Kita datang ke dunia ini sebagai saudara, tapi mengapa kita mesti diikat pada daging dan darah, yang ternyata hanya memisahkan kita?
Itulah tragika anak manusia yang digeluti oleh novel Putri Cina ini. Sindhunata berhasil menerjuni tragika itu dalam pelbagai lika-likunya. Ia menggeluti tragika itu lewat pengetahuannya yang luas dan kaya tentang filsafat dan mitos, baik Jawa maupun Cina. Tragika itu juga ditelusurinya lewat babad dan sejarah. Lalu dijalinnya semua itu dalam sebuah sastra tentang Putri Cina.
Putri Cina adalah sebuah sastra tragedi yang indah dan kaya akan permenungan hidup. Dengan cara bertuturnya yang khas, novel ini akan membawa pembacanya ke dalam sebuah alam, di mana mitos dan kenyataan historis sedemikian bersinggungan tanpa pernah terpisahkan. Di sini sejarah seakan hanyalah panggung, tempat tragika mitos mementaskan dirinya.
Dengan amat menyentuh, novel ini berhasil melukiskan, bagaimana di panggung sejarah yang tragis itu cinta sepasang kekasih yang tak ingin terpisahkan oleh daging dan darah pun akhirnya hanya menjadi tragedi yang mengharukan hati.
Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, SJ, or just simply call him Romo Sindu is an Indonesian Catholic priest, also an editor for local culture magazine "Basis". He also worked as journalist for national newspaper, especially for commenting football review and culture issues. His famous work was "Anak Bajang Menggiring Angin".
Bibliography: * Segelas Beras untuk Berdua, Penerbit Buku Kompas (2006) * Dari Pulau Buru ke Venesia, Penerbit Buku Kompas (2006) * Petruk Jadi Guru, Penerbit Buku Kompas (2006) * Kambing Hitam: Teori Rene Girard (2006) * Ilmu ngglethek Prabu Minohek(2004) * Mengasih Maria: 100 tahun Sendangsono (2004) as editor * Air Kata-kata (2003) * Jembatan Air Mata: Tragedi Manusia Pengungsi Timor Timur (2003) * Bola di balik bulan: Catatan sepak bola Sindhunata (2002) * Long and Winding Road, East Timor (2001) * Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman: Pilihan Artikel Basis (2001) - as editor * Membuka Masa Depan Anak-anak kita: Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI (2000) * Menggagas Paradigma Baru Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi (2000) - as editor * Sumur Kitiran Kencana: Karumpaka ing Sekar Macapat Dening D.F. Sumantri Hadiwiyata (2000) * Sakitnya Melahirkan Demokrasi (2000) * Bisikan Daun-daun Sabda (2000) * Tak Enteni Keplokmu: Tanpa Bunga dan Telegram Duka (2000) * Bayang-bayang Ratu Adil (1999) * Menjadi Generasi Pasca-Indonesia: Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya (1999) - as editor * Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan: Mengenang Y.B. Mangunwijaya (1999) - as editor * Cikar Bobrok (1998) * Mata Air Bulan (1998) * Sayur Lodeh Kehidupan: Teman dalam Kelemahan (1998) - as editor * Sisi Sepasang Sayap: Wajah-wajah Bruder Jesuit (1998) * Semar Mencari Raga (1996) * Aburing kupu-kupu kuning (1995) * Nderek Sang Dewi ing Ereng-erenging Redi Merapi (1995) * Hoffen auf den Ratu-Adil: das eschatologische Motiv des "Gerechten Königs" im Bauernprotest auf Java während des 19. und zu Beginn des 20. Jahrhunderts (1992) - disertasi * Baba Bisa Menjadi Indonesier: Bung Hatta, Liem Koen Hian, dan Sindhunatha, Menyorot Masalah Cina di Indonesia (1988) * Anak Bajang Menggiring Angin (1983) * Bola-Bola Nasib: Catatan Sepak Bola Sindhunata
bagi pembaca novel yang terbiasa dengan alur yang lurus, seperti saya, mungkin akan sedikit kesulitan jika kurang fokus membaca novel ini. tapi, jika sabar menguntit ceritanya dan coba memahami, maka akan terasa kenikmatannya.
tak jelas siapa Putri Cina, tokoh utama dalam novel ini, bahkan, untuk sekedar menggambarkan kecantikannya. Abstrak. tapi, kurasa Sindhunata, sang penulis, bukannya tak mampu, melainkan sengaja membuatnya demikian, karena kekuatan novel ini justru pada ceritannya.
