Jump to ratings and reviews
Rate this book

Anak-anak Langit

Rate this book
Xiao-Di, seorang generasi muda Cina yang menikmati kemajuan ekonomi yang dibawa Deng Xiaoping sejak dekade 70-an akhir, mendapat previlese untuk kuliah di Barat (Amerika). Dia diharapkan bisa memberikan yang terbaik bagi negerinya. Namun, ketika pulang, dia justru menjadi “anak yang sulit.”

Dengan ide-ide baru dan impian Amerikanya—serta gadis pirang yang cantik—Xiao-Di justru mendatangkan kemalangan bagi keluarga dan, tentu, pengkhianatan bagi tunangannya. Di sisi lain, dia melihat sistem sosial dan rezim bobrok di negerinyalah yang menyusahkan rakyat. Momentum sejarah menyeretnya ke Tiananmen untuk melawan penguasa yang lapuk dan antidemokrasi. Gelombang revolusioner Tiananmen, di luar akal sehat, telah menjadikannya sebagai pahlawan-pemberontak yang diburu Deng Xiao-Ping sendiri, sekaligus menyeretnya untuk berhadapan dengan Xiao-Lu, abangnya yang tentara.

450 pages, Paperback

First published January 1, 2002

2 people are currently reading
107 people want to read

About the author

Terrence Cheng

6 books3 followers

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
28 (23%)
4 stars
48 (40%)
3 stars
35 (29%)
2 stars
8 (6%)
1 star
1 (<1%)
Displaying 1 - 23 of 23 reviews
Profile Image for C.
887 reviews3 followers
August 18, 2019
Hits the ground running... right into the Tiananmen Square massacre of 1989. Wow. Cheng's writing is very stunning. This book takes the perspective of three people: "The soldier" and big brother, Lu. "The dissident" and little brother, Xiao-Di. "The Comrade" and leader of China, Deng Xiaopeng. I almost feel like I've met Xiao-Di before -- very real, very relatable (even Deng Xiaopeng is made very real!). This should be read by anyone wanting a dose of easily readable history of China. I think it does a good job of covering the basics of Chinese history in memorable fiction -- at least for someone who knows little about it yet. I think one of the main things that makes this novel "fictional" is giving a story to the mysterious "tank man" -- the man standing in front of the tanks in that famous picture. They never did find out who the man was, so Cheng has a great time making a story for him. The story simply flows really really well. If you had handed me a book like this, something fictional yet historical, I would have learned so much more than I did in history class. A favorite read from this year, so far.
Profile Image for Jason.
56 reviews5 followers
November 7, 2007
I stumbled across this book rather by accident but decided to read it because it looked somewhat compelling. This is a novel containing a fictionalized account of the Tiananmen Square incident. The story itself is told through the eyes of 3 different people so you get more of a whole perspective. We hear the story through the dissident protester (younger brother), through the soldier called into Beijing to help squash the rebellion (older brother) and through the eyes of the old Chinese ruler Deng Xiaoping. The younger brother Xiao Di has more liberal views and even attended college in America. While returning to Beijing he got caught up in some protests that had dire effects for him when the state dept. learned of his identity. His older brother Lu is a solider in the army and seems to be somewhat mentally facile, more or less doing what he's told and never really questioning that his orders may not be best for the people. Deng is shown as a semi-retired old man who doesn't quite understand how the people could doubt that he acted in their best interests and why they would want to cause a disturbance with the way things are presently. After all, aren't things better now than they were in the past? It's obvious while reading this book that the Author Cheng has done quite a bit of research. I felt that the book kept me interested in reading to see how events would turn out and also gave me a somewhat fresh perspective on how difficult and trying life can be under a state-controlled regime. It made me think of how we should all appreciate the freedoms and rights we've been granted in the United States. You also come to understand the reasons why the ruler Deng Xiaoping acts as he does even if you don't quite support his thoughts or ideas. All-in-all I was pleasantly surprised with this book. It reads pretty quickly and I would recommend it. I hope this author continues to improve and give us more works in the future.
Profile Image for Ashley Zaccari.
10 reviews1 follower
February 20, 2022
I didn’t want to put this down. This docu-drama about China and Tiennaman Square was captivating from page 1. Absolutely worth a read.
Profile Image for Endah.
285 reviews157 followers
November 24, 2008
Saat peristiwa demonstrasi mahasiswa Cina di lapangan Tiananmen, Juni 1989, terjadi, saya masih senang-senangnya jadi mahasiswa. Saya ingat sekali, kami di kampus menggelar aksi solidaritas bagi kawan-kawan di Beijing itu. Kami memberi dukungan moral dengan cara bikin corat-coret di papan-papan pengumuman yang berisi ungkapan simpati, dorongan semangat, serta kalimat-kalimat kutukan kepada pemerintah RRC yang ketika itu dipimpin oleh Perdana Menteri Li Peng dengan Deng Xiaoping sebagai ketua Partai Komunisnya, menggantikan Ketua Mao.

