Jump to ratings and reviews
Rate this book

Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film

Rate this book
“Saat moralitas dibangun di atas kuburan massal dan diamankan melalui teror serta kebohongan, kehampaan moral tak syak lagi terjadi. Wijaya Herlambang dengan cemerlang menganalisa perkembangan historis dan dinamika diskursif dari kehampaan ini, menguak gagasan-gagasan yang membuat kebohongan tampak benar.”— Joshua Oppenheimer, sutradara film The Act of Killing

Orde Baru sukses dalam memelintir sejarah kiri di Indonesia untuk mencitrakannya sebagai ideologi iblis yang menjadi ancaman terbesar bagi negara. Terbukti, jauh sesudah Orde Baru jatuh, anti-komunisme tetap bercokol kuat dalam masyarakat Indonesia. Buku ini menjelajahi kembali faktor-faktor yang membentuk dan memelihara ideologi anti-komunis itu, bukan saja sebagai hasil dari kampanye politik, melainkan juga hasil dari agresi kebudayaan, terutama melalui pembenaran atas kekerasan yang dialami oleh anggota dan simpatisan komunis pada 1965-1966.

Buku ini menganalisis upaya pemerintah Orde Baru beserta agen-agen kebudayaannya dalam memanfaatkan produk-produk budaya untuk melegitimasi pembantaian 1965-1966. Dengan bukti-bukti empiris ditunjukkan bahwa intervensi langsung CIA kepada para penulis dan budayawan liberal Indonesia untuk membentuk ideologi anti-komunisme bukanlah isapan jempol belaka. Siapa saja penulis yang terlibat? Bagaimana metodenya? Sebagai tambahan, buku ini juga menganalisis perlawanan kelompok-kelompok kebudayaan Indonesia kontemporer terhadap warisan anti-komunisme Orde Baru itu.

334 pages, Paperback

First published August 12, 2011

55 people are currently reading
608 people want to read

About the author

Wijaya Herlambang

1 book3 followers

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
183 (52%)
4 stars
132 (37%)
3 stars
22 (6%)
2 stars
5 (1%)
1 star
7 (2%)
Displaying 1 - 30 of 70 reviews
Profile Image for Rido Arbain.
Author 6 books98 followers
August 28, 2025
Tragedi 1965 bukan hanya meninggalkan jejak darah atas pembantaian ribuan nyawa tak berdosa, tetapi juga melahirkan sebuah narasi besar yang dibangun secara sistematis oleh rezim Orde Baru. Melalui film propaganda “Pengkhianatan G30S/PKI”, buku pelajaran sekolah, hingga pelbagai wacana di media massa, peristiwa G30S direduksi menjadi legitimasi bagi kampanye anti-komunisme yang berlangsung selama puluhan tahun.

Narasi tersebut menempatkan PKI sebagai dalang tunggal kejahatan, sekaligus membungkam suara para korban yang sebenarnya mengalami represi. Kekerasan fisik pun bertransformasi menjadi kekerasan simbolik dan kultural yang mengakar dalam kesadaran kolektif masyarakat. Dalam konteks inilah buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 karya Wijaya Herlambang menjadi penting, karena membuka tabir bagaimana propaganda dan kebudayaan dijadikan instrumen untuk melegitimasi kekuasaan sekaligus melanggengkan stigma terhadap mereka yang dituduh “komunis.”

KBBI mendefinisikan "kekerasan" sebagai perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Meskipun begitu, dalam buku yang semula berangkat dari penelitian panjang untuk disertasi doktoralnya ini, Wijaya Herlambang menyoroti tiga bentuk kekerasan—langsung, struktural, dan kultural–yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Menurutnya, ketiga bentuk kekerasan itu harus dilihat sebagai satu kesatuan untuk merumuskan sebuah pengertian bagaimana kekerasan dapat terjadi di dalam masyarakat.

Terdapat banyak sekali produk-produk kebudayaan yang digunakan oleh pemerintah Orde Baru dan agen-agen kebudayaannya untuk mempromosikan anti-komunisme, seperti ideologi negara, museum, monumen, diorama, folklor, agama, buku-buku pegangan siswa, materi penataran, film, ideologi kebu-dayaan dan karya sastra. Dalam studi buku ini, penulis lebih berfokus pada dua dari banyak produk kebudayaan itu, yakni melalui sastra dan film, yang berkaitan erat dengan proses legitimasi atas kekerasan pada periode 1965-1966.

Pada saat situasi politik masih tak menentu menyusul pembunuhan tujuh perwira militer Angkatan Darat yang belum diketahui dalang pastinya, Jenderal A.H. Nasution yang saat itu selamat dari upaya penculikan pada 30 September 1965 tetap menjaga hubungan erat dengan Jenderal Soeharto di Kostrad. Lalu entah kenapa, tanpa bukti-bukti yang kuat, PKI dituduh sebagai dalang tunggal atas penculikan sekaligus pembunuhan para perwira militer yang kelak dibuang dengan sadis di dalam lubang buaya. Maka yang terjadi kemudian, seluruh anggota PKI—yang saat itu merupakan partai terbesar di Indonesia, para pengikutnya, maupun orang-orang yang dituduh sebagai simpatisannya dibantai oleh militer dan sekutu sipil mereka.

Di tengah gencarnya pembantaian terhadap PKI, Nugroho Notosusanto, sejarawan UI yang menjabat Kepala Pusat Sejarah ABRI sejak 1964, lantas menulis tentang percobaan kup (kudeta) 30 September 1965 versi militer. Dalam waktu yang sangat singkat, hanya berselang dua bulan, yaitu Desember 1965, Nugroho sudah menyelesaikan risalah tentang peristiwa G30S yang menuding PKI sebagai satu-satunya dalang percobaan kup, termasuk kudeta atas pemerintah sah Presiden Sukarno yang saat itu masih menjabat. Karya Nugroho itu pun menjadi versi resmi pertama tentang peristiwa 1965 dan menjadi fondasi penulisan sejarah Orde Baru mengenai peristiwa 1965.

Pada 1967, Nugroho sempat merevisi karya pertamanya itu sebagai respons atas kajian yang dilakukan Anderson, McVey, dan Bunnell (dikenal sebagai "Cornell Paper") yang berargumen bahwa percobaan kup itu sebenarnya akibat dari konflik internal Angkatan Darat. Dengan bantuan Guy Pauker, seorang analis dari RAND Corporation yang disponsori CIA, Nugroho bersama dengan Jaksa Penuntut Militer, Ismail Saleh, bekerja di RAND Corporation untuk menulis narasi peristiwa 1965 dalam versi yang lebih komprehensif demi mempertahankan argumen mereka bahwa PKI-lah otak di balik kup tersebut. Di sini CIA—atau pemerintah AS—jelas-jelas membantu militer Indonesia untuk mengkambinghitamkan kaum komunis dan melegitimasi bangkitnya rezim militer di bawah pimpinan Soeharto. Namun, bagian sejarah inilah yang luput kita ketahui, sebab "sejarah versi pemerintah" yang kita pelajari melalui buku-buku pelajaran di sekolah hanya mencekoki kita dengan satu sudut pandang, yang sayangnya keliru.

Narasi Nugroho lantas digencarkan melalui berbagai produk kebudayaan seperti museum, monumen, penataran bagi pegawai pemerintah, film, dan karya sastra. Produk yang paling menonjol dan pasti telah ditonton oleh mereka yang besar pada era 1980-an tentunya adalah film Pengkhianatan G30S/PKI, kolaborasi antara Nugroho Notosusanto (penulis naskah), G. Dwipayana (asisten pribadi Soeharto), dan Arifin C. Noer (sutradara).

