Andai saja mahakarya George Orwell, 1984, hanyalah distopia masyarakat yang berada di bawah kontrol Big Brother belaka. Empat puluh lima tahun berselang, pada 2029, segala sesuatunya telah berbeda. Jauh lebih siap. Jauh lebih sempurna.
AI, kartu vaksin, uang elektronik, identitas digital, hingga kredit sosial.
Apa yang akan kau lakukan jika lima hal yang kau anggap remeh ternyata berbalik mengancammu? Ryu Kwang-ho meramalkan bahwa era modernisasi yang menawarkan kenyamanan dan keamanan malah mengekang eksistensi manusia.
Atas berlakunya pengawasan melalui pemberian kredit sosial, transaksi jual beli lewat uang elektronik, kewajiban vaksin untuk mengakses lebih banyak tempat, hingga robot-robot anjing yang senantiasa memantau gerak-gerik manusia, terjadilah kendali penuh oleh kekuasaan yang lebih sempurna dibandingkan distopia 1984.
Setelah pandemi flu burung, banyak aturan di Korea yang masih berlaku, diantaranya: Tetap menggunakan masker di luar ruangan. Hal ini masih diawasi oleh robot. Jika melanggar, akan dikenakan sanksi yaitu pengurangan poin. Pengamanan yang ketat, di mana setiap perumahan masih diawasi oleh drone. Tidak vaksinasi berarti tidak leluasa beraktivitas di luar rumah dan hanya bisa melakukan transaksi secara tunai.
Karena jengah dengan banyak aturan tersebut, Yoo Hyuk mengunggah keresahannya di kanal Scube miliknya. Ia mengunggah tentang segala konspirasi yang terjadi selama pandemi. Namun, siapa sangka, akun Scube miliknya ditangguhkan selama 90 hari karena dianggap membahas isu sensitif. Yoo Hyuk ga kehabisan akal, ia mengunggah kembali video-videonya di second account Scube miliknya. Bukannya tenang, ia malah semakin ngerasa ‘diawasi’ negara, dan mulai ragu, apakah selama ini pendapatnya tentang pandemi dan negara cuma kekhawatirannya saja atau memang begitu kenyataannya?
KELEBIHAN NOVEL INI: 1. Temanya relevan dengan zaman sekarang. Bahas soal AI, identitas digital, uang elektronik, dan semua transaksi akan nge-link ke identitas. Aku ngerasanya ini semua bukan imajinasi, tapi emang udah mulai muncul ‘bibitnya’. 2. Nuansa distopia yang kuat dengan sentuhan modernisasi. Jadi pengawasan berbasis teknologi dan bikin mikir, apa benar kemajuan akan ngekang kebebasan? Membangun kesadaran kritis. Setelah baca novel ini jadi mikir, untuk dapat kenyamanan, apa aja yang harus dikorbanin? 3. Narasi lugas. Terjemahannya enak buat dibaca, ga filosofis, jadi mudah dipahami. Cocok buat aku yang newbie baca buku genre distopia.
KEKURANGAN NOVEL INI: 1. Isinya lebih banyak part diskusi Yoo Hyuk dengan teman-teman daringnya, jadi kadang novel ini rasanya lebih kayak esai. 2. Karakteristik yang ga terlalu hidup. Karena lebih banyak bahas tentang kritik sosial, jadi aku sebagai pembaca kurang bisa ngerasain emosi dari Yoo Hyuk.
Baca novel ini ngerasanya beneran de javu, banyak kejadian mirip saat pandemi Covid-19 di Indonesia. Masyarakat terbagi menjadi 2 kubu, yang percaya bahwa pandemi memang beneran ada dan yang percaya bahwa pandemi hanya settingan dari pemerintah yang mengakibatkan konflik horizontal.
Kalian udah baca novel ini? Kalo udah baca 1984 karya George Orwell pasti suka deh sama 2029.
I have not read 1984 by George Orwell, but this book is inspired by it, and indeed it reflects many elements of Orwell’s narrative. The story centres on a man living in South Korea, where technology and the government work “together” to tighten control over the lives of citizens. The main character also worked as a content creator who produces videos expressing his resistance to the regime and its oppressive system. The book describes how people are compelled to participate in a technological framework in which they are constantly monitored by the authorities and the government.
I would say that this book offers a rather ironic and (sadly) accurate illustration of modern life, in which we too are, to some extent, “watched” by the government through the technology we use. The books also introduces the idea of a “discipline point” system, where individuals are categorised according to the points they accumulate. The more one resists the government, the lower one’s score becomes, and this directly affects one’s daily life. Those with low scores may be barred from entering supermarkets or cafés, and face a high risk of arrest and imprisonment.
There are two aspects of the book that I did not particularly enjoy. Firstly, there was one character (not the main character) who explained everything through the lens of the Bible, and drawing the detailed comparisons between biblical teachings and the apartheid society that the characters lived in. I was rather taken aback by this, as I am neither Christian nor Catholic, and I found the extensive religious analysis somewhat uncomfortable. I do not think the author fully considered the diverse religious backgrounds of readers. Secondly, the ending is uncompelling. I found it unsatisfying and uninteresting, when I finished the book, my reaction was simply, “It ends just like that?” It is not exactly an open ending, but rather a bland one.
If you enjoy Orwell's 1984 or the dystopian genre in general, I believe you will appreciate this work. Overall, I would give this book 3.9 out of 5.
This entire review has been hidden because of spoilers.