangis, gue cuma bengong sepanjang perjalanan pulang. Pas sampe rumah dan liat Ibu gue yang cuma diem aja tapi sedikit senyum gue langsung nangis dan itu pertama kalinya gue nggak peduli orang-orang ngeliat gue nangis. Gue nggak peduli, gue nggak mau nahan-nahan dan gue nggak mau pura-pura baik-baik saja.
Kurang lebih Lulu sama gue sama, cuma ya itu tadi. Dia masih lebih beruntung karena sampai remaja masih bisa ketemu Ayahnya. Dan semenjak kepergian Ayahnya, Lulu jadi bisa deket sama Ibunya. Sama gue juga gitu, gue jadi deket sama Ayah gue.
Baiklah sepertinya sudah saatnya review~~ Seperti biasa tulisan Kak Winna enak untuk diikuti dan mengalir lancar. Kaya akan diksi membuat gue banyak belajar dari tulisannya. Tapi, entah kenapa gue ngerasa tulisannya kali ini jauh beda sama tulisan-tulisan yang sebelumnya, kayak bukan Kak Winna yang nulis. Kangen sama tulisan yang dulu, tapi masih bisa menikmati tulisan yang sekarang dan nggak ada yang salah dengan itu.
Paling seru baca kisah dongeng-dongeng dan kedekatan Lulu dengan Ayahnya. Quote-quote di setiap awal bab. Dan gue paling suka judul di bagian pertama “A Dream is a Wish Your Heart Makes” lagu soundtrack Cinderella, kan? Gue suka banget sama lagu itu terlebih udah gue bisa mainin di biola gue! Tinggal cari pemain cello, biola 2 sama biola alto terus kita bikin kuartet deh xD. Juga karakter Mia yang ngegemesin! Kita sama Mia, kita suka lagu-lagu jadul! I’m crazy with old song. Meskipun bukan penggemar The Bettles, sorry. Tapi gue tetep suka sama beberapa lagu mereka salah duanya Imagine dan Real Love. Pokoknya kalo kita ketemu kita bakalan cocok! Tapi… kedekatan Lulu sama Eli kurang greget. Ini objektif sih, karena bagi gue di novel Eli kurang digambarin dengan jelas. Entah kenapa dari awal cerita terlalu banyak narasi, lebih berasa “tell” bukan “show.” Maaf Kak, tapi Gita ngerasa Eli nggak konyol-konyol amat. Dan Karin, god! Nyebelin banget jadi manusia. Kalo emang Lulu berubah kenapa nggak coba tegur dulu? Tau-tau berubah extreme dan jadi galak begitu. Gue juga berharap cerita lebih antara hubungan Lulu dan Ezra tapi tidak banyak porsinya bahkan detail Ezra pacaran sama Karin masih terasa kurang menurut gue.
Lagi-lagi karena narasi yang terlalu panjang. Gue ngerasa kematian Ayahnya kurang greget (?) Berlalu gitu aja. Atau karena gue bacanya pas gue terlarut dalam kesedihan gue sendiri akibat flashback? Bisa jadi.
Secara keseluruhan gue suka sama novel ini. Seperti biasa Kak Winna meramu tulisannya dengan sangat apik membuat gue nggak rela meletakkan buku ini meskipun pada akhirnya dia kalah perang dengan pelajaran, yah, mengingat UN SMA udah di ujung tanduk. Gaya cerita yang berbeda, tapi masih bisa dan enak untuk diikuti. Udah ah dari tadi tapi tapi meleee….
Pada akhirnya gue memberikan 4 bintang untuk cerita yang manis dan cover yang keren!
Buku winna efendi pertama yang mengangkat tema tentang ayah. Pria nomor satu di dunia bagi anak perempuan. Buku winna pertama yang gak bahas mengenai friendzone. Unsur percintaannya pun gak terlalu ditonjolkan disini, meskipun hubungan asmara tetap ada. Begitu pula dengan persahabatan, meskipun ada tapi tidak terlalu menonjol seperti novel novelnya yang sebelumnya.
Membaca buku ini membuat aku semakin menyadari pentingnya sosok ayah di kehidupan kita. Jujur, saat baca buku ini aku jadi rindu papa di rumah. Begitu pula dengan mama beserta suasana hangat di rumah. Yang selalu membuat anak rantauan merindukan kampung halamannya.
Karena novel ini lebih banyak bahas tentang lulu dan ayahnya, maka novel ini memiliki sisi yang mampu membuat pembacanya sedih bahkan menangis. Apalagi ayah di buku ini adalah penderita hepatoma. Memang, cerita - cerita tentang orangtua selalu menimbulkan sensasi haru dan menguras air mata. Karenanyalah, ini buku winna pertama yang bikin aku sedih bukan karena masalah galau cinta remaja pada umumnya.
Tapi, yang bikin aku kurang puas adalah hubungan antara lulu, karin, dan ezra yang gak terlalu dijelaskan lanjutannya. Apa alasan ezra bilang ke lulu "suatu hari nanti kamu bakal ngerti posisi aku lu" hubungannya ke karin maupun ezra pun terbilang gantung. Mungkin ini memang disengaja oleh mbak winna karena dari awal buku ini memang gak terlalu membahas masalah persahabatn dan cinta.
Tapi, aku suka sekali sama ceritanya. Seenggaknya terlepas dari zona nyaman yang membahas masalah itu - itu aja dari mbak winna.