Pada 1981, film yang semula diberi judul Sejarah Orde Baru itu berhasil diselesaikan dan diberi judul baru, Pengkhianatan G30S/PKI. Film itu disetujui secara resmi oleh Presiden Soeharto pada 1983 dan ditayangkan mulai 1984 hingga 1997. Persetujuan presidensial terhadap film tersebut mengandung implikasi bahwa film itu bukan lagi semata-mata karya seni, melainkan instrumen politik yang oleh Soeharto sendiri dianggap sebagai propaganda penting untuk melegitimasi kekuasaannya. Pada 1986, film itu diadaptasi oleh Arswendo Atmowiloto ke dalam novel dengan judul dan isi yang sama. Kedua produk ini merupakan beberapa di antara produk kebudayaan yang sangat vulgar dalam melegitimasi pembantaian massal 1965-1966 dan naiknya Suharto ke tampuk kekuasaan.

Sebagai bocah yang tumbuh besar pada era 90-an, tentu saya pernah terpapar dengan film propaganda G30S yang saat itu menjadi tontonan wajib di televisi nasional setiap tanggal 30 September. Bayangkan, anak sekecil itu harus menelan mentah-mentah apa yang digambarkan oleh film fiksi manipulatif yang mengaku-ngaku sebagai dokumenter atau karya faktual. Bahkan, saya ingat betul betapa entengnya teriakan “Ganyang PKI!” keluar dari mulut kanak-kanak kami tatkala sedang bermain perang-perangan dengan teman sebaya. Kalimat yang sangat ironis dan menyakitkan apabila kita tahu kemudian bagaimana ribuan nyawa hilang karena semua kalangan, mulai dari orang tua hingga anak-anak, seakan-akan sepakat bahwa siapa pun yang terafiliasi dengan PKI berhak untuk diganyang, dikikis sampai habis.

Walaupun selaku sutradara, Arifin C. Noer, sekian tahun kemudian sadar bahwa keputusannya membuat film propaganda tersebut telah membuatnya memikul tanggung jawab moral dan sejarah yang berat, akan tetapi tak ada sesuatu hal yang bisa dilakukan untuk mencegah masyarakat menonton filmnya. Oleh karena itu, ia seperti merasa berkewajiban untuk menjustifikasi keputusannya dengan mengatakan, “Pengkhianatan G30S/PKI adalah film didaktis yang tidak dimaksudkan untuk menganjurkan kebencian terhadap 'sekelompok orang tertentu'.” Bahkan menurut kesaksian koleganya, salah satunya Goenawan Mohamad, mencatat bahwa pada saat-saat terakhir sebelum meninggal, Arifin merasa sangat depresi dan menyesal atas kontribusinya dalam mengafirmasi sejarah versi Orde Baru.

Sebetulnya, apabila kita mau berpikir sedikit kritis, kita boleh saja mengajukan pertanyaan sederhana: Bisakah seseorang bersalah hanya karena memilih menjadi anggota PKI atau menjadi komunis? Padahal, kita tahu, komunisme justru merupakan satu paham yang diutamakan oleh Presiden Sukarno melalui konsepsi Nasakom-nya. Bahkan jika ditilik lebih jauh, betapa besar peran komunisme dan PKI dalam menggulingkan imperialisme Barat sehingga membuat Indonesia dapat mencanangkan proklamasi kemerdekaan pada 1945. Akan tetapi, kesuksesan propaganda Orde Baru justru melanggengkan kampanye anti-komunisme selama berpuluh-puluh tahun seolah-olah itu paham yang sangat menakutkan—padahal jelas tak lebih menakutkan daripada praktik militerisme dalam menghabisi banyak nyawa pada periode paling kelam bangsa ini.
Profile Image for Kahfi.
140 reviews15 followers
July 29, 2017
Siapa bilang peristiwa kup 1965 hanya soal politik dan perebutan kekuasaan semata? Terlalu sempit menyimpulkan peristiwa kup tersebut hanya dalam paradigma politik, buku ini menghadirkan perspektif baru nan segar mengenai interpretasi peristiwa barbar tersebut. Melalui pendekatan sosio-budaya ternyata tragedi tersebut bisa dibedah.
Buku ini juga menawarkan pandangan oposan mengenai definisi kekerasan, memaksa pembaca untuk melakukan redefinisi mengenai kekerasan yang tak menyasar fisik semata.
Profile Image for vortuna.
19 reviews
August 23, 2025
sampai sekarang, setiap hal yang kita saksikan atau lihat bisa saja hasil manipulasi dari mereka yang punya kekuasaan ya?
Profile Image for Tirani Membaca.
126 reviews1 follower
March 31, 2023
Kajian komprehensif dari disertasi Wijaya Herlambang. Karya ini membuat saya gak bisa lagi melihat kumcer terbitan Horison dengan pandangan yang sama. Dari buku ini juga saya banyak mendapat informasi baru tentang jejaring kebudayaan dan kaitannya dengan peristiwa ‘65 di Indonesia.

Buku ini emas, sama halnya dengan Metode Jakarta - Vincent Bevins. Ini kudu dibaca sama semua orang. Solid five stars.
Profile Image for Aris Setyawan.
Author 4 books15 followers
June 18, 2023
Jika disuruh memilih hidup tenang namun dengan segala kepalsuan, atau hidup dengan kegelisahan karena mengetahui adanya kepalsuan yang mengatur hidup kita. Mana yang akan kita pilih? Saya otomatis memilih yang kedua setelah membaca buku karya Wijaya Herlambang berjudul "Kekerasan Budaya Pasca 1965."

Diterbitkan oleh penerbit Marjin Kiri pada bulan November 2013, buku yang pernah diterbitkan di Jerman pada tahun 2011 dengan judul "Cultural Violence: Its Practice and Challenge in Indonesia" ini langsung menjadi pembicaraan. Ini karena isi buku setebal 333 halaman ini yang cukup bernas membicarakan sesuatu yang entah kenapa menjadi momok mengerikan bagi bangsa ini: komunisme dan sesuatu yang ke-kiri-kiri-an. Ia bukanlah semacam ajakan romantisme mengintip sedikit-sedikit komunisme dan peristiwa 1965 ala novel laris "Pulang" atau "Amba". Ia adalah sebuah buku dengan basis teori rigid dan data yang begitu kaya yang dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya. Wajar mengingat buku ini sebelumnya adalah disertasi doktoral sang penulis.

Dasar pemikiran yang ditawarkan Wijaya Herlambang cukup menarik: kekerasan fisik bisa mendapatkan pembenaran selama ada kekerasan budaya mengikutinya. Ia menggunakan teori “kekerasan struktural” Johan Galtung untuk menjabarkan bahwa kekerasan adalah satu kesatuan yang terdiri dari 3 poin, yakni kekerasan langsung (fisik), kekerasan struktural, dan kekerasan kultural (budaya). Kemudian Herlambang menggunakan model pemikiran Galtung itu untuk mencoba mengurai sejarah kelam negeri ini: kenapa bisa terjadi pembunuhan terhadap jutaan manusia Indonesia yang menganut paham komunisme (atau tertuduh komunis) pada tahun 1965-1966, dan kenapa sampai sekarang seolah masyarakat Indonesia membenarkan terjadinya pembunuhan massal tersebut. Lalu berusaha melupakan sejarah kelam itu.

Peristiwa 1965 eksis karena adanya perebutan kekuasaan. Paduka raja cendana (Soeharto) yang saat itu berada di militer Indonesia berusaha menggulingkan pemerintahan yang sah (Soekarno) dengan melakukan kudeta. Yang menyedihkan adalah, PKI kemudian dijadikan kambing hitam atas terjadinya kudeta tersebut. Hal yang menjadi pembenaran untuk kemudian pemusnahan pada PKI dan segala yang kekiri-kirian harus dilakukan.