Putri Cina dalam novel ini, tafsirku, mewakili etnis Cina di negeri ini (termasuk Sindhunata yang juga merupakan keturunan cina), Indonesia. Sindhunata, dalam novel ini, seperti hendak mengatakan bahwa etnis Cina juga merupakan bagian dari negeri ini, bukan orang asing yang selama ini sering terpatri dalam otak dari kebanyakan orang indonesia. Etnis Cina telah sejak lama menjadi bagian dalam pembentukan negara Indonesia.
namun, Sindhunata tidak memperlihatkan keberpihakan berlebih pada etnis Cina. Ia juga mengkritik etnis Cina yang kini terjerumus dalam kenikmatan duniawi. padahal, sifat orang cina sesungguhnya seimbang antara rohani dan duniawi. kepincangan inilah yang membuat orang cina menjadi lupa dengan keadaan orang disekitarnya. mereka begitu asik menikmati kehidupan masing-masing
tokoh Putri Cina dalam novel ini melampaui ruang dan waktu. sesekali ia berada dalam jaman kerajaan (majapahit, misalnya), lalu melompat ke tahun 1740, 1916, 1946, dan 1947, masa ketika orang-orang Cina mengalami kekerasan. Putri Cina juga sempat berada di negeri dongeng. Di masa ini Sindhunata mengobrak-abrik mitos Semar yang selama ini disanjung oleh kebanyakan orang Jawa sebagai tokoh baik, ternyata adalah tokoh utama, sang pencipta, semua kekerasan yang terjadi di tanah Jawa.
meskipun novel ini sarat dengan kritik terhadap kehidupan orang Indonesia, tak terasa sama sekali bahasa orasinya. Sindhunata menuliskan cerita ini seperti dongeng, sehingga membuat novel ini sangat menarik untuk dibaca. TOTAL!
manusia ini tak punya akar dia diterbangkan ke mana-mana seperti debuyang berhamburan di jalanan. ke segala arah, bertumbukan dengan angin ia jatuh terguling-guling. memang hidup kita ini sangatlah pendek. kita datang ke dunia ini sebagai saudara; tapi mengapa kita mesti diikat pada daging dan darah?
Ceritanya menarik. Tapi hanya sekedar itu, tanpa meninggalkan kesan. Seolah-olah seperti kisah sejarah tapi berputar ke dunia filosofi jawa kemudian berubah menjadi romans di akhir-akhir.
Banyak yang bisa dipetik dalam kisah ini terutama mengenai perbedaan yang berujung salah paham dan dendam. Namun alur yang maju mundur dan banyak pengulangan inti cerita cukup membuat bosan.
Dlm bagian setengah awal buku ini dpt mpkaya dongeng or legenda yg tjd d tnh jawa.
Awal na tampak spt pcarian identitas si putri cina, menarik utk diikuti. Sayang tlalu ribet pencarian tsb sampe penulis kebingungan sdr seakan menyebut semua cewe’ cina dsb purti cina. Identitas tokoh tampak buram, jadi siapa putrid cina? Dia makluk abadi yg hidup sepanjang jaman or memang benar semua cewe’ cina? Trus mana putri yg asli, yg bukan putra kli ya….. hehehehe…
Sampai akhir na bkisah ttg giok tien. Nah di sini baru mapan. Mungkin smua awal na spt debu yg g m’akar. Mulai dr sni crita bs tampak jelas juntrung na.
Smua dongeng mengisahkan sejarah or mitos ptikaian yg tjd antar manusia. Apakah ini seakan membenarkan smua ptikaian slm ini tjd? Ntah, rhe juga g tau. Tserah dongeng itu mw diinterpretasikan spt apa.
Mitos yg menetaskan diri dari sejarah shg hny tampak spt lakon wayang saja. Jk mmg sejarah pudar sebagai mitos, pantas saja kaum muda g mengenal sejarah bangsa na cz mereka sdh tlalu dicekokin dongeng. Jadi antara fakta sejarah tersamarkan ma imajinasi mitos. Sedih… melihat sejarah hilangan akar ‘n digantiin mitos ma dongeng semata.
