Melalui esai dan reportase dalam buku ini, Linda mengajak kita menjelajah dinamisnya hubungan manusia dari pelbagai kawasan, mulai dari Asia, Eropa, hingga Amerika. Setiap peristiwa yang terekam tidak hanya menuturkan dinamisme hubungan manusia yang terjadi akibat konflik, tragedi, dan rekonsiliasi melainkan juga menyoroti upaya-upaya manusia bertahan dalam bahaya dan melawan praktik ketidakadilan yang mengatasnamakan apa pun: suku, ras, agama, maupun ideologi. Pengalaman, fakta, dan reportase Linda yang dituturkan secara realis dan detail dalam buku ini mampu mengetengahkan manusia dan kemanusiaannya.
Linda Christanty adalah sastrawan-cum-wartawan kelahiran Bangka. Pada 1998, tulisannya berjudul “Militerisme dan Kekerasan di Timor Leste” meraih penghargaan esei terbaik hak asasi manusia. Kumpulan cerita pendeknya Kuda Terbang Maria Pinto memperoleh penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2004. Dia sempat bekerja sebagai redaktur majalah kajian media dan jurnalisme Pantau (2000-2003), kemudian menulis drama radio bertema transformasi konflik untuk Common Ground Indonesia (2003-2005). Sejak akhir 2005, dia memimpin kantor feature Pantau Aceh di Banda Aceh.
Saya membaca buku "Seekor Burung Kecil Biru di Naha" ini dalam perjalanan Jakarta-Cepu. Ada 13 cerita dari Linda dan kebanyakan cerita menunjukkan dalamnya pemahaman Linda akan HAM, sejarah, dan aktivitas gerakan tak hanya Indonesia tapi dunia. Sikap internasionalis Linda amat terlihat dari bagaimana fasihnya dia mengulas konflik Yugoslavia (Servia, Bosnia Herzegovina) vis a vis dengan konflik Ambon; kejahatan kemanusiaan di Naha; konflik India, Pakistan, Bangladesh; konflik sunni syiah di Karbala; jugun ianfu Jepang; NAZI Jerman; Partai Komunis Thailand; musik kontinental Amerika; dan konflik daerah asal Linda berasal di Aceh, Bangka, juga Belitung. Cerita yang paling membekas berjudul "Rumah Bagi Mereka yang Tua". Cerita itu membawa saya pada renungan, barangkali konsep "keluarga" yang ada di Indonesia menjadi perkara yang paling pelik. Karena "keluarga" di Indonesia tak sekadar ibu, bapak, dan anak; tapi juga pakde, budhe, sepupu jauh, sepupu dekat, besan, dlsb. Konsep "keluarga besar" di Indonesia berbeda dengan di luar yang cenderung individual. Dan moment mudik ini mengajarkan saya nilai rohani "keluarga besar" itu.
II.
Membaca buku ini tak henti-hentinya menata teka-teki hidup. Banyak kelindan dari saya kecil hingga sekarang mencuat ulang. Yang paling kentara adalah saat membahas Yugoslavia. Membawa kenangan ketika saya masih SMA kelas XII. Saat itu, guru Bahasa Indonesia kala itu menjuluki saya "Yugoslavia" dan berbagai julukan lain. Meski negara itu sudah tak ada, tapi kenangan terkait guru saya itu masih. Kebetulan guru saya itu bisa meramal, semacam indigo, dan beliau sudah meninggal. Semoga husnul khotimah Pak Warno...
Seekor Burung Kecil Biru di Naha berisi kumpulan tulisan Linda Christanty, baik yang berupa laporan reportase maupun esai. Membaca karya nonfiksi kerap dianggap membosankan. Datar. Namun, percayalah, membaca tulisan-tulisan Linda Christanty jauh dari hal semacam itu. Dalam setiap reportase dan esai, tak sekadar memberitakan, tapi menceritakan. Misal tentang pengalaman, situasi yang dihadapi oleh para penyintas konflik. Bagaimana dampak konflik tersebut.
Dari 13 judul baik esai maupun reportase, ada dua tulisan yang sangat berkesan bagiku, yaitu "Berdamai dari Bawah" dan "Rumah bagi Mereka yang Tua".