Ketika sang paduka raja cendana telah memegang tampuk kekuasaan, mulailah diterapkan kekerasan langsung dengan menggerakkan militer dan organisasi fundamentalis untuk mengganyang habis semua simpatisan PKI. Pembunuhan demi pembunuhan terjadi di seluruh Indonesia. Kemudian untuk membenarkan kekerasan langsung itu, dibuatlah propaganda dan pencucian otak melalui sastra dan film untuk meligitimasi anti-komunisme di tengah masyarakat. Inilah kekerasan budaya, saat budaya digunakan untuk mendukung kekerasan langsung yang ada.

Produk kekerasan budaya yang digunakan sang raja cendana dan rezimnya orde baru berupa bentuk karya sastra dan film. Wijaya Herlambang membedah berbagai produk cuci otak orba, misalnya film propaganda Pengkhianatan G30S/PKI (yang kemudian diadaptasikan ke novel oleh Arswendo Atmowiloto), dan cerpen-cerpen bertema anti-komunisme dalam terbitan majalah Horison. Dalam karya sastra dan film itulah orba berusaha melegitimasi kekerasan langsung kepada kaum komunis, dengan mencitrakan komunis sebagai ideologi sesat tak bertuhan yang berkhianat dan akan menghancurkan Negara.

Lalu timbul pertanyaan: mengapa komunisme dan kiri harus dibasmi dari ibu pertiwi? Ini terkait dengan liberalisasi ekonomi. Komunisme dan kiri dianggap sebagai duri dalam daging bagi rezim orba, yang saat itu sedang menjalin hubungan manis dengan kapitalisme dan pasar bebas (atau kita bisa menyebut spesifik Negara Amerika Serikat sebagai penggerak kapitalisme). Maka orba (dengan dukungan Amerika) harus memusnahkan komunisme dari nusantara, agar modal asing dan liberalisasi ekonomi dapat masuk dengan lancar. Pemusnahan itu tidak tanggung-tanggung, menghabisi jutaan nyawa simpatisan komunis (atau yang sekadar tertuduh) melalui tangan militer (atau kita bisa sebut mertua presiden kita sekarang yang saat itu menjadi punggawa militer. April nanti maju sebagai capres). Kemudian kekerasan budaya diterapkan agar masyarakat memaklumi pembantaian itu dengan keyakinan komunisme itu jahat dan tak bertuhan, harus dimusnahkan dari Indonesia yang beradat ketimuran.

Herlambang menjabarkan fakta menarik yang akhirnya menjadi perdebatan seru belakangan ini: adanya peran Amerika (melalui CCF atau Congress for Cultural Freedom, lini dari CIA) dalam menyetir bagaimana seharusnya budaya Indonesia berjalan. Ia menyebut ada hubungan baik CCF dengan para intelektual Indonesia yang bertujuan menyelipkan liberalisasi barat ke Indonesia. Salah satunya adalah saat para intelektual seperti Goenawan Mohamad, HB. Jassin, Taufiq Ismail, Arief Budiman, dan Wiratmo Soekito mendeklarasikan pernyataan anti-komunis bernama manifes kebudayaan (manikebu). Untuk menentang komunisme. Fakta ini jadi perdebatan seru salah satunya adalah dengan disebutnya nama GM, sebagai seseorang yang sekarang dianggap sebagai Begawan yang melakukan kanonisasi kebudayaan Indonesia dengan organisasi kebudayaan yang dimilikinya. Martin Suryajaya pernah membedah buku Wijaya Herlambang ini di situs indoprogress dan mencecar habis GM. Yang segera dijawab oleh sang Begawan dalam tulisan 3 seri di situs pribadinya.

Seharusnya Kekerasan Budaya Pasca 1965 dapat menyadarkan kita, kondisi Negara kita sekarang yang gini-gini aja dan makin menyedihkan sebenarnya adalah efek dari peristiwa 1965. Akibat dari dilarangnya kita menoleh ke kiri, dan dipaksa untuk selalu menoleh ke kanan. Liberalisasi terjadi di segala sektor perekonomian, impunitas bagi para pelaku pembunuhan besar-besaran (bahkan maju menjadi capres pemilu april besok), berbagai tindakan kekerasan sektarian dan kesukuan di berbagai daerah. Dengan semua permasalahan yang ada, kita malah menyibukkan diri berjoged dangdut di YKS dan menyatakan anti pada kiri karena dianggap tak sesuai jati diri bangsa. Jati diri bangsa yang mana yang dimaksud? Yang bernama humanisme universal ala para pemikir manikebu? Yang menerapkan liberalisme dalam budaya untuk membenarkan liberalisme dalam ekonomi?

Semua pilihan ada konsekuensinya, termasuk pilihan mengetahui kebenaran. Membaca buku ini menimbulkan kegelisahan dalam diri saya: mana lagi yang harus saya yakini sebagai kebenaran di negeri ini, saat kehidupan saya sekarang ternyata adalah hasil cuci-otak rezim selama 32 tahun berkuasa. Kegelisahan yang lain adalah saat menemukan intelektual idola saya Arief Budiman dan adiknya Soe Hok Gie adalah simpatisan PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang saat itu ikut menggulingkan Soekarno, praktis mereka ikut bertanggungjawab menaikkan Soeharto dan orba ke tampuk kekuasaan. (Saya membayangkan betapa kecewa Gie ketika tahu pilihannya menjatuhkan Soekarno malah menyerahkan Indonesia pada diktator yang berkuasa selama 32 tahun).

Buku yang wajib dibaca semua orang. Lebih spesifik lagi bagi para peminat kajian seni, budaya dan sastra. (Termasuk para mahasiswa dan dosen di kampus saya ISI Yogyakarta). Agar lebih mengetahui bahwa seni dan budaya bukan melulu mengenai estetika dan keindahan. Ada yang politis didalamnya. Jadi, setelah mengetahuinya lantas menggunakan seni dan budaya untuk membicarakan kondisi karut-marut negeri, bukan melulu membahas estetika atau apalah yang tinggi-tinggi mengawang di ruang imajinasi.

