Jump to ratings and reviews
Rate this book

Kamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya

Rate this book
Beberapa pekan menjelang Ujian Nasional, seorang siswa SMA bolos sekolah untuk kali pertama demi menolong temannya yang bernama Kamu. Kamu bilang ini persoalan gawat dan ia benar-benar butuh bantuan untuk… mencari sebuah sendok. Begitulah mulanya, dan perlahan, satu demi satu, jalinan peristiwa yang mengubah hidup keduanya terurai.

Ditulis dalam tradisi panjang novel-novel coming-of-age seperti The Catcher in the Rye karya J.D. Salinger dan The Adventures of Hucklebery Finn karya Mark Twain, KAMU menampilkan keunikan pikiran serta cara karakter-karakternya yang remaja dalam memandang dunia, menyoroti pilihan-pilihan yang mereka ambil, keyakinan, keragu-raguan, cinta, kesedihan, amarah.

Menjadi dewasa adalah proses penting yang pasti dialami, namun belum tentu dipahami, oleh semua orang. Karya Sabda Armandio ini menawarkan ‘pengalaman baru’ sekaligus kesempatan untuk ‘berpikir ulang’, baik bagi para pembaca dewasa maupun pembaca-pembaca muda. Dan di atas semuanya, KAMU adalah sebuah novel yang enak dibaca.

348 pages, Paperback

First published February 7, 2015

37 people are currently reading
573 people want to read

About the author

Sabda Armandio

9 books189 followers
Sabda Armandio Alif. Menulis dan menerjemahkan cerita pendek. Novel pertamanya: Kamu (Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya) diterbitkan di awal tahun 2015. Novel keduanya, '24 Jam Bersama Gaspar: Sebuah Cerita Detektif' (Penerbit Mojok) terbit tahun 2017. Saat ini bekerja sebagai Manager Multimedia di Tirto.id.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
150 (32%)
4 stars
226 (48%)
3 stars
71 (15%)
2 stars
10 (2%)
1 star
5 (1%)
Displaying 1 - 30 of 124 reviews
Profile Image for Sinta Nisfuanna.
1,022 reviews63 followers
January 11, 2017
“Sepiring mi goreng instan tersaji di hadapanku, asapnya yang tipis meliuk-liuk lalu menghilang. Aku sendiri tidak tahu sejak kapan aku suka sekali dengan makanan yang konon berbahaya ini. Mungkin sejak aku memerlukan teman instan, yang bisa datang kapan saja saat aku membutuhkannya dan pergi tanpa banyak bicara. Tapi sejak kapan kau boleh makan temanmu?” (h.289)

Sebagian orang menyebutnya meracau, berbicara yang tidak jelas/kacau, tapi cara berpikir seperti ini tidak dimiliki banyak orang, cara berpikir yang seringkali out of the box. Aku, adalah tokoh yang banyak ngomel dengan pikirannya tentang segala yang ada di hadapan, bahkan yang sekadar terlintas. Kamu, sahabat si Aku yang awalnya--dengan pikiran kliseku—kupikir adalah seorang perempuan yang akan menjalin romantika dengan Aku, ternyata salah besar.

Aku dan Kamu, dua remaja SMA yang menggeluti dunia dengan cara dan idealismenya sendiri. Cara berpikir mereka, terutama tokoh Aku, seperti sesuatu yang keluar dari pakemnya tapi menarik, dan tidak jarang membuat orang lain bergumam setuju dengan berat hati. Cara berpikir yang membentuk kritik menjadi terlihat semaunya tapi sering menohok. Rasa seperti itulah yang saya resapi sepanjang membaca novel KAMU.

"Aku ingin jadi pengarang, sebab kesimpulanku sejauh ini, menulis satu-satunya cara untuk memetakan perasaan dan pikiranku. Dan sepertinya, mengarang adalah cara meludahi seseorang dengan santun. Aku ingin sekali meludahi orang-orang sok tahu, kadang aku juga ingin meludahi diriku sendiri. Sebab buku nggak akan menyakiti pembaca seperti manusia menyakiti manusia lain." (Hal. 324)

Jangan mengharapkan alur yang rapi karena isinya yang terkesan suka-suka, plot sepi tapi riuh dengan sindiran dan pergulatan pikiran. Absurb, bahkan kenyataan dan khayalan terasa membingungkan. Saya kadang dibuat menggerutu juga takjub seperti saat mengikuti perjalanan Aku dan Kamu di gorong-gorong dan berujung di rumah Kek Su. ‘Bagian terbaiknya adalah tak ada bagian yang terbaik’, menjadi semacam slogan yang memperkuat keabsurban isi kepala Aku.

"Menurutku jatuh cinta itu nggak indah-indah amat. Kau buka hatimu supaya seseorang masuk ke dalam, kau jaga dia agar betah dan sehat, dan seterusnya, dan seterusnya. Seperti memelihara orang lain di dalam tubuh sendiri. Sialnya, kau nggak punya perangkat untuk sepenuhnya memahami orang lain." (Hlm. 279)

Kisah cinta menjadi salah satu warna dalam alur, meski lebih banyak menjadi sampingan dari alur utama, PIKIRAN AKU. Tokoh perempuan teman kelas, mantan pacarku dan Permen menjadi bahan Aku untuk mengganyang tema cinta klise yang beredar di pasaran, begitupun dengan tema kehidupan, pendidikan, kematian, lingkungan, semua digarap pikiran Aku dan obrolan Aku-Kamu yang tak kenal pakem.

