What do you think?
Rate this book


304 pages, Paperback
First published January 1, 2015
"Kita ini tinggal di Mayapada. Semuanya maya. Segalanya tak ada. Semua hanya menjadi ada di depan kita kalau kita telah bersepakat mengadakannya."
"Hidup di alam fana adalah hidup di alam sandiwara. Lebih baik sekalian merias yang sungguh-sungguh sandiwara ketimbang merias yang tampak bukan sandiwara padahal sandiwara juga."
Aku lihat pemuda itu menangis. Oh, tidak. Mungkin, tepatnya, di dalam gambaranku tentang dunia, aku melihat pemuda itu bersedih pada gambarannya sendiri tentang dunia yang ia pandang di luar jendela. Ya, di mayapada. Di dunia yang tak ada.Tapi aku setuju bahwa dunia yang tiada ini harus kita adakan dengan cara menemukan manfaatnya. Apa manfaat dari gambaran-gambaran kita tentang dunia? Itu yang harus kita temukan.
Ha? Utang budi? Yang mana?
Tapi, Sinta, bukan dengan pertanyaan itu aku ingin mengakhiri suratku kepadamu, Sinta, surat yang, meminjam larik-larik puisi Rendra, kutulis surat ini kala hujan gerimis bagai bunyi tambur yang gaib.
Ketika gerimis telah menjadi hujan dengan kaki-kakinya yang runcing seakan jutaan malaikat telah turun ke bumi, aku ingin mengakhiri surat ini dengan pertanyaan kepadamu:
Apakah Dewa Kamajaya dan Dewi Kamaratih memang ingin memberiku Sinta-pada-raga-bayi karena Sinta-pada-raga-dirimu telah dimiliki oleh samudra?
Semuanya lewat menjadi pertanda yang kubaca sebagai surat-suratmu kepadaku. Semua seperti tak ada yang kebetulan lewat. Semua seperti bukan pertemuan dengan jodoh, pertemuan yang selalu dirasa sebagai kebetulan.
Ah, kau Rama, titisan dewa. Dewa bisa sempurna. Tapi, kau tak sempurna. Kau cuma manusia. Mengapa kau tidak berbahagia dengan menjadi manusia dengan segala ketidaksempurnaanmu seperti juga ketidaksempurnaanku?
Ramawijaya yang bersenjata panah tidak dekat, tapi juga tidak jauh dari blueprint Siwa. Bila cetak biru Siwa adalah samudra, Rama hanyalah buih. Walau cuma buih, ia menyatu dengan samudra. Inilah kemanunggalan. Inilah esensi dari Wahdat al-Wujud. Buih merenda gelombang, merajut gelora, dan memanik-maniki pasang surut semesta bukan karena kehendaknya sendiri. Buih bergerak dalam kehendak samudra.
Jalan menuju Tuhan sama dengan jalan menuju Roma, Rahwana. Pada akhirnya semua jalan akan menuju Roma. Demikian pula jalan menuju Tuhan. Ada yang melalui jalur filosofis, ada yang melalui jalur cinta. Ada yang reflektif, ada yang afektif. Ada yang religius, ada yang atruis...