Berdamai dari Bawah
Bercerita tentang konflik perang sipil antara GAM dan TNI di Aceh. Membaca tulisan hasil reportase ini sangat penting untuk mengingatkan bahwa perdamaian itu berharga mahal. Perdamaian, ketenangan yang kita nikmati saat ini bukanlah sesuatu yang mudah didapatkan. Kita mesti menjaga perdamaian. Perpecahan itu mudah dimulai, sulit diakhiri.
Bagi pemuda generasi yang lahir di tahun 2000-an, pasti sedikit yang mendengar tentang Gerakan Aceh Merdeka.
Pada 4 Desember 1976, Hasan Tiro, pencetus Gerakan Aceh Merdeka, mendeklarasikan perang terhadap pemerintah Indonesia untuk kemerdekaan Aceh.
Di tahun 1990 hingga 2000, pemerintah melalui TNI menetapkan Aceh menjadi daerah operasi militer. Upaya pemerintah untuk menumpas pemberontakan. Tetap saja pertikaian senjata semacam itu merugikan warga. Tak ada yang menang dalam perperangan. Peperangan hanya menghasilkan dendam baru.
Sentimen, kebencian, dan prasangka antar suku menguat, terutamanya antara suku Aceh dan Jawa. Kedatangan orang Jawa ke daerah Aceh telah dimulai sejak masa kolonial Belanda. Orang-orang Jawa didatangkan ke daerah Aceh untuk menjadi kuli perkebunan. Pada masa Orde Baru, para transmigran yang kebanyakan dari suku Jawa mengadu nasib di daerah Aceh. Program transmigrasi era Soeharto, untuk mengatasi kepadatan penduduk di Pulau Jawa, dikaitkan dengan upaya “Jawanisasi”.
Kebencian dan prasangka terhadap suku Jawa menguat. Bagi suku Aceh, suku Jawa adalah ancaman. Bagi GAM, TNI itu identik dengan suku Jawa.
"Berdamai dari Bawah" ini mengetengahkan perempuan-perempuan Aceh dari berbagai generasi, korban kekerasan dan konflik berdarah, yang mengupayakan perdamaian. Menyamai kembali bibit perdamaian yang pupus oleh kebencian dan curiga.
Khatijah binti Amin, istri dari Tengku Harun, salah satu anggota pertama pasukan pertama Hasan Tiro, ditangkap oleh TNI dan disiksa. Ketika masih kanak-kanak pun, ia menyaksikan kekerasan di Aceh. Dia melihat rumah bangsawan Aceh dibakar.
Selama masa DOM, Nurhaida, menyaksikan orang disiksa dengan cara ditelanjangi dan diikat di pohon pisang selama berhari-hari di halaman Rumoh Geudong. Sebuah rumah yang digunakan sebagai tempat interogerasi dan penyiksaan kala DOM. Kini rumah tersebut hanya tersisa betonnya, karena pernah dibakar pada Agustus 1998 untuk menghilangkan barang bukti. Suami Nurhaida, telah lama meninggal karena sakit yang tak diketahui. Konon, karena tak tahan mendengar teriakan dan melihat orang-orang yang disiksa.
Konflik melahirkan rasa curiga antar warga yang sebelumnya harmonis dan hangat. Keluarga keturunan Jawa yang telah turun-temurun tinggal di Aceh, yang merasa bahwa kampung halamannya adalah Aceh terkena dampak konflik.
“Kalau ada rumah orang Jawa dibakar, maka yang dituduh adalah orang Aceh atau Gayo, begitupun sebaliknya. Tapi pelaku sebenarnya tidaklah jelas,” ucap Zubaidah.
Pada tahun 2005, pemerintah Indonesia dan GAM menandatangani nota perdamaian di Helsinki. Salah satu hasil perjanjian tersebut adalah adanya partai lokal di Aceh dan sejumlah kewenangan otonomi.
Lama terkungkung dalam konflik membuat rasa pesimis banyak dirasakan oleh para banyak pihak. Perdamaian yang didapatkan dari perjanjian Helsinki tersebut dirasa semu.
Zubaidah adalah perempuan asal Aceh yang mengalami sendiri buruknya DOM. Beniati adalah orang Jawa dan generasi ketiga yang tinggal di Aceh. Sama seperti Zubaidah, dia pun merasakan semua akibat konflik bersenjata tersebut.
Kedua perempuan ini bersama dengan perempuan lainnya bergabung dalam Kelompok Perempuan Cinta Damai (KPCD). Landasannya adalah bahwa perdamaian harus diciptakan oleh warga sendiri dengan menumbuhkan sikap saling percaya. Menurut Dwi Handayani, tantangan terbesar berasal dari lingkungan sendiri untuk membangun kepercayaan antar sesama.