"Bukan karena aku sungguh-sungguh gemar menyendiri, hanya saja aku kerap merasa bukan bagian dari dunia itu. Keramaian adalah dengung yang semakin didengarkan justru membuatmu semakin kesepian. Orang-orang terus bicara; berbagai jenis suara berlintasan hingga telingamu penuh, tetapi kepalamu kosong. Tidak mengerti apa-apa, bukan bagian dari apa-apa." (h. 17)

“Kau… selamanya akan berperang melawan pikiranmu sendiri. Tak akan memulai apapun, tak akan menyelesaikan apapun. Tak mendapatkan apa-apa. Tidak memiliki apa-apa.” (h.188)

Introvert, pikiran ini yang berulang kali muncul di kepala saya sepanjang membaca KAMU. Kental sekali ke-introvert-an karakter Aku (atau penulis?) di dalam novel ini, karakter yang mendapatkan kekuatan dari pikirannya. Karakter yang seringkali tampak tenang atau melamun di luar diri, tapi bisa dipastikan isi kepalanya tak akan pernah berhenti mengoceh. Karakter yang sangat berpotensi untuk menemukan hal-hal di luar standar, bahkan membuat pendengarnya melongo dengan keanehan pemikirannya.

Gaya berpikir yang suka-suka memang bikin suka, sampai saking sukanya saya kesulitan membuat ulasan. Saya jadi penasaran dengan novelnya yang menjadi unggulan di Dewan Kesenian Jakarta.

"Karena aku tidak tahu harus memercayai siapa akhir-akhir ini. Rasanya orang-orang gemar membuat kita tersesat. Jadi, kupikir, aku harus membuat peta milikku sendiri. Jika nggak ada lagi yang bisa dipercaya, kau mau percaya siapa lagi selain kepada dirimu sendiri." (Hlm. 323)
Profile Image for Ray Hamonangan.
Author 1 book17 followers
December 28, 2016
Awalnya sih saya kira ini buku teenlit, apalagi dari cover dan warna nya yang terlalu "imut" untuk hitungan buku sastra, dan saya telat banget untuk punya buku ini. Buku yang versi cetaknya udah pada habis di toko buku biasa, terpaksa harus beli e-book dari Google Play. Tapi saya tetap penasaran dong untuk baca novel ini, apalagi naskah novel nya yang ke-dua, 24 Jam Bersama Gaspar jadi salah satu pemenang unggulan DKJ 2016.

Saya suka banget sama tokoh "Kamu" yang betul-betul santai abis sebagai anak SMA, dimana narator si Aku juga mau ikut2an bolos sama Kamu selama 3 hari dengan masing2 hari mempunyai cerita yang berbeda dan sedikit tidak masuk akal (bisa kelihatan juga dari judulnya). Setiap baca tulisan Kamu di cerita ini, sepertinya lebih menuju ke saya, padahal memang tokoh nya namanya Kamu. *iya, kamu*

Novel ini cukup ringan walaupun ada "sastra + filsafat" nya dan ketika ada setting langit yang berbeda dari umumnya, mengingatkan saya akan 1Q84 nya Haruki Murakami. Ada juga beberapa musik jazz yang menjadi latar dari novel ini.

Pokoknya, salut! *sesuai seruan Kamu untuk hal2 tertentu yg bikin ruwet*
Profile Image for Hestia Istiviani.
1,035 reviews1,963 followers
July 31, 2017
Resensi Lengkapnya

Direkomendasikan oleh Rizky Nindy Lestari alias Munyi yang katanya bisa bikin baper. Alih-alih baper, aku malah merasa buku ini menakjubkan dengan caranya sendiri. Buku ini tidak menjual kisah cinta atau cerita mengenai remaja yang mencoba untuk meraih cita-citanya. Cerita dalam buku ini unik. Narasinya begitu mengalir. Dan memang benar, cerita yang tertulis bisa jadi tidak perlu dipercaya.

Setiap tokoh yang ada di dalam cerita ini seakan-akan menjadi suatu antitesis dari apa yang banyak kita ketahui tentang hidup dan yang ada di dalamnya. Mereka mempertanyakan kembali apa yang selama ini kita yakini sebagai sebuah kebenaran.

"Ketika berpelukan, kami tentu tidak bisa melihat wajah satu sama lain. Betul-betul cara terbaik untuk menyembunyikan perasaan masing-masing. Ia tidak perlu melihat wajahku yang kebingungan, dan aku tidak perlu tahu apakah ia menangis karena sedih atau bahagia." (halaman 162).

"Kata Carl Jung, pertemuan dua kepribadian itu seperti kontak dua substansi kimia: jika ada reaksi, maka keduanya akan bertransformasi." (halaman 184)

Buku Kamu: Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya adalah sebuah bacaan yang ringan, namun ternyata membawa pesan yang cukup unik. Meninggalkan rasa kagum namun juga mempertanyakan apa yang selama ini kita yakini.
Profile Image for Sulin.
330 reviews56 followers
July 2, 2017
Seorang bertuhan seharusnya membangun jembatan, bukan dinding. Membangun tanah lapang, bukan menara. Sebab keimanan seharusnya menghubungkan, bukan membatasi. Meluas, bukan meninggi."

-Kamu, hlm. 74-75-







Entahlah ini buku macam apa, tapi saya suka banget. Dasar Dio random.
Profile Image for nindy.
29 reviews25 followers
June 10, 2016
Sudah lama saya mengincar novel ini, tetapi 9 bulan lalu saat saya (akhirnya) memiliki buku bersampul biru dengan font kuning ini, saya justru tidak segera membacanya. Dan malah mendapat kesempatan membaca di sela bedrest.