How I loved three-quarter of this book that I could give five stars (I mean, I love everything in it; Lulu and her family and her house and her life story), however, after I lost the excitement, I couldn't move forward to the next page , I couldn't connect to the story, though, for Lulu, life became normal again , still I couldn't really feel it. The main story has gone, nothing I could follow in this story, I guessed.
Last night I tried to continue reading. Eli has never been my favorite character (my favorite: Lulu and his father and Mia), so, overall, it was just okay to read Lulu's struggling to get Eli back.
Nevertheless, when I reached page 348, the moment when Lulu stood together in the hospital, stared at other people; those who cried, those who smiled, those who supported each other...., I could feel the love again.
Happily Ever After may not give you a happily ever after story, but it shows you real life.
Winna didn't let me down for the next pages. I really, really, really love how it ends, it sounds like a beautiful lullaby, and when it is closer to the last words, I wish I could hit rewind.
PS: I really like Lulu's fairytale. It' had always been the part I'd been waiting for.
Hidup adalah sebuah hak yg istimewa, Lu.Karenanya,kita perlu melakukan kewajiban kita untuk menjalaninya sebaik mungkin
Saya selalu merasa kalau anak perempuan akan cenderung lebih akrab, lebih dekat dengan ayah daripada dengan ibunya. Saya sering melihat kebiasaan kebiasaan ini di sekitar, mulai dari saya sendiri, anak perempuan saya, keponakan, sampai anak beberapa orang teman, sebagian besar pasti begitu. Anak perempuan lebih dekat dengan ayah, anak laki laki lebih dekat dengan ibu.
Sama seperti Lulu, dalam cerita di novel ini, yang amat dekat dengan ayahnya yang seorang arsitek. Lulu dan ayahnya memiliki hobi yang sama, membaca, berkemah, mengumpulkan buku buku, menimbunnya di penjuru rumah, dan Lulu juga senang mengamati ayahnya saat bekerja. Ayah Lulu selalu membanggakan dirinya sebagai tukang kayu, tapi bagi Lulu, ayahnya adalah pendongeng yang handal. Sudah ratusan cerita yang dibacakan Ayah kepada Lulu dan Lulu tak pernah bosan mendengarkannya. Sang Ayah pintar memainkan suara, mengatur intonasi, dan lain sebagainya yang membuat Lulu sangat senang jika Ayah yang bercerita, bahkan meski sekarang Lulu sudah menginjak kelas 1 SMA.
Lulu sering dibully di sekolah karena penampilannya yang berbeda dan jarang bergaul dengan teman temannya. Tak hanya diejek, terkadang buku buku atau mejanya dicorat coret, tasnya sengaja dibasahi, dan lain sebagainya. Orang tua Lulu sebenarnya mengkhawatirkan anak semata wayangnya itu, tetapi Lulu berpendapat, selama ia masih memiliki ayah dan ibu yang selalu mendukungnya, persoalan sekolah hanyalah hal kecil yang tak perlu dipermasalahkan. Lulu tahu yang ia butuhkan hanya keluarganya, tak ada yang lain selain itu. Tetapi kehidupan Lulu tentu tidak benar benar mulus, terutama ketika ia menerima kabar tentang ayahnya. Ayah yang selama ini dekat dengannya. Berita yang mengejutkan, yang membuat Lulu bertanya tanya, apakah benar "hidup bahagia selama lamanya" itu ada di dunia nyata? Atau hanya bualan kosong para pencerita?
Sebelumnya, saya baru membaca satu karya Winna yang berjudul Unforgetable dan saya cukup suka. Lalu ketika saya mencoba membaca Melbourne: Rewind, ternyata saya tidak terlalu jatuh hati kepada ceritanya sehingga gagal menamatkannya. Kali ini terdorong judulnya yang cenderung berbau fantasi, saya tergoda untuk membaca karyanya lagi. Dan ternyata siapa sangka, saya suka sekali buku ini. Mungkin cerita sendu sudah jadi karakteristik karyanya, sehingga saya tidak terlalu kaget dengan suasana sedih yang dibangun di cerita ini. Meski begitu, saya tetap saja bercucuran air mata saking sedih mbayanginnya.
Karakter tokoh tokohnya manusiawi sekali, seakan mereka benar benar saya kenal secara personal. Tak ada yang spesial, semuanya memiliki keistimewaan sekaligus kekurangan, tapi dengan ketidaksempurnaan itulah rasanya malah jadi pas karena saling melengkapi. Lulu yang terlihat kuat, tangguh, pada akhirnya juga luluh sekaligus rapuh. Bunda yang lembut, cerewet, pada akhirnya menjadi sosok yang tegar dan bertahan di tengah kesulitan yang menghampiri keluarganya. Serta Ayah, yang... nah, baca sendiri yak bukunya. :p
Di buku ini juga ada tokoh pendamping yang membuat cerita semakin menarik. Ada Karin, mantan sahabat yang sekarang menjadi musuhnya Lulu. Juga ada Eli, anak laki laki yang pertama kali ditemui Lulu ketika mereka menemukan 'pojok rahasia' yang sama.
Seperti Lulu, kelak kita akan mengetahui bahwa kebahagiaan itu bersifat relatif. Bahwa kebahagiaan terkadang perlu ditemukan di dalam hati kita sendiri, bahwa kebahagiaan itu tak akan selalu manis.