Lepas dr dongeng yg mengaburkan sejarah, keberadaan na dianggap sumber permenungan bagi pendengar na. Spt tema yg diangkat putrid cina ttg pbedaan etnis dan ketidak adilan yg ditimpakan pd mereka sbg kambing hitam kekuasaan. Memberitahu kita spy jangan semena” thadap etnis cina cz selama ini mereka hny boneka yg dpelakukan g adil. Namun disamping itu, ntah knp dkisahkan seakan org cina adl org lemah thd ktidakadilan tsb cz mrk g mlakukan plawanan ‘n pasrah dg ketidakadilan yg mereka terima. Nah, dr sisi ini rhe juga g setuju cz menampakan bahwa orang jawa tampak sangat arogan, tukang semena”. Benarkah?
Toh fakta na, g semua orang cina baik ‘n g smua org jawa jahat dalam kasus pselisihan antar etnis ini. Sama” manusia yg dlahirkan k dunia, mengapa kita bukan saudara???
Sindhunata, seorang penulis novel yang menjadi karya sastra klasik: “Anak Bajang Menggiring Angin” (1983), terinspirasi dalam sebuah pameran lukisan dan berkenan hati untuk menuangkan imajinasinya ke dalam tulisan apik berjudul “Putri Cina” (2007). Kepiawaiannya dalam menafsirkan mitologi Jawa dalam berbagai serat dan babad, terutama Babad Tanah Jawa, nampaknya menjadi sumber utama dalam menarasikan kisah Giok Tien, tokoh utama dalam cerita itu. Babad Putri Cina yang sedianya menjadi katalog pendamping pameran lukisan itu, dengan tangan dingin, dibuatnya menjadi karya sastra kritis tentang ‘genealogi’ kekerasan minoritas etnis Cina di Indonesia. Bukan sekadar catatan sejarah yang ia telusuri, namun cerita-cerita pewayangan ia refleksikan sebagai basis nilai. Menurutnya, sumber kekerasan yang menimpa etnis Cina di Indonesia erat kaitannya dengan moral ekonomi dan tradisi sebagian masyarakat Tionghoa sebagai perantau, yang dijiwai semangat taoisme: sebuah pencapaian harmoni antara kebutuhan material dan spiritual. Namun pada praktiknya, mengapa orang-orang Cina di perantauan kerap menjadi korban kekerasan dan pembantaian? Sindhunata mencoba menjawabnya dengan melacak akar kekerasan dengan menafsirkan sebuah mitologi jawa tentang kisah awal mula penciptaan dunia Jawa.
Luar biasa... Melakukan napak tilas, sehingga kisah perebutan tahkta menarik dikemas. Yang jelas, mengukuhkan peran wanita dalam peradaban. Menjelaskan tanah jawa dari jaman kutukan sarameya; Semar yang menitis jadi Sabdapalon-Nayagenggong.. Sampai prabu Ajisaka mengawali era tulisan hanacaraka yang magis bermakna.
it's really difficult to make people understand your feeling about living in a place where's most of them think that you're not part of them...where's the truth is your love to your country much much deeper then their love...And a story of Love that comes from different culture...Good story!!
Kritik dan pemaparan yang menarik serta mendalam mengenai intrik politik di balik diskriminasi terhadap Etnis Tionghoa melalui cerita dengan latar belakang budaya Jawa.
Putri Cina or the Chinese Princess is the story of love with sad ending between two people from different ethnic backgrounds Gurdo Paksi, a Javanese and Giok Tien, the Chinese Princess. Sindhunata covers one story with another story with the theme of love and death from various cultures and backgrounds: Pangeran Tejaningrat-Roro Hoyi, Ken Arok-Ken Dedes, Batara Guru-Dewi Luhwati; and, at the top layer, the Chinese legend of the Tang Dynasty, The Butterfly Lovers, between a young man named Sam Pek (Liang Shanbo) and his lover Eng Tay (Zhu Yingtai). .
Giok Tien or Putri Cina‟ metamorphosis successfully performed the ballad of love and death on the ketoprak stage before the prima donna resigned to accompany her partner Setyoko who later held the title “Gurdo Paksi”. Their love of Gurdo Paksi and Giok Tien ended in death when the arrows of Medang Kemulan warriors penetrated their bodies. Still like the story of the love ended with death, Gurdo Paksi and Giok Tien reunited later at the cemetery being the last and silent witness of their love. The two lovers‟ dead bodies were nowhere to find except a pair of yellow butterflies flying above the cemetery. The unhappy ending of Putri Cina symbolically shown by the flying butterflies also qualifies the novel into a transformative literature that pursues reconciliation instead of revenge. .