Awalnya, saya mengira novel ini bercerita mengenai romansa sejoli semasa SMA yang dibumbui humor ringan. Tapi ternyata perkiraan saya seratus persen terbantahkan. Buku ini justru berisi pemahaman mengenai kehidupan. Dio berhasil membuat peta yang mampu saya pahami, bahkan berulang kali saya harus membelalakkan mata sambil berteriak dalam hati, "Ah, iya!" "Setuju!" "Ada benarnya juga.." dll.
Berulang kali pula perasaan dan imajinasi saya dibawa naik-turun oleh bab demi bab dalam novel ini. Emosi yang diciptakan oleh Dio berhasil--setidaknya pada saya--membuat pembaca ingin buru-buru mengetahui ada apa di bab selanjutnya.

Gaya bertutur novel ini sesuai dengan kaidah penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tapi tidak terasa kaku. Mulanya saya kebingungan dengan tokoh Aku dan Kamu, tapi mulai mampu mengikuti Aku, Kamu, dan tokoh-tokoh lainnya seiring pergantian halaman. Kalau boleh saya katakan, novel ini banyak berisi satire, dan saya suka itu. Meludahi pembaca dengan dialog atas pertanyaan-pertanyaan sederhana mengenai kehidupan, tingkah laku manusia, hingga hal-hal yang menyangkut negara. Dio menuturkannya dengan sangat apik, tertata rapi, dan thought-provoking. Pemilihan kata serta analoginya kadang membuat saya harus membaca ulang satu kalimat utuh untuk memahaminya, tapi hingga halaman terakhir, saya tidak merasa berpikir terlalu keras untuk memahami maksud buku ini.

Membaca buku ini seperti berbicara dengan teman sambil ngopi-ngopi cantik. Banyak kritik sosial yang terlontar, tapi tidak terkesan "songong". Humor yang dituliskan juga tidak receh; cerdas tapi tetap lucu. Saya suka bagaimana Dio menyampaikan ketidaksetujuannya pada banyak hal: sistem pendidikan, media dan pertelevisian, kapitalisme, narkisus, dan banyak lagi. Semuanya tertuang pada dialog yang mengalir begitu saja. Tidak ada kesan memaksakan sehingga alur cerita tetap terjaga.

Yang menarik dari buku ini adalah bagaimana Dio menyelipkan daftar lagu-lagu (yang menurut saya merupakan playlist Dio) pada setiap rangkaian ceritanya. Ini sedikit banyak membangun suasana pada alur cerita. Juga pengetahuan yang luas mengenai sejarah, seni, dan buku yang terlontar pada dialog antar tokoh; menunjukkan bahwa Dio melakukan riset yang serius selama penulisan novel ini. (Atau memang Dio memiliki ketertarikan khusus pada hal-hal tersebut?)

"...mengarang adalah cara meludahi seseorang dengan santun. Sebab buku nggak akan menyakiti pembaca seperti manusia menyakiti manusia lain." --Hal. 324.

Menurut saya, buku ini adalah buku yang cocok dibaca siapa saja. Saya bahkan sedikit menyesal tidak membacanya lebih awal. Banyak pelajaran yang bisa diambil, banyak pula kalimat di sana yang justru akan menghantui pembaca. Sampai saya menutup cover belakang buku, tak henti saya bertanya, "Apa yang ada dalam pikiran Dio ketika menuliskan buku ini?"
Kalau Sabda Armandio Alif menulis buku lagi, saya tentu akan membeli buku berikutnya.


Oh iya, saya harus katakan: halaman ucapan terima kasih merupakan salah satu bab favorit saya.
Profile Image for Yulaika Ramadhani.
12 reviews13 followers
February 20, 2015
Sial. Berkali-kali saya mengucap kata tersebut selama membaca buku ini. Dio berhasil, sangat berhasil meludahi seseorang, sistem, dan kehidupan dengan sopan melalui novel ini.
Saya sudah menyelesaikan novel ini beberapa menit lalu, dan saya masih terengah-engah bahkan cemasss sampai dengan saat ini. Absurd bla bla bla.
Saya curiga sekaligus yakin, aku dan Kamu adalah bifurkasi diri Dio sendiri.
Profile Image for Amelia Aura.
100 reviews11 followers
June 2, 2015
worth it buat dikoleksi dan di re-read
Profile Image for Aesna.
Author 3 books13 followers
June 27, 2016
Terkutuklah, Sabda.
Ini keren sekali.
Profile Image for Dion Sagirang.
Author 5 books56 followers
June 8, 2017
Saya bisa mengenali buku bagus atau tidak dari halaman pertama, meskipun baru dua buku doang yang saya jadikan riset yang payah ini. Pertama, saat membaca halaman pertama Memori-Windry Ramadhina, dan novel ini, yang saya baca di toko buku Tisera Jatinangor yang sekarang sudah entah jadi apa. Keinginan membaca buku ini sudah lama, tapi Moka Media baru mengabulkannya bulan kemarin. Buku ini dengan kumpulan cerita Matinya Burung-burung sampai di kantor. Buku Kamu saya baca di KRL, dan buku satunya saya baca diam-diam di kubikel.

Cerita ini memang tidak bisa dipercaya. Tapi paham-paham yang disampaikan di sini sejenis tuntunan hidup yang sebagian terlambat kita sadari untuk dilakukan. Sebagian lagi kita iakan karena sudah dilakoni. Sebagian lagi hal-hal yang baru terpikirkan. Saya tidak peduli dengan pengkotakan, apakah buku ini masuk sastra murni atau bukan. Saya hanya mengetahui buku bagus dan tidak. Dan, buku ini termasuk ke dalam kategori pertama. Orang-orang harus membaca buku ini. Tua, muda, orang-orang yang suka mengkotak-kotakkan. Buku ini akan mengajak kita merenungi hal-hal tentang hidup dengan gaya yang tidak perlu diseriusi.

