Buku 2 daripada Trilogi Pantai (Pantai Harapan-Turina-Citra)
Turina mengungkapkan hukum alam, bahawa betapapun sekeping tatal terbuang dari kayu yang ditarah, namun kewujudannya sebagai benda, masih berguna di atas bumi walau tanpa kita sedari. Kesedaran itu sirna akibat luka parah kemanusiaan dan kemanusiaan yang luka menyebabkan jiwa mati.
Pada jiwa yang mati, orang hidup menderita penyakit rohani: iri, hasad, dengki. Demikian simbolisnya pada diri Mak Toya sebagai penyambung dari jilid pertama dan pelaku dalam jilid kedua ini, Turina.
Mak Toya Melayu Laut jadi buruan undang-undang ciptaan manusia; dalam pelarian dia berperanan melaksanakan undang-undang alam dalam kehidupan. Mak Toya bekerjasama dengan Haji Supuk dan Haji Sutejo Melayu Darat mengangkat harkat Orang Kuala. Mak Toya menyabung nyawa untuk menyelamatkan Turina Melayu Pulau dari buruan, pemerasan, ancaman dan perkosaan.
Sari Bulan bergabung dalam konsep rela bakti sebuah impian baru. Mereka ini menjadi empat serangkai; Mak Toya – Supuk – Sutejo – Sari Bulan. Pada tanah, angin, air dan panasnya matahari; di situ keringat dari tulang dan urat mereka hasilkan wang, simpati dan kasih sayang, tetapi ada ego berekor dilema, berhujung kematian; lalu ratapannya abadi terungkap pada sebuah tugu. Dilema dalam diri Sari Bulan muncul menjadi gejala baru, azam baru; melanjutkan cita-cita Haji Supuk dan Haji Sutejo, serta memburu impian Mak Toya, Sari Bulan menjadi penyambung ke jilid seterusnya; mengakhiri dilemanya dengan bersemenda untuk melahirkan realiti dan impian: lembaga, produksi dan zuriat yang akan mengisi sarang di puncak pohon hari yang mendatang.
Arena Wati adalah nama pena dari Muhammad bin Abdul Biang alias Andi Muhammad Dahlan bin Andi Buyung (lahir di Jeneponto, 20 Juli 1925 – wafat di Cheras, Malaysia, 26 Januari 2009 pada umur 83 tahun), sastrawan negara Malaysia asal Indonesia. Ia juga memakai nama pena lain seperti Duta Muda dan Patria. Selama tiga tahun (1986-1989) pernah menjadi dosen tamu di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Masa muda Arena ditempunya di Makassar. Ia menjadi pelaut sejak 1943 dan pada usia 17 tahun sudah jadi nahkoda kapal. Sekitar tahun 1954 ia telah menetap di Malaya dan bekerja di lingkungan penerbitan majalah "Royal Press" dan penerbitan "Harmy". Tidak lama kemudian, dia pindah ke Johor Baru bekerja pada penerbitan Melayu Ltd,, selama lima tahun. Tahun 1962-1974 bekerja di Pustaka Antara, Kuala Lumpur.
Novel pertamanya, Kisah Tiga Pelayaran, terbit tahun 1959 di Singapura. Setelah itu menyusul Lingkaran (1962), Sandera (1971), Bunga dari Kuburan (1987), Kuntum Tulip Biru (1987), Sakura Mengorak Kelopak (1987), Panrita (1993), Sukma Angin (1999), Trilogi Busa (2002), Trilogi Armageddon (2004), dan Trilogi Bara Baraya. Ia juga menulis buku-buku kajian sastra dan kebudayaan.
Penghargaan tingkat internasional yang diraihnya adalah Penghargaan Sastra Asia Tenggara, SEA Write Award, dari Raja Thailand pada tahun 1985 dan Sastrawan Negara dari Pemerintah Malaysia tahun 1988.
Arena Wati menikah dengan Halimah Sulong dan dikaruniai enam anak. Ia wafat akibat gangguan pada paru-parunya.
Selepas 2 tahun dibeli, baru kini aku selesai membacanya dalam satu 'marathon' untuk menghabiskan bacaan 'Trilogi Pantai'.
Mak Toya telah menjadi orang buruan selepas peranannya dalam 'Pantai Harapan'. Dalam pelariannya, takdir telah menemukannya dengan sekeluarga pelarian juga - Turina dan Uci. Turina dan Uci diterima ke dalam keluarga Haji Supuk - duda anak tiga yang juga anak susuan kepada Mak Toya. Namun, Turina dan Uci tidak lama dengan keluarga Haji Supuk. Beberapa episod yang menyentuh jiwa halus dan sukmanya sebagai seorang janda muda telah memaksanya untuk lari lagi. Di satu lokasi yang dirahsiakan daripada keluarga Haji Supuk, Turina kembali ke alam asalnya sebagai ahli akademik setelah hampir tiga tahun membanting tulang dalam empang udang kepunyaan Haji Supuk.
Adakah pertentangan dalam jiwa Turina akan membawanya kembali ke pangkuan keluarga Haji Supuk? Adakah akan berakhir pelarian Mak Toya yang diburu pihak berkuasa? Akan kuatkah keluarga Haji Supuk menahan rindu dan kasih dalam ketiadaan Turina?
Jilid kedua dalam 'Trilogi Pantai' kali ini lebih ringan dan lebih mudah diikuti berbanding 'Pantai Harapan'. Walaupun dalam satu trilogi, pembaca masih boleh menikmati buku ini secara bebas dan plotnya tidak terlalu terikat dengan jilid sebelumnya. Arena Wati masih dengan gayanya yang tersendiri dan kisah cinta yang mungkin klise di tangan penulis lain, akhirnya berjaya disudahkan dengan baik, dalam satu 'plot twist' yang mendebarkan.