Saya jadi teringat bang Saut Situmorang, penyair yang sejak dulu begitu gencar mencerca GM dan kroninya dengan bahasa yang sarkas dan kalau boleh dibilang kasar (menjurus ad hominem). Atau The Act of Killing, film besutan Joshua Oppenheimer yang sekarang masuk daftar nominasi piala Oscar untuk dokumenter terbaik. Barangkali ucapan bang Saut (atau terbitannya Boemiputra) bisa saja dianggap angin lalu oleh GM, atau siapapun yang mengidolakannya. Mungkin The Act of Killing sekalipun menghadirkan fakta tetap saja dapat kita tuding bertendensi tertentu terkait sutradaranya yang bukan orang Indonesia, dan sekarang tak berani datang kemari karena saat merekam film ini ia mengatakan motif yang berbeda pada Anwar Congo dan rekan. Ia seperti menipu tokoh-tokoh yang direkam. Kekerasan Budaya Pasca 1965 adalah pendukung dari segala cecaran bang Saut pada GM, dan fakta dalam The Act of Killing, apapun motif Joshua sang sutradara. Karena buku ini adalah kajian dengan riset mendalam dan data-data yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Maka sudah seharusnya GM dan kroninya segera menjelaskan pada masyarakat Indonesia: benarkah semua yang dikatakan Wijaya Herlambang dalam bukunya? Mereka harus menjawab, tak hanya mengambil sikap diam persis GM yang selalu diam saat bang Saut mencecarnya, bahkan seolah acuh tak acuh berkata: Kritikmu ora penting babar blas.
Profile Image for Cintya Faliana.
42 reviews10 followers
February 8, 2021
Buku ini seperti judulnya membahas soal bagaimana Orde Baru berusaha mematenkan stigma terhadap gerakan/aktivis/paham kekirian sekaligus memberangus ide-idenya. Namun, bagian menarik selain membeberkan analisis soal kekerasan budaya yang dilakukan Orde Baru, Herlambang benar-benar menawarkan perspektif jauh lebih luas dari sekadar perdebatan Humaisme Universal vs Realisme Sosialis yang selama ini hanya kuketahui dari permukaan saja. Bagaimana infiltrasi agen-agen Barat, khususnya Amerika Serikat, dalam mengokohkan paham liberalisme dalam kebudayaan (Indonesia) untuk kepentingan jangka panjang AS di bidang ekonomi-politik. Bagaimana budayawan Indonesia juga menjadi agen penting yang secara sadar ikut mengarahkan kebudayaan dan kasusastran Indonesia pada kepentingan-kepentingan Barat yang difasilitasi lembaga-lembaga donor besar seperti Ford Foudation, Asia Foundation, dan bahkan pada waktu lampau, CIA. Termasuk, bagian yang membuat paling tertegun tentu saja, bagaimana Goenawan Mohamad membangun legacynya hingga saat ini dengan perpanjangan tangan para donor. Kudos, Wijaya Herlambang. Senang punya kesempatan membaca buku bagus dengan khidmat dan memaknainya dengan sungguh-sungguh.
Profile Image for rekasakti.
25 reviews10 followers
August 5, 2016
Buku ini, jika boleh saya sederhanakan, membahas peristiwa 65 dari sudut pandang budaya. Menjadi perhatian, dijelaskan bahwa kekerasan budaya menyebabkan kekerasan langsung dan struktural terlihat, bahkan terasa, lumrah, dan benar. Selain itu, "sangat menyenangkan" bagi saya untuk mengetahui dinamika kebudayaan dan kesusastraan Indonesia kontemporer yang belum pernah saya sentuh sebelumnya.
Profile Image for Andre.
6 reviews6 followers
July 13, 2017
Inti dari isi buku ini adalah, mendefinisikan bentuk kekerasan lain selain kekerasan fisik. Yaitu kekerasan yg dilakukan melalui "Propaganda" melalui produk produk budaya,seni, didaktik, dan sejenisnya yang tidak melukai langsung serta dapat mengakibatkan dampak sosial yang sangat besar (terhadap suatu grup/seseorang tertentu. Dengan merujuk pd teori Johann Galtung, Structural Violence (Kejahatan Struktural), Sang Penulis mengambil sample sejarah modern Indonesia pasca pembantaian komunis yang dilakukan Angkatan Darat dan sekutunya di tahun 1965. Kali ini bukan tugas "Helm Besi" lagi untuk mencabut komunis sampai ke akar akarnya, melainkan merekalah para Budayawan, Jurnalis, Novelist yg mendapat bantuan dana cukup besar dari korporasi dunia Ford and Rockefeller Foundation dan CCF (Congres for Cultural Freedom) dgn perantara para sarjana2 lulusan USA untuk mempublikasikan atau menyusupkan Ideologi Liberalisme/Humanisme Universal dalam karya karya seni dan pemikiran utk mengucilkan kaum komunis. Legitimasi kekerasan Struktural lewat seni budaya dan pendidikan itu sukses, sampai jauh setelah kejadian tsb anggota keluarga komunis atau non komunis/simpatisan mengalami peristiwa sosial yg menyakitkan, mereka di kucilkan di masyarakat, dipersulit urusan birokrasi nya dan menanggung dosa orang tua nya. Padahal pada dasarnya mereka tidak tahu apa apa tentang politik bahkan!

Sejarah G30SPKI masih penuh kontroversi, masih banyak masyarakat yg belum bisa menerima bahwa PKI adalah korban keganasan rezim OrBa, walaupun sudah banyak bukti dan penulis2 asing yang membuktikan bahwa aksi itu adalah Coup d'etat dan termasuk kebijakkan USA selama perang dingin untuk menggulingkan President Soekarno yang cenderung ke arah Kiri. Hal ini juga tergantung pemerintah, apakah pemerintah mau jujur mengungkap halaman sejarah yang hitam ini atau tidak.
Selain itu perlu dicatat, bahwa Bahasa, Seni dan Sastra mempunyai peran yg sangat krusial dalam perubahan nilai nilai moral dan sudut pandang perorangan, masyarakat, maupun bangsa. George Orwell dalam novelnya 1984 menceritakan kehidupan dibawah sistem otoriter totalitarian dgn sangat baik, bagaimana pemerintah Eurasia merubah segala aspek dari bahasa, pemalsuan sejarah/koran/dokumen/ penipuan melalui media berulangkali dll.

Buku ini jg menyajikan sebuah analisis kritis terhadap peran superstructure yang menghipnotis dikala itu, yg sampai kpd konteks hari ini masih relevan.
Profile Image for Luthfi Ferizqi.
446 reviews13 followers
March 5, 2024
Buku ini menurut saya wajib dibaca siapapun yang masih merasa dirinya dilahirkan sebagai WNI untuk mengetahui apa yang terjadi pada tahun sebelum dan sesudah ‘65.

Saya pribadi tidak setuju dengan ideologi komunis berdasarkan pengetahuan saya tentang apa yang terjadi di soviet (lihat Gulag Archipelago oleh Solzhenitsyn). Namun bukan berarti pembantaian massal terhadap orang yang dituduh berafiliasi dengan PKI pasca 65 dapat dilegitimasi.

Menarik bahwa ideologi anti komunis yang diwariskan oleh Orde Baru hingga saat ini (2024) masih ada, dan akan selalu ada. Contoh terdekat adalah orang tua saya sendiri, dimana mereka sepakat dengan propaganda Orde Baru.

Profile Image for raflyfaridh.
41 reviews
December 28, 2022
Sebuah sajian komperhensif tentang bagaimana pemerintah orde baru mengukuhkan hegemoni kekuasaan melalui media dengan tujuan mengubah cara pandang masyarakat indonesia dimasa itu. Munculnya institusi kebudayaan liberal yang didanai oleh negara barat memulai siasat pemerintah orde baru dalam menguatkan narasi anti komunisme di indonesia.
Profile Image for Adrian Surya.
68 reviews
Read
December 7, 2025
Dibaca dengan niatan buat mewanti-wanti diri sendiri akan penulis/budayawan yang perlu diwaspadai, tetapi pada akhirnya dapat ilmu yang lebih luas daripada itu.

Diolah dari disertasi doktoral Wijaya Herlambang, buku ini memberi perspektif baru bahwa kekerasan bukan melulu perkara fisik. Kekerasan, dalam buku ini khususnya oleh negara, juga dapat dilakukan dengan menggunakan bentuk-bentuk yang lebih populer seperti sastra.

Contoh paling sederhana dan paling kentara yang bisa disebut tentunya adalah film (dan novel) propaganda "Pengkhianatan G30S/PKI".

Kenapa bisa sampai dinamakan kekarasan budaya? Soalnya produk-produk budaya itu pada akhirnya menjadi penunjang buat menormalisasi kekerasan yang dilancarkan kepada PKI pada masa lalu.

Produk-produk budaya tersebut secara halus digunakan untuk mencuci otak konsumennya dengan menanamkan nilai-nilai palsu, misalnya dengan menggeser simpati yang seharusnya ditujukan kepada korban pembantaian menjadi simpati atas pergolakan moral pembantainya.

Perspektif tersebut pada akhirnya—dalam beberapa kasus diperparah dengan penggambaran kelakuan anggota PKI sebagai orang-orang asusila—berhasil menyematkan gelar pahlawan kepada para pelaku kekerasan.

Oleh sebab itu, sesuai dengan yang disinggung di awal, beberapa karya sastra yang menyinggung soal PKI perlu dicerna dengan lebih waspada sentimennya, sebab bisa saja semuanya hanya digunakan sebagai plot dan kedok.
46 reviews
December 23, 2025
Buku ini menguak banyak sekali hal yang masih ngawang-ngawang di pikiran publik.