Sebelum saya melantur semakin jauh, saya cuma mau bilang kalau saya kepengin membaca buku Armandio yang lain.
Profile Image for Azhar Rijal Fadlillah.
35 reviews23 followers
June 30, 2015
"Karena aku tidak tahu harus memercayai siapa akhir-akhir ini. Rasanya orang-orang gemar membuat kita tersesat. Jadi, kupikir, aku harus membuat peta milikku sendiri. Jika nggak ada lagi yang bisa dipercaya, kau mau percaya siapa lagi selain kepada dirimu sendiri." (Hlm. 323)


Saat Dio menulis KAMU, saya membayangkan ia sedang berada di puncak bukit sambil makan mie goreng. Menyapu pandangannya ke batas-batas horizon di bawah sana, menekuri chaos yang cantik di bawah sana. Membuat bengong para jagoan filsafat. Armandio berhasil merangkum kondisi postmodern dengan caranya sendiri--melalui peta miliknya sendiri. Ia tidak berniat mendirikan bangunan kokoh dalam kanon sastra. Ia hanya memandang bangunan-bangunan besar itu telah runtuh, terjadi kekacauan di sana-sini, lalu muncul kekuatan-kekuatan kecil--anasir-anasir baru yang bangkit dari puing-puing reruntuhan. Menyadari kondisi itu, Dio segera bergegas membuat peta miliknya sendiri. Ia ketakutan, resah, dan merasa kalah bahkan sebelum pertandingan dimulai. Ya tidak apa-apa, tidak perlu murung dan merasa kiamat sudah dekat, biasa saja. Sebab bukankah memang ada pertandingan yang memang tidak mungkin dimenangkan (?)--dan sialnya kita tetap harus menjalaninya. Dengan tabah. Kalau bisa dengan riang gembira, tentu lebih baik lagi.


"Kenapa sih kau suka mi goreng instan? Kan nggak sehat."

"Ya karena nggak repot. Sehat atau nggak, belakangan aja. Tiap habis makan mi goreng, aku merasa semua hal akan baik-baik saja."

"Ih, tapi mi instan itu mengandung lilin!"

Aku menoleh ke arahnya. "Oh, ya?"

Ia mengangguk, bersungguh-sungguh.

"Kalau begitu, ternyata lilin itu enak."

(Hlm. 207)


Selera humor yang luar biasa cerdas, seperti penggalan dialog di atas. Kita akan disuguhi banyak sekali dialog-dialog cerdas dan kelewat lucu dalam novel pertama Dio ini.
Atau narasi sendu yang cantik namun tetap memiliki selera humor dari tokoh Aku--si narator, seperti:

"Aku tidak ingin mengejar apa-apa. Bisa jadi karena itulah aku merasa kehilangan. Barangkali kota ini menghukumku karena tak taat aturan, tak berfungsi sebagaimana mestinya hingga membuat segala hal yang dulu kuakrabi berbalik memunggungiku. Mungkin sebentar lagi, kota ini akan menendangku." (Hlm. 19)

Terselip juga beberapa kritik sosial terhadap sistem pendidikan, gaya hidup, kapitalisme, kehidupan urban yang absurd, seni, dan masih banyak lagi. Meskipun sesekali dalam narasinya Dio melontarkan serupa kritik, ia tidak berbicara dengan nafas sang jagoan, ia berkisah dengan kelakar khas warung kopi. Ia hanya bertutur pada seorang kawan yang sama-sama sial, barangkali. Ia tidak bercerita sebagai jagoan tentang cara hidup yang baik dan benar kepada pembaca yang budiman. Tidak. Moralitas ia tendang jauh-jauh. Ia berkisah seperti seorang karib yang lelah, dalam perjalanan yang terpaksa perlu dihentikan sementara, untuk mencecap secangkir kopi bersama-sama. Mengusir muak dan lelah, barangkali.

***

Jika biasanya sebuah novel dibangun melalui plot yang meruncing pada konflik tertentu agar alur cerita berjalan maju dan menampakkan maksud dari cerita tersebut, KAMU hadir tanpa tendensi ke arah sana. KAMU tidak mengampu kepentingan-kepentingan menyuarakan hal-hal besar, KAMU seolah-olah hanya sedang menertawakan kehidupan dengan segala absurditasnya. Saya jadi teringat "Keajaiban di Pasar Senen" karya Misbach Yusa Biran (Pustaka Jaya, 1971), hanya saja KAMU hadir lebih segar, dengan isu dan kegelisahan kontemporer yang dekat dengan keseharian kita. Dio seperti melakukan perlawanan terhadap gerak zaman yang semakin absurd. Ia berusaha mengelabui waktu, yang merayap pada dinding-dinding usia, melakukan siasat cerdik pada kedewasaan yang niscaya.

Porsi narasi KAMU sebagian besar dihabiskan untuk menertawai, mencaci-maki, meludahi dengan cara paling sopan kalau meminjam istilah Dio. Siapa musuhnya? bisa jadi kedewasaan, kemapanan, atau bahkan diri kita sendiri. Ya, bisa jadi ini adalah upaya paling ramah yang bisa kita lakukan untuk menertawai diri sendiri.

Disajikan dengan cara bertutur yang renyah, dekat dengan keseharian, dan sedikit nakal, maaf, maksudnya kelewat nakal. Novel ini saya rasa layak dibaca siapapun yang mungkin mulai lelah dengan cerita-cerita sastra yang berat bukan main, atau kelewat muak dengan teenlit yang serampangan dan gak jelas juntrungannya.