Cerita yang indah, siapkan tissue saat membacanya. Oh, dan kalau kalau difilmkan, saya harap bentuk dan interior rumahnya yang unik akan benar benar dibuat sama. Karena saya jadi ingin punya rumah pohon seperti milik Lulu. ^^
Dari karya-karya Winna Efendi yang pernah saya baca, saya paling suka yang ini.
Akhirnya, Winna Efendi nggak lagi berkutat pada kisah cinta segitiga diantara sahabat (?). Yeah! Hooray for that!
Saya suka kedekatan Lulu dengan ayahnya yang selalu berbagi dunia dongeng bersama. Saya suka tokoh Lulu, dan senang sebab dia kadang membalas kalau lagi dibuli. Saya suka pertemuan Lulu dengan Eli. Saya suka karakter Eli (meski dia agak klise dan mirip banget tokoh cowok di Tomodachi, novel Winna sebelumnya).
Tapi karakter Mia, adik Eli, menurut saya kelewat tua untuk anak seusianya. Sebelas tahun itu kelas empat atau lima SD, lho. Mungkinkah anak umur segitu gandrung sama lagu-lagu The Beatles? Mungkin, sih, mengingat usia segitu saya malah seneng banget dengerin ABBA. Tapi itu karena musiknya memang ceria (saya suka yang judulnya Mama Mia). Nggaklah kalau saya sampai hafal album dan nama-nama personelnya segala.
Dialog Mia di halaman 139: "Beatles for Sale memang sering dianggap sebagai album terlemah The Beatles, tapi menurutku justru yang paling unik, karena untuk kali pertama John Lennon bikin lagu yang sifatnya otobiografis."
Dan di halaman 140: "Karena dia nggak punya keberanian bilang langsung ke muka Kakak kalau dia mau berhenti pacaran. Dia berutang itu sama Kak Eli–permintaan maaf, dan kejujuran."
Bisa nggak sih kalian bayangkan dialog itu diucapkan anak kelas empat SD? Ya memang sih, deskripsi Lulu ketika pertama kali ketemu Mia adalah 'cewek yang lagak bicaranya seperti orang dewasa padahal badannya kecil'. Tapi kayaknya dialog Mia ini berlebihan deh. Lebih mudah menganggap Mia seusia Lulu.
Hemm... terus soal Karin dan Ezra ini, kayaknya background selingkuhnya masih nggak jelas sampai akhir. Alasan mereka buat mengkhianati(?) Lulu itu kurang kuat. Ezra, dengan "Aku serius sama kamu, tapi aku nggak tahu perasaanku ke Karin itu apa," sebagai alasannya. Dan Karin, yang beralasan dia iri sama Lulu, makanya merebut Ezra.
Penyelesaian dan alasan-alasan nanggung itu bikin konflik Karin-Ezra-Lulu malah mengesalkan. Yah, untungnya konflik keluarga dan soal Eli itu lebih banyak.
Saya masih heran deh, kok bisa sih, Lulu dibuli gengnya Karin terang-terangan dan nggak ada orang yang melaporkan sama sekali? Mempermalukan orang dengan menempelkan fotokopian diary begitu, sekolah cuma mengeluarkan larangan melakukan vandalisme pada fasilitas sekolah. Yang benar aja. Nggak sulit kan, melacak siswa yang menempel selebaran di seluruh area sekolah. Nggak mungkin mereka nempelnya tengah malam juga.
Tapi okelah. Empat bintang rasanya cukup, buat akhir yang sulit ditebak, bonus cerita dongengnya, dan air mata yang saya tumpahkan (tsaaaah!).
Lulu adalah seorang anak perempuan yang lahir dalam keluarga yang bahagia. Umumnya anak perempuan dekat dengan ayahnya. Demikian pula Lulu, yang menjadi anak kesayangan ayahnya (terlepas dari fakta Lulu adalah anak tunggal). Sejak kecil, ayahnya membiasakan Lulu mendengarkan dongeng yang dibacakan sebelum tidur. Kisah-kisah dongeng yang dibacakan oleh ayahnya itu mengantar Lulu tumbuh dewasa.
Berbeda dengan dongeng yang (hampir) selalu berakhir bahagia, kehidupan Lulu di luar rumah jauh dari itu. Di sekolah, dia selalu di-bully. Yang lebih menyakitkan bagi Lulu, karena Karin, mantan sahabatnya yang sering melakukan hal itu padanya. Persahabatan mereka terputus ketika Karin tumbuh menjadi gadis cantik populer sementara Lulu hanya biasa-biasa saja. Plus Karin merebut Ezra, pacar Lulu dari sisinya.
Belum cukup masalah yang dihadapinya, Lulu dan Bunda dihadapkan pada situasi pelik. Ayahnya didiagnosis mengidap kanker hati dan umurnya tidak lama lagi. Lulu marah. Lulu kecewa. Semua emosi di dalam dadanya menumpuk dan siap meledak. Tapi Lulu berusaha bertahan. Ayahnya membutuhkannya untuk menjadi kuat. Saat mendampingi ayahnya menjalani pengobatan, Lulu bertemu dengan Eli, salah seorang pemuda yang memiliki tumor di otaknya. Pertemuannya dengan Eli mulai membuka mata Lulu pada dunia yang berbeda.