Premis buku ini adalah bahwa kekerasan terhadap orang-orang komunis dan yang dianggap komunis tidak hanya dilegitimasi secara politik oleh rezim, namun juga menggunakan produk-produk kebudayaan seperti film, teater, dan karya sastra.

Siapa dalangnya? Yaitu Amerika melalui CIA. CIA tidak hanya memberi bantuan dana pada militer, namun juga pada para intelektual dan budayawan yang pro-barat. Dalam prosesnya, AS menginfiltrasi gagasan liberalisme pada mereka sebagai usaha melawan komunisme.

Maka, para penulis-penulis yang telah disuntikkan dana dan gagasan tersebut, memanifestasikan sebuah gagasan bernama Humanisme Universal yang mengedepankan kebebasan berekspresi. Di mana salahnya gagasan tersebut? Yakni konteks politik dan ekonomi. Sebagai sebuah gagasan, liberalisme adalah ideologi yang sangat mengutamakan kebebasan. Namun, dalam konteks situasi politik Indonesia pada masa itu, liberalisme eksis untuk melawan gagasan komunisme yang dianggap mengekang kebebasan berekspresi.

Maka, para penulis pro-barat yang saat itu bernaung di Manifes Kebudayaan seperti Goenawan Muhammad, Mochtar Lubis, Sutan Takdir Alisyahbanda, merupakan penulis-penulis yang berusaha menyebarkan gagasan anti-komunis.

Gagasan tersebut eksis dari sebelum G30S sampai sepanjang Orde Baru berjalan. Pasca reformasi, gagasan ini agak goyah karena banyak manuver kebudayaan yang berusaha untuk mendobraknya.
Profile Image for Op.
373 reviews125 followers
June 28, 2019
berlamat-lamat dan puas membacanya.
Profile Image for Hanif Nurrahman.
48 reviews2 followers
September 22, 2025
memang produk produk budaya sejatinya tak pernah netral, ia membawa alasan politis, sadar atau tidak.

Nah, kali ini Wijaya Herlambang membantu kita melihat dengan POV yang lebih lebar tentang media yang kita konsumsi ternyata jadi kendaraan politik orde baru.
Profile Image for Ursula.
301 reviews19 followers
October 7, 2016
Buku ini adalah satu karya yang wajib dibaca, terutama bagi bangsa yang selalu dilanda rasa takut akan bangkitnya komunisme.

Wijaya Herlambang menulis buku ini dengan format kajian ilmiah tentang karya-karya bertema G30S/PKI. Pertama adalah film dan novel berjudul sama, dan novel September . Meski memiliki tema besar yang sama, namun sudut pandangnya berbeda. Lewat dua (atau tiga?) karya ini, ia menjabarkan bagaimana pemerintah dan aktor intelektual zaman Orde Baru membangun kesan orang-orang komunis, yang berakar hingga saat ini.

Menurut dia, pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto sengaja menjadikan orang-orang komunis ini sebagai 'tumbal' baginya untuk memperoleh kekuasaan. Jutaan orang ditahan dan diasingkan tanpa diadili. Ada pula yang dibantai tanpa tahu apa salahnya.

Perlu diakui, masih banyak orang yang tidak tahu alasan mengapa Partai Komunis Indonesia (PKI) diberikan kesan begitu menakutkan. Perempuan-perempuannya yang tergabung dalam onderbouw Gerwani ditampilkan amoral dan sadistik. Sementara pria-prianya haus darah dan tak beragama. Tindak 'nyata' mereka digambarkan lewat pembunuhan 7 orang jenderal yang kelak menjadi kisah Lubang Buaya.

Tapi, benarkah kalau PKI yang membunuh mereka? Wijaya berpendapat lain, pembunuhan sadistik tersebut hanyalah rekayasa semata yang ditampilkan lewat novel, film, serta narasi sepihak dari pihak pemerintah. Salah seorang dokter yang melakukan otopsi terhadap mayat-mayat para jenderal mengatakan tidak ada bekas luka sayatan ataupun tusukan seperti yang dikisahkan; ketujuhnya mati ditembak. Sekian.

Buku ini sangat menarik, sungguh. Meski penuturannya sangat ilmiah dan panjang sehingga agak membosankan. Saya butuh waktu cukup lama, sekitar sepekan untuk bisa menghabiskannya. Normalnya, buku setebal ini cukup saya lahap dalam 3 hari saja.

Saya tak ingin membocorkan isi buku ini seluruhnya, karena terlalu panjang dan tentu menghilangkan rasa penasaran Anda sekalian. Intinya, jangan mudah percaya pada kisah atau dongeng yang tidak didukung fakta sejarah. Apalagi kebencian yang hanya didasarkan isu semata.

Itu konyol. Tapi, menjadi bodoh ataupun tercerahkan, itu hak masing-masing orang.

Kalau anda mau tercerahkan, buku ini bisa membantu Anda melihat lebih luas tentang sejarah negeri ini yang kelam dan penuh kebohongan.
Profile Image for Inan.
17 reviews68 followers
December 24, 2016
Membaca narasi '65 dari perspektif yang berbeda adalah hal baru. Terutama karena saya sendiri merupakan bagian dari generasi yang lahir di era Orde Baru dengan dominasi kebudayaan anti-kirinya.

Kita tentu masih ingat dengan film yang senantiasa diputar pada tanggal 30 September guna memperingati peristiwa pembunuhan para jenderal 51 tahun silam. Kini, film yang diklaim oleh Orde Baru sebagai rujukan tunggal atas tragedi '65 tersebut telah berhasil memberikan stigma buruk di pikiran kita terhadap kaum kiri.

Dalam bukunya, selain membahas secara kritis atas film tersebut, Wijaya Herlambang juga mengajukan analisanya terhadap beberapa produk kebudayaan dalam bentuk teks (novel dan cerpen) yang ditulis oleh para budayawan anti-kiri pasca peristiwa '65.

Ia pun sampai pada kesimpulan bahwasanya domain kebudayaan yang selama ini dianggap netral dan seolah berpihak pada humanisme universal, pada kenyataannya tak jarang merupakan bagian dari sistem besar jagal yang menyudutkan korban '65.

Harus diakui bahwa Wijaya Herlambang telah berhasil mengungkapkan blind spot yang jarang disadari oleh para pengkaji sebelumnya terkait dengan peristiwa '65. Blind spot tersebut tak lain adalah ranah kebudayaan yang ternyata juga digunakan oleh rezim Orde Baru sebagai alat legitimasi untuk meruntuhkan ideologi kiri.

Sayangnya ketika beliau mengeksplorasi "dampak psikologis" yang dihasilkan oleh narasi-narasi Orde Baru di atas, -bagi saya- kurang detail. Terutama ketika analisa atas cerpen-cerpen hanya sedikit dikaitkan dengan diskursus dan term-term psikologi. Sehingga saya pun agak kesulitan melihat proses psikologis apa saja yang kemudian dialami oleh para pembacanya.