Kalau Eka Kurniawan yang konon katanya digadang-gadang sebagai calon penerus satu-satunya Pramoedya Ananta Toer, maka boleh dong saya menasbihkan Sabda Armandio sebagai salah satu calon nabi baru bagi anak-anak muda yang resah namun masih selalu kebingungan membedakan antara "galau" dan "resah"; antara "kritis" dan mengidap sesat berpikir kronis; antara berusaha nyinyir dan terlihat bau anyir.

Akhirnya, izinkan saya meminjam kata-kata Dio dalam "Ucapan Terimakasihnya":

Untuk orang Italia yang petama kali mengucapkan pepatah "Setelah permainan berakhir, raja dan bidak masuk ke kotak yang sama." Seperti bahagia, tidak bahagia pun sederhana. Dan keduanya tetap masuk kotak yang sama setelah semuanya selesai. Sama saja.


ps:

Awas aja kalau kau gak nulis buku selanjutnya. Saya racuni mi gorengmu pake ricin, mz~

https://azharijal.wordpress.com/2015/...
Profile Image for Arif Abdurahman.
Author 1 book71 followers
November 26, 2015
Salut! Tokoh novel penyuka kopi sudah jadi kayak senja dalam puisi. Maka di sini, kau akan mendapati tokoh yang penyuka mi goreng instan, hanya medioker, orang tak menonjol, begajulan, tapi untungnya jago filsafat dan doyan sastra. Novel yang bisa dibilang, kalau seandainya digarap seribu kali lebih apik — berhubung karya pertama juga sih, sejajar lah dengan Catcher in The Rye, The Bell Jar, atau Kafka on The Shore.
Profile Image for Nisa Rahmah.
Author 3 books105 followers
March 7, 2017
Seperti bahagia, tidak bahagia pun sederhana.

(Ini ucapan terima kasihnya pun kutip-able begini ku tiada paham lagi)


Ulasan lengkap segera.
Profile Image for Reyhan Ismail.
Author 3 books10 followers
July 27, 2019
Saya baru pertama kali membaca novel yang alurnya seaneh ini. Sangat tidak tertebak. Sampai sekarang pun saya masih bingung memikirkan isi dari buku ini. Hanya ada Aku dan Kamu yang mendominasi setiap jalan ceritanya.

Atau barangkali buku ini memang hanya tentang dua siswa (Aku dan Kamu) yang bolos sekolah dan memulai perjalanan yang tak terduga. Seperti menemui monyet yang bisa berbicara (dialog dengan monyet ini adalah bagian favorit saya), memasuki gorong-gorong yang tembus di tempat yang aneh dan masih banyak hal absurd lainnya.

Beberapa plot twist yang diselipkan pada bagian cukup berhasil mengernytikan dahi. Dan yang paling banyak adalah kritik dan argumen khas Sabda Armandio yang bertebaran melalui dialog-dialog antar tokohnya.

Setiap karakter dalam buku Kamu menurut saya memiliki sifat yang unik (namanya juga unik) Aku dengan pembawaan yang santai, realistis dan sinis dan Kamu dengan sifat yang idealis, rebel dan overdramatic soal cinta.

Salah satu kutipan favorit saya dalam buku ini adalah :

"Salut!"
Profile Image for OliveOlive.
12 reviews1 follower
June 10, 2020
Rate bintang empat dariku sudah menjawab kualitas buku ini. Apa yg kau dapat setelah buku ini kau tamatkan? Kalau aku mendapat kesenangan saat menyaksikam keseruan ‘petualangan’ dua anak sekolah menengah atas yang bergerak bebas menjadi diri mereka sendiri. Kusarankan kau memercayai kisah ini kendati Dio menyelipkan sub judul: Kisah-kisah yang Tak Perlu Dipercaya. Percaylah pada Dio, Kamu yg mati kini berubah wujud menjadi hantu di sekitar kehidupan tokoh Aku, Si Pelamun akut! Salut! Salut padamu Dio!
Profile Image for Siraa.
259 reviews3 followers
November 11, 2021
Sebuah Novel yang mindblowing sekali. Jangan harapkan sesuatu yg biasa dari novel ini. Ceritanya sangat liar, absurd dan menuju kemana-mana. Dipenuhi dialog yang berat juga membuatnya jadi karya setengah Non-fiksi setengah fantasi. Namun saya suka sekali dengan novel ini. Buku ini adalah bagaimana dunia terlihat di mata remaja. Mungkin selama ini kita menganggap dunia itu rumit, tapi ketika ingin menjelaskan rumitnya dimana kita selalu bingung. Ya, buku ini menjelaskan kerumitan dunia kita itu. Pikiran yang unik, out of the box dan semaunya.
Profile Image for Iantony.
102 reviews9 followers
April 24, 2017
Buku ini adalah contoh nyata dari 'jangan menilai buku dari kovernya' karena kover buku ini paling tidak menurut saya sama sekali tidak mencerminkan isi bukunya.

Gaya penulisannya enak untuk diikuti, meskipun ceritanya sendiri terkesan agak flat dan abstrak. Bagian yang di terowongan itu agak-agak berasa dragging juga sih. Tapi secara keseluruhan unik, lain dari lain dibanding novel Indonesia lainnya meski twist sama konfliknya berasa agak kurang/hampir tidak ada sama sekali.