Semangat dan atmosfer pemberontakan rakyat Cina tersebut (aksi demontrasi massal itu selain diikuti oleh para mahasiswa, juga para buruh dan pelajar sekolah menengah) terasa sampai ke kampus saya tadi. Kami kasak-kusuk memperbincangkannya sambil diam-diam menyimpan segurat rasa cemburu kepada para mahasiswa Cina itu yang telah dengan gagah berani menyatakan sikap menentang keotoriteran pemerintah mereka. Peristiwa heroik yang tercatat dan akan terus dikenang bukan saja oleh rakyat negeri Tirai Bambu itu, tapi juga oleh dunia.

Salah seorang yang mengabadikannya adalah Terrence Cheng, seorang novelis kelahiran Taipei yang kini mukim di Amerika Serikat. Cheng memang tidak mengalami sendiri peristiwa Tiananmen itu. Ia lahir 1972. Setahun kemudian, bersama orang tuanya hijrah ke Amerika Serikat. Ia kini mengajar fiksi di Lehman College, New York.

Pada novel Anak-anak Langit ini, Cheng menampilkan deretan potret buram kejadian penting tersebut ke dalam fiksi yang menyentuh. Lagi-lagi, sastra telah berperan sebagai pencatat sejarah yang baik lewat perkawinan antara fakta dan fiksi.

Sejarah kita sendiri telah beberapa kali mencatat kisah perlawanan yang dilakukan oleh para pelajar dan mahasiswa kepada penguasa otoriter. Sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda (1908), merebut kemerdekaan (1945), menjatuhkan Soekarno di masa orde lama (1966), sampai yang paling mutakhir menggulingkan Soeharto dari tampuk kekuasaan rezim Orde Baru (1998).

Orang-orang muda bukan saja telah mengukir sejarah, tetapi juga adalah, mengutip Mao Zedong seperti yang terdapat di Bagian 2 buku ini, pemilik masa depan dunia. Orang-orang muda yang penuh semangat dan vitalitas, sedang berkembang dalam hidup, seperti matahari.

Adalah dua bersaudara Lu dan Xiao-Di. Mereka kakak beradik yatim piatu. Sejak kecil diasuh oleh kakek dan nenek mereka, petani desa yang berurbanisasi ke Beijing, ibukota dari sebuah negeri dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. Di kota besar itu, mereka tinggal di hutong, area pemukiman tradisional di Cina. Rumah-rumah di hutong dibangun saling berhimpitan; ciri khas daerah miskin negara dunia ketiga. Mereka hidup dari jaminan negara/partai, mulai dari makan sampai pendidikan, seperti berlaku di banyak negara komunis.

Ketika beranjak dewasa, kedua bersaudara itu memilih jalan hidup berbeda. Lu masuk tentara, sedangkan Xiao-Di meneruskan kuliah matematika ke Universitas Cornell, Amerika Serikat atas bantuan ayah Xiao-An, gadis yang dijodohkan untuk Xiao-Di. Ayah Xiao-An bekerja sebagai penyelia di biro kepegawaian daerah Departemen Pekerja dan Jaminan Sosial Cina, dan ibunya seorang manajer pada sebuah pabrik pakaian perempuan. Keluarga mereka tergolong keluarga berada. Dengan pengaruh yang dimilikinya, ayah Xiao-An mengusahakan bea siswa bagi Xiao-Di, calon menantunya.

Xiao-An bukan gadis rupawan. Lengannya pendek dan tungkainya gemuk, tubuh tanpa lekukan serta wajah sebulat bulan. Ada bekas-bekas jerawat yang tak hilang di pipinya yang pucat. Rambutnya kering bagai jerami, meskipun panjang terurai. Namun, Xiao-An gadis yang cerdas dan baik hati. Xiao-Di tak mampu menolak saat sang nenek menjodohkannya dengan gadis itu. Sampai di kemudian hari ia jatuh cinta pada Elsie, gadis Amerika teman kuliahnya di Cornell. Melalui surat, ia memutuskan tali pertunangannya dengan Xiao-An.