Terlepas dari itu, buku ini merupakan satu dari sekian banyak kepingan puzzle yang turut melengkapi gambaran sejarah bangsa kita. Darinya, kita mendapatkan gambaran baru atas teka-teki tragedi kemanusiaan '65.
Profile Image for Mikael.
Author 8 books87 followers
December 12, 2013
sebenarnya buku ini bukan cuma menjelaskan bagaimana orba melegitimasi anti-komunisme melalui sastra dan film tapi juga bagaimana dengan melegitimasi sentimen anti-komunisme itu orba juga sekalian melegitimasi kuasa korporasi asing (terutama amerika, think freeport) di negara ini.

mengikuti jejak frances stonor saunders (salah satunya) di who paid the piper?: CIA and the cultural cold war, wijaya herlambang menelusuri bagaimana produk sastra (eg, cerpen2 sok simpatis terhadap korban pembantaian '65 di horison, novel movie tie-in pengkhianatan g30s/pki arswendo atmowiloto) dan film (pengkhianatan g30s/pki) dihasilkan (siapa pembuatnya, ke mana afiliasi politik mereka, dari mana dananya) dan pesan-pesan subliminal/between-the-lines apa yang mereka bawa (spoiler jawaban: cia stooges, anti-communism).

buku ini diakhiri dengan close-reading novel september noorca m. massardi yang menurut wijaya adalah produk sastra dan atau film pertama dan satu-satunya yang secara langsung menentang narasi orba tentang apa yang terjadi di malam 30 september/pagi 1 oktober (bukan sebelum dan sesudahnya), sebuah usaha yang dengan lantang mempertanyakan "ngomong2 tentang usaha melegitimasi, wasn't orba the illegitimate child of cia's cultural cold war?" tapi tidak banyak disadari orang.

buku ini sangat penting untuk menyadarkan yang belum sadar dengan bukti-bukti sejarah otentik (bukan cuma circumstantial) bahwa cultural cold war/soft-power diplomacy CIA di indonesia adalah bagian dari sejarah, bukan sekedar teori konspirasi.
Profile Image for Arman Dhani.
49 reviews18 followers
October 12, 2020
Buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 adalah upaya untuk menjelaskan secara ilmiah bagaimana kuasa dominasi hegemoni kultural, bisa masuk melalu elemen-elemen paling tak terduga dalam hidup Bahwa pada akhirnya upaya mengendalikan masyarakat tidak lagi efektif dilakukan dengan cara-cara kekerasan, tapi dengan kekuatan halus tak kasat mata seperti karya sastra dan film. Di sini represi dan tirani pemerintah merupakan elemen kecil dari sebuah narasi besar untuk melegalkan dan membenarkan kekerasan terhadap mereka yang tertuduh terlibat pada coup 65.

Wijaya lantas melakukan sebuah penelitian ala detektif untuk meneliti agen-agen yang dibayar dan dibiayai untuk melanggengkan kekerasan secara kultural terhadap komunisme. Banyak nama-nama besar dalam kebudayaan modern Indonesia yang disasar. Seperti Goenawan Mohamad, Mochtar Lubis, Taufiq Ismail dan kaitanannya dengan agen CIA Ivan Kats. Wijaya secara dingin berusaha membuktikan apa yang selama ini hanya sekedar gunjing pasar, menjadi sebuah penelitian empiris yang dapat dipertanggungjawabkan isinya.

Saya mengklaim bahwa buku ini wajib dibaca bagi mereka yang ingin paham sejarah polemik kebudayaan di Indonesia. Ia menjelaskan bagaimana sosok budayawan yang dianggap suci dan seolah berpihak pada humanisme universal, ternyata bagian dari satu sistem besar jagal yang menyudutkan korban 65. Barangkali beberapa nama yang disebutkan dalam buku ini telah cuci tangan dengan membuka dukungan terhadap upaya rekonsiliasi, tapi bukan berarti mereka bisa lepas dari pertanggungjawaban atas kejahatan yang dilanggengkan.
Profile Image for Novitasari Amira.
32 reviews2 followers
February 27, 2017
Ada banyak hal yang sebelumnya tidak pernah saya tahu atau mungkin sedikit saya tahu, menjadi saya ketahui melalui buku ini. Terlepas dari fakta-fakta yang tak mungkin terekspos seutuhnya dan sebenar-benarnya. Makanya diadakanlah penelitian. Dan buku ini merupakan salah satu hasil dari penelitian-penelitian yang membahas obyek senada yang dilakukan oleh para peneliti pendahulu, yaitu kekerasan terhadap PKI. Di mana fokus utama buku ini terletak pada kekerasan budaya.
Bagaimana cara kerja kekerasan budaya? Produksi hasil kebudayaan yang secara gamblang maupun halus melegitimasi kekerasan itu sendiri, yang sebagaimana didasarkan penjelasan Galtung merupakan salah satu bentuk kekerasan itu pula.
Balik ke paragraf awal, hal-hal yang saya maksud jadi saya ketahui sejak membaca buku ini, yang jujur saja sebelumnya (dan juga sekarang) masih sangat gelap bagi saya yang hanya mengikuti arus informasi melalui media kilat, adalah terkait dominasi-dominasi aliran kebudayaan, sosial, politik, dan ekonomi dari dulu hingga sekarang, yakni komunisme dan liberalisme. Saya benar-benar buta sejarah.
Memang saya sering mendengar tentang kudeta, kekerasan PKI, kekerasan Orde Baru, manipulasi sejarah, dan semacamnya. Tapi saya tak pernah begitu tertarik untuk membaca literatur berhubungan dengan itu, apalagi buku yang (menurut saya) cukup tebal semacam ini. Saya merasa cukup dengan membaca artikel maupun menonton dokumenter. Dan membaca ini menghentakkan ketidakacuhan saya tersebut, bahwasanya memahami sejarah itu penting, bukan sekadar menghafalkan tanggal-tanggal bersejarah. Setidaknya saya berharap buku ini dapat memantik semangat pribadi untuk rajin membaca literatur terkait lainnya.
Tak berlebihan jika saya menganggap bahwa buku ini layaknya suatu alternatif bacaan sejarah yang runtut dan komprehensif dalam pembahasannya, yang sebenarnya tidak hanya memfokuskan pada satu titik (kebudayaan), tapi turut menjelaskan titik-titik lainnya yang menjadi penunjang bagi titik utamanya tersebut, seperti sosial, politik, dan ekonomi yang juga merupakan bagian dari pengaruh komunisme maupun liberalisme. Bagaimana sekat dari kedua aliran ini menimbulkan begitu banyak dampak dalam kehidupan masyarakat dan negara ini, sebagai akibat dari Perang Dingin untuk mendominasi kekuatan politik. Dan Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam tak lepas dari permainan itu.
Buku ini mengkritik tajam banyak hal yang diperkaya dengan data primer maupun sekunder, karena pada dasarnya buku ini merupakan hasil disertasi penulisnya sendiri, Wijaya Herlambang. Kritik-kritik itu melingkupi hegemoni kebudayaan, para budayawan, hasil-hasil kebudayaan yang intinya bertujuan untuk melegitimasi praktik kekerasan melalui penyalahgunaan konsep liberalisme (yang juga disebut humanisme universal) terhadap komunisme (PKI, anggotanya, serta simpatisannya). Sehingga komunisme dapat diberantas setuntas-tuntasnya. Bahkan sampai sekarang pun, warisan anti-komunis tersebut masih sangat melekat pada masyarakat Indonesia. Bukti betapa kuatnya pengaruh pembenaran melalui produk kebudayaan tersebut.
Produk kebudayaan yang macam mana? Diawali dari narasi utama pemerintah Orde Baru melalui sejarawan militer Nugroho Notosusanto, cerpen-cerpen di majalah Horison dan Sastra dari pihak Manifes Kebudayaan (Mochtar Lubis, Taufik Ismail, dkk), film Pengkhianatan G30S/PKI karya Sutradara Arifin C. Noer, pun novel dengan judul yang sama karya Arswendo Atmowiloto untuk semakin memperteguh “kebiadaban” PKI, dan produk-produk kebudayaan lainnya yang pada intinya mensahkan segala penumpasan terhadap anggota dan mereka yang dianggap simpatisan PKI. Kalaupun cerpen-cerpen dari para pihak yang menganggap diri mereka pro-liberal tersebut bernada simpati, tapi penulis buku ini menunjukkan bagaimana simpati itu hanya merupakan ilusi “humanisme universal” semata, karena simpati itu lebih ditujukan pada konflik psikologis tokoh-tokoh utamanya, bukannya terhadap tragedi yang menimpa PKI.
Yang menurut saya juga menarik dari buku ini ialah sorotan penulis terhadap salah satu intelektuil yang sangat berpengaruh di negeri ini, Gunawan Mohamad, dan perkembangan politiknya. Dimana Gunawan sejak awal diposisikan sebagai penulis liberal yang ikut menandatangani Manifes Kebudayaan (sebagai perlawanan terhadap LEKRA), yang juga merupakan bagian dari sejarah awal Orde Baru yang sangat anti komunis, hingga kemudian berganti haluan menentang Orde Baru yang ternyata sangat mengekang kebebasan ekspresi yang sangat dibela oleh Gunawan tersebut, sehingga ia bergandeng tangan dengan “orang-orang” kiri untuk meruntuhkan rezim Orde Baru. Namun, pada akhirnya, setelah runtuhnya Orde Baru pun, tetap konsisten dengan keyakinan liberalnya. Ia tetap setia menerima aliran-aliran dana dari luar negeri untuk membangun “imperium” kebudayaannya.
Saya pribadi melihat karakter Gunawan Mohamad ini sebagai tipe seseorang yang (sejauh ini) selalu bertahan dalam situasi politik bagaimana pun, entah itu yang anteng maupun yang panas sekalipun. Ia tetap bisa mempertahankan diri, bahkan semakin memperkuat eksistensinya dalam kancah politik-kebudayaan di Indonesia. Saya tak yakin apa dia bisa disebut tidak konsisten juga munafik atau justru cerdas dalam mengambil langkah-langkah politiknya yang terbilang selalu aman, demi kepentingannya di luar dan dalam negeri. Tapi perlu dicatat ini sekadar pandangan dangkal saya melalui pembacaan buku ini.
Di sisi lain, buku ini juga memperkenalkan pembaca pada novel “September” (serta menganalisisnya) yang dianggap sebagai karya fiksi pertama yang menentang narasi utama Orde Baru, dengan nama-nama tokoh, tempat yang tidak memakai nama sebenarnya, melainkan lewat anagram-anagram dan kode-kode yang merujuk pada peristiwa 30 September 1965. Novel “September” ini sendiri ditulis oleh Noorca Massardi yang bahkan bukan budayawan dari kubu kiri (LEKRA) atau kanan (Manikebu), sebagaimana dinyatakan oleh penulis, melainkan seseorang yang prihatin terhadap manipulasi sejarah Orde Baru, sehingga membentuk karyanya sendiri. Walaupun konteks buku ini adalah fiksi (fantasi). Ini pula yang menjadi kritik Wijaya Herlambang terhadap komunitas-komunitas kiri yang dianggap hanya memperdebatkan masalah ideologi bukannya menghasilkan bentuk nyata (karya ilmiah) terkait itu.
Dan saya anggap buku ini adalah bentuk nyata tersebut.
Profile Image for Willy Alfarius.
92 reviews7 followers
February 4, 2021
Perburuan dan pembantaian terhadap orang-orang komunis maupun yang sekadar dituduh pada 1965-1966 dilakukan tidak hanya melalui propaganda di surat kabar milik Angkatan Darat. Pada tahun-tahun setelahnya ia perlu dilegitimasi melalui produk-produk kebudayaan seperti sastra dan film. Inilah yang jadi poin utama dari buku Wijaya Herlambang yang mulanya adalah disertasi di University of Queensland, Australia. Tidak hanya sastra dan film, tulisan sejarah tentu menjadi produk kebudayaan lain yang ikut menjustifikasi dan tentu saja mewajarkan perburuan serta pembantaian mengerikan itu terjadi.

