Mahmud mendapatkan perintah rahasia untuk memprovokasi terjadinya perlawanan bersenjata di setiap negara militer demi menghentikan konspirasi dengan Imperium.
Pertama, dia menuju Kuluch untuk mencari orang yang mendukung terbentuknya Turkiye Baru, namun... di sana terungkaplah kebenaran yang mengejutkan!
Di masa-masa genting tanpa waktu senggang, bakat dan kemampuan Mahmud diuji!
Editor's Note Kisah aksi bernuansa politik dan sejarah dengan gambar yang halus dan detail. Direkomendasikan bagi penikmat kisah penuh intrik.
Duh, jilid ini emosional banget. Ditutup dengan sangat depresi, bikin saya gak bisa berenti nangis, dan gak minat buat baca jilid selanjutnya untuk sementara waktu. Saya gak nyangka Altair--yang biasanya jadi bacaan pemenuh hasrat fangirl saya--mendadak jadi seberat dan sekelam ini.
Selama masih sekolah dulu, saya kerap baca di buku-buku sejarah kalau ada orang-orang yang sampai tega membunuh kerabatnya sendiri demi menggulingkan pemerintahan. Anak bunuh orangtua, adik bunuh kakak; dulu sewaktu saya baca di buku-buku sejarah rasanya biasa-biasa aja, kan cuma buat dihafal kalau nanti ujian doang. Sekadar, "Oh, Raja xx dibunuh dalam kudeta adik/istri/anak/sahabatnya sendiri demi membangun kerajaan baru/revolusi/dan sebagainya". Tapi toh, giliran dibuat fiksi dengan plot dan intensitas cerita yang kuat, malah sukses jadi ngaduk-ngaduk perasaan gini.
Uh, saya beneran gak bisa ngebayangin itu Putra Mahkota Negara Militer Kuluch--yang notabene putra mahkota paling cemen lah, istilahnya--malah menjadi yang pertama yang membunuh ayahandanya sendiri demi kudeta. Terus gue jadi nangis-nangis sesenggukan di akhir buku! Pas si Pangeran nangis-nangis sambil ngumumin kalau dia telah menjadi Sultan di depan prajuritnya! Kan gak lucuuuuuuu!!! *lempar meja saking depresinya*
Belum lagi.............. dimana tuh pernah saya baca ada buku yang quote-nya (kira-kira): cinta yang tak terwujud adalah suatu keindahan. APANYA YANG INDAAAAAAH??? Saya udah ngerasa "chemistry" yang asik banget antara Hanum Ayshe dan Pangeran Bayezid sejak jilid sebelumnya, tapi gak nyangka kalau mereka bener-bener saling jatuh cinta. Saya udah gak peduli mereka itu paman-keponakan, kalau ini incest, kalau ini cinta terlarang, atau semacamnya; pengarangnya pinter banget masukin "chemistry" yang bisa bikin pembaca terjebak--saya bilang "terjebak" karena menyadari hal ini bukan sesuatu yang baik--dalam kisah cinta yang gak mungkin terwujud itu! Ditambah pementasan Laila Esnaf yang menambah bumbu di percintaan paman-keponakan itu, bikin makin sesek liatnya huwehuwehuwe... ...Dan semua rusak demi pernikahan politik.
Loyalitas Pangeran Bayezid terhadap sang kakak, Sultan Baraban, juga menjadi salah satu poin yang menambah depresi jilid ini. Mana ada kilas balik waktu mereka kecil pula, lengkap sudah penderitaan saya baca jilid ini. Uuuuuughhhh... berhentilah menambah tingkat kedepresian cerita iniiiiii!!!
Di sisi lain, rasanya saya kepengen ngejotos si Zaganos Pasha sekeras-kerasnya! Seenaknya dia bikin rencana sendiri dan mengacaukan seluruh strategi Mahmud yang berencana mengurangi pertumpahan darah seminimal mungkin! Pengacau! Dasar gak berhati! Iblis! Keji! Pas surat dari Zaganos Pasha sampai di tangan Mahmud, rasanya saya ikut-ikutan stres liat si Mahmud stres.
Saking depresinya buku ini diakhiri, saya sampai hampir melupakan adegan crossdressing Mahmud yang nyamar jadi istri Suleyman Bey hanya untuk masuk ke wilayah Buchku. Mereka mengaku mau bulan madu! Saya inget sempet jejeritan kepengen gantian tempat sama si Mahmud! ^ semua perasaan fangirl yang sempat terlupakan dengan mengenaskan
Duh, jilid 7--meski saya rasa gak akan "berani" saya baca dalam waktu dekat--belum saya miliki. Baru inget, jilid itu kelewatan. Ada buku bahasa jepangnya sih, tapi... males kan baca berbahasa jepang di saat genting penuh emosi begitu?
Duh, udahlah. Kayaknya saya mesti nyari bacaan yang manis-manis sebagai penawar rasa pahit di akhir buku ini.