Ayah Xiao-An merasa amat terhina oleh keputusan itu. Maka, sekembalinya Xiao-Di ke tanah air, ia pun membalaskan sakit hatinya : mempersulit usaha Xiao-Di melamar pekerjaan.

Sementara itu, situasi politik dan ekonomi Cina tengah terpuruk di bawah rezim bobrok pimpinan Deng Xiaoping. Rakyat dibuat susah oleh sistem sosial yang otoriter, korup, dan antidemokrasi. Kebebasan berpendapat dibungkam. Pers hanya boleh menyuarakan kepentingan partai dan pemerintah. Deng mengulang kembali, bahkan lebih buruk, apa yang pernah dilakukan pendahulunya, Mao, di era Revolusi Kebudayaan.

Situasi tersebut menyulut banyak aksi protes mahasiswa di sana-sini. Mereka menuntut perbaikan sistem dan kebebasan pers. Perlawanan mahasiswa itu berpuncak di Lapangan Tiananmen. Mereka melakukan unjuk rasa dengan berorasi menyerukan tuntutan dan melontarkan kritik kepada Deng. Sebagiannya ada juga yang melancarkan aksi mogok makan.

Xiao-Di yang sedang kecewa karena menganggur, segera saja terlibat dan tersedot ke tengah-tengah pusaran demontrasi tersebut. Bersama sahabat masa kecilnya, Wong, ia ikut berpartisipasi mogok makan. Pada suatu kesempatan, Xiao-Di bicara di depan kamera televisi asing yang meliput jalannya peristiwa besar itu ihwal ketidakbecusan para pejabat negara menjalankan roda pemerintahan, kebebasan pers yang terbelenggu, pengangguran merajalela di mana-mana.

Deng pun murka. Ia lalu mengeluarkan perintah agar menangkap - hidup atau mati - para pemberontak itu, istimewanya : Xiao-Di.

Tak lama kemudian pecahlah huru-hara itu. Lapangan Tiananmen berubah menjadi ladang pembantaian rakyat (baca: mahasiswa/pelajar) oleh pasukan tentara atas perintah Deng Xiaoping. Entah berapa ratus jiwa melayang tertembus timah panas dari moncong senapan mesin dan tank-tank lapis baja. Tentara bersenjata api berhadap-hadapan dengan rakyat yang mencoba membalas memakai bom molotov dan batu-batu. Sudah barang tentu itu bukanlah perang yang sepadan. Aksi brutal yang dengan cepat menuai kritik pedas dari segala penjuru dunia. Banyak negara mengutuk perbuatan biadab yang terang-terangan melanggar HAM itu.

Di antara pasukan tentara pembantai, terdapatlah Lu, prajurit setia pembela negara. Laiknya militer, yang berlaku adalah doktrin mati : patuh kepada perintah atasan. Disuruh perang, ya perang. Diperintah menembak, ya harus menembak. Tak peduli siapa yang menjadi lawan dan sasaran pelurunya. Bahkan adik kandung sekalipun, jika ia musuh negara, mesti dihabisi.

Demikianlah. Lu menerima perintah untuk mencari dan menemukan adik semata wayang, Xiao-Di, si perusuh itu dengan iming-iming kenaikan pangkat.

Berbekal dendam dan iri hati kepada Xiao-Di yang pernah melukai wajahnya hingga berakibat cacat permanen, Lu pun bertekat menangkap saudara satu-satunya itu. Hidup atau mati, sebab ia sudah bosan dan lelah seumur-umur menjadi pecundang. Ia kepingin naik pangkat dan menikmati hidup yang lebih baik. Ia bermimpi menjadi pemenang. Ia juga ingin jadi cucu kesayangan kakek-nenek.

Novel yang sangat menyentuh; menghadirkan pergulatan batin, bukan saja milik Lu, tetapi juga Xiao-Di dan Deng Xiaoping. Dengan piawai dan berani, Cheng menguraikan kisahnya dari ketiga tokoh utama novel ini : Xiao-Di, Lu, dan Xiaoping. Yang menarik adalah pada bagian Xiaoping, tokoh real yang bertanggungjawab atas tragedi Tiananmen itu. Melalui pengembaraan imajinasinya, Cheng dengan leluasa membiarkan Xiaoping bercerita, berganti-gantian dengan Lu dan Xiao-Di.