Menariknya adalah Wijaya kemudian menemukan jaringan internasional yang mendanai beberapa kegiatan kebudayaan yang melegitimasi anti-komunisme itu. Ia menyoroti CCF yang kemudian menyokong para sastrawan yang tergabung dalam Manifes Kebudayaan untuk melakukan agendanya memberangus unsur-unsur kebudayaan kiri. Tentu saja CIA disebut-sebut sebagai yang utama dalam mengalirkan dana bagi aktivitas ini. Temuan ini semakin mengukuhkan kenyataan bahwa Amerika Serikat adalah salah satu biang kerok paling dominan dalam Tragedi 1965, baik melalui sokongannya pada pihak militer maupun unsur-unsur anti-kiri lainnya.
Profile Image for Agung Widiyantoro.
4 reviews2 followers
October 22, 2017
Pembabakan sejarah Indonesia pasca Kemerdekaan ditandai dari tahun 1945-1964 (Fase Revolusi Fisik, Pergolakan antar Partai dalam sistem Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin) hingga fase pasca 64, dengan meletusnya peristiwa September berdarah pada tahun 1965 dan masa-masa sesudahnya. Tak hanya kekerasan fisik, kekerasan dalam wilayah budaya, lebih spesifik dalam bidang sastra dan perfilman juga terpengaruh oleh propaganda sebuah rezim yang berdiri diatas militerisme terhadap mereka yang komunis dan dituduh komunis.

Wijaya Herlambang, mengulang-ulang dengan bahasa yang sangat jelas bahwa kekerasan kebudayaan tak kalah menyeramkan dibanding kekerasan fisik. Bahkan hingga hari ini, dominasi pola pikir dari represi kebudayan ini masih menjadi warisan turun temurun.
Profile Image for Nonna.
137 reviews2 followers
September 14, 2014
Saya adalah generasi yang tumbuh dalam doktin orba di bidang pendidikan dan kebudayaan, dimana tiap tahunnya diwajibkan menonton film G30S. Generasi dimana pelajaran sejarah "diatur".

Buku ini membantu saya membuka pelan-pelan sejarah yang "diatur" tadi. Termasuk kisah kelam sastra & budaya kontemporer yg sedikit saya geluti. Bagaimana produk budaya populer bisa menjadi senjata melakukan kekerasan.

Dan pada bab terakhir, buku ini membahas tentang novel September sebagai jawaban atas doktrin, mendobrak versi resmi G30S. Novel yg juga melakukan kekerasan budaya..
15 reviews
December 2, 2020
Buku ini membahas mengenai faktor budaya yang dilakukan oleh pemerintahan orba dalam melanggengkan wacana anti-komunisme. Dengan adanya pendekatan kultural tersebut, membuat pemerintah dapat memenangkan legitimasi terhadap berbagai tindakan kekerasan struktural maupun langsung. Dimensi kebudayaan memang sesuatu hal yang sulit diukur akan tetapi membentuk kesadaran seseorang dengan mentransformasikan nilai-nilai.

Menurut saya, pokok pembahasan di buku ini masih luas. Belum fokus pada kekerasan budaya atau pada perlawanan agen kebudayaan kiri terhadap hal yang bersangkutan.
Profile Image for Alwi Ardhana.
3 reviews2 followers
March 31, 2014
satu hal yang saya pelajari dari buku ini adalah konsep kita tentang 'korban' dalam wacana korban yang akhir-akhir ini menjadi senjata untuk mendobrak (sisa-sisa) kekuasaan Orde Baru harus direvisi. Dengan kompleksitas kekerasan yang dikaji wijaya herlambang, sebagai konsekuensi ter-masuk-akal-nya, pengertian korban harus diperluas.
Profile Image for Nosa Normanda.
37 reviews4 followers
January 6, 2015
A very good literary reading of the post 1965 indonesian coup. I highly recommend this book if you wany to know the complexity of new order propaganda techniques.
Profile Image for Farid Akram.
109 reviews17 followers
January 25, 2025
Selepas tamat bacaan buku ini, pandangan saya terhadap beberapa nama sasterawan besar Indonesia sedikit berubah.
Profile Image for rasya swarnasta.
99 reviews21 followers
August 26, 2020
(Entahlah apakah ini akan menjadi salah satu dari "rating bintang lima menggebu-gebu" lainnya, karena makin ke sini saya tergoda untuk menurunkan satu tingkat pada beberapa buku yang telanjur saya kasih lima bintang, tapi baiklah, mari sepakati bahwa relevansi dari apa yang saya tulis di What do you think?, dengan apa yang saya pikirkan di kemudian hari, memanglah tidak berumur panjang.)