Profile Image for Nellaneva Nellaneva.
Author 7 books157 followers
March 31, 2019
Satir yang, meskipun gelap, rasanya sedap dan membuatku ingin makan mie goreng instan selama membacanya. Banyak yang bisa dikutip dan dihubungkan dengan keseharian kita. Gaya bercerita dan karakter-karakter quirky ala penulisnya seperti biasa aku suka. Petualangan mencari sendok yang menyenangkan, tetapi sayangnya ditutup secara kurang meriah.
Profile Image for Dion Yulianto.
Author 24 books196 followers
January 23, 2021
Novel ttg siswa SMA tapi filosofisnya kebangetan, dalam arti positif tentu.

Banyak kutipan keren semacam: "...mengarang adalah cara meludahi seseorang dengan santun."

Juga, "...manusia dilahirkan dua kali, pertama dari rahim ibu dan kedua dari rahim masyarakat."
Profile Image for Irfan Al Mujaddidi.
11 reviews1 follower
March 29, 2024
Salut!!!
Sebuah novel coming-of-age yang banyak mempertanyakan banyak hal, perihal pendidikan, cinta, kematian dan eksistensial dengan gaya penyampaian khas Sabda.
Profile Image for Meta Morfillah.
664 reviews23 followers
April 19, 2015
Judul: Kamu - cerita yang tidak perlu dipercaya
Penulis: Sabda Armandio
Penerbit: Moka media
Dimensi: viii + 348 hlm, 11 x 17 cm, cetakan pertama 2015
ISBN: 979 795 961 9

Benar-benar cerita yang tidak perlu dipercaya. Bahkan sampai menamatkan buku ini, saya masih ga percaya... cerita apa sih ini sebenarnya? Tapi asyik. Pernah merasa terkesima mendengar seseorang bercerita tentang pengalamannya, meski aneh dan kadang tak masuk logika, tapi kamu menerima dan menikmatinya. Persis seperti itu rasanya membaca buku ini.

Uniknya, tokoh utama di sini tak bernama. Hanya aku dan kamu dan tokoh pendukung lain yang beberapa tak juga bernama. Dengan alur maju mundur, sebaiknya kamu mempunyai pegangan agar tak bingung membedakan realitas dan urutan cerita. Secara isi, saya menikmati cerita yang sepertinya hanya menikmati bagaimana bercerita ini. Gaya bahasanya pun meski seenaknya, yang terasa banget penulisnya anak muda, tapi tetap berbobot, bahkan kadang agak puitis. Namun masih banyak typo dan kurang spasi di beberapa bagian yang cukup mengganggu. Secara tampilan saya suka covernya. Simpel tapi terasa kekinian banget ala anak muda. Biru dan kuning, kayak seragam olahraga smk telkom saya hahaha. Saya beri nilai 4 dari 5 bintang.

Meski tak ada tema khusus, sebab ini cerita tentang kenormalan hidup dan apa saja yang dipikirkan sang tokoh, tapi ada beberapa kalimat yang saya suka dan cukup dalam untuk diresapi. Seperti ini contohnya,

"Keramaian adalah dengung yang semakin didengarkan justru membuatmu kesepian. Orang-orang terus bicara; berbagai jenis suara berlintasan hingga telingamu penuh tetapi kepalamu kosong. Tidak mengerti apa-apa, bukan bagian dari apa-apa." (Hlm. 17)

"Menurutku jatuh cinta itu nggak indah-indah amat. Kau buka hatimu supaya seseorang masuk ke dalam, kau jaga dia agar betah dan sehat, dan seterusnya, dan seterusnya. Seperti memelihara orang lain di dalam tubuh sendiri. Sialnya, kau nggak punya perangkat untuk sepenuhnya memahami orang lain." (Hlm. 279)

"Kita ini sangat ingin dibilang orang kota, sampai-sampai kita lupa, kampungan memiliki makna yang romantis. Dan si orang kota ini terus-menerus mengeluh soal betapa buruknya tata kota, kemacetan, dan membanding-bandingkan keadaan dulu dan sekarang. Lalu mereka dengan tak tahu diri memuja-muja harum tanah basah, mencari udara segar ke hutan, memotret langit senja di gunung atau matahari terbenam di laut, tapi nggak ada yang mau hidup di kampung atau merubuhkan kita mereka dan menjadikannya kampung lagi. Mereka takut kehilangan kemapanan yang merela bangun untuk menunjang hidup enak dan praktis. Yang bisa mereka lakukan hanyalah mengkhayal tentang kehidupan desa sambil minum kopi," (Hlm. 291)

Meta morfillah
Profile Image for sifa fauziah.
52 reviews
December 1, 2018
Malam mingguku kuhabiskan dengan baca ini, buku yang kubeli jauh-jauh karena konon buku ini sudah sulit dicari.
Buku ini menceritakan kisah Aku dan Kamu yang bolos sekolah selama 3 hari berturut-turut, hat trick, katanya. Hahaha. Dalam 3 hari tersebut, terjadi percakapan yang lumayan "berat" bagi anak SMA kelas 3, itu menurutku, tapi masih dalam porsi yang pas. Lagipun percakapan itu yang justru buatku terkesima, tanpa sadar aku mengangguk kecil.

Astaga, bahkan ucapan khas Kamu masih saja terngiang-ngiang di benakku. *Salut!*

Ada benarnya, cerita ini memang tidak perlu dipercaya. Tapi pikirku, agaknya aku cukup memahami yang ingin disampaikan penulis melalui buku ini.
Aku sempat berpikir, kalau buku ini dijadikan sebuah film, bisa kubayangkan akan digarap sebagai road movie. Kau tahu? Seperti 3 Hari untuk Selamanya, semacam itu.

Aku suka setiap kali tokoh Aku menghubungkan segala hal dengan mie instan! Aku tertawa karena aku sama sepertinya. Dalam hatiku seperti, "I FEEL YOU!". Hahahaha.