Begitulah, sang juru dongeng punya kuasa mendudukkan kedua pemuda harapan bangsa itu pada dua peran yang berlawanan: sebagai pemburu dan yang diburu, dengan Deng Xiaoping di antara mereka. Di sinilah daya pukau novel ini bersumber, pada hubungan cinta-benci kakak-beradik Lu dan Xiao-Di. Sangat emosional.

Pada akhirnya prahara Tiananmen "hanya" sekadar sebagai bingkai atau panggung saja bagi sebuah drama kehidupan Lu dan Xiao-Di. Sebuah bingkai/panggung yang istimewa dengan dekorasi cantik berupa budaya, tradisi, dan geliat kehidupan masyarakat Cina sehari-hari yang sedang menuju era keterbukaan. Pembaca seperti diajak tour keliling Beijing; menelusuri gang-gang sempit kumuh; melongok ke setiap sudutnya, sampai ke Great Wall yang terkenal itu. Sebuah tamasya (historis) yang sungguh asyik.


Endah Sulwesi 1/7
Profile Image for Michaela Vail.
49 reviews
March 12, 2025
Such an interesting historical fiction novel that follows a boy that was in the Tiananmen Square massacres in China. Like many, I’ve heard about this massacre, but never really knew much about it. It’s extremely well written and gives perspective of a boy trying to find his way in communist, socialist China. So glad I came across this book to learn more about this historical event, but also read a great book.
138 reviews1 follower
April 30, 2024
3.25 stars. I am not sure what happened. The first half of the book was good. Then it just kept going. It felt unfocused. The first half was very character focused and although not the best I have read it was good. It went through the brutality of Tiananmen Square, then the book forgot to be any of that and became a confusing manhunt and not a particularly engaging one.
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for Riowrow.
15 reviews
March 6, 2025
This book introduced me to what the Tiananmen tragedy is. Aku baca versi bahasa Indonesianya dan waktu itu masih SMP. Sure I found some parts of the book wasn't proper for me at that time tapi alurnya bener-bener powerful sampai2 sekarang pun aku ingat rasa kesepian, kericuhan, juga ke'ngeri'an dari ceritanya
Profile Image for Febi.
13 reviews2 followers
July 19, 2008
Membaca kisah tentang negri Cina memang sangat menarik. Sebuah Negeri teramat luas yang sudah berumur banyak. Mengetahui kisah dynasti yang pernah jaya pada masa nya, kekuasaan politik yang berkuasa, kultur budaya, kuliner, keindahan alam, semua sangat menarik buat saya. Tidak heran jika saya mengoleksi beberapa buah buku yang ber latar belakang negeri cina.
Dari Referensi yang saya baca, buku ini bercerita dengan latar belakang peristiwa tianamen . Saya membayangkan bagaimana asik nya melakukan “wisata” ke tahun 1989 ,tahun dimana peristiwa tianmen terjadi , ikut merasakan semangat perjuangan para mahasiswa yang melakukan demonstrasi, penderitaan keluarga pendemo yang menjadi korban, suasana kota cina pada saat itu. Semua itu menjadi alasan mengapa saya membeli buku yang berjudul anak-anak langit karya chiag theng ini.
Ide ceritanya bagus, kisah di ceritakan dari tiga sudut pandang tokoh-tokoh yang terlibat langsung dalam peristiwa Tianmen, yaitu dari sudut pandang Tentara sebagai pelaku pembantaian mahasiswa, sudut pandang mahasiswa sebagai tokoh utama, dan terakhir dari sudut pandang sang pemimpin pemberi kuasa. Harusnya ketiga sudut pandang itu dapat menghasilkan cerita yang menarik.
Akan tetapi dari awal sampai selesai buku itu saya baca, saya tidak merasakan sensasi mendebarkan seperti yang saya bayangkan. Peristiwa Tianmen yang seharusnya menjadi “nyawa” dari buku ini tidak di ceritakan dengan semestinya, sehingga tampak hanya sebagai pelengkap. Penuturan cerita begitu membosankan, terlalu banyak cerita-cerita yang menurut saya tidak perlu sehingga menambah jemu pembaca.
21 reviews2 followers
October 22, 2009
Story Progression/Developement: 4.5
Characterization: 5
Conflict: 5
Conclusion: 5

Additional Thoughts:
The story is based on the man who famously stood up to the tanks in Tiananmen Square in 1989. It takes the view point of the "dissidant" the "soldier" and the "comrade" who is Deng Xiaoping. Despite all of the characters representing different aspects of the same event, they are all relatable characters who you commiserate with their decisions that they have to make, whatever the consequences. Terrence Cheng created a piece that does what few others can, which is to have the reader sympathize with the enemies or the "villains".