Banyak kegiatan yang dilakukan KPCD untuk membangun rasa saling percaya antar kelompok etnis, menyamai perdamaian. Antara lain, mengorganisasi desa-desa cinta damai, sebuah istilah yang mereka ciptakan untuk desa multietnis pascakonflik. Mendirikan koperasi untuk para anggota. Bekerja sama dengan KONTRAS menyelenggarakan pelatihan tentang perdamaian dan rekonsiliasi.
Mereka para perempuan penjaga dan pengupaya perdamaian. Caranya adalah dengan mendidik generasi penerus agar tidak ada lagi rasa dendam.
Rumah Bagi Mereka yang Tua Orang tua semakin lama semakin rapuh, membutuhkan orang lain untuk merawat mereka. Sama seperti bayi, anak kecil yang membutuhkan orang lain untuk membantunya mengurus dirinya.
Dalam budaya belahan bumi selatan, hubungan kekeluargaan secara umum masih kuat. Yang termasuk keluarga, tak hanya keluarga inti, namun juga saudara-saudara ayah ibu. Keluarga besar.
Merawat orang tua menjadi kebiasaan/kewajiban anak-anaknya. Anak yang membawa/membiarkan orang tua mereka tinggal di panti jompo kerap dianggap sebagai anak yang tidak berbakti. Tinggal di panti jompo memang tidak selalu pilihan yang buruk. Namun, masih ada sejumlah anggapan negatif.
"Rumah Bagi Mereka yang Tua" mengetengahkan hubungan yang rumit antara anak dan orang tua yang semakin menua. Ada anak yang menolak orang tuanya tinggal bersamanya. Ada pula orang tua yang menolak anak untuk tinggal bersamanya. Mereka ingin si anak keluar dari rumah dan mandiri, dsb.
Ikatan keluarga pada berbagai budaya Kita kerap berpandangan bahwa budaya Barat memiliki ikatan keluarga yang tak sama, tidak sekuat budaya Timur. Hubungan manusia yang dinamis tidak bisa diterangkan dalam sebentuk pandangan umum. Lain ladang, lain belalang. Begitu Linda Cristanty mengakhirinya.
Buku ini merupakan kumpulan esai ataupun laporan dari Linda Christianty yang sebelumnya Sudah pernah diterbitkan dalam beberapa media cetak. Dimana buku inimenceritakan tentang pengalaman orang-orang yang berusaha melawan ketidakadilan yang mengatasnamakan suku, ras, agama ataupun ideologi. Serta mengorek berbagai fakta sejarah yang menarik yang tidak kita temukan di dalam buku sejarah sekolah tentunya. Buku ini bisa jadi alternatif bacaan sejarah yang menarik terutama anak muda karna penulisannya yang tidak kaku, seperti membaca curhatan teman tetapi yang lebih dari sekedar cerita cinta monyet, serta di akhiri dengan cerita menyenangkan pada sebauh klub ditemani lagu country yang memberikan kesan hangat dan hubungan manusia yang kadang tidak menentu.
Dari buku ini saya bisa menambah pemahaman akan kebenaran-kebenaran pada masa Orde Baru, kekejaman pelanggaran HAM di masa itu, juga sejarah-sejarah singkat berbagai negara.
Hal yang paling menarik adalah chapter di mana Linda menjelaskan konflik antar Kao dan Makian, bukan hanya fokus pada Kao dan Makian tetapi Linda juga menjelaskan konflik yang juga terjadi pada Bosnia serta Yugoslavia.
Chapter paling menyentuh ialah ketika saya membaca puisi oleh Yoko Ono "Forgive Us".
Essay atau kolom tulisan karyanya selalu berhasil membawa saya menjelajah dengan nyaman dan mengaktifkan ketertarikan pada isu-isu kemanusiaan.
Penulis yang berkeliling negara dan beberapa daerah konflik di Indonesia seperti Aceh dan Ternate selalu berusaha menangkap dibalik persoalan juga perilaku masyarakat setempat. Ia selalu punya cerita setiap kali pulang. Mungkin ini oleh-oleh terbainya lagian juga penulis adalah wartawan.
Baca lagi setelah 3 tahunan lewat sejak kali pertama membacanya, dan aku masih terpuaskan dengan buku ini. Tulisan Linda selalu punya hal baru buat menyegarkan isi kepala.