Sebagai tulisan akademis, buku ini mudah dibaca dan diceritakan dengan mengalir. Keren. Saya iri dan pengin bisa menyusun tulisan akademis seperti ini juga. Buku ini memberikan gambaran yang runtut mengenai perkembangan kebudayaan selama era Sukarno, Suharto, dan awal tahun 2000-an. Banyak informasi yang baru saya ketahui di sana, terutama hal-hal yang selama ini ingin saya ketahui tapi tidak punya energi yang cukup untuk mencarinya satu-satu, seperti pemetaan perpolitikan tokoh-tokoh yang terlibat dalam Lekra, Horison, penanda tangan Manifesto Kebudayaan, anggota CCF, PSI, PKI ... hingga di mana Amerika(-Inggris), di mana Rusia, kala itu.

Menyelesaikan buku ini adalah roller coaster emosi. Sangat mungkin disebabkan karena saya nggak tahu banyak soal konteks dalam peristiwa 30 September 1965 sebelumnya. Saat membaca perkembangan CCF di Indonesia yang mendapat sokongan bantuan dana dari CIA, itu rasanya hampa betul. Membaca analisis sastra dari cerpen-cerpen di Horison dengan latar G30S yang adalah bentuk legitimasi kekerasan, bikin mind-blown :')

Lalu, bahasan film dan novel Pengkhianatan G30S/PKI dan latar belakang "proses kreatif"-nya sungguh emosional; atau tepatnya, menyebalkan. Bab selanjutnya yang membahas bagaimana membangun kerangka cerita antikomunisme di balik kebangkitan Orde Baru, itu sangat, sangat WTF. Terima kasih telah menambahkan daftar nama orang-orang yang perlu saya kutuk dalam doa-doa saya.

Bab selanjutnya yang membahas lembaga kebudayaan Indonesia kontemporer itu menyajikan informasi yang bermanfaat sekali bagi saya. Bagaimana nama-nama lembaga yang dekat dan familier sebenarnya masih menyisakan bekas-bekas jejak Orde Baru. Selama ini saya praktis menyingkirkan sentimen itu (dan menyingkirkan keingintahuan saya pula) dan menganggap nama-nama tokoh kebudayaan jauh dari politik, atau kalaupun mereka membawa muatan politik dalam produk kreatifnya, itu tidak berarti banyak dan bisa saya kesampingkan. Tentu saja dengan anggapan ini, saya telah melewatkan banyak hal. Buku ini menjadi tamparan bagi saya untuk itu.

(Ah, ya, buku ini diberikan untuk ulang tahun saya, hehe. Dari seorang teman baik.)
This entire review has been hidden because of spoilers.
Profile Image for melancholinary.
448 reviews37 followers
October 10, 2017
Really amazing read. Although I have several notes:

- Albeit lacks on literature resource but the conspiracy between CCF (Congress for Cultural Freedom) and Manikebu gang is always worth to follow. This also escalate my curiosity on Camus and his hatred towards Sartre when he somehow became a fellow for communist party.

- Partai Sosialis Indonesia involvement in developing anti-communist discourse on cultural aspect is no surprise. Allegedly they are perhaps the earlier agent of liberalism in Indonesia.

- On some level, somehow this book quite repetitive. Too many sentences being repeated.

- Interesting to see a little scoop of critics on formalism in literature is written in this book. Wijaya Herlambang use both post modern approach and Marxist theory to dissect linguistic violence.

- This theory on how Sumitro and Soedjatmoko supported by Ford Foundation to travel to US as 'intellectual' to promoting investment in Indonesia is eye opening. Most of the scholarship for Indonesian student at that time is intended to investing knowledge of liberal economy system. Perhaps this is what makes most of Univesity in Indonesia are distant with critical theory or left political science.

- At some level, quite baffled somehow by how Wijaya shapes his ideology in this book. His view somehow too vague—or maybe too impose. I think not all anti-communist is right winger. Some of them perhaps left leaning but couldn't position themselves as communist patronage. This become problem if one draw something in single stroke. This dichotomy for me become too reductive.

- DN Aidit feared of emerging military power as non-party entity is relevant in our situation today.

- An interesting historical fact on Nugroho Notosutanto—the guy who fabricated the 65 coup history. Also note, this guy is an academics from prominent institution in Indonesia.

- Pre reformation era drama of how independent left leaning cultural institution started to contest the liberal one is fascinating. This becomes so striking when Wijaya states that all of these dramas is in fact overlook the grand problem: that this 'humanism universal' cultural advocate is in a way repressing the social-realism and communism.

Really recommended to anyone!
22 reviews2 followers
November 9, 2018
Saya rasa banyak penduduk Indonesia yang masih belom tau tentang kebenaran dari kejadian tahun 1965 (G30S/PKI). Masih banyak kita jumpai orang-orang yang koar-koar tentang kembali munculnya komunisme di Indonesia. Entah itu ketakutan yang berasal dari diri sendiri atau hasil dari "cuci otak" orde baru. sebelum membaca buku ini saya juga pernah membaca buku dari André Vltchek yang berjudul Indonesia: Archipelago of Fear. Di buku itu penulisnya menceritakan bagaimana zaman orde baru mempengaruhi keadaan Indonesia modern baik itu secara politik maupun hal lainnya. Jadi saya sudah memiliki gambaran tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan G30S/PKI. Dan baru pada bulan ini saya membaca buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 yang membuat semakin tau kebenaran yang terjadi dibalik peristiwa kelam yang ada di Indonesia. Buku ini membahas dengan sangat baik bagaimana pemerintah pada masa itu menggunakan budaya sebagai alat untuk mempengaruhi penduduk Indonesia untuk menjadi anti-komunis. Sesuai dengan judulnya, buku ini memang hanya membahas dari sisi budaya yang ada termasuk dari sisi film dan novel yang mencerikan tentang kejadian tahun 1965. Bahasa yang digunakan masih ringan dan mudah untuk dimengerti. Penulis mencoba untuk melihat peristiwa 1965 dari sisi "narasi orde baru" dan kemudian bagaimana para pemikir-pemikir kritis berusaha untuk membongkar semua rahasia kejadian tahun tersebut. Melihat peristiwa dari 2 sisi yang bertolak belakang untuk memastikan pembaca mendapatkan gambaran, teori dan data yang benar dan tepat tentang peristiwa 1965. Apa yang ditulis di buku ini pun berdasarkan data-data yang jelas dan dari wawancara yang dilakukan oleh penulis buku sendiri. Saya rasa buku ini harus dibaca oleh semua penduduk Indonesia disemua kalangan usia. Menarik sekali untuk didiskusikan bersama teman ataupun keluarga. Ada kutipan yang saya ambil dari sang penulis di bagian kesimpulan yaitu "kajian dan penelitian-penelitian terhadapt warisan anti-komunisme orde baru serta producksi-produksi kebudayaan dan kesusastraan yang menyentuh sejarah kekerasan di masa orde baru, khususnya 1965-66, masih sangat dibutuhkan untuk dibongkar kenyataan bahwa order baru telang menciptakan luka yang tidak dapat dihapuskan dari sejarah Indonesia modern".
Displaying 1 - 30 of 70 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.