"After all, what is the meaning of human being if she has no face, even though her riches are in abundance? All of this is nothing, just pure emptiness, if a person loses her face. In fact, whenever she had looked for all this time in the end was in vain, because nothing she had gain was of any use in helping her to look for her face. On the contrary, it is precisely all this wealth that makes her look absolutely poor."
"Since we parted, how I've longed for you to come back to me! But you only come yo me in my dreams! Will you really come this time; and be with me in my room? I'm so afraid that you are only the glow from the candle infront of me, and just like the candle, you'll burn out and disappear when the light goes out. Can I only enjoy you in my dreams?" -the Chinese Princess, Sindhunata
"Manusia ini tak punya akar. Dia diterbangkan ke mana-mana Seperti debu yang berhamburan di jalanan. Ke segala arah, bertumbukan dengan angin Ia jatuh terguling-guling. Memang hidup kita ini sangatlah pendek. Kita datang ke dunia ini sebagai saudara; Tapi mengapa kita mesti diikat pada daging dan darah?"
------------
Sinopsis: Putri Cina, seorang Cina yang juga seorang Jawa. Darah dagingnya memang cina, tetapi hatinya sudah Jawa. Ia bersedih hati untuk dirinya dan kaumnya, yang tidak bisa diterima sepenuhnya di negeri tempatnya tinggal.
Cerita berlanjut ke kerajaan Medang Kamulan Baru, di mana seorang gadis cina menikah dengan seorang jawa berpangkat tinggi. Giok Tien namanya. Kecantikannya mendatangkan nasib sedih baginya dan keluarganya.
------------
Review: Setengah bagian awal buku lebih berisi filosofi. Ada dongeng tentang asal muasal orang-orang cina di bumi jawa. Ada dongeng tentang mengapa selalu terjadi pertumpahan darah di tanah jawa, dan mengapa orang-orang cina seringkali terkena imbasnya. Sindhunata juga menyentil perilaku orang-orang cina yang terlalu mengejar harta dan lupa mengamalkan ajaran nenek moyang untuk berbagi kepada sesama. Pada bagian ini alur cerita kurang jelas dan mungkin agak sulit dipahami karena tidak terpatok ruang dan waktu.
Setengah bagian lagi menceritakan kisah Giok Tien. Gadis cina yang mencintai budaya ketoprak, lalu pada akhirnya menikah dengan seorang pria Jawa. Bagian ini menceritakan peran penguasa dalam tragedi yang menimpa orang-orang cina. Cerita mengalir dalam bentuk roman, jadi lebih seru dan ada alur yang jelas yang mudah dipahami. Oh ya, disisipkan beberapa lakon ketoprak yang dimainkan oleh Giok Tien, jadi ada cerita di dalam cerita.
Sindhunata yang juga adalah keturunan cina di Indonesia, mungkin ingin berbagi rasa bahwa kamipun sebenarnya sudah menjadi bagian dari tanah jawa ini. Hidup berdampingan ratusan tahun lamanya dengan budaya yang sudah berasimilasi dengan penduduk asli.
akhirnya buku ini bisa aku selesain. rate overall 4,8/5. meski kesannya buku sempurna alias narasi cantik oke, sejarah oke, penokohan juga oke— tapi ga menampik dengan alur yang maju mundur sempet bikin aku bingung. terus ada cerita dalam cerita yang mana aslinya masuk akal aja (karena tokohnya pemain ketoprak so- ceritanya bakal ada). tapi di balik itu narasinya sumpah cantik banget, tulisan sindhunata kedua yg aku baca setelah buku rama tolol sinta :V. banyak banget puisi-puisi yang cantikk, aku naksir banget dan aku ga ekspetasi kalau di sini banyak bahas sejarah kerajaan di indo juga??? paling highlight medang kamulan sih tapii. 1000% amanatnya, gila aku merasa pikirannya kebuka banget setelah baca ini. adapun aku suka sama kutipan yang, "kata mereka, kalau kau tidur, nasib pun akan tidur. kalau kau bangkit, nasibmu pun juga akan bangkit" KEK???? APAYA, relate banget ga sih, kek sebenernya kita tuh yg nentuin masa depan kita sendiri. di masa depan jadi apa ya tergantung kita sekarang.
Novel ini genrenya historical fiction, kita ngikutin perjalanan 'putri Cina'. Berawal dari bagaimana kedatangan bangsa Cina di Jawa, terus dilanjutkan dengan cerita istri kedua dari Prabu Brawijaya yang diusir dari kerajaan Majapahit ketika hamil dan setelah anaknya besar, anaknya ini malah memicu konflik sama bapaknya untuk memperebutkan kekuasaan. Lalu dilanjut sama ceritanya Giok Tien, seorang pemain ketoprak yang hidupnya bahagia ketika dia mengejar mimpinya tapi melewati banyak hal buruk setelah menikah dengan seorang pria Jawa.