Entah kenapa, cerita ini sedikitnya buatku termenung setelah membacanya. Saat kamu mengetahui rahasia dari masa lalu seseorang.... Apa yang ia hadapi semasa lalu, apa yang ia rasakan, apa yang ia pendam dan tak pernah dia ungkapkan... seperti kamu jadi bagian penting dari kisah masa lalunya.
Profile Image for kemmm.
35 reviews2 followers
September 21, 2019
Pernahkah ketika kau melihat sebuah buku di salah satu rak toko buku lalu tanpa berpikir panjang langsung menaruhnya di keranjang belanjaan?. Mas Dio adalah salah satu dari sekian penulis yang aku kategorikan tak-perlu-banyak-tanya-beli-saja. Semenjak membaca karyanya 24 Jam Bersama Gaspar langsung terpikirkan olehku "ah, keknnya seru ketemu mas ini" bukannya apa, bisa dikatakan bentuk kekagumanku saja.

Aku tidak tahu kapan terakhir kali sebuah buku dapat membuatku tertawa terpingkal dan disaat yang bersamaan menyadarkanku akan hidup dan kematian. Sebuah pembahasan yang menarik bukan?. Aku membayangkan cerita ini tercipta ketika Gabo sedang mengadakan acara teh sore dengan Murakami lalu karena ketidaksengajaan dan kecorobohan pelayannya, ia menukar teh dengan sake mengakhirkan keduanya menyindir hidup, dan pemerintah tentunya, dengan segala keteleran yang ada, sampai keduanya tandas sampai esok pagi. Cerita-cerita bijaksana yang terlihat memabukan, tetapi tetap menyenangkan untuk melihatnya sampai habis.

Dan menurutku lebih komikal dari novelnya mas dio yang Gaspar tetapi dengan cerita yang tidak kalah seru. Tapi tentu saja, ini Sabda Armandio yang kita bicarakan. Apa yang perlu dikhawatirkan?
Profile Image for Perpustakaan Dhila.
200 reviews12 followers
April 23, 2015
apa jadinya kalau 'aku' ketemu 'kamu'? apakah aku dan kamu akan melewati badai monyet parit dalam perjalanan menuju rumah kakek su? atau aku dan kamu bertemu orang utan yang mengenakan kaos putih dengan tulisan 'save human'?
aku bercerita tentang seorang gadis teman sekelasku yang memiliki sakit leher aneh dan cerita tentang mantan pacarku yang tiba-tiba meminta putus.
kamu mengajakku mencari sebuah sendok yang tertukar--yang mungkin sampai sekarang tak akan pernah aku dan kamu pastikan keberadaannya.



absurd, penuh humor, dan kritikan-kritikan tentang apa yang sedang terjadi di sekeliling kita. diceritakan dengan gaya sederhana dan segar. menarik dan tentunya sangat sayang kalau kalian tak ikut dalam petualangan antara mimpi dan kenyataan 'aku' dan 'kamu'.
Profile Image for Panji.
64 reviews33 followers
February 16, 2016
Lewat judulnya, buku ini sudah menyatakan posisinya sebagai... cerita yang tidak perlu dipercaya.
Dengan kronologi-kronologi yang tidak pas (tren 10 tahun yang lalu dan lainnya), buku buku ini sendiri mengingatkan bahwa karya fiksi baik film maupun novel memiliki logikanya sendiri. Begitu semaunya. Namun di bagian akhir, penulis seolah menjelaskan alasannya menulis. Karya ini sendiri mengingatkan saya akan karya Makoto Shinkai 5 CM per Second: seorang yang terjerembab dalam rutinitas yang membosankan dan kemudian kilas balik sepanjang cerita dan ditunjukan hal-hal yang semestinya dapat ia lakukan di sana.
Profile Image for Pringadi Abdi.
Author 21 books78 followers
April 30, 2015
Jika aku dapat menyelesaikan buku dalam sekali duduk, itu artinya buku itu dahsyat.
Kamu adalah buku yang dahsyat dari cara dan gaya bertutur penulisnya. Kalimat-kalimatnya cerdas, meski ada beberapa penulisan yang keliru (ini mana proofreadernya, spasinya banyak hilang).

Aku menantikan buku selanjutnya dari Sabda Armandio dengan plot yang lebih matang. Tapi mungkin itu karena bagian tebaiknya adalah tak ada bagian yang terbaik, buku ini jadi seperti ini ya.

SALLLLLLLLUT!
Profile Image for Awanama.
85 reviews6 followers
May 15, 2017
Bolos adalah bagian dari pengalaman sekolah, sebagaimana dinyatakan juga dalam Kamu (Cerita yang Tidak Perlu Dipercaya). Dalam buku itu seorang pegawai mengenang (atau mereka?) pengalamannya bolos selama tiga hari menjelang Ujian Nasional bertahun-tahun lalu.