Membaca novel sicklit selalu menyisakan rasa sesak dan mata membengkak (you know why). Menghadapi kenyataan akan kehilangan orang yang dikasihi tidaklah mudah. Apalagi ketika hal itu menjadi nyata. Winna berhasil mengaduk emosi pembacanya lewat detail deskripsi yang dijabarkan dengan lengkap di dalam novel ini.
Sebenarnya saya nyaris bosan dan hampir berhenti membaca novel ini di tengah jalan karena segala detail itu. Belum lagi dengan dongeng2 yang ada di dalam buku ini. Saya memang bukan penikmat dongeng dan tidak menyukai kisah-kisah ala princess. Tapi saya penasaran dengan Eli dan bagaimana Lulu mengatasi amarahnya. Hanya saja saya masih bertanya-tanya akan beberapa hal di dalam buku ini. Pertama, sekolahnya Lulu dan Eli, terlalu berasa "barat". Lulu digambarkan sebagai siswa yang berpenampilan gothic. Sementara Karin dengan make up dan gaya rambut kekinian. Sekolah Eli dengan bangunan ala kastel. Semuanya ada di Jakarta. Mungkin memang ada seperti itu. Tapi tetap rasanya aneh. Kedua, Mia yang digambarkan sebagai anak berumur 10-11 tahun rasanya terlalu dewasa. Mungkin konflik di dalam keluarganya membuatnya dewasa sebelum waktunya.
Novel ini bittersweet. Siap-siap tissue yang banyak jika ingin membacanya. Banyak quote yang bisa diambil. Juga pelajaran tentang persahabatan, kehilangan, keberanian, dan hidup.
JUJUR, karya Winna satu ini kurang bisa memenuhi ekspetasi yang awalnya saya bayangkan.
Saya pengikut karya-karya Winna. Saat pertama kali mendengar bahwa Winna akan meluncurkan satu novel baru, saya pun ikut menunggu. Saat cover novel ini dipublikasikan, saya makin nggak sabar. Menurut saya, covernya manis. Mampu membuat otak saya merangkum bahwa novel satu ini akan memuat banyak perihal dongeng. Dan kenyataannya, memang begitu adanya.
Kabar baiknya, novel Winna kali ini tidak mengangkat tema yang sudah sering digunakan sebelum-sebelumnya. Kali ini, format novel ini dibumbui dengan tema keluarga, dan saya sangat menghargai usaha penulis untuk keluar dari zona nyamannya. Yang membuat saya nggak nge-klik dengan novel ini adalah, novel ini mengangkat beberapa konflik (kisah Lulu dengan ayahnya, kisah Lulu-Eli, atau konflik Lulu-Karin-Ezra) yang menurut saya kurang 'wah'.
Mungkin ini soal selera, tapi yang saya bayangkan sebelum membaca buku ini adalah konflik-konflik yang 'ajaib', karakter-karakter yang lebih 'unik', beberapa adegan yang nggak terduga dan belum pernah ada sebelumnya, sebagaimana konsep dongeng yang mendominasi novel ini. Tetapi, yang saya tangkap adalah adegan-adegan novel ini sudah pernah ditemukan di novel-novel penulis lain, tetapi dikemas dengan gaya bahasa Winna yang rapi.
Di samping itu semua, saya masih menikmati karya Winna satu ini. Saya senang dengan potongan-potongan dongeng di beberapa bab, saya suka pertemuan Lulu-Eli (ini yang saya inginkan di adegan yang lain, unik), saya juga senang dengan kedekatan Lulu dan ayahnya yang menurut saya sudah digarap dengan intens. Saya suka dengan karakter Lulu dan Eli yang memiliki keunikan, tetapi kurang ditonjolkan secara lebih.
Masalah gaya penulisan, saya masih mengagumi Winna. Dan saya selalu menunggu karya Winna yang mampu mengangkat tema-tema simpel namun mendalam, dan dibantu dengan bahasa yang detail dan hangat.
Masih belum kapok untuk membaca karya-karya Winna yang selanjutnya. :)
Novel terbaik mba Winna yang pernah gue baca. jujur gue nangis, karena gue pernah menjadi Lulu. kalo boleh dibandingkan dengan sabtu bersama bapak atau priceless moment yang ngangkat tema yang sama yaitu keluarga novel mba winna ini jauh lebih baik dari keduanya bukan hanya berfokus disatu sisi yang mana keluarga tapi ada cerita cinta dan persahabatannya juga. gue sampe putus asa melanjutkan baca antara penasaran sama sedih berasa baca buku harian gue sendiri. sekedar berbagi cerita juga, mungkin bakalan berasa lebay sampai nangis cuman gue juga ditinggal bokap diusia yang gak beda jauh sama lulu bahkan lebih muda, my lucky number 13 tepatnya. gue juga pernah ngalamin moment-moment dimana gue kehilangan saat bahagia bersama keluarga, entah karena gue anak bungsu yang jadinya kurang perhatian atau karena gak ada lagi yang bisa ngajarin gue tentang bagaimana ngadepin hidup dan jadi seorang lelaki yang kuat, gue terlalu rapuh sampai gue selalu mengkonotasikan orang tua sebagai pegangan hidup -' you hold in two grips, when you lose one, you star to shake and fall.' buat gue bokap sama nyokap adalah hal paling penting. dan soal kanker? I deal with it too. nyokap gue meninggal karena itu. balik ke cerita, gue cuman bisa tersenyum ketika ada harapan lain diakhir cerita, gue udah berasumsi kalo Eli bakalan berakhir sama dengan sang Ayah dan cerita cerita lainnya, ternyata gak *terima kasih mba winna*. sosok yang jadi pertanyaan adalah bagaimana Erza? gue gak begitu dapet karakternya, rasa penyesalannya dan perasaannya sama Lulu. sekali lagi mba winna terima kasih Karena udah berhasil menuliskan apa yang selama ini gue rasain. terima kasih :)
Buku Winna Effendi teradem yang saya baca, suasana yang dibangun bener-bener bikin gak bisa move on. Biasanya, kalo di novel lain *termasuk novel saya sendiri*, penyakit adalah salah satu jalan pintas yang udah kelewat mainstream banget buat menjadi undercut sebuah cerita. Tapi, Winna tidak hanya menjadikannya sebagai pokok utama, tapi sebagai kerangka besarnya. Saya menyukai Winna yang menulis formula baru seperti ini. Terasa berbeda... dan mengasyikkan.