Warna sampul yang meneduhkan dan seekor burung bentukan origami.
Namun di balik itu terdampar kisah kelam, peperangan masa lalu di Asia, Eropa sampai Amerika. Dimulai dari konflik di Aceh, kehidupan masa-masa rekonsiliasi dan terbentuknya museum HAM. Tentang orang hilang dan kekejaman penjajahan Jepang pada jugun ianfu di Asia Tenggara. Mundurnya zaman feodalisme di Ternate.
Apa yang menarik di buku ini adalah tiap esai penulis selalu mengaitkan kisah sejarah yang berkonflik di suatu negara apakah itu Thailand, Yugoslavia dengan bangsa Indonesia. Penulis menarik kesinambungan histori, peristiwa serupa yang terjadi.
Pengungkapan peristiwa gerakan mahasiswa, pemutihan orang-orang komunis. Meski harus mengungkit luka lama. Kejadian negara Thailand yang menyentuh hati saya. Bagi orang-orang yang tak mengenal kisah kelam di daerah berkonflik, jadi begini perasaan orang-orang yang kehilangan orang terdekat, orang tersayang mereka menghilang entah kemana. Menunggu penantian dalam waktu yang tak jelas. Hingga tak ada kabar dalam esai 'Kenangan Punne' (hal 80).
Sebagai generasi yang bukan hidup di masa pemerintahan Sukarno mungkin kita mengetahui hal sebenar bagaimana peralihan masa Orde Lama ke Orde Baru. Bukan seperti termaktub buku sejarah. Ada penyimpangan kenyataan yang tidak kita ketahui. (hal 84 dan 85).
Banyak kisah yang terjadi, fakta, serta detail berhasil diurai berkat penulis melalang buana. Sebagai seorang jurnalis, tulisannya sungguh layak dijadikan panutan dalam penulisan feature dengan gaya bertutur (bercerita). Pemilhan judul esai sebagian besar tak adanya tersirat bumbu-bumbu peperangan jika dilihat seksama. Sekali lagi Linda Chistanty sangat lihai dalam meramu judul yang menarik.
Saya sangat menyukai di halaman 115: di tengah pengungsian mereka saling membantu, melepas kepergian penuh haru dan berpelukan, lalu berkata, 'Pergilah mengungsi... kami tidak bisa menghadang dan kami diwajibkan ikut.'
Setelah pembaca dibawa ke negara -negara berselisihan, terakhir seakan kita disejukkan dengan narasi deskripsi suasana klub dengan lagu Toni Price dalam 'Continental Club'. Yang menyiratkan hubungan antar manusia yang tak menentu. Tetapi ada sebagian orang merindukan hidup rukun dan damai.
Karya esai yang apik. Bahasanya ringan dan jauh dari kesan bacaan berat, khas tulisan esai lainnya. Tiap cerita "prosesnya" sama. Soal tragedi di sebuah daerah, juga konfliknya. Tulisannya ditutup proses rekonsiliasi yang berbeda-beda buat tiap tragedi. Paling menarik, sudah pasti tragedi GAM di Serambi Mekah.
Linda Christanty bisa menceritakan berita tanpa bahasa yang monoton. Penggambaran di tiap ceritanya detail, juga nunjukkin kecerdasannya. Beberapa cerita kondisi di luar negeri, sesekali disamakan sama kondisi negeri sendiri, tapi sama sekali bukan ilmu cocoklogi.
Jadi pengen cari dan baca bukunya yang lain. Mari berburu!
tulisan Linda Christanty selalu menjadi favoritku. baik itu fiksi, pun non-fiksi. aku penggemar karya-karyanya.
esai pertama dibuka dengan sangat bagus tentang cerita pelanggaran HAM dan asal-usul dibukanya Museum HAM pertama di Asia Tenggara dan di Indonesia, letaknya di Banda Aceh. entah mengapa sejak dulu aku berniat untuk mengunjungi kota Serambi Mekah itu, yang kini kian menggencar. semoga kesampaian suatu hari nanti untuk berkunjung ke sana. sebab sejak kanak-kanak saya penasaran dengan kota itu. kisah yang ditulis Linda sangat memukau dengan gaya penceritaan yang menawan. meski kisahnya getir dan liris tetapi tetap menyenangkan untuk dibaca.