Bolos hari pertama yang lebih menyerupai mabuk halu berisi petualangannya dalam gorong-gorong, omong-omong nyerempet filsafat dengan orang utan, dan bicara dengan petani yang suka mengubah kata dengan kata lain yang berima tapi jauh artinya. Bolos hari kedua dilewatkannya dengan pacar yang dihamili orang lain. Bolos hari ketiga dia mengawani temannya yang suka berseru ‘Salut!’, menemui kecengannya, saingan cintanya, dan kabar bunuh diri seorang anak SMA.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi selama tiga hari itu dipandang oleh ‘Aku’, seorang pemuda pelamun yang di permukaannya tampak cuek, tak punya hasrat, tak mau menyatakan diri, dan membiarkan dirinya dihanyutkan hidup. Arus hidup diikutinya dengan biasa-biasa saja. Dia kuliah begitu saja, kerja begitu saja. Tidak terasa ada ambisi. Dia ikut-ikut saja saat diajak temannya bolos untuk mencari sebuah sendok. Dia meladeni perempuan yang meneleponnya hanya untuk curhat. Tapi, berdasarkan pengakuan-pengakuannya tidak bisa tidak kita mendapat kesan bahwa kegelisahannya intens juga. Dia bermimpi tentang jarinya yang diamputasi, tentang suara-suara yang menyatakan dia tidak akan pernah menyelesaikan apa-apa. Ada penyesalan dalam ceritanya tentang dia yang tidak sempat menyatakan cinta pada perempuan yang suka curhat itu. Dia bersikap ‘ya sudah’ saat pacarnya mengaku dihamili orang, tapi dia enggan untuk membicarakannya lebih lanjut. Dia terus kepikiran saat disebut ‘Kurt Cobain’ oleh pengamen gila yang sebutannya seringkali menjadi semacam ramalan kematian berdasarkan cara mati musisi yang disebutkannya. Ada rasa jengkel terhadap sekitar, seperti tampak dalam sikapnya saat Kamu, temannya itu, curhat tentang masalah percintaan dan kompromi. Tidak bisa tidak kita mendapatkan kesan bahwa unek-unek ‘Aku’ bertumpuk sampai ke ubun-ubun.

Kamu adalah kontras ‘Aku’. Dia banyak omong dan suka omong tinggi. Orangnya memang ceplas-ceplos. Kalau gelisah, dia menyeploskannya begitu saja. Kalau tidak setuju terhadap sesuatu, dia menyatakannya. Misalnya, saat dia berdebat dengan Johan, yang juga naksir Permen, tentang kompromi atau memberontak sistem. Kamu memilih untuk memberontak karena dengan begitu individualitasnya muncul. Soal individualitas ini jugalah yang membuat Kamu gelisah soal Permen. Dia khawatir kepribadiannya hilang kalau dia berusaha untuk menyesuaikan diri dengan selera Permen. Salah satu contoh kasusnya adalah selera musik. Kegelisahan-kegelisahan semacam itulah yang membuatnya merasa tidak yakin terhadap segala hal. Menulislah alat untuk mengatasinya, menurutnya, karena dengan menulis dia memetakan perasaan dan pikirannya.

Kubu-kubu yang diwakili oleh dua tokoh tersebut –tokoh-tokoh lain adalah varian dua kubu itu—dipertentangkan. Bunuh diri adalah arena yang terus dihampiri. Walaupun akhirnya tidak jadi, Pacar ‘Aku’ sempat berpikir untuk bunuh diri setelah merasa tidak punya harapan hidup lagi gara-gara hamil; Kenalan Permen di bimbel yang bunuh diri karena UN; dan, walaupun tanpa dijelaskan secara gamblang, Kamu yang mati terpanggang di kamar mandi. Ketiganya sama bunuh diri atau terpuruk karena sistem yang lebih besar. Pacar ‘Aku’ terpuruk karena khawatir dengan pandangan orang-orang tentang anak SMA yang hamil. Mengutip kata-kata Kamu, kenalan Permen mati karena dibunuh negara melalui sistem pendidikan. Kamu mati bunuh diri dalam kedudukannya sebagai nabi, selebritas, dan model dan bintang film. ‘Aku’ sendiri berusaha tidak terpengaruh dan bersikap cuek saat menyaksikan tiga peristiwa itu. Pada pacarnya dia menyuruh untuk tidak peduli saja pada penilaian orang-orang. Toh, hamil tidak berarti seseorang kehilangan statusnya sebagai manusia. Saat menyaksikan Kamu dan Johan berdebat tentang bunuh diri kenalan Permen, ‘Aku’ diam-diam menguak kelemahan Kamu dan Johan walaupun dia kurang-lebih menyetujui pendapat Johan soal ‘ikut sistem maka hidupmu akan aman’. Saat mendengar kabar Kamu mati, dia bersikap ‘oh, ya, sudah’ walaupun di sana-sini ada rasa sedih.

Selain bunuh diri, di sana-sini terdapat pembicaraan-pembicaraan lain yang nyerempet filsafat. Misalnya, filsafat bahasa dalam pembicaraan ‘Aku’ dengan orang utan yang bisa bicara dan Kek Su yang suka mengganti kata-kata dengan kata lain yang tidak bermakna sama tapi berima. Di situ muncul pertanyaan,“Kenapa manusia mesti menamai benda-benda?” Omong-omong filosofis juga muncul dalam pembahasan tentang cinta platonis ‘Aku’ pada perempuan yang suka curhat padanya dan ternyata mencintai ayahnya sendiri, dan cinta platonis Kamu pada Permen. Ada pembicaraan tentang dilema landak Schopenhauer. Terlepas dari itu, toh, tiap kali ada Kamu dan ‘Aku’ pembicaraan tentang gim atau acara semacam curhat Mamah Dedeh pun ditarik ke hal-hal yang filosofis.

Dalam buku ini hal-hal sehari-hari bersilang-sengkarut dengan hal-hal filosofis –yang seringkali menjadi gamblang karena kecenderungan Kamu untuk omong besa. Tapi, semua hal itu dipandang oleh seseorang yang berusaha untuk cuek karena bosan. Makanya, mengutip buku yang sering dibaca ‘Aku’, bagian terbaik buku ini adalah tak ada bagian terbaik.

Ulasan ini bisa juga dibaca di http://al-ulas.blogspot.co.id/2017/05...
Displaying 1 - 30 of 124 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.