Winna di buku ini adalah winna yang keibuan, saya bisa merasakan bahwa ia menulis dengan jemarinya apa yang ia sukai *terbukti, wong saya sering stalker goodreadsnya dia yang bacaannya kayak begitu*. Happily Ever After adalah cerita drama yang ekspresif, cerita sehari-hari yang sebenernya, disadari atau tidak penuh landasan filosofis dan nilai kehidupan yang dalam.
"I suspect the most we can hope for, and it's no small hope, is that we never give up, that we never stop giving ourselves permission to try to love and receive love"
Perf! I never thought that I'd drowned in that journey of reading this book, somehow I underestimate the story. It's gonna sad and full of tragic moments ahead so be prepared, but it's not. I dunno the more I underestimate the book the more surprise I find while flipping through the pages.
Satu hal yang cukup mengganggu mungkin penggunaan kata "lo gue", I found it quite irritating. Well maybe it's just me.
Overall I highly recommend you guys to read this book and be prepared, you might drowning in one of the chapters, just like I did
dapat ebook'y udah lamaaaaa banget, kl nggak salah pas Gagas Media ultah, terus di bagiin gratis.. kebetulan belum baca juga.. dan baru niat di baca sekarang.. XD
tertipu dengan cover novel'y.. q kira bakalan hangat, manis cerita'y ternyataaaaa awal'y aja.. pas di pertengahan tumpahin air mata.. dan konflik'y benar-benar nguras emosi.. :D
Dari beberapa buku Mbak Winna yang telah kubaca (Ai, Refrain, Melbourne) kupikir aku tidak akan menemukan favoritku lagi seperti “Remember When”, apalagi setelah gagal masuk dalam novel terakhir yang kubaca (Melbourne). Setelah memutuskan untuk tidak membaca “Tomodachi”, aku membeli buku ini sepaket dengan novel terbaru Mbak Windry dan memutuskan membaca novel ini terlebih dahulu.
Saat mulai membaca, aku sudah bisa menebak kalau ceritanya bakal sedih. Novel tentang ayah, ibu atau keluarga selalu identik kesedihan (setidaknya novel-novel yang pernah kubaca). Mungkin karena sisi inilah yang paling mudah disentuh oleh penulis. Karena setiap orang memiliki keluarga dan kebanyakan dari mereka akan mudah tersentuh dengan cerita yang akan membuat mereka berpikir “Bagaimana kalau ini terjadi padaku? Apa yang akan kulakukan kalau ini menimpa keluargaku?” Dan berbagai jenis ketakutan yang dapat digali dalam diri pembaca dan membuat mereka –ujung-ujungnya- akan terharu dengan kisah yang dibuat.
Itulah yang terjadi saat aku membaca novel Mbak Winna ini. Awalnya, saat ayah Lulu divonis menderita penyakit kanker, aku langsung berdecak dan bergumam, oh… kisah tentang ayah yang berjuang untuk bertahan hidup dan melawan penyakit, oke nggak masalah. Namun ketika Sang “Anak Lelaki yang Bermain Tetris di Kolong Ranjang” bernama Eli muncul dan penyakitan pula, aku mendadak ingin menutup buku. Ya ampun, yang benar saja…. Aku bisa mentolerir kalau tokoh penyakitannya hanya satu orang, tapi ini ada dua orang (dengan penyakit yang berbeda pula). Pikirku, wah, bakal ribet ini , istilah medis bakal bertebaran di mana-mana dan novel ini akan penuh dengan drama, histeria, dan perjuangan melawan penyakit yang ikut membuat pembaca terharu (tapi juga lelah).
Tapi setelah membaca lembar-demi lembar, aku tidak ingin mengatakan kalau dugaanku salah. Dugaanku benar, banyak istilah medis dan perjuangan melawan penyakit yang melelahkan. Tapi aku menemukan kalau penulis berhasil membuat tokohnya terlihat kuat, tidak cengeng atau hanya sering menangis meratapi nasibnya. Aku menemukan sisi lain dari novel yang menceritakan tentang penyakit kanker ini. Kalau biasanya aku sudah tidak terharu lagi karena masalah seperti ini udah keseringan diangkat di novel lain, aku malah terharu beberapa kali saat membaca buku ini.