Baru kali ini sih baca sejarah tapi dari sudut pandang yang berbeda. Sebagai orang Cina di Jawa, banyak banget yang mereka lalui. Dari kekerasan, pembunuhan masal dan masalah-masalah lainnya yang sebenenya ga sepenuhnya salah mereka. Mereka bingung dengan identitas mereka sendiri. Dan aku bacanya yang versi inggrisnya, jadi lebih menarik sih buat dibaca.
Buku ini menceritakan tokoh yang disebut Putri Cina di Tanah Jawa. Seperti mungkin sebagian besar orang Cina yang berdiaspora, Putri Cina ini juga mengalami krisis identitas. Secara biologis dia adalah orang Cina, tetapi emosi dan jiwanya adalah orang Jawa. Dan, situasinya itu menuntun dia pada kisah hidup yang berliku-liku.
Putri Cina sendiri barangkali hanya sebuah simbol. Dia mewakili orang-orang (etnis) Cina lain di negeri ini. Yang sudah kehilangan akar, tetapi juga mendapat penolakan di tempat di mana dia lahir dan bahkan mati. Buku ini menuturkan silang sengkarut identitas tersebut, termasuk intrik politik yang melingkupi kisah hidup Putri Cina.
Banyak cerita dan filosofi tentang Cina dan Jawa dalam buku ini. Begitu pula kisah-kisah asmara dan konflik dari masa ke masa.
Terimakasih utk Romo telah melahirkan buku ini, dengan ciri khas Romo dalam bertutur buku ini sekali lagi menyentuh perasaan saya. Masih dengan tema konstan yaitu budaya Indonesia, kali ini Romo melakukan pendekatan Jawa-Cina dalam buku ini.
Semoga bintang 5 yg diberikan tidak bias karena adanya beberapa pengalaman pribadi yang dapat dikaitkan dalam cerita di novel.
keren banget semua buku sindhunata ga pernah ga keren ga kepikiran buat bikin cerita temtang diskriminasi cina di masa kerajaan jaman dlu omgggg dan tentunya sarat akan insight baru dan somehow relate dengan saat ini.
Saya kira isinya novel berbasis sejarah China. Ternyata, nyaris seperti dongeng. Saya jadi teringat Babad Tanah Jawa, buku kuno koleksi Museum Radya Pustaka, Solo, yang sudah sempat kupesankan difotokopi kepada petugas museum dan sudah saya bayar lunas, tapi hingga kini belum saya ambil. Lima tahun silam! Mau nagih sekarang, takut dianggap modus baru penipuan, hehe. Ya, di novel ini, Sindhunata ingin memaparkan, bahwa orang Jawa dan China itu bersaudara. Kavernya kurang eksotik menurutku ~IMHO
dengan latar belakang kerusuhan mei 1998, novel ini bercerita tentang ketidakadilan perlakuan masyarakat indonesia terhadap etnis cina. kisah percintaan giok tien, seorang putri cina, dengan seorang putra jawa bernama gurdo paksi yang diwarnai intrik politik yang melatarbelakangi berbagai kerusuhan di indonesia, yang membuat etnis cina sebagai korbannya. ceritanya sebetulnya seru, sayang endingnya terlalu manis.
cerita dalam buklu ini sangat bagus dan sangat bersinggungan dengan mitos, kenyataan dan juga fantasi dari penulis, membuatnya enak untuk dibaca dan penuh dengan dinamika kehidupan manusia, tetap cinta yang menjadi fokus utama, memang rasanya tidak ada artinya hidup ini tanpa cinta.
MEMBACA PUTRI CINA INI, KITA MULAI BERPIKIR BAHWA TERNYATA NENEK DARI RAJA-RAJA JAWA ITU ADA YANG BERASAL DARI NEGERI CINA/ORANG CINA...JADI TOLONG, INDONESIA BUKAN MILIK ORANG PRIBUMI DONG (seperti kata penjajah BELANDA itu)
Alurnya maju mundur, kalo ga konsen bacanya mungkin akan sedikit bingung karena pencitraan tokoh utamanya serasa banyak padahal cuma satu. Topik yang diangkat banyak menjurus ke masalah ras dan bisa di kaitkan dengan kejadian yang telah terjadi.