begitu pun dengan esai-esai lainnya seperti: Nama Saya Wanda, Rumah bagi Mereka yang Tua, Percik Api di Timur, yang ketiganya kesukaanku. salut dengan tulisannya yang begitu kaya, hasil riset yang sangat bagus dan mendalam--untuk Percik Api di Timur. kesederhanaan kisah yang menghangatkan sekaligus mengagetkan tersuguh baik dalam tulisan Rumah bagi Mereka yang Tua, dan Nama Saya Wanda.
penutup buku ini juga bagus, tentang musik dan sejarah kota-kota di selatan Amerika Serikat dalam tulisan bertajuk 'Continental Club'. konklusinya Seekor Burung Kecil Biru di Naha adalah karya non-fiksi yang menyenangkan segaligus mencerdaskan untuk dibaca semua orang.
Di tengah keranjingannya saya mencari dan membaca buku fiksi (entah itu kumcer atau novel) saya merasa tertarik kepada buku ini ketika Bernard Batubara(saya yakin Anda tahu siapa dia) metweet pendapatnya tentang buku ini. Awalnya, saya pikir buku ini berisikan kumcer fiksi yang membahas soal tragedi, konflik dan rekonsiliasi (mungkin karena saya tidak betul-betul mengikuti tweet dari Bara sehingga saya mengira demikian) tapi ketika saya membaca buku ini rupanya bukanlah kumcer fiksi yang saya dapatkan, melainkan kumpulan esai Linda Christanty yang ada.
Buku ini tipis. Ya, tergolong tipis untuk isi yang berbobot dan benar-benar berisi (menurut saya). Entah bagaimana, di tengah keranjingannya saya akan dunia fiksi dalam seketika saya begitu tertarik dan terbawa dalam setiap kisah yang dituturkan oleh Linda pada buku ini. Kisah pembuka pada buku ini (mungkin sengaja dirunutkan) terbilang ringan. Sebelum kemudian saya menemukan kisah-kisah yang berhubungan dengan konflik politik dan ras, juga pelanggaran HAM di beberapa negara seperti German, Serbia, Thailand, juga Indonesia. Semua kisahnya diramu dengan baik (Ya, tak ada yang meragukan kemampuan bertutur kisah jurnalis perempuan dengan segudang prestasi ini). Entah mengapa, di tengah gencarnya saya mencari hiburan lewat buku-buku fiksi, saya justru dibuat tertarik pada buku, yang dapat dikatakan, non fiksi ini.
Membaca buku ini seperti membaca sejarah dari berbagai konflik dan tragedi kemanusiaan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Namun saya pribadi hanya suka dengan empat cerita dari tiga belas cerita yang disajikan.
Yang pertama adalah tentang GAM di Aceh, lalu tentang transeksual bernama Wanda, kemudian tentang orang-orang tua yang merasa tertinggalkan, dan yang terakhir adalah tentang konflik di Indonesia Timur.
Selebihnya saya merasa lempeng-lempeng saja. Mungkin karena saya sendiri yang tidak memahami konflik-konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia tersebut sehingga saya pun bingung dengan nama-nama tokohnya.
Meski demikian, saya tetap akan memberikan tiga bintang untuk riset mendalam yang dibutuhkan dalam menyusun buku kumpulan esai ini. Tema-tema yang dipilih oleh Ibu Linda Christanty adalah tema yang rumit dan sepertinya jarang ditulis penulis lain. Hingga saya merasa buku ini memang berbeda dengan kebanyakan buku yang pernah saya temui.
Jurnalisme yang diangkat Linda Christanty sepertinya jurnalisme hati. Reportase tentang konflik dan rekonsiliasi konflik di berbagai daerah, mengedepankan kesuksesan menyentuh perasaan. Maka di beberapa bagian tidak jarang kita seperti sedang membaca cerita pendek Linda. Tetapi, konklusi setelah membaca 13 esai ini adalah, konflik selalu menyisakan luka. Apalagi kalau ada konflik bedarah yang menelan korban. Oiya, beberapa esai mengkritisi secara 'frontal' pemerintahan Orde Baru, bahkan menyebut peristiwa 1965 sebagai tindakan makar Soeharto dengan akhir menjebloskan Soekarno di penjara hingga wafat. Andai, buku ini muncul di zaman ketika jurnalisme masih di kekang, sudah bisa dipastikan di penjara mana Linda Christanty akan berdiam.