Sial. Tokoh utamanya kuat, malah pembacanya yang rapuh -_-
Oh iya, satu lagi. Sejak dulu aku memang menyukai narasi-narasi yang dibangun Mbak Winna. Ceritanya klise, tapi cara Mbak Winna bercerita sudah cukup untuk membuat novel ini berbeda, apalagi ada sentuhan dongeng di dalamnya. Aku suka endingnya, meskipun aku masih kesal dengan Ezra-Karin dan merasa kalau masalah mereka dengan Lulu belum sepenuhnya selesai. Tapi mungkin itulah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah mereka. Bukan saling berpelukan namun saling menyadari bahwa jalan mereka telah berbeda dan mereka siap untuk melangkah ke arah berlawanan.
Sukses terus untuk Mbak Winna, ditunggu novel-novel selanjutnya
More: https://starlibrary.wordpress.com/201... Lulu bukanlah murid populer. Baik di sekolah lama maupun sekolah barunya. Semua orang menganggapnya aneh. Disaat semua orang menyukai musik pop, ia menyukai musik klasik.
Dulunya, ia memiliki seorang sahabat, Karin namanya. Karin dan Lulu sama-sama bukan murid populer, cenderung kena bully. Lulu juga memiliki seorang pacar, Ezra. Ezra bukanlah tipe cowok yang disukai orang tua, dari penampilan, sudah jelas ia itu seorang Bad Boy. Hanya saja, Lulu menganggap Ezra menarik.
Meskipun kena bully, tidak mempunyai banyak teman. Tapi Lulu mempunyai seorang sahabat dan pacar yang baik. Dan.. itu semua tidak bertahan lama.
Menjelang kenaikan kelas, saat liburan. Karin berubah drastis. Ia mengalami masa pubertas yang mengubahnya. Karin yang dulunya jelek, mempunyai banyak jerawat… sekarang.. hal itu seperti tidak pernah dialami Karin. Karin yang dulunya itik buruk rupa sudah berubah. Dan.. Lulu tidak berubah. Ia tetap… aneh.
Another Winna Efendi’s books…
As always, buku ini juga ‘menyertakan’ bumbu tentang persahabatan. Jika dalam buku-buku sebelumnya persahabatan selalu digambarkan indah dan berakhir bahagia, tidak pada buku ini. Singkatnya, meskipun menyertakan bumbu tentang persahabatan, jalan ceritanya sulit.
Karin dan Lulu yang dulunya bersahabat dekat. Kini seperti dua orang yang tidak saling kenal. Begitupula Ezra. Dulu mereka pacaran. Sekarang, Karin yang berpacaran dengan Ezra.
Ya, jika pada novel Winna sebelumnya tidak memiliki tokoh antagonis. Pada novel ini, yang menjadi tokoh antagonis adalah Karin. Sebenarnya, Karin tidak sejahat itu sih, keadaan yang memaksanya. Beneran. Pada awalnya, aku sangat membenci Karin, bagaimana bisa ia meninggalkan sahabatnya dan merebut pacar sahabatnya? Belum lagi ia memutarbalikkan fakta (teman baru Karin juga sih) tentang Lulu yang ‘merayu’ Ezra.
……”Berhenti menganggap gue adalah Karin yang dulu, dan lo Lulu yang dulu. Kita berdua bukanlah orang-orang yang sama lagi. Karena itulah kita berhenti bersahabat.”
Mungkin kasus ‘dikhianati’ oleh sahabatnya bukan konflik utama dalam cerita ini. Mungkin konflik utamanya adalah tentang ‘penyakit’ ayah Lulu. Meskipun ayah Lulu cuma tukang bangunan, tapi ia adalah arsitek yang hebat. Beneran! Oh ya, aku suka banget dengan cara penggambaran tempat oleh penulis. Apalagi tentang hasil design-nya ayah Lulu! Ayah Lulu merupakan orang terfavoritnya di dunia. Lulu menempatkan ibunya ke posisi kedua. Memang karena ia tidak begitu dekat dengan ibunya. Lebih dekat dengan ayahnya. ....................
Novel ini adalah novel yang saya beri bintang 5 karena begitu istimewa untuk saya. Novel yang saya baca dengan tertatih-tatih karena mata saya selalu tergenang air setiap menyusuri cerita di setiap halamannya. Novel yang membuat hati saya berdenyut setiap kali mengikuti kisah Lulu. Mengingatkan saya akan malam-malam yang saya lalui di rumah sakit bersama mami dengan harapan yang terus kami lambungkan ke angkasa demi kesembuhan papi. Mengingatkan akan luka yang belum juga kering.
Saya adalah Lulu yang mati-matian menahan air mata di depan papi hanya karena tidak mau papi yang tengah sakit menjadi sedih. Selalu sibuk tersenyum dan berkata papi pasti sembuh, badai ini pasti akan berhenti.
Saya adalah Lulu, yang pada akhirnya mengalah. Harus rela dan berbesar hati bahwa Papi pergi bukan karena kalah dari penyakitnya, juga bukan karena tidak menyayangi kami lagi, tapi pergi karena ternyata Allah mempunyai cinta dan menyayangi dia jauh lebih besar dari yang kami punya.
Beruntungnya saya punya novel ini. Seperti saya mempunyai jurnal sendiri sepanjang bersama almarhum Papi.