Quotes:
1. It was the students who gave the people their voice, who put themselves in the path of danger.
2. "I'm not like you," Deng said.
The ghost said, "You are nothing without me."
3. It was easier to be silent and together, so they were.
Profile Image for Novie Octavia.
31 reviews14 followers
February 6, 2009
Accidentaly I got this book years ago from QB bookstore. This book is good to read. Story telling about 2 characters, Xiao Di and his elder brother Lu, with Tiananmen Tragedy. The conflict occured between them when they seperated and find themself that they stood in different line. Xiao-Di stood with the demonstrant and his elder brother Lu fought back for militery. A brief background of those characters are, Xiao-Di got scholarship continue his study in United States which make a different perspective in political way and life also his sociality. Contrary with his elder brother Lu who lived in simple and descent life.
In end of this story, I only can tell that blood more thick than water. No matter what siblings are, they will be more our priority than others, either nations. I learn about love and compasion in brotherhood :-)
Profile Image for Bunga Mawar.
1,355 reviews43 followers
March 23, 2008
I bought this book on Jakarta Book Fair, June 2007. If you go to major bookstores, the prize is about IDR55000, or you may save 20% if you directly order it from the publisher. Lucky me again, I only had to pay IDR20000 on the book fair.

The story is fictitious, but the background is real, kind of historical story I like to explore. It's about the life of a Chinese boy graduated from America and found himself involved in student movement in Tiananmen Square, Beijing, June 1989. The interesting part of the book is the writer put three persons' point of view to relate the events. When I read about "the dictator" part that represents Kamerad Deng Xaoping, I must force myself to put in mind that doing research seriously is important, even if I want to create an imaginary story.

Profile Image for Marvin.
2,237 reviews66 followers
August 7, 2009
A novel inspired by the young Chinese man who faced down a tank during the Tiananmen Square Massacre in 1989. The story is told from the widely varying perspectives of that imagined character, his brother (a soldier in the People's Army who is particularly ruthless in dealing with the dissidents), and Deng Xiaoping, the reformist ruler who, at age 85, ordered the crackdown. Only the dissident's chapters, however, are told in first person. The story is interesting, but not, somehow, as moving as it seems like it should be, perhaps because the prose is pretty pedestrian; and, having read a number of other novels--good ones--in recent years set in Communist China, this somehow did not feel authentic, though I can't pin down why.
Profile Image for Maude.
Author 1 book11 followers
January 5, 2009
Terrence Cheng is a master storyteller - through this story, we come to know three major characters in the confrontation at Tiannamen Square. Done in alternating points of view, the reader comes to understand what motivates each person and why they do what they do in this conflict.

Terrence's efficiency in word use makes this story strong. I love his descriptive passages that never feel flowery or over-descriptive. He brings all his characters to their resolution in a satisfying story arc.

Tense, and intense, I finished this book in just over a day.

Profile Image for Edy.
273 reviews37 followers
November 30, 2007
Novel kisah perjuangan seorang demosntran Tiananmen – Cina yang harus berhadapan dengan kakanya yang menjadi tentara. Sebuah kisah kemiskinan, perjuangan, dan idealism dalam meraih cita-cita demokrasi.
1 review
June 16, 2013
I really enjoyed this book, the author did a fantastic job of painting a vivid picture of the environment and the time period. It's a very creative, fictional account of what happened in Tiananmen Square China.
Profile Image for Aleetha.
486 reviews29 followers
August 3, 2008
Jadi penasaran ma yang terjadi di tiananmen tahun 1989
Profile Image for Bob.
28 reviews
August 9, 2008
This is a fictionalized account of the events in Tiannaman Square in Beijing. I found it to be very good.
Profile Image for Arif nur.
36 reviews14 followers
March 11, 2009
sudah lama juga baca buku ini..lupa persisnya kapan
Profile Image for Erica.
Author 4 books65 followers
December 11, 2010
Terrence is a good friend of mine. If you're interested in the personal and cultural politics surrounding Tiannamen Square, you'll dig this.
Displaying 1 - 23 of 23 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.