Buku ini pada dasarnya adalah kumpulan cerita, semacam catatan jurnalisme penulisnya, Linda. Linda menuliskan berbagai peristiwa, terutama tragedi kemanusiaan dari berbagai negara: Jepang, Thailand, Meksiko, Bosnia, Ternate, Aceh, dan lain-lain. Meski menulis peristiwa di luar negeri, Linda seringkali menghubungkannya dengan kejadian di Indonesia, yang saya rasa sebagai caranya mengkritisi pemerintah Orde Baru. Karena Linda juga adalah seorang penulis cerpen, pembaca akan merasakan bahwa buku ini memang lebih seperti bercerita daripada sekedar reportase. Membaca buku ini membuat saya semakin yakin bahwa konflik seringkali muncul dengan topeng 'konflik agama', padahal kategorisasi itu muncul dari akar konflik yang lebih dalam, yakni ketidakmerataan serta ketidakadilan.
Ini kumpulan esai Linda yang saya baca pertama kali. Redaktur-redaktur saya mereferensikan tulisannya sebagai acuan pembelajaran dalam penulisan feature dan ternyata memang tulisannya sangat layak dijadikan kiblat penulisan. Fakta yang dilampirkannya sangat kaya, sesuai dengan judul yang diberikannya. Tentang bagaimana masyarakat suatu bangsa yang dahulu mengalami konflik penuh tragedi, kini bisa melewati tahap rekonsiliasi satu sama lain. Meskipun beberapa daerah tetap berkonflik hingga saat ini. Secara keseluruhan, saya mengagumi cara Linda menarasikan isi pikirannya. Yang tak melulu dengan template tertentu, seperti yang kini banyak dialami oleh pewarta-pewarta.
Aku akan menyebut GM, Linda, dan Zen RS sebagai penulis esei favoritku. Urutannya seperti itu.
Cara menulis Linda enak banget. Dia bisa menyajikan sebuah dunia dan menghubungkannya terlebih dahulu dengan dirinya, dari dalam lalu keluar. Mungkin inilah yang disebut dengan "mempertalikan diri dengan dunia yang lebih luas".
Hanya saja, ketika sudah berbicara tentang agama, terutama Islam, Linda menjadi medioker. Di buku ini misalnya, dia menyebut hari Kamis ruh anggota keluarga yang meninggal akan datang ke rumah sebagai kepercayaan dalam Islam. Padahal hal itu sama sekali tidak ada di dalam Quran.
Di luar itu, cara menulis Linda sungguh sangat keren.
Buku kecil yang menyimpan begitu banyak pengalaman kehidupan manusia. Ditulis dengan gaya jurnalistik sastrawi, Linda berhasil memikat pembaca dengan kedekatan emosional kala mengikuti setiap cerita. Maluku Utara dan Aceh merupakan salah satu bab yang paling "menguras". Saya sadar cerita seperti ini tidak banyak diungkapkan dengan berani di buku. Hal inilah yang patut diapresiasi. Mengenalkan Indonesia yang sebenarnya tanpa menutup-nutupi sejarah yang kelam akibat banyak hal kepada khalayak luas.
Buku ini berisi 13 liputan Linda ke berbagai negara/kota yang pernah/sampai sekarang berlangsung konflik dan peristiwa. Beberapa liputan yang dia ceritakan sebenarnya sudah banyak diketahui -tapi karena Linda menuliskannya dengan sangat baik dan terdapat wawancara dengan korban yang berada pada daerah konflik- cerita-cerita tersebut terasa amat nyata. Beberapa kali saya harus menahan tangis di kereta, menengadahkan kepala supaya air mata yang menggenang tidak jatuh. Saya tak pernah menyangka, betapa nyaman hidup yang saya punya dan betapa banyak orang yang tak seberuntung saya.
Sejarah bukan ranah untuk dijarah. Menjadi nilai yang pantang dilupakan agar yang buruk tak terulang. Agar yang baik makin apik, tetap tertanam dan dipertahankan. Menolak lupa masa kelam artinya belajar memahami alam. Memahami mereka yang sudah pergi, menjadi modal hidup menghadap mati. Negara harus ingat, warganya wajib terlibat. Menjadi goresan luka pengingat usia.
Menyelami konflik, tragedi yang mengajak kita menjelajah, mengenal dunia yang sebelumnya tidak kita kenal. Menarik dan bermanfaat. Terima kasih mba Linda :)