Papi saya mungkin bukan pendongeng seperti ayah Lulu. Tapi Papi saya terbaik. Juga ayah-ayah kalian semua.
Novel yang penuh dengan keajaiban-keajaiban dongeng. Suka aja kalo ada novel beginian, apalagi yang nulis kak Winna:D
Tema ceritanya lumayan bagus, alurnya juga. Walau terasa bosan diawal.
Ceritanya tentang Lulu, gadis remaja yang dianggap freak oleh teman-temannya (kayak saya sih #curhat). Tapi kehangatan yang diberikan ibu dan ayahnya membuat ia kuat. Dan dongeng-dongeng yang dibacakan ayahnya lah, yang menyertai hari-harinya.
Sampai suatu hari, si pendongeng jatuh sakit dan tak berdaya, disaat itulah titik lemahnya. Rapuh, tapi harus tetap kuat menjalani hidup.
Satu kata, sedih. Entah kenapa kalo udah tentang keluarga kok rasanya pengen nangis aja bawaannya:(
Perjuangan ayahnya melawan sakit, ibu dan Lulu yang harus siap sedia jika terjadi apa-apa. Mengharukan sekali.
Saya juga suka sama chemistry antara Lulu dan Eli. Dan ngerasa sebel banget sama Ezra dan Karin. Dua tokoh antagonis yang kayaknya kurang di eksplor gitu, kurang greget aja.
Endingnya? jangan ditanya deh, suka bangettt...
4 Bintang untuk Happily Ever After, recommend banget untuk yang pengen tahu arti kebahagiaan sebenarnya:)
Ini adalah review pertama saya,karna saya baru gabung di goodreads, saya bingung mau review darimana atau bagaimana tapi saya review sekenanya saja. hehe..
EDITED..
Ini buku yang berkesan buat saya, bukan hanya karna buku ini dibelikan oleh kaka saya setelah seharian bekerja kaka masih sempat-sempatnya ke gramedia karna tau saya mau baca buku ini tapi belum sempat beli, tapi juga karna buku ini punya kisah menarik.
Lulu adalah gadis yang suka membaca dan menyukai dongeng, bersama dengan ayahnya mereka selalu berbagi kisah dongeng yang seru, tapi tak semua dongeng berakhir Happily Ever After. Ending novelnya juga tak benar-benar Happily Ever After, tapi banyak hal menarik dalam novel ini.
Seperti dalam surat ayah untuk lulu. "Hidup ini adalah kanvas kosong, kamu bebas menciptakan ceritamu dan akhirnya."
Ya, hidup ini tak selalu indah tapi yang membuat hidup ini terasa indah juga dari diri kita sendiri. ❤
Novel ini cocok buat kalian yang butuh bacaan ringan,atau yang memang penggemar tulisan Winna Efendi :)
Separuhnya lagi untuk kovernya yang luar biasa indah. Untuk narasi dan gaya bercerita, saya rasa penulis semakin matang. Sangat, malah. Tapi, sama halnya ketika saya menunda-nunda membaca Melbourne, alasan yang sama juga berlaku untuk buku ini. Narasinya too much, terus terang. Dan bagi saya, ini sangat-sangat mengganggu. Terakhir, lebih ke selera, ke depannya saya bakal menghindari bacaan semacam sicklit.
Semoga kali lain saya bisa kembali menyukai karya lainnya dari penulis.
This is the kind of book that makes you smile and happy once you're done reading them because the story had pretty much everything you were looking for at that particular moment in time. Thank you, kak Winna, for writing this story.
Setelah membaca ini, saya jadi yakin kalau saya lebih cocok dengan Metropop-nya Mbak Winna, bukan Teenlit-nya. Habis ini saya akan ubah bintang Unforgettable jadi dibulatkan ke atas, deh. Hehe.
Pembukanya bukan yang terkuat, menurut saya. Agak lama juga sampai kita ketemu Eli dan kejadian Ayah. Perseteruan dengan Karin memang cukup drama, tapi tidak seberapa dengan penyelesaiannya. MINTA MAAF KEK, KAR! Dia yang selingkuh, dia yang menjauh, eh Lulu yang suruh ngerti. Enak aja. Serius deh, saya nggak terima Lulu disuruh 'memahami rasa iri' dan 'cobalah menghargai kami kalau kami berharga.' Ha ha ha. Pengecut banget dia sama Ezra. Pernah salah boleh, tapi akuin dong. DAN akuin yang bener. Bukan lantas tipis-tipis playing victim. 'Ya, aku salah, aku dan Ezra salah, tapi bla bla bla' heiii kagak ikhlas amat.
Kalau memang itu sifat dia, okelah. Tapi jangan suruh Lulu nerima gitu aja 😭 menurut saya sih, Lulu mungkin salah karena kurang memperjuangkan (tapi dia memang memperjuangkan, kok. Dan lelah. Wajar. Terus nggak pernah ada itikad baik dari Karin tiap dikonfrontasi. Nggak jelas emang tuh bocah. Pengin populer tapi pengin baikan juga sama Lulu? Ubah dulu diri lo keles) tapi sifatnya Lulu yang saya lihat kan, cenderung berprinsip, jadi gimana gitu kalau cuma 'Oh iya, aku salah juga.' Mana si Karin pas dengar kabar ayahnya Lulu cuma 'Oh. Maaf, ya.' Apa kek, hibur kek, katanya pernah sahabatan. Pasti tahu arti Ayah buat Lulu kayak apa. Udah lah, buang aja teman kayak Karin itu. Bikin gedek aja. Si Ezra juga nggak usah ditanggepin.
Saya pun bingung kenapa sekolahnya Lulu memperbolehkan murid seperti Ezra punya tato permanen dan pakai jaket kulit. Saya pikir Ezra ini udah lulus terus suka main gitu ke sekolah. Nggak tahunya masih siswa juga. Kurang realistis saja rasanya, belum pernah saya dengar ada sekolah swasta yang mengizinkan muridnya bebas berjaket kulit dan berambut spike, apalagi bertato.
Beberapa adegan dan elemen memang pernah ditemukan juga pada cerita lain, tapi karena Mbak Winna punya cara tersendiri untuk membawakannya, jadi bisa dinikmati. Saya sukaaaa banget hubungan Lulu dengan Ayah, yang sempat bikin saya bertanya gimana hubungan Lulu dengan Bunda? Dan ternyata mereka pun berakhir bahagia. Kekeluargaannya dapat sekali. Buat romance-nya juga cukup, tapi selalu ada ciri khas manis dari setiap racikan novel-novelnya Mbak Winna, jadi kayaknya pas juga buat para hopeless romantic.
Pasti cerita ini banyak yang suka karena memang menyentuh banget. Tapi saya juga paham ke-drama-an yang terjadi. Hybrid latar Indonesia-Western membuatnya sedikit mirip novel terjemahan, tapi enak diikuti karena unsur lokalnya yang membumi terutama di percakapan. Saya belum coba baca ALTCH atau Someday yang men-tackle isu cukup serius, tapi setelah baca ini saya jadi penasaran bagaimana Mbak Winna membungkusnya. Walau mungkin, saya akan tetap lebih cocok ke genre Metropop-nya (eh iya, kan ada Scars. Hehe asiiik).
P.S. Dear Lulu, you just cannot compare FOB with MCR because they're associated hehe. Shoutout to fellow emo trinity fan!
Ini novel ke sekian yang membuat saya meneteskan air mata waktu membacanya.
Hidup bahagia selamanya, adakah itu? Winna Efendi memang pintar mengolah kata - kata sampai membuat kita terbawa suasana saat membaca.
Ceritanya, tentang seorang anak SMA, Lucia Surya, tipe cewek nerd, korban bully, sudah dikhianati sahabatnya Karin Utomo yang sekarang ikut membully dia, yang juga perebut pacar Lucia, Ezra. Awalnya ia menganggap semua itu baik - baik saja, sampai ketika ayahnya jatuh sakit pada hari ulang tahunnya. Walau berusaha kuat, tapi hei dia masih SMA, masih labil, dan itu sangat wajar kalau ia kesal, marah, kecewa, sedih, dan yang lainnya. Dan ia bertemu Elliot Gustira.
Eli, panggillan Elliot, pun memiliki nasib yang kurang beruntung, seorang calon atlet renang, divonis kanker otak hanya beberapa minggu sebelum pengumuman atlet yang ditunjuk mewakili olimpiade, ditinggal oleh kekasihnya, dan harus menjalani siklus kemoterapi dan radiasi berulang di rumah sakit yang sama dengan tempat ayah Lucia terapi.
Bertemu dengan Eli membuat hari - hari Lucia menjadi lebih berwarna, selain ia menjalani sekolah membosankan, dan mengantar ayahnya melakukan terapi. Eli mengajak Lucia bertemu Mia, adiknya yang tergila - gila dengan The Beatles, bertemu Hanny ibunya, dan mengajak Lucia nostalgia masa sekolahnya di SMA Pelita.
Klimaks dari novel ini adalah waktu berita tentang ayah Lucia tersebar di sekolah, ia bertengkar dengan Karin sampai harus di skors, kemudian ayahnya meninggal setelah berjuang melawan kanker hati stadium akhir, dan Lucia memutuskan tidak bertemu dengan Eli lagi. Karena apa? Ia takut akan kehilangan lagi kesekian kalinya.
Tapi, ending cerita ini bagus. Eli berhasil sembuh dengan operasinya di Singapura, dan Lucia menyusulnya. Lucia menyesal mengapa ia meninggalkan Eli, di saat Eli butuh dukungan dan kehadirannya (once again, please..dia masih SMA, menurutku wajar kalau dia labil). Dan Eli memaafkan gadis yang sudah mencuri hatinya itu.
Di novel ini, pesan yang tersampaikan adalah menghargai waktu dengan orang tua, kita nggak tau kapan mereka akan pergi, jadi gunakan waktu yang ada sebaik mungkin.
Part yang membuat saya agak gemes adalah Karin dan Ezra, seriously, alasan mereka ke Lucia nggak jelas, dan... buat saya itu cuma alasan yang dibuat2, intinya "Aku tertarik ke temenmu, dia lebih cantik, dan nggak nerd kayak kamu", pun waktu Karin bilang sejak Lucia dan Ezra jadian, Lucia jadi berubah. Jadi, Karin merebut Ezra karena dia sebal dengan Lucia, or what?
Satu kutipan yang saya suka dari novel ini, "It's amazing when strangers become friends, but it's sad when friends become strangers" - Jeff Ervin Ramon, yang menggambarkan keadaan Lucia dan Karin.